pemantauan sumber daya hutan indonesia 2015.pdf

37
PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Upload: leduong

Post on 23-Jan-2017

248 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Page 2: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA

Page 3: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

2 Pemantauan SDH

Diterbitkan oleh : Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan,

Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

Penanggung Jawab : Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. (Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

Ketua Tim : Dr. Riva Rovani, S.Hut., M.Agr. (Kasubdit Pemantauan Sumber Daya Hutan)

Tim Penyusun : Triastuti Nugraheni, S.Hut., M.S. (Kepala Seksi Pemantauan Sumber Daya Hutan Tingkat Nasional dan Wilayah)

Ahmad Basyiruddin Usman, S.Si. (Kepala Seksi Pemantauan Sumber Daya Hutan Tingkat Unit Pengelolaan)

Iid Itsna Adkhi, S. Hut.

Endrawati, S. Hut.

Kontributor Data : Staf Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan

Sumber Foto : Muhammad Yazid dan Iid Itsna Adkhi

© Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015

Alamat surat: Gd. Manggala Wanabakti Blok 1 Lt. 7 Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta 10270 [email protected] Telp. (021) 5730335-5730292 Fax. (021) 5730335

Page 4: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 3

Kata pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga penyusunan buku Pemantauan Sumber Daya Hutan telah dapat diselesaikan. Buku ini merupakan penyempurnaan dari edisi sebelumnya dan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kegiatan pemantauan sumber daya hutan di Indonesia yang dilakukan secara periodik oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Pemantauan sumber daya hutan dilakukan secara khusus dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk mendapatkan data penutupan lahan Indonesia secara menyeluruh baik di areal kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan. Pemantauan penutupan lahan seluruh Indonesia telah dilaksanakan secara berkala melalui kegiatan penafsiran citra satelit relosusi sedang. Kegiatan penafsiran citra dilaksanakan oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang tersebar di seluruh Indonesia. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi yang dibutuhkan. Penyusun

Page 5: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf
Page 6: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 5

Daftar Isi Kata pengantar ................... 3

Daftar Isi .............................. 5

Daftar Gambar .................... 5

PENDAHULUAN ................. 7

1. PENUTUPAN LAHAN ..... 9 1.1. Penutupan Lahan Skala Nasional ................................ 13 1.2. Penutupan Lahan Skala Unit Pengelolaan ................... 21

1.2.1. Penutupan lahan terkait Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi ......... 21 1.2.2. Penutupan lahan terkait Taman Nasional dan Kawasan Konservasi ......... 22

1.2.1. Penutupan lahan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan ............................. 22

2. DINAMIKA PERKEMBANGAN HUTAN ........................................... 23 Degradasi hutan ..................... 23 Deforestasi ............................. 23 Reforestasi ............................. 24

3. IDENTIFIKASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN .............................. 26

4. PENGECEKAN LAPANGAN UNTUK MENDUKUNG PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN ................... 31

Daftar Pustaka .................. 32

Daftar Gambar Gambar 1. Skema kegiatan

pemantauan sumber daya hutan pada Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. ...................................8

Gambar 2. Peta penutupan lahan nasional tahun 2014 .......... 13

Gambar 3. Contoh hutan lahan kering primer. .................... 14

Gambar 4. Contoh hutan lahan kering sekunder. ................ 14

Gambar 5. Contoh hutan rawa primer. ............................... 15

Gambar 6. Contoh hutan rawa sekunder. ........................... 15

Gambar 7. Contoh hutan mangrove primer. .............. 15

Gambar 8. Contoh hutan mangrove sekunder. .......... 16

Gambar 9. Contoh hutan tanaman. ........................................... 16

Gambar 10. Contoh perkebunan. ........................................... 16

Gambar 11. Contoh semak belukar. .............................. 17

Gambar 12. Contoh semak belukar rawa. .................................. 17

Page 7: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

6 Pemantauan SDH

Gambar 13. Contoh padang rumput. .............................. 17

Gambar 14. Contoh pertanian lahan kering. ...................... 17

Gambar 15. Contoh pertanian lahan kering bercampur semak. ............................... 18

Gambar 16. Contoh sawah. ....... 18 Gambar 17. Contoh Tambak. .... 18 Gambar 18. Contoh permukiman /

lahan terbangun. ............... 19 Gambar 19. Contoh Transmigrasi.

........................................... 19 Gambar 20. Contoh tanah terbuka.

