ii. tinjauan pustaka 2.1. pariwisata dan...

15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Ekowisata Kepariwisataan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2009. Beberapa definisi dari istilah mengenai kepariwisataan berdasarkan UU No.10 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 yaitu: - pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. - kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha. - daya tarik wisata (DTW) adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Berikut terminologi dari beberapa istilah kepariwisataan menurut DEPHUT (2006), yaitu: - pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. - wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati perjalanan, keunikan dan keindahan alam. - ekowisata adalah bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh Hector Ceballos-Lascurain, ia mendefinisikan ekowisata adalah sebagai perjalanan ke dalam area alami untuk melakukan kegiatan seperti pendidikan, menikmati pemandangan alam serta satwa dan tumbuhan liar, dan budaya (Lieberknecht et

Upload: votuyen

Post on 10-Jun-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Ekowisata

Kepariwisataan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia No.10 Tahun 2009. Beberapa definisi dari istilah mengenai

kepariwisataan berdasarkan UU No.10 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 yaitu:

- pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai

fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah

dan Pemerintah Daerah.

- kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan

bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan

setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat

setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha.

- daya tarik wisata (DTW) adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,

keindahan, dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, hasil

buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Berikut terminologi dari beberapa istilah kepariwisataan menurut

DEPHUT (2006), yaitu:

- pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam,

termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha

yang terkait dibidang tersebut.

- wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut

dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati

perjalanan, keunikan dan keindahan alam.

- ekowisata adalah bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan

kesejahteraan penduduk setempat.

Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh Hector

Ceballos-Lascurain, ia mendefinisikan ekowisata adalah sebagai perjalanan ke

dalam area alami untuk melakukan kegiatan seperti pendidikan, menikmati

pemandangan alam serta satwa dan tumbuhan liar, dan budaya (Lieberknecht et

al. 1999). Namun saat ini ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan ke dalam

area yang masih alami untuk mengerti sejarah kebudayaan dan alam

lingkungannya dengan menjaga tanpa mengubah kesatuan ekosistem yang ada di

dalamnya, menciptakan pendapatan ekonomi dari mengkonservasi sumberdaya

alam untuk masyarakat lokal (Ecotourism Society 1993, 1998 diacu dalam

Lieberknecht et al. 1999).

Darsoprajitno (2002) menyatakan bahwa wisata ekologi (ecological

tourism atau ecotourism) adalah kegiatan kepariwisataan yang menggunakan

hubungan manusia dengan tata alam yang telah membudaya sebagai sasarannya.

Ekologi pariwisata adalah sebagai ilmunya, sedang pariwisata atau wisata ekologi

adalah kegiatannya. Menurut The Ecotourism Society (1996) diacu dalam

Sudarto (1999) dan Fennel (1999), ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata

yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang

dikelola dengan kaidah alam dengan tujuan selain untuk menikmati keindahan

juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-

usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar

Daerah Tujuan Ekowisata (DTE).

Dalam pengembangan pariwisata alam/ekowisata harus mengacu pada

prinsip-prinsip yaitu konservasi, edukasi, ekonomi, partisipasi masyarakat dan

rekreasi (DEPHUT 2006). Untuk mampu berdaya saing dengan negara lain di

dunia maka penting untuk mempunyai banyak keunggulan dan menciptakan

competitive advantage, keunggulan tersebut tidak hanya dilihat dari besarnya

jumlah wisatawan tetapi dari kemampuan untuk memelihara sumberdaya alam

dan budaya yang ada (Muntasib et al. 2008). Unsur-unsur yang dapat dijadikan

sebagai perbandingan untuk menentukan prioritas pengembangan meliputi: daya

tarik sumberdaya alam, potensi pasar, kadar hubungan, kondisi lingkungan,

pengelolaan, kondisi iklim, akomodasi, sarana dan prasarana penunjang,

ketersediaan air bersih dan hubungan dengan obyek wisata lain (JICA et al. 2000).

