model valuasi ekonomi sebagai dasar untuk...

76
RINGKASAN DISERTASI MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO Program Studi Geografi oleh DEWI WAHYUNI K. BADERAN NIM : 08/278454/SGE/171 KEPADA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Upload: vannhu

Post on 18-Mar-2019

241 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

RINGKASAN DISERTASI

MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI

WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA

PROVINSI GORONTALO

Program Studi Geografi

oleh DEWI WAHYUNI K. BADERAN

NIM : 08/278454/SGE/171

KEPADA

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2013

Page 2: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

1

MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI

WILAYAH PESISIR KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA

PROVINSI GORONTALO

(RINGKASAN)

I. PENDAHULUAN

Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan

keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada

keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang

lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi (Bappenas,

2007). Perlindungan hutan mangrove merupakan hal yang penting dilakukan

mengingat mangrove memiliki manfaat yang luas ditinjau dari aspek fisik, kimia,

biologi, dan sosial ekonomi.

Ketidak-tahuan akan nilai ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh dua

faktor utama, yaitu : (1) kebanyakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh

ekosistem mangrove tidak diperdagangkan di pasar, sehingga tidak memiliki nilai

yang dapat diamati, dan (2) beberapa dari barang dan jasa tersebut berada jauh

dari ekosistem mangrove sehingga penghargaan terhadap barang dan jasa tersebut

sering dianggap tidak ada kaitannya dengan mangrove (misalnya produktivitas

perairan hasil dari kontribusi mangrove, yang menyebabkan banyaknya ikan,

udang, kepiting, moluska disuatu wilayah perairan pantai yang jauh dari hutan

mangrove seperti di laut Kwandang, Gorontalo)

Di Indonesia, penilaian (valuasi) ekonomi dari nilai ekologi yang

bersumber dari hutan mangrove berdasarkan nilai guna tidak langsung, nilai

pilihan, nilai keberadaan dan nilai warisan sering terabaikan. Penelitian yang

sering dilakukan kebanyakan lebih memfokuskan pada penilaian nilai guna

langsung dari ekosistem hutan mangrove berdasarkan nilai ekonomi dipasaran

diantaranya harga kayu bakar, kayu bangunan, ikan, udang, kepiting, burung dan

sebagainya. Metode untuk penilaian produk dan jasa lingkungan sebenarnya

menawarkan penilaian yang lebih komprehensif terhadap penilaian berbagai

Page 3: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

2

barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove, dimana selanjutnya

hasil penilaian dapat memberikan kontribusi informasi yang lebih mendalam bagi

para pengambilan keputusan.

Tidak diketahuinya nilai pasti dari nilai ekonomi yang bersumber dari nilai

ekologi hutan mangrove mengakibatkan kerusakan atau kehilangan sumberdaya

ini tidak dirasakan sebagai suatu kerugian, sehingga banyak komponen ekologi

dari mangrove menjadi tidak/kurang mendapat perhatian di dalam pengelolaan

lebih lanjut. Oleh sebab itu, kajian tentang penilaian ekonomi sumberdaya

mangrove khususnya untuk nilai ekologi dari pemanfaatan tidak langsung,

pilihan, keberadaan dan warisan, penting untuk sesegera mungkin dilakukan dan

diharapkan dapat memberikan informasi atau penafsiran berapa besar nilai

ekonomi suatu sumberdaya di suatu wilayah pesisir baik dari penilaian

berdasarkan nilai ekonomi secara langsung dan nilai ekologinya, di mana

keberadaan sumberdaya mangrove mempunyai pengaruh besar bagi standar

kehidupan masyarakat, terutama di desa pantai yang sangat menggantungkan

sumber penghasilannya dari sumberdaya ini.

Dalam kaitannya dengan uraian sebelumnya, Provinsi Gorontalo

mempunyai kawasan mangrove yang luas salah satu kawasan mangrove tersebut

berada di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara,

Provinsi Gorontalo. Pulau Sulawesi dipilih menjadi fokus penelitian karena

memiliki kelebihan dari segi biodiversity dan mempunyai keunikan yang berasal

dari variasi jenis yang hidup tidak berdasarkan pola zonasi pada umumnya. Secara

ekologis, wilayah ini dihadapkan pada masalah kerusakan ekosistem setempat

terutama kerusakan hutan mangrove. Luas kawasan hutan mangrove di wilayah

ini sebagian besar telah mengalami penyusutan diakibatkan oleh penebangan liar,

utamanya diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia disekitar hutan yang

melakukan penebangan dan pengambilan kayu mangrove spesies Rhizophora sp

untuk pemenuhan kayu bakar serta kontruksi bangunan. Masyarakat lokal

mengenal nama kayu mangrove dengan istilah Loraro/Wuwa’ata yakni kayu yang

sangat kuat dan tahan lama untuk kontruksi bangunan serta baik untuk dijadikan

Page 4: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

3

kayu bakar. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup

besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan.

