potensi hutan mangrove sebagai sumber daya pesisir di jawa barat

31
LATAR BELAKANG Pembangunan kelautan dan perikanan merupakan bagian dari pembangunan secara keseluruhan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Laut Indonesia sendiri sangat luas dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Potensi ini sesungguhnya dapat men- dorong pendapatan rakyat dan negara dalam jumlah besar. Pengembangan potensi kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu elemen kuat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Selain itu sumber daya kelautan kita memiliki peluang pasar yang relatif besar, baik pasar domestik maupun internasional, karena ketersediaan dan kualitasnya yang sangat memadai. . Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan cukup besar yang terdiri atas potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya serta bioteknologi kelautan, terutama di perairan pesisir dan laut. Secara administratif pemerintahan wilayah Jawa Barat mempunyai panjang pantai 816,82 km dan luas perairan wilayah laut sepanjang 16.450 km², terbagi ke dalam 17 kabupaten dan 9 kota dengan potensi sumber daya alam, termasuk potensi sumberdaya perikanan dan 1

Upload: rani-handayani

Post on 25-Nov-2015

402 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

isi

TRANSCRIPT

LATAR BELAKANG

Pembangunan kelautan dan perikanan merupakan bagian dari pembangunan secara keseluruhan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Laut Indonesia sendiri sangat luas dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Potensi ini sesungguhnya dapat mendorong pendapatan rakyat dan negara dalam jumlah besar. Pengembangan potensi kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu elemen kuat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Selain itu sumber daya kelautan kita memiliki peluang pasar yang relatif besar, baik pasar domestik maupun internasional, karena ketersediaan dan kualitasnya yang sangat memadai.. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan cukup besar yang terdiri atas potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya serta bioteknologi kelautan, terutama di perairan pesisir dan laut. Secara administratif pemerintahan wilayah Jawa Barat mempunyai panjang pantai 816,82 km dan luas perairan wilayah laut sepanjang 16.450 km, terbagi ke dalam 17 kabupaten dan 9 kota dengan potensi sumber daya alam, termasuk potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, antara lain, hutan mangrove seluas 33.740,83 ha, terumbu karang 13.224,15 ha, padang lamun 787,8 ha, jumlah pulau 4, taman wisata laut seluas 20 ha, dan cagar alam laut seluas 1.500 ha. Namun sampai saat ini pemanfaatan sumber daya tersebut belum maksimal untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi Jawa Barat ditengarai memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan baik berupa sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti sumber daya perikanan, terumbu karang, mangrove, dan biota lainnya, juga sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti pasir laut, minyak, gas bumi, dan berbagai jenis mineral. Selain itu juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan perikanan dan kelautan seperti wisata bahari, industri maritim, jasa angkutan, penyerapan limbah dan sebagainya. Kondisi perairan laut Jawa Barat sebagaimana umumnya kondisi laut tropis yang selalu menerima cahaya matahari cukup optimal sepanjang tahun, yang memiliki arti penting bagi pertumbuhan jasad renik yang merupakan salah satu penyebab besarnya produktivitas perairan laut tersebut.Mangrove merupakan salah satu potensi sumber daya pesisir terbesar d Jawa Barat yaitu dengan luas sekitar seluas 33.740,83 ha. Potensi mangrove menyebar di Kabupaten Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon Leweung Sancang, Tasik, Sukabumi, dan Pelabuhan Ratu Sayangnya, kondisi dan potensi sumber daya hutan mangrove yang besar ini tidak diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha yang baik. Terbukti dengan masih rendahnya tingkat investasi dan produksi mangrove yang masih jauh dari potensi yang ada. Selain itu sebagai pasar potensial dengan jumlah penduduk Jawa Barat yang cukup besar bahkan terbanyak di Indonesia, seharusnya pada satu sisi akan merupakan potensi yang cukup besar bagi masyrakat jawa barat. Namun dari segi kemampuan dan kesadaran akan arti pentingnya hutan mangrove sangat rendah, sehingga pemafaatan mangrove sendiripun masih rendah. Rendahnya produktivitas usaha mereka antara lain disebabkan oleh rendahnya pendidikan, pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi serta peralatan yang dimiliki. Disamping itu kondisi dukungan permodalan serta manajemen usaha juga masih sangat tidak memadai. Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai koordinator pembangunan di Jawa Barat, berdasarkan pasal 18 UU no 32/2004, berwenang untuk mengelola sumber daya laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Dengan kewenangan tersebut, dengan tujuan untuk dapat mengurangi gap yang terjadi antara potensi, tingkat investasi dan produksi sumber kelautan,