2.2. Perencanaan Wisata

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan

yang tepat melalui serangkaian pilihan-pilihan (Solihin 2008). Fokus pertama

studi kelayakan perencanaan ekowisata adalah adanya potensi dan atraksi wisata

yang dapat berkembang, namun jika tidak diperhatikan dampak negatif dari hasil

kegiatan wisata maka akan merusak atraksi wisata dan reputasi dari suatu daerah

wisata (Damanik & Weber 2006; Bharuna 2009). Terdapat tiga tingkatan dalam

perencanaan wisata yaitu tingkat nasional, tingkat provinsi dan tingkat tapak.

Perencanaan wisata minat khusus burung rangkong masuk kedalam perencanaan

tingkat tapak yaitu mencakup lokasi bangunan dan fasilitas yang menunjang

kegiatan wisatanya (Pratiwi 2006).

Kegiatan wisata minat khusus merupakan salah satu bentuk kegiatan

ekowisata yang dapat dilakukan di luar kawasan konservasi dan bersifat non-

konvensional yaitu wisata bukan massal, seperti Wisata Gua Gudawang yang

berada di Jasinga, Bogor (Damanik & Weber 2006; Muntasib 2007).

Penyelenggaraan wisata minat khusus dilakukan dengan adanya obyek

khusus/spesifikasi obyek yang ditawarkan kepada wisatawan ekowisata

(ecotourist), serta dalam kegiatannya terdapat batasan pengunjung atau

pengunjung yang datang tidak dalam jumlah besar dalam satu periode kunjungan

(Mardiastuti et al. 1996). Kodhyat (2007) menyatakan bahwa wisata minat khusus

termasuk ke dalam pariwisata modern yang bersifat konvensional, wisatawan

tidak lagi tertarik pada kegiatan yang semata-mata bersifat rekreatif seperti yang

sifatnya hura-hura tetapi secara khusus mempunyai minat terhadap alam dan

lingkungan, kebudayaan, sejarah, masyarakat tradisional dan sebagainya.

Menurut Damanik & Weber (2006) perencanaan wisata terdapat suatu

penawaran, yang dapat berupa produk dan jasa. Selanjutnya, produk wisata adalah

semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama

melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima

wisatawan ketika mereka memanfaatkan produk tersebut. Produk dapat berupa

gunung, goa, air terjun, satwa, sedangkan jasa berupa transport, akomodasi dan

atraksi (Damanik & Weber 2006). Atraksi adalah suatu kawasan yang sudah

ditata, direncanakan, dikembangkan dan mempunyai program kegiatan (Damanik

& Weber 2006; JICA et al. 2000). Potensi dan fakta atraksi alam harus

teridentifikasi secara jelas dan spesifik, salah satu parameternya yaitu diketahui

dengan jelas jenis satwa dan waktu penampakannya (Damanik & Weber 2006).

Menurut Damanik & Weber (2006); DEPBUDPAR (2007) dan Pratiwi

(2006) terdapat beberapa unsur yang perlu dipertimbangkan dalam membuat

perencanaan wisata yaitu atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Selanjutnya

dijelaskan yaitu atraksi berupa alam, buatan, dan budaya yang mencakup obyek

wisata (gunung, candi, satwa) dan hospitality (jasa akomodasi, tempat makan, dan

sebagainya). Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang

menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata

(Damanik & Weber 2006; Muntasib 2008). Ditambahkan bahwa amenitas adalah

infrastruktur yang tidak terkait langsung dengan pariwisata tetapi sering menjadi

bagian dari kebutuhan wisatawan, seperti buku panduan wisata, seni

pertunjukkan, telekomunikasi dan sebagainya. Terdapat beberapa unsur yang

menjadi pertimbangan pengunjung untuk melakukan perjalanan yaitu biaya,

daerah tujuan wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lamanya wisata, akomodasi,

moda transportasi dan lainnya (Freyer 1993 diacu dalam Damanik & Weber

2006). Menurut Suwantoro (1997) terdapat lima unsur pokok yang harus

mendapat perhatian dalam menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan

wisata (DTW) yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan

pengembangannya yaitu obyek dan daya tarik wisata, prasarana wisata, sarana

wisata, tata laksana/infrastruktur dan masyarakat/lingkungan.