........................................... 19 Gambar 21. Contoh

pertambangan. .................. 20 Gambar 22. Contoh tubuh air

(danau). ............................. 20 Gambar 23. Contoh rawa. .......... 20 Gambar 24. Contoh bandara. .... 20 Gambar 25. Contoh cuplikan Citra

Landsat 7 ETM+ Band 543

pada areal hutan yang terdegradasi (a), deforestasi (b) dan reforestasi (c). ....... 24

Gambar 26. Grafik perubahan luas penutupan lahan dari periode tahun 1990 hingga tahun 2014 (a), penutupan lahan pada tahun 1990 (b) dan penutupan lahan pada tahun 2014 (c) .............................. 25

Gambar 27. Grafik jumlah titik panas tahunan di Indonesia (sumber Firms NASA). Data hingga November 2015. .... 27

Gambar 28. Perbandingan hasil titik panas (titik hijau), kerapatan titik (garis biru) dan hasil deliniasi kebakaran (garis merah). .................... 29

Gambar 29. Pengambilan data lapangan ............................ 30

Page 8: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 7

PENDAHULUAN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki tanggung jawab untuk mengelola hutan secara lestari dan berkesinambungan. Seluruh sumber daya yang terdapat di dalam hutan dapat terinformasikan secara detail dan berkala. Perubahan kondisi hutan yang sangat dinamis mendorong Kementerian LHK untuk menyiapkan data secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Pemantauan sumber daya hutan diperlukan untuk memberikan informasi kondisi hutan Indonesia secara menyeluruh. Pemantauan sumber daya hutan yang dilakukan oleh Kementerian LHK dalam hal ini Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Dit. IPSDH) adalah pemantauan tutupan lahan seluruh Indonesia. Penutupan lahan dihasilkan dari kegiatan penafsiran data citra satelit secara manual (digitasi on-screen).

Kegiatan pemantauan sumber daya hutan dilaksanakan dengan melibatkan beberapa pihak antara lain Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) yang tersebar di seluruh Indonesia. LAPAN menyediakan data citra satelit seluruh Indonesia dalam kondisi yang sesuai dengan kebutuhan Kementerian LHK (Gambar 1). BIG menyediakan peta dasar yang menjadi acuan dalam penafsiran citra satelit. Kegiatan penafsiran sendiri dilaksanakan oleh BPKH dengan dipandu oleh Dit. IPSDH. Keterlibatan BPKH dalam kegiatan pemantauan sumber daya hutan adalah untuk meningkatkan kualitas data yang dihasilkan. Dengan kemampuan dan pemahaman lapangan maka diharapkan data yang dihasilkan sangat sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Page 9: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

8 Pemantauan SDH

Gambar 1. Skema kegiatan pemantauan sumber daya hutan pada Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan.

Page 10: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 9

1. PENUTUPAN LAHAN Penutupan lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan (UU No.4, 2011). Penutupan lahan dapat pula berarti tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati dan merupakan hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada areal tersebut (SNI 7645, 2010). Data penutupan lahan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan antara lain: - Analisa dinamika

perkembangan hutan (degradasi, deforestasi dan reforestasi).

- Perhitungan cadangan dan emisi karbon.

- Perencanaan dan pengembangan suatu daerah / areal (tata ruang wilayah).

- Pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemegang izin usaha pada kawasan hutan hutan (pemantauan areal penebangan, realisasi

tanam dan pembukaan tambang).

- Pemantauan areal Kawasan konservasi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan dari perambahan, pembalakan liar dan kebakaran lahan dan hutan.

Penafsiran citra satelit untuk menghasilkan peta penutupan lahan dilakukan secara visual. Kegiatan ini dilaksanakan dengan membuat batas setiap kelas penutupan lahan dengan cara mendeliniasi penampakan pada citra satelit yang tersaji di layar komputer (digitasi on-screen) menggunakan perangkat lunak penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG). Penafsiran juga dilaksanakan sesuai kaidah interdependensi, artinya hasil penafsiran penutupan lahan tahun sebelumnya menjadi acuan dalam kegiatan penafsiran periode berjalan. Dengan metode ini penafsiran ulang hanya pada areal yang mengalami perubahan saja. Penafsiran secara visual oleh operator penafsir citra satelit dikerjakan dengan memperhatikan karakteristik objek yang tergambar pada

Page 11: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

10 Pemantauan SDH

citra. Karakter ini biasa disebut unsur interpretasi citra atau unsur diagnostik citra. Hal ini dimanfaatkan untuk mengenali objek-objek yang tergambar pada citra penginderaan jauh. Unsur-unsur interpretasi citra meliputi: x Rona / tone dan warna Rona adalah gradasi kecerahan relatif objek pada citra, sedangkan warna adalah perbedaan gradasi warna objek pada citra. Dalam penafsiran perbedaan rona atau warna pada suatu citra dapat dipergunakan untuk menentukan jenis objek tersebut. Objek yang lebih cerah adalah objek yang memiliki nilai albedo (pantulan energi) yang lebih tinggi pada spektrum tertentu. Rona dan warna ini merupakan elemen dasar dari persepsi manusia secara visual. Sebagai contoh hutan primer dalam tampilan Citra Landsat 8 Band 6, 5 dan 4 pada saluran RGB (Red, Green, Blue) akan kelihatan hijau tua sedangkan belukar akan terlihat hijau muda. Elemen ini harus ada dalam penafsiran karena pengenalan objek paling mudah adalah dengan melihat warnanya dan tingkat gradasi warna tersebut.