MASALAH

Kondisi dan potensi sumber daya hutan mangrove yang besar tidak diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha yang baik. Terbukti dengan masih rendahnya tingkat investasi dan produksi mangrove yang masih jauh dari potensi yang ada. Kebanyakan masyarakat justru mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal perkebunan, pemukiman, pelabuhan dan industri. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, sehingga kondisi mangrove menjadi rusak

POTENSI MANGROVE DI JAWA BARAT

Secara umum potensi sumberdaya dapat pulih pesisir Jawa Barat terdiri atas tujuh jenis, yaitu hutan mangrove, terumbu karang, budidaya tambak, budidaya laut, wisata bahari, perikanan laut dan konservasi. Luas Hutan Mangrove di Pesisir Utara Jawa Barat memiliki luas yang lebih tinggi dibandingkan Pesisir Selatan Jawa Barat dengan luas pesisir Utara seluas 5.216,31 Ha dan Luas Pesisir Selatan Jawa Barat pada tahun 1999 seluas 3.542, 21 Ha. Pada perkembangannya ditahun 2012 terjadi penurunan yang besar di Pesisir Utara Jawa Barat seluas 1.622,25 Ha atau sebesar 31%, sedangkan pada Pesisir Selatan Jawa Barat penurunan luas mangrove tidak terlalu besar yaitu seluas 275,02 Ha atau sebesar 8%.Perbedaan luasan Hutan mangrove di Pesisir Utara lebih luas dibandingkan Pesisir Selatan Jawa Barat dikarenakan adanya beberapa perbedaan, diantranya karakteristik pesisir dan pantai, jenis tanah, kontur, dan letak geografis. Karakteristik pesisir dan pantai Utara Jawa Barat menghadap Laut Jawa yaitu ditandai oleh paparan landai yang luas dengan alur sungai panjang dan air mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan limpahan air ke pantai berawa sehinggga menyebabkan banyak terdapat endapan lumpur dan memiliki tutupan mangrove yang tebal pada umumnya, serta ketinggian kurang dari 3 M diatas permukaan laut, walupun mangrove yang teridentifikasi keberadaannya berada di lahan pertambakan karena kondisi lahan yang landai ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan kawasan tambak.

Gambar 1. Luas mangrove di Jawa Barat tahun 1999-2013Sumber : Rezha et.al 2013

Pesisir Selatan memiliki karakteristik pesisir dan pantai menghadap kearah Samudera Hindia ditandai oleh tebing perbukitan curam dan terjal dengan gelombang yang kuat dan pantai datar berpasir yang menyelingi pesisir ini. karakteristik ini menyebabkan rendahnya luas hutan mangrove dan jenis mangrove yang dapat bertahan dalam kondisi ini kebanyakan mangrove asosiasi.Persebaran hutan mangrove Jawa Barat tersebar di 36 Kecamatan di 10 Kabupaten di Pesisir Utara dan Pesisir Selatan Jawa Barat.1. Persebaran Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa BaratKabupaten Bekasi memiliki garis pantai 72 kilometer, berada di tiga kecamatan di wilayah utara dan membentang dari perbatasan Jakarta sampai perbatasan Karawang. Berdasarkan pengamatan lapangan dan penelusuran data sekunder, kondisi hutan mangrove yang dulu tebal, kini rusak akibat abrasi dan pengambilan manfaat langsung oleh manusia dan kebijakan yang tidak mendukung terhadap lingkungan. Spesies yang dilindungi seperti lutung jawa (trachypitecusauratus) dan burung Kuntul (Ardeidae) kini menghilang.Ekosistem mangrove di Kabupaten Bekasi terdapat di tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Babelan, Muara Gembong dan Tarumajaya, dengan luas lahan hutan bakau terluas terdapat di Kecamatan Muara Gembong. Di beberapa lokasi hutan bakau tersebut berada pada kondisi yang kritis, baik disebabkan oleh abrasi pantai maupun adanya penebangan pohon bakau oleh masyarakat.Hasil peninjauan lapangan oleh PKSPL-IPB tahun 2000, dari 2.104,535 ha hutan mangrove, yang mengalami abrasi seluas 109,567 ha. Kerusakan hutan mangrove juga disebabkan oleh banyaknya penebangan hutan oleh masyarakat untuk dijadikan lahan empang dan pembuatan rumah musiman oleh nelayan khususnya sepanjang kali Muara Bendera dengan tidak memperhitungkan dampak yang akan muncul.

