multimodal analgesi peri operatif

21
BAB 1 PENDAHULUAN Nyeri tidak hanya sekedar perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman sensorik dan emosional yang bersifat tidak menyenangkan. Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang dalam diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui. Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya. Penanganan nyeri yang sering adalah nyeri paska bedah. Penatalaksanaan nyeri paska bedah yang efektif adalah penting untuk perawatan pasien yang mendapat tindakan pembedahan. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping yang sedikit 1

Upload: azman-pasha-maricar

Post on 03-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

anastesi

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

Nyeri tidak hanya sekedar perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman sensorik dan emosional yang bersifat tidak menyenangkan. Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang dalam diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui. Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.Penanganan nyeri yang sering adalah nyeri paska bedah. Penatalaksanaan nyeri paska bedah yang efektif adalah penting untuk perawatan pasien yang mendapat tindakan pembedahan. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping yang sedikit akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit. Kenyamanan pasien adalah hal yang paling penting sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode paska bedah1. Walaupun sudah ada kemajuan yang berarti di dalam pilihan-pilihan terhadap penilaian dan pengobatan nyeri, namun penanganan nyeri paska bedah yang efektif masih sering menjadi dilema bagi pasien dan dokter. Diperkirakan 70-80% dari pasien setelah pembedahan mengalami nyeri sedang sampai berat, sekalipun mendapatkan obat-obat analgesik.2,3 Pada bulan Juli 2000, The Joint Commission for Accreditation of Health Care Organizations (JCAHO) memperkenalkan sebuah standar baru untuk manajemen nyeri. Komisi ini menyimpulkan bahwa nyeri akut dan kronis adalah penyebab utama ketidakpuasan pasien dalam sistem perawatan kesehatan, menyebabkan waktu pemulihan lebih lambat, menciptakan beban bagi pasien dan keluarga mereka, dan meningkatkan biaya untuk sistem perawatan kesehatan. Meskipun telah tersedia pelayanan terhadap manajemen nyeri akut, kebanyakan pasien tetap mengalami nyeri postoperatif selama dirawat di rumah sakit. Pada beberapa laporan di USA mengatakan bahwa 77 % pasien dewasa yang mengalami tindakan pembedahan tetap mengalami nyeri akut post operatif dan 80 % diantaranya mengalami nyeri sedang hingga yang berat.1 Upaya peningkatan yang bertujuan untuk mengurangi skor nyeri pasca operasi justru telah lebih lanjut meningkatkan risiko efek samping ketika penyedia layanan kesehatan berusaha untuk mencapai efek analgesia yang memadai dengan menggunakan opioid sebagai monoterapi.1 Opioid merupakan terapi utama dari nyeri akut postoperatif nyeri sedang sampai berat, dimana reseptor opioid juga penting dalam proses inflamasi. Meskipun demikian, penggunaan opioid dihubungkan dengan beragam efek samping perioperatif seperti terjadinya depresi ventilasi, sedasi dan drowsiness, postoperative nausea and vomiting (PONV), pruritus, retensi urin, dan konstipasi. Penggunaan intraoperatif dalam dosis bolus yang besar ataupun infus kontinu dapat meningkatkan nyeri akut paska operasi terkait dengan proses eliminasinya yang cepat dan terjadi toleransi akut. 1,2,3 Oleh karena itu, pemilihan pemakaian non-opioid analgesia dikembangkan sebagai adjuvant selama proses perioperatif untuk meminimalisasi efek samping dari medikasi opioid tersebut, dimana teknik ini lebih dikenal dengan multimodal analgesia atau balance analgesia. Konsep multimodal analgesia diperkenalkan di akhir 1990-an sebagai teknik untuk meningkatkan efek analgesia dan mengurangi efek samping akibat penggunaan opioid. Dasar\ pemikiran untuk strategi ini adalah pencapaian analgesia yang cukup melalui efek aditif dan sinergis.1 Mengingat banyaknya efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid sebagai analgetik maka ketertarikan terhadap penggunaan Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) yang poten (seperti diklofenak, ketorolak) menjadi meningkat, yang terbukti efektif menurunkan kebutuhan obat analgetik oral opioid pada bedah rawat jalan. Multimodal Analgesia yang sedang dikembangkan saat ini melibatkan penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik. Penelitian telah menunjukkan bahwa analgetik dengan mekanisme aksi yang berbeda dapat memiliki efek aditif atau sinergis melalui berbagai mekanisme seluler, memungkinkan penggunaan dosis rendah setiap agen daripada digunakan sebagai monoterapi. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan.2