x Tekstur / derajat kekasaran Tekstur adalah susunan dan frekuensi variasi rona pada lokasi tertentu pada citra. Tekstur kasar adalah frekuensi rona yang tidak seragam dalam suatu lokasi, sedangkan tekstur halus adalah objek yang ronanya cenderung seragam. Unsur ini merupakan gambaran agregasi (pengelompokan) unit kenampakan yang terlalu kecil untuk dideteksi secara individual, tetapi cukup memberikan struktur kenampakan yang berbeda di atas citra. Sebagai contoh; hutan tanaman, perkebunan dan tanaman yang seragam ukurannya akan memiliki tekstur halus. Hutan alam atau hutan yang tidak memiliki ukuran yang seragam dan species yang sejenis akan memiliki tekstur kasar. x Pola / pattern Pola adalah susunan spasial objek yang dapat dibedakan secara visual. Biasanya berwujud pengulangan rona / warna atau tekstur yang sama yang membentuk pola yang dapat dikenali. Pola dapat menggambarkan tingkat / perbedaan pengaturan spasial dari obyek yang dapat dilihat. Diindikasikan dengan jarak keruangan (spacing) dan

Page 12: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 11

kerapatan. Pola juga menggambarkan bentuk dari suatu hubungan keterkaitan antara / dari obyek yang diamati. Misalnya pola kotak-kotak halus dengan ukuran, warna dan jarak tertentu akan langsung diidentikkan dengan sebuah obyek tertentu (perkebunan, sawah atau tambak). x Ukuran Ukuran dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi atau membedakan obyek. Ukuran absolut objek adalah suatu fungsi skala. Ukuran absolut baru dapat diketahui setelah memperhitungkan skala. Dalam penafsiran, dikarenakan pertimbangan waktu dan kepraktisan, ukuran relatif juga sering dapat dipergunakan untuk mengidentifikasikan objek dengan membandingkannya dengan objek yang lain. Ukuran ini dapat menggambarkan kekontrasan terhadap keadaan sekelilingnya sehingga memudahkan dalam identifikasi obyek. Misalnya kebun memiliki ukuran petak persegi empat yang jauh lebih besar dibandingkan petak-petak sawah meskipun keduanya memiliki derajat kehijauan yang sama pada saat tertentu. Skala merupakan faktor

yang harus dipertimbangkan sebagai hal penting yang mempengaruhi ukuran obyek yang diamati (besar atau kecilnya obyek). Dengan mengetahui skala pada waktu ditampilkan maka akan lebih mudah untuk menduga obyek yang sedang diamati. x Bentuk Bentuk adalah kenampakan secara umum, struktur atau bagan suatu objek. Bentuk suatu objek dapat sangat jelas dan mudah dibedakan, tetapi dapat pula kabur tergantung dari resolusi spasial yang digunakan. Semakin tinggi resolusi spasialnya maka akan semakin mudah untuk melakukan identifikasi bentuknya. Karenanya unsur bentuk ini sangat berkaitan dengan kenampakan spasial dari obyek/area yang diamati. Unsur bentuk ini sering digunakan untuk membedakan kenampakan alami (natural) atau pun buatan (manusia). Objek yang dibuat manusia cenderung memiliki bentuk tertentu sedangkan kenampakan obyek alami seringkali tidak beraturan bentuknya. Sebagai contoh batas hutan alami biasanya mengikuti bentuk bentang lahan yang biasanya

Page 13: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

12 Pemantauan SDH

tidak teratur. Namun untuk hutan tanaman, perkebunan atau hasil kegiatan manusia lainnya cenderung memiliki bentuk tertentu seperti persegi empat. x Bayangan Bayangan membantu pada identifikasi pohon runcing, tajuk sedikit pada lahan terbuka dan semak berukuran tinggi. Pada keadaan hutan rapat bayangan juga dapat memperlihatkan adanya variasi ukuran (tinggi) pohon. Bayangan juga berguna untuk melihat keadaan topografi jika citra yang digunakan belum mengalami koreksi ketinggian (terrain correction). Daerah bergunung akan memperlihatkan bayangan akibat terhalangnya sinar matahari pada puncak gunung. Penafsir juga harus memperhatikan bayangan awan yang seringkali membuat rona tumbuhan bawah tampak lebih gelap sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dengan menduga vegetasi tersebut sebagai hutan primer. x Situs Situs berkaitan dengan keadaan topografis atau geografis sebuah area / obyek. Situs berguna untuk menentukan jenis vegetasi atau sistem lahan pada