2.3. Bioekologi Rangkong

2.3.1. Taksonomi

Taksonomi menurut Sukmantoro et al. (2007) pada famili Bucerotidae

yaitu:

Dunia (Kingdom) : Animalia

Filum (Phylum) : Chordata

Sub-Filum (Sub-Phylum) : Vertebrata

Kelas (Class) : Aves

Bangsa (Ordo) : Coraciiformes

Suku (Family) : Bucerotidae

Marga (Genus) : Berenicornis, Anorrhinus, Penelopides,

Rhyticeros, Anthracoceros, Buceros dan

Rhinoplax.

Famili Bucerotidae di Indonesia mempunyai banyak nama jenis yaitu

rangkong, enggang, kangkareng, dan julang. Terdapat 13 jenis rangkong di

Indonesia dari 54 jenis rangkong yang ada di dunia (Kinnaird & O’Brien 1997;

Sukmantoro et al. 2007).

2.3.2. Morfologi

Rangkong merupakan burung berukuran besar (MacKinnon et al. 1998).

Ukuran tubuh rangkong terbesar mencapai 50 kali dari besar rangkong yang

terkecil dengan rata-rata ukuran berat badan yaitu dari 83 g (gram) untuk jenis

Tockus hartlaubi betina, sampai 4.191 g untuk jenis Bucorvus leadbeateri jantan

(Kemp 1995).

Paruh dari beberapa rangkong di Asia besarnya tidak proposional jika

dibandingkan dengan ukuran dari kepala rangkong yaitu paruh lebih panjang dan

melengkung ke bawah atau agak lurus, ditambah dengan bagian ekstra di atas

kepala rangkong yang disebut casque (Poonswad 1993; Kinnaird & O’Brien

1997). Pada setiap jenis rangkong perkembangan paruh dan casque merupakan

indikasi dari pertambahan umur dan pengenalan jenis kelamin. Casque akan

membesar mengikuti perkembangan umur yang dapat mencirikan perbedaan jenis

kelamin, usia, dan dominasinya terhadap rangkong lain (King 1975; Jepson &

Ounsted 1997 diacu dalam Kumara 2006). Ukuran paruh dan casque pada

rangkong jantan dewasa lebih besar dibandingkan dengan casque pada betina

dewasa, dan bentuknya lebih memukau seperti pada jenis Buceros rhinoceros

(Kemp 1991; 1995). Selanjutnya dijelaskan bahwa paruh pada rangkong

mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk membawa makanan, berkelahi,

membersihkan bulu dan membuat plester pada sarang.

Rangkong memiliki beraneka ragam warna pada bulu dan warna yang

mencolok pada paruh dan casque. Kemp (1991) mengatakan bahwa pola warna

pada bulu bervariasi yaitu hitam, putih, abu-abu, atau coklat, dengan beberapa

warna tertentu pada jambul yaitu pada Anorrhinus galeritus, atau bulu ekor yang

panjang pada Buceros vigil. Pada kulit rangkong yang terbuka dan area mata

mempunyai warna cerah, yaitu merah, kuning, biru, dan hijau. Namun Poonswad

(1993) mengatakan bahwa warna dasar pada bulu rangkong yaitu hitam, putih

atau abu-abu.

2.3.3. Penyebaran dan Habitat

Rangkong tersebar di Afrika, Asia, dan wilayah Australasian, termasuk di

dalamnya yaitu Indonesia sampai Papua Nugini (Kinnaird & O’Brien 1997;

MacKinnon et al. 1998). Terdapat sembilan jenis rangkong di kawasan Harapan

Rainforest dari sembilan jenis rangkong yang tersebar di Pulau Sumatera

(MacKinnon et al. 1998). Sembilan jenis yang berada di Harapan Rainforest yaitu

Enggang jambul Berenicornis comatus, Enggang klihingan Anorrhinus galeritus,

Julang jambul-hitam Aceros corrugatus, Julang emas Rhyticeros undulatus,

Kangkareng hitam Anthracoceros malayanus, Kangkareng perut-putih

Anthracoceros albirostris, Enggang cula Buceros rhinoceros, Enggang papan

Buceros bicornis dan Rangkong gading Rhinoplax vigil (Zetra 2008). Gambaran

jenis burung rangkong ditampilkan pada Gambar 1. Tabel 1 merupakan daftar dari

tigabelas jenis rangkong yang terdapat di Indonesia.