Hal yang mengkhawatirkan apabila tidak ada model valuasi ekonomi yang

dapat dijadikan dasar dalam merehabilitasi kerusakan hutan mangrove maka

ekosistem ini akan hilang atau habis. Adanya model valuasi ekonomi terhadap

sumberdaya mangrove, maka dapat dijadikan acuan dalam hal pengaturan alokasi

pemanfaatan hutan mangrove di daerah ini dan diharapkan beberapa tahun

kedepan keberadaan ekosistem ini masih tetap ada.

Model valuasi ekonomi menggambarkan prosedur atau kerangka

konseptual didasarkan pada data spasial, kondisi ekologis dan kerusakan hutan

mangrove, antara lain bentuklahan, penggunaan lahan, kondisi tanah, iklim, jenis

mangrove, struktur vegetasi mangrove, dan zonasi mangrove, penilaian dari segi

ekonomi dan ekologi pemanfaatan mangrove, yang kesemua variabel tersebut

digunakan sebagai dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove.

II. TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Telaah Pustaka

2.1.1 Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam

Menurut Marx (1883, dalam Suparmoko, 2006), selama sumberdaya alam

itu belum dicampuri oleh tenaga manusia, maka sumberdaya alam itu tidak

mempunyai nilai. Sebaliknya, menurut para ahli ekonomi klasik segala sesuatu

yang dapat dijualbelikan pasti mempunyai nilai. Dalam hal ini ”nilai” dibedakan

dengan ”harga”, ”harga” selalu dikaitkan dengan jumlah rupiah yang harus

dibayarkan untuk memperoleh suatu barang, sedangkan nilai suatu barang tidak

selalu dikaitkan dengan jumlah rupiah tetapi termasuk manfaat dari barang

tersebut bagi masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar pemikiran tersebut terjadi

kecenderungan pengambilan berlebihan dan pemborosan sumberdaya. Kemudian

Davis dan Johnson (1987) mengklasifikasikan nilai berdasarkan cara penilaian

atau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang

ditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh

dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial,

Page 5: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

4

yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan

masyarakat. Sedangkan Pearce (1992 dalam Munasinghe, 1993) membuat

klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total

Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh.

Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan

menjumlahkan kehendak untuk membayar (willingness to pay) dari banyak

individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, kehendak

untuk membayar merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang

dipertanyakan. Jadi dengan demikian, valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan

hidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat untuk lingkungan

hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasi

merupakan fundamental untuk pemikiran pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Hal yang sangat penting untuk dimengerti adalah, apa

yang harus dilakukan dalam melaksanakan valuasi ekonomi. Hasil dari valuasi

dinyatakan dalam nilai uang (money tems) sebagai cara dalam mencari preference

revelation, misalnya dengan menanyakan "apakah masyarakat berkehendak untuk

membayar?". Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan nilai uang

memungkinkan membandingkan antara "nilai lingkungan hidup (environmental

values)" dan "nilai pembangunan (development values)" (Cserge, 1994).

Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai

ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut

pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan valuasi ekonomi perlu

diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang

seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnya

adalah apa penyebab terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagai

perangkat melakukan valuasi ekonomi adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-

pilihan (making choices). Pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yang

dihadapkan kepada kita tentang lingkungan hidup adalah lebih kompleks,

dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam konteks barang-barang privat

murni (purely private goods).

Page 6: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

5

Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam

suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus

diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan

alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran.

Nilai ekonomi total ini dapat dipecah-pecah ke dalam suatu himpunan bagian

komponen. Sebagai ilustrasi, misalnya dalam konteks penentuan alternatif

penggunaan lahan dari hutan mangrove. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat

(a benefit-cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem hutan

mangrove dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari pengembangan

ekosistem tersebut lebilh besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini

manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan mangrove

tersebut. Nilai ekonomi total ini juga dapat diinterpretasikan sebagai nilai

ekonomi total dari perubahan kualitas lingkungan hidup.

2.1.2 Ekosistem dan Zonasi Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk

menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh

beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai

kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Hutan

mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara

sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada

pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang

sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas

pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992). Menurut Irwanto (2006,

dalam Katili, 2009), bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks

terdiri dari flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan

air laut, antara batas air pasang surut.