obyek yang diamati. Misalnya hutan sagu seringkali terdapat di Papua. Hutan pohon kayu putih atau cengkeh bias ditemui di daerah Maluku. x Asosiasi Asosiasi dapat digunakan untuk menentukan objek dengan memperhitungkan hubungan antara objek-objek yang dikenali. Asosiasi digunakan untuk melihat keterkaitan hubungan keruangan antara obyek-obyek yang diamati. Sebagai contoh perladangan biasanya dekat dengan permukiman, areal terbuka/semak biasanya agak jauh dari permukiman. Namun demikian perlu pula diperhatikan bahwa asosiasi bukan merupakan kepastian yang bersifat mutlak. Misalnya belum tentu jika ditemukan petak-petak berukuran kecil dan berada di dekat pantai ditafsirkan sebagai tambak, namun terkadang sawah juga ditemukan di tepi pantai seperti yang biasa ditemui di daerah Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Page 14: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 13

1.1. Penutupan Lahan Skala Nasional Informasi penutupan lahan skala nasional dihasilkan dari hasil interpretasi citra resolusi sedang. Hampir seluruh informasi diperoleh dari penafsiran data Landsat. Citra satelit landsat dipilih karena merupakan citra satelit yang memiliki resolusi temporal yang cukup pendek / rapat sehingga dapat memberikan informasi yang konsisten dan berkesinambungan dan juga memiliki cakupan data meliputi seluruh Indonesia (217 scene). Penafsiran penutupan lahan menggunakan citra Landsat telah dilaksanakan sejak tahun 2000 hingga sekarang. Dalam periode tahun 2000-2009 penafsiran citra satelit dilaksanakan dengan periode 3

tahunan (2000, 2003, 2006 dan 2009). Namun dengan tersedianya citra Landsat yang tidak berbayar sejak tahun 2009 (Woodcock et.al. 2008), maka pada tahun 2011 penafsiran dapat dilaksanakan secara rutin satu tahunan. Pemahaman lokal tentang lokasi area yang dianalisa sangat dibutuhkan sehingga mampu menghasilkan data yang terpercaya. Hal ini menjadi dasar bahwa kegiatan penafsiran penutupan lahan skala nasional dilaksanakan dengan melibatkan seluruh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan di seluruh Indonesia. Penutupan lahan skala nasional memiliki 22 kelas penutupan lahan dengan 7 kelas penutupan

Gambar 2. Peta penutupan lahan nasional tahun 2014

Page 15: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

14 Pemantauan SDH

hutan dan 15 kelas penutupan bukan hutan. Penetapan standar kelas ini didasarkan pada pemenuhan kepentingan di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara khusus dan institusi-institusi terkait tingkat nasional secara umum. 1) Hutan lahan kering primer

(Hp / 2001) Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan (dataran tinggi dan subalpin) yang belum menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur, hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut.

Gambar 3. Contoh hutan lahan kering primer.

2) Hutan lahan kering sekunder / bekas tebangan (Hs / 2002)

Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebang), termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur, hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut. Daerah berhutan bekas tebas bakar yang ditinggalkan, bekas kebakaran atau yang tumbuh kembali dari bekas tanah terdegradasi juga dimasukkan dalam kelas ini. Bekas tebangan parah bukan areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan savanna, semak belukar atau lahan terbuka.

Gambar 4. Contoh hutan lahan kering sekunder.

Page 16: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 15

3) Hutan rawa primer (Hrp / 2005)

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang belum menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu.

Gambar 5. Contoh hutan rawa primer.

4) Hutan rawa sekunder / bekas tebangan (Hrs / 20051)

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang telah menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar. Bekas tebangan parah jika tidak memperlihatkan tanda genangan (liputan air) digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan bekas genangan atau tergenang digolongkan tubuh air (rawa).

Gambar 6. Contoh hutan rawa sekunder.

5) Hutan mangrove primer (Hmp

/ 2004) Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum menampakkan bekas penebangan. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman.

Gambar 7. Contoh hutan mangrove primer.

6) Hutan mangrove sekunder / bekas tebangan (Hms / 20041)

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang telah memperlihatkan bekas penebangan dengan pola

Page 17: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

16 Pemantauan SDH

alur, bercak, dan genangan atau bekas terbakar. Khusus untuk bekas tebangan yang telah berubah fungsi menjadi tambak/sawah digolongkan menjadi tambak/sawah, sedangkan yang tidak memperlihatkan pola dan masih tergenang digolongkan tubuh air (rawa).

Gambar 8. Contoh hutan mangrove sekunder.