Tabel 1 Penyebaran dan status IUCN dan CITES 13 Jenis Famili Bucerotidae

yang terdapat di Indonesia (Kusmantoro et al. 2007; Zetra 2008).

No. Nama Ilmiah Nama Inggris Nama Indonesia Daerah

Penyebaran

Status

IUCN CITES UU

1. Berenicornis comatus* White-crowned

Hornbill

Enggang jambul S K NT II AB

2. Anorrhinus galeritus* Bushy-crested

Hornbill

Enggang

klihingan

S K NT II AB

3. Penelopides exarhatus Sulawesi Hornbill Kangkareng

sulawesi

Sl LC II AB

4. Aceros corrugatus* Wrinkled

Hornbill

Julang jambul-

hitam

S K NT II AB

5. Aceros cassidix Knobbed Hornbill Julang sulawesi Sl LC II AB

6. Rhyticeros undulatus* Wreathed

Hornbill

Julang emas S K J LC II AB

7. Rhyticeros plicatus Blyth's Hornbill Julang irian M IJ LC II AB

8. Rhyticeros everitti Sumba Hornbill Julang sumba NT (Sumba) VU II AB

9. Anthracoceros

malayanus*

Black Hornbill Kangkareng

hitam

S K NT II AB

10. Anthracoceros

albirostris*

Oriental Peid

Hornbill

Kangkareng

perut-putih

S K J LC II AB

11. Buceros rhinoceros* Rhinoceros

Hornbill

Enggang cula S K J NT II AB

12. Buceros bicornis* Great Hornbill Enggang papan S NT I AB

13. Rhinoplax vigil* Helmeted

Hornbill

Rangkong gading S K NT I AB

Catatan :

Daerah Penyebaran: S: Sumatera; K: Kalimantan; J:Jawa, Sl: Sulawesi; NT: Nusa Tenggara; M: Maluku; IJ:

Irian Jaya.

Keterangan status :

IUCN; NR: Near Threatened (mendekati terancam); VU: Vulnerable (terancam), LC: Least Concern (kurang

perhatian).

CITES; I (spesies tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan secara Internasional),

II (spesies yang pemanfaatannya perlu pengawasan Internasional, kemungkinan terancam punah).

UU; A (UU No. 5 tahun 1990), B (PP No. 7 tahun 1999).

* Jenis yang ada di Harapan Rainforest.

Penyebaran terkait dengan teritori dan wilayah jelajah. Menurut Kemp

(1991) beberapa rangkong hidup menetap bersama pasangannya (monogamous) di

dalam wilayah teritorinya (pertahanan), dengan luas jangkauan mulai dari 10 ha

sampai 100 km2. Selanjutnya dijelaskan bahwa jenis rangkong yang hidup di

hutan hujan tropis marga (genus) Aceros juga dapat melakukan migrasi

menyeberang laut antar pulau sebagai aktivitas hariannya untuk mencari pakan.

Pada penelitian Noerfahmy (2008) ukuran kelompok Annorhinus galeritus

pada areal penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

(TNBBS), Provinsi Lampung tidak memiliki hubungan dengan daerah jelajahnya,

sebagai contoh yaitu pada suatu kelompok terdapat jumlah dua individu memiliki

luas daerah jelajah 72,27 ha sedangkan kelompok lain terdapat jumlah tujuh

individu memiliki luas daerah jelajah 70,2 ha. Didapat kepadatan empat dari enam

jenis rangkong yang ada di TNBBS yaitu Rhyticeros undulatus 7,24 individu/km2,

Annorhinus galeritus 3,05 individu/km2, Buceros rhinoceros 2,13 individu/km

2,

dan Rhinoplax vigil 2,06 individu/km2

(Anggraini 1999).