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada digunakan sebagai monoterapi.5,6 Konsepnya adalah dengan menggunakan obat-obat analgetik secara multiple yang memiliki cara kerja yang berbeda-beda (contohnya non-opioid dikombinasikan dengan opioid) atau cara pemberian yang berbeda (contohnya blok anestesi local dikombinasikan dengan analgetik sistemik).5

Gambar 2.1 Perjalanan nyeri dan terapi multimodal analgesia

Penggunaan obat-obatan nonopioid terbatas pada penggunaan untuk nyeri ringan sampai sedang. Sedangkan analgetik narkotika efektif untuk nyeri berat. Terkadang, untuk mencapai efek yang adekuat diperlukan penggunaan dalam dosis besar. Namun penggunaan dosis yang besar diikuti oleh efek samping yang besar pula. Untuk menghindari hal tersebut, dapat digunakan metode polifarmasi atau analgesia balans yang menggunakan lebih dari satu jenis obat yang titik tangkapnya berbeda, sehingga dapat dicapai efek yang adekuat dan efek samping yang minimal dari masing-masing obat karena penggunaan dosis yang lebih kecil.2.2JENIS OBATSecara garis besar, dibagi menjadi 2 jenis yaitu golongan analgesik sistemik dan non sistemik.Analgesik Sistemik a. OpioidOpioid adalah obat yang biasa digunakan sebagai analgesik pada pasien bedah dan merupakan standar emas. Penekananan terhadap sistem pernafasan dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan sering terjadi saat dikombinasikan dengan benzodiazepine Hipotensi setelah pemberian opioid dapat terjadi pada pasien dengan hipovolemia atau pada pasien yang telah menunjukkan kolaps kardiovaskular.Durasi analgesik dan toleransi terhadap efek samping dalam bentuk oral membuat pemberian obat secara oral lebih dipilih. Pada pasien dengan kasus akut, pemberian obat diberikan secara intravena dan epidural.1. MorfinMorfin adalah opioid yang paling dikenal dan sering digunakan. Dari segi harga morfin cukup terjangkau dan memiliki efek analgesik yang baik. Morfin memiliki beberapa metabolit aktif yang membutuhkan clearance ginjal dan penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko toksisitas dan efek samping. Selain itu morfin juga berhubungan dengan pelepasan histamine yang menyebabkan terjadinya pruritus.3 Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.3 Kombinasi analgetik opiate dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat yang lain akan menguatkan depresi pernafasan dan berpotensi berbahaya menyebabkan kematian. Morfin dapat menyebabkan dilatasi vena dan arteriol sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.2. FentanilFentanil memiliki onset yang cepat dan durasi yang singkat, menyebabkan dosis intermiten untuk kontrol nyeri berkelanjutan menjadi sebuah problema. Fentanil diberikan kepada mereka yang memiliki alergi terhadap morfin dan tidak menimbulkan pelepasan histamine. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif yang membutuhkan clearance dan aman digunakan pada pasien dengan gagal ginjal. Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.3 Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestesi lokal yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 g/kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 g/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.3. Tramadol Tramadol merupakan analog sintetis kodein, dan memiliki efek analgesik sedang. Obat ini satu-satunya yang bekerja pada dua mekanisme yang berbeda. Salah satu metabolitnya memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor opioid tanpa mempengaruhi reseptor delta dan kappa. Mekanisme kedua adalah inhibisi pengambilan kembali neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Tramadol juga menyebabkan efek samping berupa depresi napas dan sedasi bila diberikan bersamaan dengan opioid lain sebagai terapi nyeri post operasi. Dosis yang diberikan 50 mg single dose, dapat ditambahkan 50 mg dalam selang waktu 30 60 menit. Dosis maksimum pemberian 400 mg per hari. Pada penderita gangguan ginjal dengan clearance creatinin