7) Hutan tanaman (Ht / 2006) Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami, termasuk hutan tanaman untuk reboisasi. Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Hutan Tanaman. Catatan: Lokasi hutan tanaman yang didalamnya adalah tanah terbuka dan atau semak-belukar maka didelineasi sesuai dengan kondisi tersebut dan diberi kode sesuai dengan kondisi tersebut misalnya tanah terbuka (2014) dan semak- belukar (2007).

Gambar 9. Contoh hutan tanaman.

8) Perkebunan / Kebun (Pk /

2010) Seluruh kawasan perkebunan, yang sudah ditanami. Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Perkebunan. Perkebunan rakyat yang biasanya berukuran kecil akan sulit diidentifikasikan dari citra maupun peta persebaran, sehingga memerlukan informasi lain, termasuk data lapangan. Catatan: Lokasi perkebunan/kebun yang didalamnya adalah tanah terbuka dan atau semak-belukar maka didelineasi sesuai dengan kondisi tersebut dan diberi kode sesuai dengan kondisi tersebut misalnya tanah terbuka (2014) dan semak- belukar (2007).

Page 18: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 17

Gambar 10. Contoh perkebunan.

9) Semak belukar (B / 2007) Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi bekas/bercak tebangan.

Gambar 11. Contoh semak belukar.

10) Semak belukar rawa (Br / 20071)

Kawasan bekas hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak

menampakkan lagi bekas / bercak tebangan.

Gambar 12. Contoh semak belukar rawa.

11) Savanna / Padang rumput (S / 3000)

Kenampakan non hutan alami berupa padang rumput, kadang-kadang dengan sedikit semak atau pohon. Kenampakan ini merupakan kenampakan alami di sebagian Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan bagian Selatan Papua. Kenampakan ini dapat terjadi pada lahan kering ataupun rawa (rumput rawa).

Gambar 13. Contoh padang rumput.

Page 19: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

18 Pemantauan SDH

12) Pertanian lahan kering (Pt / 20091)

Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang.

Gambar 14. Contoh pertanian lahan kering.

13) Pertanian lahan kering

campur semak / kebun campur (Pc / 20092)

Semua jenis pertanian lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst. Kelas ini juga memasukkan kelas kebun campuran.

Gambar 15. Contoh pertanian lahan kering bercampur semak.

14) Sawah (Sw / 20093) Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Yang perlu diperhatikan oleh penafsir adalah fase rotasi tanam yang terdiri atas fase penggenangan, fase tanaman muda, fase tanaman tua dan fase bera. Kelas ini juga memasukkan sawah musiman, sawah tadah hujan, sawah irigasi. Khusus untuk sawah musiman di daerah rawa membutuhkan informasi tambahan dari lapangan.

Gambar 16. Contoh sawah.

15) Tambak (Tm / 20094) Aktivitas perikanan darat (ikan / udang) atau penggaraman yang tampak dengan pola pematang (biasanya) di sekitar pantai.

Page 20: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 19

Gambar 17. Contoh Tambak.

16) Permukiman / Lahan terbangun (Pm / 2012)

Kawasan permukiman, baik perkotaan, perdesaan, industri dll. yang memperlihatkan pola alur rapat.

Gambar 18. Contoh permukiman / lahan terbangun.

17) Transmigrasi (Tr / 20122) Kawasan permukiman transmigrasi beserta pekarangan di sekitarnya. Kawasan pertanian atau perkebunan di sekitarnya yang teridentifikasi jelas sebaiknya dikelaskan menurut pertanian atau perkebunan. Kawasan transmigrasi yang telah berkembang sehingga polanya menjadi kurang teratur

dikelaskan menjadi permukiman perdesaan.

Gambar 19. Contoh Transmigrasi.

18) Lahan terbuka (T / 2014) Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkanik, gosong pasir, pasir pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas kebakaran. Kenampakan lahan terbuka untuk pertambangan dikelaskan pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas pembersihan lahan- land clearing dimasukkan kelas lahan terbuka. Lahan terbuka dalam kerangka rotasi tanam sawah / tambak tetap dikelaskan sawah / tambak.

Page 21: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

20 Pemantauan SDH

Gambar 20. Contoh tanah terbuka.

19) Pertambangan (Tb / 20141) Lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas pertambangan terbuka- open pit (spt.: batubara, timah, tembaga dll.), serta lahan pertambangan tertutup skala besar yang dapat diidentifikasikan dari citra berdasar asosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan limbah penambangan). Lahan pertambangan tertutup skala kecil atau yang tidak teridentifikasi dikelaskan menurut kenampakan permukaannya.

Gambar 21. Contoh pertambangan.

20) Tubuh air (A / 5001) Semua kenampakan perairan, terasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang lamun dll. Kenampakan tambak, sawah dan rawa-rawa telah digolongkan tersendiri.

Gambar 22. Contoh tubuh air (danau).