Definisi habitat menurut Alikodra (1980) yang diacu dalam Basyar (1998)

yaitu tempat hidup satwa liar yang membentuk satu kesatuan, dapat dipergunakan

untuk mencari makan, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak.

Poonswad (1993) mengatakan bahwa burung adalah satwa yang kegiatannya

sebagian besar bergerak (terbang) dan mempunyai area jelajah yang luas pada

habitatnya, tetapi mempunyai area spesifik (tertentu) untuk bersarang, mencari

makan dan istirahat. Evolusi dari suatu habitat burung dibedakan berdasarkan

struktur morfologi, fungsi perilaku, dan tempat makan dan berlindung.

Seluruh jenis rangkong menempati bermacam-macam habitat mulai dari

padang rumput kering (steppa) sampai hutan hujan tropis (Kemp 1991).

Rangkong Asia hanya mendiami hutan hujan tropis, karena hutan hujan tropis

menyediakan berbagai macam sumberdaya pohon pakan dan tempat bersarang

bagi rangkong (Poonswad 1993). Habitat di Stasiun Penelitian Way Canguk,

TNBBS merupakan tempat bagi keberadaan rangkong, area itu meliputi habitat

hutan primer yang tutupan kanopinya rapat dan hutan transisi yang merupakan

peralihan kerapatan tutupan kanopi dari yang rapat ke renggang, tidak sedang

mengalami gangguan penebangan pohon (Anggraini 1999).

Kangkareng perut-putih termasuk jenis yang adaptif terhadap gangguan

atau aktifitas manusia, sedangkan jenis Enggang cula dan Rangkong gading

menyukai daerah yang jauh dari aktifitas manusia (Kumara 2006). Sedangkan

menurut hasil penelitian Noor (1998) habitat kelompok burung rangkong adalah

hutan alam primer (hutan hujan dataran rendah) yang banyak ditumbuhi pohon-

pohon penghasil pakan bagi rangkong yaitu famili Moraceae.

Madrim (1990) menyatakan bahwa Kangkareng perut-putih di Taman

Wisata dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat menyukai

daerah bertipe vegetasi hutan sekunder tua, dan sisa hutan primer sebagai tempat

mencari makan dan tempat tidur. Selanjutnya, habitat tempat makan Kangkareng

perut-putih didominasi vegetasi tingkat pohon dan pohon penghasil pakan dengan

penutupan tajuk pohon antara 61,30% - 78,75%. Habitat tempat tidur biasanya

didominasi oleh tingkat vegetasi pohon dengan penutupan tahun pohon antara

78,50% - 86,5%, tinggi pohon 20 meter (m) dengan diameter 125 centimeter (cm)

dan banyak percabangan mendatar. Habitat tempat istirahat yaitu di daerah hutan

yang berbatasan dengan daerah terbuka,seperti hutan tanaman, daerah ekoton

antara padang rerumputan dan hutan sekunder tua.

Gambar 1 Famili Bucerotidae (burung rangkong) (MacKinnon et al. 1998).

2.3.4. Perilaku

Perilaku merupakan respon atau ekspresi satwa terhadap semua faktor

yang mempengaruhinya, baik faktor dalam maupun faktor dari luar. Respon satwa

terhadap semua rangsangan yang terlihat dalam bentuk tingkah laku, pada

dasarnya berasal dari dorongan dasar dalam diri satwa untuk tetap bertahan hidup

(Suratmo 1978 diacu dalam Basyar 1998).

Selain melakukan perilaku unik seperti bersarang, perilaku lain yang dapat

diamati yaitu perilaku makan, istirahat, terbang dan bersuara. Berdasarkan

aktivitas harian yang diamati Suryadi (1994) dan Madrim (1999), rangkong

melakukan perilaku bersuara (calling), mencari makan, berjemur, bermain dan

bertengger. Aktivitas harian adalah aktivitas yang dilakukan mulai dari rangkong

bangun sampai siap akan tidur (Madrim 1999).