Gambar 2. Kondisi Mangrove di Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan, dulu terdapat sekitar 15 ribu hektar hutan mangrove yang terdiri dari 10 ribu hektar lahan yang dimiliki PT Perhutani dan sisanya milik masyarakat. Tetapi, sekarang hutan mangrove yang didominasi jenis bakau milik Perhutani tinggal sekitar 10 hektare. Sedangkan hutan mangrove yang dimiliki rakyat juga mengalami kerusakan. Luas keseluruhan hutan yang saat ini tersisa, tercatat hanya sekitar 600 hektare.Adapun fauna yang sebelumnya berasosiasi dengan hutan bakau di pesisir Kabupaten Bekasi, terdapat 32 jenis, sebagian besar burung rawa seperti kuntul. Juga hewan langka dan dilindungi seperti lutung jawa serta berbagai hewan yang mempunyai potensi ekonomi untuk dibudidayakan, antara lain udang dan kepiting bakau.Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove, di antaranya karena faktor alam seperti banjir, juga karena penebangan pohon bakau. Masyarakat di pesisir pada saat awal kerusakan, umumnya memiliki kekhawatiran, jika mangrove tumbuh subur akan membuat masyarakat kehilangan tanah tempat tinggal atau lahan garapan. Selain itu, perilaku masyarakat di tiga wilayah pesisir mengindikasikan ada beberapa pihak yang beralasan, jika membiarkan di pesisir tumbuh hutan mangrove akan mengakibatkan pihak Perhutani mengakui lahan tersebut sehingga mereka tidak dapat lagi tinggal di sana.Sedangkan di wilayah Kabupaten Karawang tersebar di tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang, dengan prosentase tegakan pohon bakau terbesar (>15%) terdapat di Desa Sukakerta dan Sukajaya di Kecamatan Cilamaya, di Desa Sedari di Kecamatan Cibuaya. Jenis bakau yang ada antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia alba, Lumnitzera racemosa, sedangkan vegetasi lainnya adalah Dolichandrone spatacea, Acrostichum aurecum, Acanthus ilicifoleus. Hasil analisis data LANDSAT MSS dan MOS-MSSR melalui penelitian Dimyati (1994) menunjukkan bahwa terdapat penurunan luasan mangrove dari tahun 1984 hingga 1991 akibat konversi menjadi tambak dan lahan lain.

Gambar 3. Mangrove diantara Tambak Masyarakat di Pesisir Kabupaten KarawangHutan mangrove di Kabupaten Subang tersebar di Kecamatan Balanakan dan Legon Kulon dengan spesies mangrove Rhizophora stylosa, Avicennia 5 marina, Soneratia alba, Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera cylindrica, Nypa fruticans, Hibiscus tiliaceus, terminalia cattapa, Exceocaria agallocha dan Achanthus ilicifolius (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang 2007).Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan hutan bakau binaan. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Analisis data LANDSAT-TM Multitemporal tahun 1988, 1990, 1992 dan 1995 menunjukkan bahwa luasan mangrove di kawasan ini dalam periode 1988-1992 mengalami pengurangan luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 menjadi 1.729,9 ha tahun 1990 dan 958,2 ha tahun 1992. Namun antara tahun 1992 dan 1995 terjadi penambahan luasan menjadi 3.074,3 ha. Pengurangan tersebut berhubungan dengan kegiatan konversi lahan termasuk perluasan area pertambakan, sedangkan penambahan luas pada periode akhir menunjukkan keberhasilan penggalakan program perhutanan sosial yang dilakukan melalui tambak tumpangsari.Hasil analisis data LANDSAT tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kerapatan kanopi mangrove selama periode pengamatan mengalami pengurangan (Budiman dan Dewanti, 1998). Upaya pelaksanaan budidaya dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Sebagian hutan bakau dimanfaatkan sebagai daerah wisata pantai seperti di Pondok Bali, Subang.

