hutan adat sebagai aset terakhir rakyat · asi dimana negara dan daerah memiliki sumber daya alam...

4
HUTAN ADAT SEBAGAI ASET TERAKHIR RAKYAT USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN Oleh: Rezki Mulyadi Itulah kira-kira bentuk dari sebuah kutukan sumber daya, atau dengan istilah lain dikenal sebagai para- doks keberlimpahan. Ini menggambarkan suatu situ- asi dimana negara dan daerah memiliki sumber daya alam yang kaya (tambang, minyak, hutan, kebun, peri- kanan), namun ironisnya kondisi ekonomi cenderung tidak berkembang. Kemiskinan tinggi, kesenjangan pendapatan melebar dan tingkat pendidikan rendah. Bahkan hak-hak rakyat atas sumberdaya alamnya yang dikuasai dan dikelola secara tradisional mulai terancam oleh aktivitas usaha ekstraktif baik oleh pe- rusahaan dari luar maupun dari masyarakat sendiri. Tak ayal, konflik antara pengusaha dan masyarakat baik karena memerebutkan lahan ataupun karena kerusakan sumber daya alam yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi nyaris berlangsung setiap tahun. Tidak jarang dalam konflik ini menimbulkan kor - ban jiwa dan harta yang besar. Sementara konflik- nya sendiri tidak dapat diselesaikan. Salah satu kasus konflik antara pengusaha dan masyarakat terjadi da- lam pengelolaan Hutan Menggamat, di Mukim Meng- gamat Kabupaten Aceh Selatan yang akan dijadikan wilayah tambang. Dalam konflik ini tercatat 256 korban luka baik dari pihak masyarakat maupun perusahaan, puluhan war- ga kehilangan penghasilan karena ditangkap aparat kepolisian. Dua alat berat (beco) perusahaan terba- “Hutan adat sesungguhnya merupakan kekayaan dan sekaligus menjadi sumber daya terakhir. Manakala hutan adat yang terdapat di bumi khatulistiwa hilang atau tergusur karena tereksploitasi oleh aktivitas tambang, perkebunan dan industri maka berakhirlah kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bersumber dari eksistensi hutan adat.” USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Upload: duongtram

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUTAN ADAT SEBAGAI ASET TERAKHIR RAKYAT

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN

Oleh: Rezki Mulyadi

Itulah kira-kira bentuk dari sebuah kutukan sumber daya, atau dengan istilah lain dikenal sebagai para-doks keberlimpahan. Ini menggambarkan suatu situ-asi dimana negara dan daerah memiliki sumber daya alam yang kaya (tambang, minyak, hutan, kebun, peri-kanan), namun ironisnya kondisi ekonomi cenderung tidak berkembang. Kemiskinan tinggi, kesenjangan pendapatan melebar dan tingkat pendidikan rendah. Bahkan hak-hak rakyat atas sumberdaya alamnya yang dikuasai dan dikelola secara tradisional mulai terancam oleh aktivitas usaha ekstraktif baik oleh pe-rusahaan dari luar maupun dari masyarakat sendiri.

Tak ayal, konflik antara pengusaha dan masyarakat baik karena memerebutkan lahan ataupun karena kerusakan sumber daya alam yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi nyaris berlangsung setiap tahun. Tidak jarang dalam konflik ini menimbulkan kor-ban jiwa dan harta yang besar. Sementara konflik- nya sendiri tidak dapat diselesaikan. Salah satu kasus konflik antara pengusaha dan masyarakat terjadi da-lam pengelolaan Hutan Menggamat, di Mukim Meng-gamat Kabupaten Aceh Selatan yang akan dijadikan wilayah tambang.

Dalam konflik ini tercatat 256 korban luka baik dari pihak masyarakat maupun perusahaan, puluhan war-ga kehilangan penghasilan karena ditangkap aparat kepolisian. Dua alat berat (beco) perusahaan terba-

“Hutan adat sesungguhnya merupakan kekayaan dan sekaligus menjadi sumber daya terakhir. Manakala hutan adat yang terdapat di bumi khatulistiwa hilang atau tergusur karena tereksploitasi oleh aktivitas tambang, perkebunan dan industri maka berakhirlah kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bersumber dari eksistensi hutan adat.”