A. Perilaku Makan

Rangkong merupakan satwa pemakan segala (onmivorous) diantaranya

yaitu pemakan buah (frugivorous) (Kemp 1995; Kinnaird & O’Brien 1997; Klop

1998), dan pemakan serangga (MacKinnon et al. 1998). Kangkareng perut putih

(Anthracoceros coronatus convexus) memakan buah dari jenis Ficus, serangga

yang dimakan yaitu sebangsa laron dan ulat daun jati (Madrim 1990).

Menurut Madrim (1999) perilaku makan adalah aktivitas rangkong mulai

dari mematuk pakan sampai menelan pakan tersebut di pohon pakan. Selanjutnya,

Kangkareng perut-putih mengambil makanan dengan menggunakan paruhnya.

Aktivitas memakan diselingi dengan kegiatan menggosok-gosok paruhnya ke

cabang pohon yang dihinggapi dan bergeser ke bagian pohon lain untuk

melanjutkan makan. Terkadang Kangkareng turun ke tanah untuk mengambil

pakan yang jatuh dan serangga (Madrim 1999).

Penelitian Suryadi (1994) mengatakan bahwa aktivitas mencari makan

adalah sebagai aktivitas terbang atau lompat dari cabang ke cabang lain dalam

individu pohon yang sama untuk mendekati letak buah. Selanjutnya dijelaskan

dari hasil penelitian bahwa aktivitas makan rangkong berbeda pada pagi, siang

dan sore hari. Aktivitas perpindahan rangkong terjadi jika terdapat sejumlah

rangkong datang atau meninggalkan pohon pakan. Pada Rangkong sulawesi

presentase aktivitas perpindahan tertinggi terjadi pada pagi hari saat aktivitas

makan rangkong terendah (Suryadi 1994).

Selain dapat dilihat atraksi rangkong dengan perilaku makan langsung di

pohon, dapat juga dlihat pada saat memberikan makan ke sarang. jenis pakan

dapat diketahui dari buah yang jatuh pada saat proses pemberian makan.

B. Perilaku Istirahat, Terbang dan Bersuara

Perilaku istirahat meliputi membersihkan bulu, berjemur, bermain dan

calling, aktivitas yang kurang membutuhkan energi (Suryadi 1994). Didapat hasil

penelitian Suryadi (1994) bahwa persentase aktivitas istirahat terendah terjadi

pada saat aktivitas makan meningkat. Menurut Madrim (1999) suara yang

dikeluarkan rangkong menandai dimulai atau berakhirnya aktivitas harian

Kangkareng. Madrim (1999) kegiatan berjemur dilakukan pada pagi hari antara

pukul 06:00 – 09:30 WIB pada bagian tajuk pohon teratas dan terluar. Selanjutnya

pada pukul 15:00 – 16:30 WIB Kangkareng akan kembali beristirahat ke tempat

tersebut.

Burung rangkong dapat dikenali dari suara kepakan sayap pada saat

terbang. Suara yang ditimbulkan dari kepakan sayap langsung dapat dikenali

(Kinnaird & O’Brien 1997).

Semua jenis rangkong mempunyai suara yang keras dan terdengan sampai

lebih dari satu kilometer (Kinnaird & O’Brien 1997). Dijelaskan dalam penelitian

Noerfahmy (2008), kelompok Enggang klihingan (Annorhinus galeritus) di

TNBBS sering melakukan aktivitas calling. Selanjutnya dijelaskan bahwa calling

dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Aktivitas ini dilakukan oleh setiap

kelompok untuk menandakan keberadaan individu atau kelompok pada suatu

lokasi, biasa dilakukan antar individu dalam kelompok atau antar kelompok satu

dengan kelompok lain. Calling berfungsi sebagai hal untuk menunjukkan

dominasi kelompok. Aktivitas calling dilakukan pada pagi hari dan sore hari

menjelang matahari terbenam (Noerfahmy 2008).