Gambar 4. Mangrove dengan Sistem Silvofishery di Blanakan, Subang

Area mangrove yang terdapat di Kabupaten Indramayu relatif sedikit. Pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani Kabupaten Indramayu. Daerah yang relatif banyak dijumpai mangrovenya adalah daerah pesisir di Kecamatan Losarang, Kandanghaur dan Sindang Sedangkan di Kecamatan Eretan relatif sedikit, kurangnya pengelolaan oleh masyarakat menyebabkan adanya abrasi pantai.Ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu juga mengalami tekanan ekologis. Kerusakan hutan bakau (mangrove) di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ditengarai kian meluas dari waktu ke waktu. Kondisi itu dimungkinkan akibat terjadinya alih fungsi dari lahan hutan menjadi tambak dan pemukiman, di samping terjadinya perambahan dan penebangan liar.Kabupaten Indramayu yang memiliki garis pantai sepanjang 114 km, kerusakan hutan mangrove yang ada diketahui relatif cukup parah. Wilayah yang mengalami kerusakan hutan mangrove paling parah diantaranya di Kecamatan Juntinyuat, Balongan, Sukra, Krangkeng dan Kecamatan Indramayu. Pemkab Indramayu melalui Kantor Perkebunan dan Kehutanan sejak tahun 2004 lalu, melakukan gerakan rehabilitasi hutan mangrove dengan melakukan penanaman sedikitnya 1,4 juta pohon. Penanaman khususnya dilakukan di wilayah-wilayah yang kondisi hutannya sudah cukup kritis.Upaya penanaman kembali hutan pantai itu akan terus dilakukan sehingga kondisi kerusakan yang terjadi tidak terlalu parah. Penanaman kembali 1,4 juta pohon mangrove yang telah dilakukan di sejumlah wilayah yang kerusakan hutannya cukup parah, selain dapat meningkatkan kualitas sumber daya alam dan lingkungan juga hutan mangrove yang terbentu nantinya akan dapat menjadi pagar hidup dari abrasi. Selain itu proses reboisasi hutan mangrove sebagai wilayah hutan payau sekaligus untuk memulihkan kembali habitat flora dan fauna yang hidup di kawasan tersebut.Penambangan pasir pesisir dan laut untuk reklamasi, serta pembukaan hutan bakau untuk kawasan pertambakan memberikan dampak lingkungan terhadap ekosistem di kawasan pesisir tersebut.Perubahan beach slope (gradien pantai) yang sebelumnya landai menjadi terjal adalah salah satu bukti kawasan pantai mengalami abrasi. Daerah breaker zone (gelombang pecah) yang tadinya jauh dari garis pantai sekarang telah berubah dekat pantai. Hal itu menunjukkan kawasan pesisir Indramayu mengalami perubahan yang destruktif. Terutama pengaruhnya di sekitar kawasan pesisir Dadap, Juntinyuat..Pembuatan struktur pantai seperti tanggul pantai (sea wall), groin (groyne), dan penahan gelombang merupakan salah satu pemecahan masalah bagi problem abrasi pantai Indramayu. Langkah yang dianggap maju dan berwawasan lingkungan seperti penataan kembali ekosistem pantai Indramayu merupakan pemecahan masalah yang cukup tepat dan bijak. Sebagai contoh, penghijauan wilayah pesisir dengan hutan bakau dengan membuat sabuk hijau di sekitar wilayah pertambakan, yang disertai aturan dan sanksi bagi yang tidak mengindahkan lingkungan wilayah pesisir perlu ditegakkan.Pemangkasan hutan mangrove di kawasan pesisir Indramayu dan sekitarnya untuk kepentingan pertambakan ikan merupakan salah satu bentuk intervensi manusia yang menimbulkan perubahan dinamika pesisir memicu terjadinya erosi pesisir di kawasan tersebut. Hasil survei menunjukkan adanya pantai di sekitar kawasan pesisir Dadap, Juntinyuat hingga Tanjung Ujungan mengalami erosi atau pantai mundur antara 1m hingga 10m per tahun.