21) Rawa (Rw / 50011) Kenampakan lahan rawa (basah) yang sudah tidak berhutan.

Gambar 23. Contoh rawa.

22) Bandara / Pelabuhan

(Bdr/Plb / 20121) Kenampakan bandara dan pelabuhan yang berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi tersendiri.

Page 22: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 21

Gambar 24. Contoh bandara.

1.2. Penutupan Lahan Skala Unit Pengelolaan Pemantauan penutupan lahan skala unit pengelolaan dilaksanakan pada areal unit-unit pengelolaan hutan di Indonesia. Unit-unit pengelolaan yang dimaksud meliputi Kesatuan Pengelolaan Hutan, Taman Nasional atau Kawasan Konservasi lainnya dan area-area yang dibebani ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Pemantauan lahan untuk unit pengelolaan memiliki skala yang lebih besar dari pada skala nasional sehingga dapat digunakan sebagai dasar operasional manajemen unit pengelolaan. Sumber data penutupan lahan skala unit pengelolaan berasal dari citra resolusi tinggi seperti SPOT, GEOEYE, Quickbird, IKONOS, Worldview dan sebagainya. Citra-citra tersebut memiliki resolusi spasial yang cukup tinggi sehingga memberikan

informasi yang lebih detail dari pada citra Landsat yang beresolusi sedang. Kelas penutupan lahan pada unit pengelolaan merupakan pendetailan dari kelas penutupan lahan nasional. Pendetailan pada kelas hutan dan kelas semak belukar. Penutupan lahan hutan didetailkan berdasarkan stratifikasi kelas hutan yang meliputi kelas kerapatan dan diameter tajuk. Penutupan lahan semak belukar didetailkan menjadi kelas belukar muda bercampur semak dan kelas belukar tua.

1.2.1. Penutupan lahan terkait Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

Sebagai syarat permohonan dan pengelolaan area hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman (IUPHHK-HA/HT) diwajibkan melakukan pemantauan penutupan lahan dari citra satelit skala 1:100.000 setiap 2 tahun sekali (Permenhut No P.19 dan P.20, 2007). Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya bertugas untuk memverifikasi data penutupan lahan dari hasil

Page 23: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

22 Pemantauan SDH

penafsiran citra satelit yang dilaksanakan oleh pemegang izin tersebut. Peta penutupan lahan ini menunjang penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang akan dikelola oleh pemegang izin usaha.

1.2.2. Penutupan lahan terkait Taman Nasional dan Kawasan Konservasi

Analisa penutupan lahan di Taman Nasional dan Kawasan Konservasi lainnya memiliki beberapa tujuan, antara lain; untuk penentuan zona pengelolaan dalam kawasan tersebut. Zonasi taman nasional didasarkan pada potensi dan kondisi fisik di lapangan sehingga dapat disesuaikan dengan peruntukannya seperti untuk perlindungan, pengelolaan habitat fauna / flora, pariwisata, penelitian dan ilmu pengetahuan (Permenhut P.56, 2006).

1.2.1. Penutupan lahan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan unit manajemen yang memiliki fungsi untuk mengatur pengelolaan kawasan hutan agar terwujud keberlangsungan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial. Kegiatan pengelolaan hutan ini meliputi: penataan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, perlindungan hutan dan pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang izin usaha pengelolaan hasil hutan. Data penutupan lahan menunjang keseluruhan kegiatan KPH. Pembentukan KPH membutuhkan data kondisi fisik dan potensi sebuah lahan untuk dapat merencanakan pengelolaan ke depannya. Dalam tugas pengawasan, KPH menggunakan data penutupan lahan untuk analisa kemungkinan terjadinya pembalakan liar ataupun pembakaran hutan dan lahan.

Page 24: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 23

2. DINAMIKA PERKEMBANGAN HUTAN Perkembangan hutan Indonesia sangat dinamis dari waktu ke waktu. Hutan di Indonesia memiliki struktur tegakan yang sangat komplek. Bahkan hampir setiap pulau memiliki karakteristik yang beraneka ragam. Perbedaan struktur tegakan ini dapat disebabkan oleh perkembangan alami pada suatu penutupan lahan ataupun karena campur tangan manusia seperti aktifitas perambahan, kebakaran dsb. Pemantauan dinamika perkembangan hutan dititik-beratkan pada perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder (degradasi hutan), perubahan dari hutan menjadi bukan hutan (deforestasi) dan penambahan luas hutan (reforestasi). Perubahan-perubahan ini dapat dianalisa dari data penutupan lahan.

Degradasi hutan Degradasi hutan adalah seluruh perubahan hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan hutan tanaman, atau dalam arti lain dapat dikatakan sebagai penurunan kualitas hutan. Degradasi hutan banyak terjadi di areal hutan primer yang dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

pada Hutan Alam (IUPHHK-HA). Aktivitas pembukaan hutan dan pemanenan tegakan menyebabkan penurunan kualitas penutupan hutan dari primer menjadi sekunder. Kemunculan jaringan jalan pada penutupan lahan hutan juga dapat menjadi indikasi hutan yang terdegradasi (Gambar 25a).