Pengertian hutan mangrove, menurut Alikodra (1998), adalah suatu

formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yang

anaerobik. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai

komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon

Page 7: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

6

mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai

berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di

sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta

dan pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang

memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah

pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak

optimal. Sedangkan menurut Aksornkoae (1993), mangrove juga dapat umbuh

dengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang menyebabkan

kondisi anaerob, hal ini disebabkan mangrove memiliki akar-akar khusus yang

berfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara di permukaan

air secara langsung.

Zonasi hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah, salinitas,

penggenangan, pasang surut, laju pengendapan dan pengikisan serta ketinggian

nisbi darat dan air. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan

dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh bersifat sangat

dinamis disebabkan oleh adanya laju penggendapan atau pengikisan. Daya

adaptasi suatu jenis mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh dapat menentukan

komposisi jenis pada tiap zonasi. Semakin jauh dari laut maka suatu jenis akan

menggantikan jenis lain, dan proses ini dapat terjadi sampai ke daerah peralihan,

yaitu berbatasan dengan komunitas rawa, air tawar dan hutan pedalaman.

2.1.3 Penyebab dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove

Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008)

berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen

RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah

9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi

rusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Data hasil

pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dengan

menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190

scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha

Page 8: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

7

(Hartini, et al., 2010). Kementerian kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkan

data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia

berdasarkan kementerian kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini Et al,

Kerusakan mangrove bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti

aktivitas manusia, pencemaran, sedimentasi, gelombang, pasang surut dan arus.

Aktivitas manusia yang berupa penebangan liar, pembukaan lahan, pembuangan

limbah memberikan pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove. Bersumber

dari keinginan manusia untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi lahan

perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu

meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan meningkatnya

pula eksploitasi berlebihan terhadap mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan

kerusakan hutan mangrove adalah pembukaan lahan-lahan tambak untuk budidaya

ikan. Kegiatan terakhir ini memberikan konstribusi besar dalam pengrusakan

ekosistem ini (Dahuri, 2002).

2010), tetapi hampir 70%nya rusak (belum tau kategori rusaknya seperti apa).

Pembukaan lahan tambak bukan saja menjadi penyebab utama terjadinya

kerusakan mangrove seperti yang di jelaskan oleh Bengen dan Adrianto (1998)

tapi juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti; adanya tekanan penduduk yang

tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi, perencanaan

dan pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya mangrove dimasa lalu bersifat

sangat sektoral, rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi dan fungsi

ekosistem dan kemiskinan masyarakat pesisir yang terdesak oleh kebutuhan

ekonomi, sehingga dengan seenaknya membuka lahan di areal hutan mangrove

untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Demikian pula penebangan liar untuk

tujuan memperoleh kayu sebagai bahan bangunan, kayu bakar dan lainnya.

Mereka masih beranggapan bahwa hutan mangrove adalah milik bersama dan

dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja. Selanjutnya Saparinto (2007)

menyatakan bahwa tingkatan kerusakan mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi

yaitu; (1) rusak berat, ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam satu

wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan

Page 9: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

8

menurunnya kualitas tanah, (2) rusak sedang, ditandai masih tersisa sedikit hutan

mangrove dalam satu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan

intrusi yang terjadi tidak terlalu parah, dan (3) tidak rusak, kondisi mangrove

masih terjaga dengan baik dan lestari.

2.1.4 Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove

Rehabilitasi intinya adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah

mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien

perlu didahului dengan survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk

rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya. Di banyak negara

berbagai upaya telah dilakukan untuk memulihkan habitat bakau yang hancur

dengan program penanaman kembali, atau bahkan menanam bakau di tempat yang

belum diketahui/dikenal sebelumnya. Alasanya sangat beragam. Pada beberapa

kasus, tujuannya adalah untuk melestarikan atau menciptakan kembali sebuah

ekosistem untuk kepentingan sendiri. Yang lebih umum, penanaman kembali

dilakukan karena kesadaran terhadap nilai sumberdaya bakau bagi perikanan atau

aktivitas lain, atau untuk menahan erosi pantai (Hogarth, 1999).