Gambar 5. Pembibitan Bakau di Pesisir Cemara Kabupaten Indramayu

Area mangrove di Kabupaten Cirebon relatif sedikit karena adanya upaya penebangan oleh nelayan untuk pembuatan tambak. Namun sekarang ini mulai dilakukan penanaman mangrove oleh penduduk setempat di daerah pesisir seperti Kecamatan Babakan. Luas hutan mangrove (bakau) yang masih terdapat di pantai wilayah Babakan sekitar 0,25 ha (NSASD, 1999/2000).

Gambar 6. Mangrove yang Tumbuh di Muara Sungai Bondet, Cirebon

2. Persebaran Hutan Mangrove di Pesisir Selatan Jawa Barat Mangrove di Pesisir Selatan Jawa Barat terdiri dari mangrove sejati dan mangrove asosiasi khususnya pada rawa payau. Hutan Mangrove di Kabupaten Tasikmalaya tersebar di tiga kecamatan, yaitu Cikalong, Karangnunggal dan Cipatujah dengan didominasi oleh spesies Nypa fruticans. Hutan Mangrove di Kabupaten Sukabumi tersebar di empat kecamatan, yaitu Pelabuhan Ratu, Simpenan, Ciemas dan Ciracap. Spesies yang ditemukan Padanus spp, Bambusa spp, Stercoelia foetida, Terminalia catappa, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Sonneratia alba, Avicennia spp, Callophylum inophylum, Nypa frutican dan Baringtonia asiatica (Hartini 2010). Hutan mangrove di Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Cibalong dengan spesies yang ditemukan Rhizophora mucronata, Rhizophora gymnorhiza, Soneratia alba, Aegiceras comoculatum, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus granatum, Ceriops tagal, Acanthus ilicifollus dan Avicennia alba (Rochmah 2001). Spesies mangrove di Kabupaten Cianjur tersebar Nypa frutican di Kecamatan Cidaun. Hutan Mangrove di Kabupaten Ciamis tersebar di enam kecamatan, yaitu Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang. Spesies yang ditemukan yaitu Thespesia vovulnea, Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius, Rhizophora apiculata, Scyphiphora 6 hydrophyllaceae, Acrosticum aureum, Pongmia pinnata, Terminalia cattapa, Padanus tektorius, Cerbera mangas dan Hibiscus spp (Sukmawan 2004).