Pada saat bersarang aktivitas calling rangkong akan berkurang. Klop

(1998) menyatakan bahwa jantan akan lebih banyak diam, tidak bersuara jika

sudah mendekati sarang, namun jika tidak sedang musim bersarang jantan akan

bersuara keras jika merasa terganggu. Pada anakan Tarictic, suara yang

dikeluarkan akan lebih keras dibandingkan dengan Tarictic dewasa.

C. Perilaku Bersarang

Sarang merupakan tempat bagi satwa dalam melakukan reproduksi dan

pemeliharaan anak. Perilaku bersarang merupakan suatu kegiatan satwa untuk

menjamin keberhasilan proses pengeraman dan pemeliharaan anak.

Di Malaysia, musim berkembang biak Julang emas dan Enggang papan

pada Januari sampai Mei (Poonswad 1993). Kangkareng perut-putih pada bulan

Pebruari akhir atau awal Maret sampai Mei. Betina Kangkareng hitam mulai

memasuki sarang buatan di Singapura pada bulan Januari dan Desember, dan pada

Julang jambul-hitam bersarang pada bulan Maret (Poonswad 1998). Waktu

bersarang burung rangkong dapat dilihat dari periode berbuah pohon pakan dan

terkadang kelimpahan buah paka, dan musim penghujan (Kinnaird & O’Brien

2007).

Pada sarang famili Bucerotidae betina berada di dalam lubang sarang,

kemudian bersama jantan menutup seluruh lubang dengan lumpur, dan membuat

celah kecil untuk dapat memasukkan pakan yang dibawa oleh jantan di dalam

kerongkongannya kemudian memuntahkannya kepada betina dan anakan (Kemp

1991; Kinnaird & O’Brien 1997). Rangkong dapat menutupi lubangnya dengan

material lumpur, kayu yang sudah lapuk dan kotorannya (Klop 1998). Hasil

penelitian Klop (1998) menyatakan bahwa pada jenis Visayan Tarictic

(Penelopides panini panini) di Area Konservasi Mari-it, Filipina, lubang yang

pernah digunakan untuk bersarang akan digunakan kembali pada

perkembangbiakan selanjutnya.

Pada saat bersarang Klop (1998) menyatakan bahwa jantan Tarictic akan

melakukan terbang secara diam-diam, tidak banyak megepakkan sayap, jika sudah

mendekati sarang agar predator tidak mengetahui keberadaannya. Selanjutnya,

sebelum jantan memberikan makanan kepada betina, jantan akan melakukan

pengintaian di sekitar pohon sarang untuk pengamanan. Fungsi dari menutupi

sarang yaitu untuk melindungi betina dan telur dari predator dan gangguan dari

jenis rangkong lain (Kinnaird & O’Brien 1997).

Burung rangkong yang berukuran kecil biasanya mengerami enam telur

dengan masa inkubasi (incubation period) 25 hari, masa betina muncul dengan

anak yang paling tua berusia 25 hari sampai pada 45 hari total perilaku bersarang.

Pada rangkong yang berukuran besar mengerami dua telur dengan masa inkubasi

45 hari, kemudian meninggalkan anaknya yang berusia 30 hari dengan total 80

hari perilaku bersarang. Total waktu pengurungan pada masa bersarang rangkong

yaitu 4 – 5 bulan. Beberapa jenis rangkong akan melakukan pergantian bulu

(molting) pada masa awal bersarang (mengerami telur) kemudian akan tumbuh

kembali pada saat keluar dari sarang.

Poonswad (1993) menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses

bersarang pada rangkong selama 120 – 140 hari, rerata lama waktu bersarang pada

Enggang papan dan Julang emas yaitu sekitar 120 hari, berikut merupakan

tahapan dari proses bersarang pada rangkong yaitu :

1. Tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan ditunjukkan dengan usaha

menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung,

antara 1 – 3 minggu.

2. Tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur

pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk

mengeluarkan telurnya (Kemp 1995).

3. Tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur

pertama menetas, selama enam minggu, sementara pada Kangkareng perut

putih selama empat minggu.

4. Tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lubang sarang

ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang,

selama 8 – 13 minggu.

5. Tahap fledging yaitu masa dari pemecahan plester sampai semua anak keluar,

memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak

lebih dari satu.