Deforestasi Deforestasi merupakan proses berubahnya tutupan lahan berhutan menjadi bukan hutan. Perubahan dapat disebabkan oleh konversi lahan berupa aktivitas land clearing maupun bencana seperti tanah longsor dan kebakaran. Deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi pada periode tahun 1996-2000. Pada periode ini kondisi politik dan sosial masyarakat indonesia sedang bergejolak. Hal ini memicu terjadinya pembalakan liar besar-besaran. Selain itu kebakaran hutan besar yang terjadi pada tahun 1997-1998 juga menambah angka deforestasi Indonesia pada periode tersebut.

Page 25: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

24 Pemantauan SDH

Reforestasi Reforestasi atau penghutanan kembali sering menjadi pokok permasalahan yang terlupakan. Penghutan kembali dapat berupa kembalinya hutan alam karena pertumbuhan alami atau perubahan karena pertambahan hutan tanaman, reboisasi di lahan kritis atau lahan tidak produktif lainnya dan reklamasi bekas pertambangan. Upaya penghutanan kembali lahan di Indonesia dilakukan dalam berbagai cara. Pengelolaan hutan pada lokasi yang memiliki izin pemanfaatan

hasil hutan dilaksanakan dengan memilih system silvikultur yang tepat pada lahan tersebut. Upaya ini dimaksudkan agar pada lahan bekas tebangan dapat menjadi berhutan kembali dalam jangka waktu yang diharapkan. Pembangunan Hutan Tanaman Indonesia sebagai salah satu upaya peningkatan jumlah hutan difokuskan pada lahan yang memiliki penutupan lahan semak belukar dan lahan non hutan lainnya. Hal ini tentunya akan menambah jumlah lahan berhutan di Indonesia.

2000

2013

(a) (b) (c) Gambar 25. Contoh cuplikan Citra Landsat 7 ETM+ Band 543 pada areal hutan yang terdegradasi (a), deforestasi (b) dan reforestasi (c).

Page 26: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 25

Gambar 26. Grafik perubahan luas penutupan lahan dari periode tahun 1990 hingga tahun 2014 (a), penutupan lahan pada tahun 1990 (b) dan penutupan lahan pada tahun 2014 (c)

020406080

100120140160180200

1990 1996 2000 2003 2006 2009 2011 2012 2013 2014

Lu

as A

real

(jt

ha)

Tahun

H Primer H Sekunder Non Hutan Perairan(a)

(b)

(c)

Page 27: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

26 Pemantauan SDH

Page 28: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 27

3. IDENTIFIKASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN

Pada pertengahan tahun 2015 Indonesia menghadapi kemarau panjang yang diakibatkan oleh pengaruh El Nino pada samudera Pasifik. Kekeringan yang cukup lama ini menyebabkan kebakaran lahan dan hutan terutama di lahan gambut menjadi tidak terkendali. Sumatera, Kalimantan dan Papua memiliki jumlah titik panas terbanyak dan areal terbakar yang luas. Kebakaran ini bahkan menyebabkan munculnya penutupan kabut asap di sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan selama berbulan-bulan.

Kebakaran lahan dan hutan dalam skala besar sudah menjadi siklus beberapa tahun sebelumnya. Kebakaran besar juga pernah terjadi pada tahun 1982-1983, 1991,1994 dan 1997-1998, 2006, dan kembali kebakaran lahan dan hutan terjadi pada tahun 2015. Kejadian-kejadian ini ditunjukkan dengan adanya jumlah titik panas yang cukup besar pada saat adanya kebakaran (Gambar 27).Akibat kebakaran lahan dan hutan tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat utamanya kesehatan, ekonomi

Gambar 27. Grafik jumlah titik panas tahunan di Indonesia (sumber Firms NASA). Data hingga November 2015.

Page 29: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

28 Pemantauan SDH

dan sosial masyarakat secara nasional namun juga telah mempengaruhi kualitas udara di negara tetangga. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya serius untuk menanggulanginya dengan menganalisa penyebab kebakaran hutan dan lahan. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan adalah dengan mengidentifikasi areal kebakaran lahan dan hutan. Analisa areal terbakar ini juga akan mendukung penilaian kerusakan ekosistem dan penanganan lanjutan area bekas terbakar. Tahap identifikasi areal kebakaran lahan dan hutan 1) Pengumpulan data titik panas

pada periode waktu tertentu. Pengumpulan data titik panas diperoleh dari web NASA (https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov) yang merupakan data olahan dari citra MODIS Terra / Aqua. Data titik panas yang dikumpulkan berdasarkan periode pengamatan tertentu dapat berupa harian, mingguan, bulanan maupun tahunan.