KONSEP PEMBERDAYAAN HUTAN MANGROVE

Pemberdayaan Hutan Mangrove yang berdasar pada paradigma berkelanjutan, bermakna bahwa hutan mangrove dapat dioptimalkan peranannya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan ekosistem tersebut serta menyediakan kebutuhan generasi mendatang. Dengan demikian pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan harus mencakup empat dimensi sebagai berikut : Ekologis Sosial ekonomi, Budaya Sosial PolitikPemanfaatan harus pula dilakukan secara dinamis dan berkesinambungan dengan mempertimbangkan dimensi diatas. Berbagai aspirasi dari berbagai pihak terkait (Stakeholders) hendaknya dijadikan pertimbangan utama. Berdasarkan pemikiran diatas maka konsep pemberdayaan hutan mangrove sebagai berikut :1. Obyek Wisata (Ekotourisme)Penerapan ekowisata di kawasan hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari.Ekowisata adalah suatu kegiatan wisata yang bertanggung jawab terhadap lingkungan yang umumnya dilakukan pada daerah yang masih alami. Tujuannya, selain unutk menikmasti keindahan alam juga melibatkan unsur-unsur pendidikan, pemahaman serta dukungan terhadap upaya-upaya konservasi alam dan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat (TIES, 2000). Penerapan konsep ekowisata pada kawasan hutan mangrove secara umum diharapkan dapat mengurangi dampak pengerusakan lingkungan kawasan tersebut oleh masyarakat dan berpengaruh pada peningkatan ekonomi. Dengan adanya ekowisata akan memberikan alternatif wisata dan pendapatan bagi masyarakat.2. Wanamina (Sylvofishery)Wanamina (Sylvofishery) adalah pola perpaduan antara kegiatan budidaya perikanan dengan kegiatan dan kepentingan kehutanan dalam suatu wilayah dan waktu yang sama. Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang berusaha mengatasi permasalahan kelestarian hutan mangrove dan kesejahteraan masyarakat.Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur adalah sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah. Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam. Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir.3. Hutan PendidikanPotensi hutan mangrove yang telah tercipta menjadi suatu ekosistem pantai, dapat dimanfaatkan menjadi sarana pendidikan sebagai pusat informasi dan penelitian. Dengan pengelolaan yang profesional dapat memacu keikutsertaan masyarakat dalam usaha pelestarian lingkungan khususnya dipesisir pantai.4. Pertanian Keberadaan hutan mangrove penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang mati. Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram Peranan Ekologis dan Sosial (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan) (Rp 68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000, /liter (Inoue et al., 1999).5. Pemanfaatan Kayu TerbatasPemanfaatan langsung terhadap hutan mangrove berupa kayu adalah merupakan langkah terakhir yang harus diambil. Hal ini dapat berakibat merugikan jika sistem pengawasan lemah dan tak terkendali.Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. Gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999).6. Bahan MakananMasyarakat umum belum begitu mengenal akan potensi hutan mangrove sebagai penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat pesisir khususnya Jawa Barat.Komposisi buah aibon (mangrove) jika dibandingkan dengan singkong, ubi jalar, beras dan sagu, maka komposisi buah aibon lebih menyerupai singkong, dimana kandungan karbohidratnya hampir sama, yaitu 92 %. Hal tersebut didukung oleh potensi sebaran hutan mangrove yang ada di Jawa Barat . Buah aibon memiliki prospek sangat baik untuk dikembangkan menjadi bahan pangan alternatif pengganti beras, terutama bagi masyarakat di sekitar pesisir pantai, juga sebagai penyedia karbohidrat maupun sebagai bahan baku industri. Satu kendala yang dihadapi adalah jika dibandingkan dengan komoditi lain misalnya beras atau ubi, pengolahan buah mangrove cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Akibatnya masyarakat sudah jarang yang memanfaatkan untuk makanan. Masyarakat biak biasa mengolah buah mangrove dari jenis Bruguiera sp dengan cara direbus dengan tujuan untuk memudahkan pengupasan. Setelah dikupas kemudian diiris dan direndam selama lebih dari 10 jam, setelah itu dikeringkan untuk pengawetan untuk dijadikan tepung sebagai bahan dasar membuat kue.Dewasa ini penerapan teknologi dalam pembuatan makanan berbahan dasar buah mangrove sudah mulai dikembangkan. Bahkan ada yang membuat permen berbahan dasar buah mangrove. Hal tersebut dilakukan oleh ibu-ibu nelayan di Balikpapan yang terus berusaha memanfaatkan buah mangrove menjadi makanan yang lebih berguna dan bernilai ekonomi tinggi. Berbagai usaha dan cara dilakukan untuk membuat bauh mangrove menjadi lebih Beberapa jenis buah mangrove yang bisa diolah menjadi bahan pangan diantaranya adalah mangrove jenis Avicennia alba dan Avicennia marina atau yang lebih dikenal masyarakat dengan naman api-api lebih cocok untuk dibuat keripik karena ukurannya kecil seperti kacang kapri dan rasanya gurih serta renyah seperti emping melinjo. Adapun Rhizopora mucronata atau biasa disebut bakau perempuan yang tingggi buahnya sekitar 70 sentimeter serta Rhizopora apiculata (bakau laki) yang tingginya sekitar 40 sentimeter, lebih cocok dibuat sayur asam karena rasanya segar. Sonneratia alba yang biasa disebut pedada yang buahnya seperti granat nanas, lebih cocok untuk dibuat permen karena rasanya asam. Sedang Nypa frutican lebih cocok untuk dibuat kolak.Penemuan pemanfaatan buah-buah mangrove menjadi aneka resep makanan dan minuman adalah hal yang sangat menguntungkan. Dengan sedikit kreasi dan inovasi, mangrove yang dulunya dikatakan sampah dan tak memiliki nilai ekonomis, kini dipandang sebagai tumbuhan yang memiliki nilai jual. Dengan adanya usaha-usaha seperti ini diharapkan masyarakat lebih tergerak untuk turut menjaga hutan mangrove dari kerusakan.