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

kar, serta puluhan hektar tanaman produktif warga rusak. Itulah yang diingat Bintara Yakob ketika me- ngenang usaha masyarakat mempertahankan ka-wasan hutan kemukiman Menggamat dari ren-cana pencaplokan oleh PT. MMU dan PT. PSU yang didukung aparat. “Kami hanya memperjuangkan hutan adat yang sudah menjadi hak masyarakat sejak dulu,” katanya singkat. Hutan adat di Aceh tidak ter-lepas dari perjalanan panjang sejarah di masa sultan/sultanah yang memimpin Aceh yang membuat pera-turan tertulis yang lazim disebut dengan adat meu-kuta alam pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Bintara Yakob adalah seorang imeum mukim di Kemukiman Menggamat. Imeum mukim adalah pe-mangku adat yang ditempatkan di satu wilayah ber-dasarkan hukum adat di Aceh. Imuem mukim dalah representasi adat dan berperan penting dalam as-pek sosial kemasyarakatan untuk menjaga keama- nan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban ma-syarakat, serta menyelesaikan berbagai persoalan sosial melalui lembaga adat. Salah satu alasan diben-tuknya mukim karena kebutuhan skala ekonomis dan beberapa persyaratan administrasi untuk melakukan suatu kegiatan. Pada masa itu wilayah teritorial mukim adalah seluas radius orientasi jangkauan mesjid untuk salat Jumat.

Pengelolaan sumber daya alam diatur melalui adat yang berlaku di suatu wilayah. Aturan adat di mukim menetapkan bahwa tanah hutan tidak dapat dijadikan hak milik individual atau dijadikan harta turun tem-urun, kecuali ada tanaman tua (Multi-Purpose Trees atau MPTS) yang telah ditanam dan diusahakan oleh warga penduduk dengan seizin keuchik serta mukim.

Hutan adat di Aceh diyakini sebagai salah satu di antara sejumlah kekayaan mukim yang memiliki nilai penting dan sangat vital (sumber daya terakhir). Jika keberadaannya hilang atau rusak maka ini dianggap sebagai kematian. Mengingat hutan adalah pengatur

tata air yang akan menjamin ketersediaan suplai air bersih untuk kehidupan, pertanian dan perkebunan. Hutan adalah rumah dari berbagai sumber daya lain-nya seperti hasil hutan bukan kayu (rotan, damar, madu, hewan buruan, dan oksigen) dan masih ba- nyak lainnya.

Hutan Menggamat

Menggamat adalah ibukota Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan. Sebelumnya wilayah ini merupakan bagian dari wilayah Kluet Utara. Dengan lokasinya di kawasan pegunungan menjadikan wilayah menggamat dikenal kaya sumber daya alamnya, baik mineral maupun perairan. Karenanya, ketergantungan dan interaksi masyarakat Menggamat terhadap hutan masih sangat tinggi karena hutan telah menyediakan sumber kehidupan berupa mata air, binatang buru-an, rotan dan damar, sayuran dan lainnya. Masyarakat yang tinggal di sekitarnya sudah sejak lama menyadari bahwa kekayaan sumber daya alam dari hutan adat ini akan semakin terbatas. Sehingga pemanfaatannya pun diatur secara ketat melalui pranata adat.

Kegiatan pertanian dan berkebun menjadi tumpuan warga dalam memenuhi sumber nafkahnya. Namun pendapatan yang diperoleh masyarakat paling utama berasal dari pengolahan nilam yang merupakan ko-moditi andalan di Kemukiman Menggamat. Pada saat krisis moneter tahun 1998, masyarakat disini justru meraup untung dari melambungnya dolar terhadap rupiah. Harga penjualan nilam sempat mencapai Rp. 1,5 juta rupiah per kg. Kemudian terus berfluktua-si dan saat ini menjadi Rp. 600 ribu rupiah per kg. Petani nyaris tak berkuasa atas harga nilam karena pengumpul, tengkulak dan cukong yang lebih banyak menentukan perdagangan nilam.

Kisah sukses petani dengan tanaman nilam hampir tinggal kenangan. Menurut Bintara, masuknya peru-sahaan pertambangan semakin mengancam peng-

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 2

Foto: Bintara Yakob, seorang imeum mukim di Kemukiman Menggamat.

hidupan para petani. Hutan Menggamat yang menja-di benteng penghidupan warga telah dibelah dengan berbagai macam izin yang digenggam pengusaha mu-lai dari izin pertambangan, pemanfaatan hasil hutan dan perkebunan. Terutama sejak kawasan Hutan Menggamat dikabarkan memiliki potensi emas dan bijih besi, muncul beberapa perusahaan yang melaku-kan eksplorasi.

“Sejak tahun 1974, sudah perusahaan patungan Malaysia dan pengusaha Indonesia, yang akan melaku-kan eksplorasi, namun masyarakat tetap bertahan,” kata Bintara.

Setelah itu, muncul kembali beberapa perusahaan nasional dan lokal yang mengusahakan hasil hutan. Misal saja, PT Medan Remaja Timber yang sejak ta-hun 1992 telah mengantongi izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Puluhan ribu hektar direncanakan un-tuk dimanfaatkan. Dimulainya kegiatan HPH inilah yang menjadi titik awal ancaman terhadap kelangsun-gan Hutan Adat Menggamat. Menurut Bintara se-bagai imeum mukim, “PT RMT itu mengantongi izin HPH dan akan mengeruk Hutan Menggamat seluas ribuan hektar”.