Perilaku bersarang pada rangkong merupakan perilaku yang tidak biasa

dilakukan pada kelas burung, inilah yang menjadikan rangkong menjadi burung

yang istimewa. Pada saat bersarang rangkong betina terkurung di dalam lubang

pohon yang ditutupi dengan lumpur, hanya terdapat lubang kecil yang berfungsi

untuk memasukkan makanan yang diberikan oleh rangkong jantan. Bila telur

menetas rangkong betina keluar dengan membuka penutup sarang kemudian

menutupnya kembali sampai anak siap keluar dari sarang (MacKinnon et al.

1998).

Musim bersarang rangkong akan berbeda di setiap lokasi. Beberapa

rangkong dari beberapa lokasi biasanya bersarang/berbiak pada bulan januari dan

may. Menurut Margawati (1982) yang diacu dalam Kumara (2006) musim hujan

merupakan suatu pendorong untuk terjadinya perkembangbiakan pada rangkong

karena waktu tersebut terdapat tanah basah yang berguna untuk membangun

dinding pada sarang dan pada waktu telur menetas banyak ditemukan binatang

kecil dan serangga melimpah sebagai salah satu sumber makanannya. Bulan

Oktober – Desember masuk kedalam musim hujan. Kumara (2006) menyatakan

bahwa musin kawin burung keluarga rangkong bervariasi antar jenis satu dengan

yang lain, dimulai dari bulan Januari – Desember.

2.3.5. Karakteristik Tempat Bersarang

Semua rangkong merupakan burung yang bersarang di dalam lubang

pohon atau di celah permukaan tebing yang berlubang dengan merubah sedikit

(atau bahkan tidak) pada bagian dalamnya, seperti yang dilakukan kerabat

dekatnya yaitu marga Upupiformes dan marga Trogoniformes (Kemp 1995; Klop

1998). Rangkong tidak membuat lubang pada pohon, mereka akan menempati

lubang yang sudah ada, sarang yang dipakai oleh rangkong untuk bersarang

adalah lubang hasil buatan burung pelatuk atau jenis burung lainnya (Poonswad

1993).

Berdasarkan hasil penelitian dari 69 lubang sarang di Khao Yai National

Park, Thailand (Poonswad 1993), pohon yang paling banyak dipakai rangkong

untuk bersarang yaitu Dipterocarpus dan Eugenia. Bentuk dan ukuran masuk

pada sarang sangat penting, pada beberapa rangkong menggunakan lubang yang

berbentuk oval, bulat atau memanjang seperti pada rangkong papan (Buceros

bicornis) memilih lubang yang bentuknya memanjang, sedangkan pada julang

emas (Aceros undulatus) ukuran lubang masuknya lebih kecil (Poonswad 1993).

Berdasarkan hasil penelitian Puryanto (1996) didapatkan bahwa

karakteristik tempat bersarang burung Julang (Rhyticeros undulatus) di Resort

KSDA Glenmore, Tumpang Pitu, dan Sukamade Banyuwangi, Jawa Timur yaitu

jumlah dan penyebaran sarang dipengaruhi keadaan sekitar pohon sarang.

Selanjutnya beberapa parameter yang mempengaruhi pemilihan tempat bersarang

rangkong adalah keadaan sekitar pohon sarang, diameter pohon, tinggi bebas

cabang pohon, kelerengan tapak pohon, jarak pohon sarang dengan pohon lain

dan pohon buah, luas tajuk pohon sarang, dan letak sarang dari permukaan tanah.

Sedangkan parameter yang kurang mempengaruhi pemilihan tempat bersarang

burung julang adalah arah lubang sarang, tinggi total pohon sarang, letak sarang

pada salah satu bagian pohon, dan tinggi tapak pohon dari permukaan laut.

Karakteristik tempat bersarang burung julang dicirikan oleh pohon berdiameter

besar (lebih dari 60 cm), tinggi (lebih dari 20 m), bertajuk sempit, terletak pada

tapak yang curam. Sarang terletak lebih dari 3,9 m dari permukaan tanah.