ANALISA PENGEMBANGAN POTENSI HUTAN MANGROVE

Hasil kajian valuasi ekonomi dan konservasi mangrove untuk jangka waktu 10 tahun yang dilakukan oleh TNC (2004) menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan mangrove memberikan manfaat ekonomis sebagai berikut:Manfaat langsung: US$ 295.78 /ha/tahunManfaat tidak langsung: US$ 726.26 /ha/tahunManfaat Pilihan: US$ 15.00 /ha/tahunManfaat Eksistensi US$ 358.46 /ha/tahunManfaat Bersih US$ 1,395,50 /ha/tahun

1. Analisis sumber daya mangrove dan daya dukungnyaJika kita analisis, kemampuan sumber daya mangrove dan daya dukungnya di Jawa Barat masih sangat potensial untuk dikembangkan. dengan adanya berbagai program rehabilitasi mangrove yang sedang di galakkan di beberapa tempat contohnya cirebon, indramayu ,dll tidak menutup kemungkinan hutan mangrove di jawa barat ini bisa dijadikan salah satu aset untuk mengembangkan pembangunan di Jawa BaratTidak diragukan lagi potensi mangrove di Jawa Barat dapat dikembangkan sesuai dengan daya dukungnya. Pemilihan jenis dan skala usaha yang tepat akan menjadikan wilayah ini dapat bersaing secara ekonomi, selain proses revitalisasi ekosistem dan lingkungan yang berjalan secara natural. Untuk wilayah Pansela, sumber daya alam dan daya dukungnya masih sangat besar untuk dikembangkan. Namun demikian pengembangan bisnis kelautannya pun tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip ekologi dan optimisasi ekonomi yang berkelanjutan.

2. Analisis kemampuan sumber daya manusia Sumber daya manusia sebagai salah satu input yang sangat penting, merupakan kapital yang harusnya dapat disiapkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Dalam kondisi seperti sekarang ini, sebagai Propinsi terbesar ke 2 di Indonesia, Jumlah penduduk yang cukup tinggi (39.140.812 jiwa), sampai saat ini masyarakat yang bergerak di sektor ini masih sangat belum cukup banyak. Namun dengan potensi yang ada sebenarnya jumlah penduduk yang bisa dilibatkan dalam bisnis ini masih sangat besar. Namun demikian jumlah saja tidak cukup karena harus dibarengi juga dengan kemampuan sumber daya dalam penguasaan sains dan teknis. Hal ini harus terus ditingkatkan dengan melakukan upaya-upaya perekrutan dan pelatihan dalam sektor ini.