2) Estimasi areal kebakaran dengan analisa kerapatan titik panas (point density analysis).

Analisa kerapatan titik panas sangat mudah dan cepat untuk menentukan indikasi luas areal kebakaran. Areal indikasi terbakar yang memiliki titik panas mengelompok menghasilkan luas areal yang cukup menggambarkan seberapa luas areal terbakar. Bila titik panas menyebar maka kesalahan yang dihasilkan dari analisa kerapatan ini akan menjadi lebih besar lagi. Analisa kerapatan titik panas ini hanya cocok digunakan untuk areal kebakaran pada Pulau Sumatera. Sedangkan pada Pulau Kalimantan, kesalahan yang dihasilkan lebih besar. Karakteristik titik panas di Pulau Kalimantan lebih tersebar daripada di Sumatera hal ini dapat disebabkan pada saat peliputan data Modis banyak areal yang tertutup kabut asap sehingga tidak terdeteksi adanya titik panas.

Page 30: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 29

3) Deliniasi areal kebakaran berdasarkan data citra Landsat terbaru sesuai dengan data titik panas pada periode tertentu.

Citra Landsat dengan resolusi 30 meter mampu menunjukkan areal terbakar secara jelas (Gambar 29). Deliniasi dilaksanakan secara manual agar tidak terpengaruh oleh kesalahan atmosfer pada citra Landsat. Pada areal terbakar sering didapati penutupan kabut asap tipis dan awan sehingga menyulitkan untuk dilaksanakan deliniasi secara otomatis. Untuk mempercepat kegiatan deliniasi areal kebakaran maka

data citra Landsat diunduh dalam format jpeg yang memiliki referensi geospasial. Data ini memiliki ukuran file yang lebih kecil sehingga dapat diunduh secara cepat dan memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan data asli Landsat dengan band natural pada skala penafsiran 1:100.000. 4) Analisa lanjutan dengan

menggunakan data tema kehutanan lainnya.

Analisa dilaksanakan untuk mengetahui dimana saja lokasi kebakaran tersebut. Kebakaran lahan dan hutan dapat terjadi di kawasan hutan yang dibebani izin maupun tidak. Luas areal

Gambar 28. Perbandingan hasil titik panas (titik hijau), kerapatan titik (garis biru) dan hasil deliniasi kebakaran (garis merah).

Page 31: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

30 Pemantauan SDH

kebakaran juga dapat dijadikan dasar penyidikan untuk menangkap tersangka pembakar lahan dan hutan. 5) Verifikasi lapangan. Pengecekan lapangan dilaksanakan untuk menilai keakuratan hasil deliniasi dan kesesuaian hasil areal kebakaran dengan kondisi nyata di lapangan.

Gambar 29. Pengambilan data lapangan

Page 32: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 31

4. PENGECEKAN LAPANGAN UNTUK MENDUKUNG PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN

Pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memverifikasi data penutupan lahan dan areal kebakaran lahan dan hutan. Data hasil pengecekan lapangan juga bertujuan untuk meningkatkan akurasi hasil penafsiran citra satelit. Selain itu kegiatan ini juga akan menambah data dan informasi tambahan dari lapangan yang tidak mungkin diperoleh dari penafsiran citra penginderaan jauh, termasuk perubahan penutupan lahan terkini yang belum terdeteksi oleh citra penginderaan jauh yang dipergunakan. Penentuan lokasi cek lapangan didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti:

x Keterwakilan kelas-kelas penutupan lahan pada area tertentu (cakupan Provinsi).

x Pertimbangan masukan dari pengguna data penutupan lahan tentang kondisi penutupan lahan yang ada di areal tertentu.

x Perbedaan persepsi kondisi penutupan lahan, misalnya perbedaan antara hutan dengan belukar.

x Adanya daerah yang memiliki ciri khas tertentu, misalnya hutan karst dan hutan rawang (kerdil).

x Waktu dan aksessibilitas daerah tersebut.

Page 33: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

32 Pemantauan SDH

Page 34: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 33

Daftar Pustaka Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman

Zonasi Taman Nasional.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.

SNI Nomor 7645 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Penutup Lahan, BSNI: Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial.

Woodcock, C. E. et.al. 2008. Free access to Landsat imagery. Science, Vol. 320, hal. 1011

Page 35: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

34 Pemantauan SDH

Page 36: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

Pemantauan SDH 35

Page 37: PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA 2015.pdf

36 Pemantauan SDH

© Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015

Alamat surat: Gd. Manggala Wanabakti Blok 1 Lt. 7 Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta 10270 [email protected] Telp. (021) 5730335-5730292 Fax. (021) 5730335