Memperjuangkan Status Hutan Melalui Hutan Kemasyarakatan

Hutan di Kemukiman Menggamat cukup luas yaitu 13.129 hektar. Masyarakat telah lama memperjuang-kan status kawasan Hutan Adat Menggamat dapat segera diakui. Masyarakat sadar hutan mukim sangat berperan untuk melindungi sumber mata air dan sangat berkaitan erat dengan penyediaan air (irigasi) untuk kegiatan pertanian sawah yang merupakan sumber penghidupan masyarakat di 13 desa.

Foto: Transportasi sungai Lawe Melang, Kemukiman Menggamat

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3

Upaya mendorong pengakuan dan penetapan sta-tus kawasan menjadi hutan adat terus didorong oleh Bintara sebagai imeum mukim. Didampingi lembaga OIC (Orangutan Information Center), akhirnya mas-yarakat mulai menyadari tentang pentingnya memba-ngun kerja sama (berkelompok) untuk mendorong partisipasi dan tanggung jawab warga mengelola hutan secara berkelanjutan. Termasuk melatih ma- syarakat dalam manajemen organisasi.

Perjuangan masyarakat Menggamat untuk menda- patkan pengakuan atas status hutan adatnya cu- kup panjang. Kemukiman Menggamat sebenarnya telah lama mengurus proses perizinan, mulai dari menyiapkan berkas yang dibutuhkan, dan menyu- sun proses pemetaan partisipatif. “Kami sebenar- nya sudah lama mengusulkan pengakuan atas Hutan Adat Menggamat. Ini mimpi kami (warga Kemukiman Menggamat), agar mendapat izin pengolahan, peman-faatan sekaligus menjaga hutan kami” jelas Bintara. Tanpa kejelasan status – Bintara menambahkan, “hutan Kemukiman Menggamat akan terus terancam dan masyarakat tidak punya lagi hak dan kewenangan untuk mempertahankannya“.

Sebagai tokoh panutan dan tokoh adat di masya- rakat Kemukiman Menggamat, Bintara Yakob terus berjuang terutama dalam membangkitkan kesada-ran masyarakatnya untuk tetap menjaga hutan di Kemukiman Menggamat. Terutama untuk mencegah warganya agar tidak mudah terpengaruh dengan jan-ji perusahaan yang menawarkan keuntungan besar dan sesaat. “Kalau kami menyerahkan hutan adat ini untuk digarap, sama artinya dengan mematikan secara perlahan masa depan anak cucu kami,” katanya.

Hasil perjuangannya tidaklah sia-sia dan mulai mem-buahkan hasil. Diantaranya dengan ditandai kesa- daran masyarakat untuk menjaga hutan. Ini modal

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 4

untuk mendapatkan izin atau pengakuan yang lebih resmi dari pemerintah. “Tanpa kesadaran warga men-jaga hutan adat ini tidak akan ada artinya meskipun ada izin atau pengakuan dari pemerintah. Jadi izin pe-merintah sebenarnya bukanlah utama,” ujar Bintara, diatas perahu kecil menyusuri lengangnya Sungai Lawe Melang memantau kondisi hutan Kemukiman Menggamat.

Langkah baru dan lembaran besar kembali dijaja-ki untuk memperjuangkan Hutan Adat Kemukiman Menggamat. Sebagai langkah awal masyarakat di Desa Lawe Melang dan Koto yang masuk dalam kemukiman mulai membentuk kelompok, menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, melaku-kan pemetaan partisipatif, dan menyusun rencana operasional yang akan melengkapi proses pengusu-lan status Hutan Kemukiman Menggamat masuk da-lam konsep HKm menjadi hutan adat.

Selama ini menurutnya perjuangan masyarakat ha-nya berbuah konflik antara warga, perusahaan, dan aparat. Bintara sebagai imeum mukim sangat ber-harap hal ini bisa segera terealisasi. Saat mencoba mengonfirmasi ke pemerintah, Bintara mengatakan mereka selalu mendapatkan “angin surga” tapi kenya- taannya tidak ada perubahan sama sekali. “Hingga saat ini, kami belum menerima berkas apapun tentang status kawasan hutan kami. Kami terus diberikan janji.”

Jalan yang harus ditempuh masih panjang. Perjuangan belum usai. Ada banyak izin yang harus dilalui. Me-mang sangatlah ironis. Ketika masyarakat berinisiatif dan dengan sumber daya sendiri bermaksud menja-ga dan mengelola hutan, jalan yang harus ditempuh berkelok-kelok seperti naik turun jurang di dalam hutan. Berbeda jika pengusaha yang mengajukan. Bagi Bintara dan warga hal ini bukanlah masalah. Mengingat kearifan lokal yang terpatri dalam buda- yanya telah mengajarkan mereka bahwa menjaga hutan berarti menjaga kehidupan. Hilangnya hutan akan mengaburkan masa depan.

“Kami akan terus mempertahankan hutan kami, sampai kapanpun,” pungkas Bintara Yakob.