3. Analisa sumber daya dukung lainnyaKemampuan pemberdayaan hutan mangrove di Jawa Barat akan sangat tergantung dari seberapa besar kemampuan sumber daya pendukung yang meliputi pendanaan sektor, permodalan usaha, sains dan teknologi, serta jejaring(networking). Untuk pendanaan sektor yang dapat kita analisis dari sumberpendanaan atau investasi bagi sektor kelautan, yang terdiri dari pendanaanpemerintah yang terdiri dari : Dana pemerintah pusat (APBN), INPRES, Pinjaman dan bantuan Luar Negeri Dana Pemerintah daerah (APBD) Tingkat I dan Tingkat II yang berasal dari PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak serta pinjaman daerah. Serta pendanaan dari masyarakat yang meliputi : Perusahaan swasta dan usaha perikanan kelautan rakyat Perusahaan penanaman Modal Asing (PMA) Perusahaan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN)Secara lebih rinci, program-program pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan bisnis kelautan Jawa Barat pada dasarnya memiliki beberapa alternatif sumber pendanaan baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah sendiri , yaitu terdiri dari ; Anggaran Departemen Kelautan dan perikanan (DKP)Anggaran DKP ini beberapa diantaranya didelegasikan ke daerahdalam bentuk hibah bagi pelaksanaan pengelolaan pesisir dankelautan. Dana Alokasi Khusus (DAK)Dana ini digunakan untuk mendukung program di daerah. Walaupuntidak harus didistribusikan ke daerah, dana ini dapat digunakan untukkebutuhan khusus yang menjadi prioritas nasional, sehingga dapatdigunakan untuk pengembangan bisnis kelautan di daerah PropinsiJawa Barat misalnya. Dana Alokasi UmumMerupakan dana anggaran alokasi umum untuk mendukung pembiayaan pengelolaan pesisir dan kelautan di daerah. Pendapatan Hasil potensi hutan mangrove (Pariwisata)Merupakan hasil berbagai pungutan/retribusi dan lain-lain yang digunakan untuk kepentingan pengelolaan sumber daya hutan mangrove Sumber dana daerah lainnyaBiasanya merupakan PAD yang berasal dari retribusi daerah, BUMDdan sumber lainnya. Pinjaman/hibah Luar negeriPemerintah daerah dapat mendapatkan pinjaman atau hibah dari luar negeri yang diperuntukkan bagi pelaksanaan pengelolaan pesisir dan kelautan, dengan bantuan fasilitasi pemerintah pusat. Seluruh pendanaan yang diuraikan di atas merupakan modal besar bagi pelaksanaan pengembangan bisnis kelautan di Jawa Barat. Hal yang berkaitan dengan pemahaman sains dan teknologi kelautan pada pelaku bisnis kelautan di Jawa Barat boleh dikatakan sebagai jauh dari harapan. Sejauh ini pengembangan teknologi dan sains yang berkaitan dengan bisnis kelautan masih jauh dari harapan, walaupun sebenarnya Jawa Barat ditunjang oleh berbagai institusi akademik sebagai pusat riset, seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjadjaran.Jika dilihat dari sumber daya pendukung bisnis kelautan yang berkaitan kebijakan pemerintah Propinsi Jawa Barat, sebenarnya sudah sangat memadai dan dapat menjadi suatu bentuk pemicu bagi berkembangnya bisnis kelautan sebagai salah satu bisnis unggulan di Jawa Barat.

STRATEGI PENGIMPLEMENTASIAN HUTAN MANGROVE

1. Pemanfaatan ekosistem mangrove harus diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi dan konversi ekosistem mangrove harusdikendalikan sehingga tercapai prinsip no net loss2. Peran ekosistem mangrove dalam perlindungan keanekaragaman hayati, garis pantai dan sumberdaya pesisir sangat penting.3. Pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan sebagai bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS secara keseluruhan.4. Pengelolaan ekosistem mangrove membutuhkan komitmen politik dan dukungan kuat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pihak terkait.5. Koordinasi dan kerjasama antar instansi baik vertikal maupun horizontal, sangat penting untuk menjamin terlaksananya kebijakan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove.6. Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dilaksanakan untuk melestarikan nilai penting ekologi, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.7. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dan kewajiban mengelola ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi local, dan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove.8. Pengembangan riset, Iptek dan sistem informasi diperlukan untuk memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.9. Pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan dukungan para pihak dan masyarakat Internasional.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Hutan mangrove memiliki peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat mendukung untuk pembangunan wilayah pesisir. Luas hutan mangrove di Jawa Barat yaitu seluas 33.740,83 ha namun sebagian kondisinya rusak terutama di pantai utara, namun sebagian lagi dalam kondisi yang baik. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi menjadi sangat penting sebelum dampak kerusakan mangrove meluas. Wilayah Jawa Barat yang memiliki luas hutan mangrove yang luas sehingga berpotensi untuk dijadikan beberapa pemberdayaan seperti objek wisata, wanamina, pariwisata, hutan pendidikan, pertanian, bahan bangunan, dan bahan pangan. Sehingga dapat dijadikan salah satu devisa atau pendapatan bagi masyarakat Jawa BaratUntuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam pengeloalaan dan pemanfaatan hutan mangrove serta menjaga kesinambungan sumber daya tersebut diperlukan suatu perencanaan yang terpadu dan holistik. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk melestarikannya demi kepentingan kita bersama di masa sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang.

1