2.1.5 Pemetaan Kerusakan Mangrove

Penginderaan jauh menyediakan satu-satunya cara efisien untuk pemetaan

dan pemantauan perubahan ekologi pada daerah yang luas. Sehubungan dengan

zona ekologis, penginderaan jauh menyediakan sarana untuk mengamati daerah-

daerah pada skala yang global dan lokal. Identifikasi obyek dengan menggunakan

teknologi penginderaan jauh dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antara

lain; karakteristik spektral citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik

Hartono (2003). Pada pengenalan objek melalui citra yang dihasilkan oleh sistem

satelit lebih banyak didasarkan atas karakteristik spektral. Obyek yang berbeda

akan memberikan pantulan spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang sama

dengan kondisi dan kerapatan yang berbeda akan memberikan nilai spektral yang

berbeda (Swain dan Davis, 1978).

Menurut Danoedoro (2009), kajian ekosistem mangrove melalui

pendekatan secara spasial dapat diterapkan dengan menggunakan citra skala besar

Page 10: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

9

atau resolusi spasial tinggi. Melalui pendekatan spasial akan terlihat tekstur

kanopi dan lokasi yang menjadi fokus penelitian. Untuk melihat apakah terdapat

mangrove dan bukan mangrove dapat menggunakan citra resolusi sedang-rendah

yang tercetak pada skala 1:100.000 hingga 1:300.000 dengan asumsi bahwa lebar

satuan pemetaan terkecil adalah 1 mm atau setara 100-300 meter. Meskipun

demikian, pada kenyataannya, lebar 1 zona mangrove bisa kurang dari 15 meter,

dan pada citra tercetak zona ini bisa teridentifikasi dan terpetakan hingga 1mm.

Dengan demikian, skala paling kasar untuk pemetaan detil zona mangrove ialah

1:15.000 (meskipun penggambaran satu zona selebar 1 mm akan kurang akurat)

dan resolusi spasial paling kasar sekitar 2,5-4 m.

Danoedoro (1996) menjelaskan masukan data dapat dilakukan dengan tiga

cara, yaitu: pelarikan atau penyiaman (scanning), digitasi, dan tabulasi.

Komponen manajemen data meliputi semua operasi penyiapan, pengaktifan,

penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan

data. Manipulasi dan analisis data untuk menghasilkan informasi baru. Dengan

beberapa fasilitas, antara lain: interpolasi spasial, tumpangsusun peta (map

crossing, tumpangsusun dengan bantuan matriks atau tabel dua dimensi, dan

kalkukasi peta), pembuatan model dan analisis data. Komponen keluaran yang

berupa informasi spasial baru, dapat berupa peta, tabel atau hasil cetak dan data

tabuler maupun dalam bentuk elektronik.

Selanjutnya dikemukakan pula bahwa SIG mampu menganalisis dan

mengkonversi sekumpulan data spasial menjadi informasi untuk keperluan

tertentu. Kunci kemampuan SIG adalah analisis data untuk menghasilkan

informasi baru. Salah satunya dengan tumpangsusun peta (overlay). SIG

menyediakan fasilitas tumpangsusun secara cepat untuk menghasilkan satuan

pemetaan baru sesuai dengan kriteria yang dibuat (Danoedoro, 1996). Dilihat dari

defenisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang

tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer beserta

dengan perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabila

data geografis dan sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada.

Sebagaimana sistem komputer pada umumnya, SIG hanyalah sebuah ”alat ” yang

Page 11: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

10

mempunyai kemampuan khusus. Kemampuan sumberdaya manusia untuk

memformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalam

keberhasilan SIG.

2.2 Kerangka Teori

Hutan mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang pada kondisi

sekarang telah mengalami kerusakan akibat pemanfaatan dan pengelolaan yang

kurang memperhatikan aspek kelestarian. Ekosistem mangrove yang rusak

membawa dampak diantaranya perubahan luasan, produktivitas ekosistem

mangrove terganggu, dan keanekaragaman spesies mangrove di kawasan ini

semakin habis.

Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di wilayah pesisir Kecamatan

Kwandang selain disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang bermukim di sekitar

kawasan mangrove tersebut, juga diakibatkan oleh percepatan pembangunan di

Kabupaten Gorontalo Utara. Kecamatan Kwandang adalah salah satu Kecamatan

yang merupakan bagian dari wilayah pemekaran di Kabupaten Gorontalo Utara

sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten di bagian utara, Provinsi Gorontalo.

Kegiatan pembangunan di suatu daerah, terutama yang menjadi wilayah

pemekaran, dapat memberikan dampak positif dari pembangunan tersebut, tetapi

sekaligus membawa risiko yang cukup besar terutama pada aspek lingkungan

hidup. Oleh sebab itu, kedua aspek ini perlu diperhitungkan secara seimbang.

Sama halnya dengan membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak udang

dengan tujuan utama guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dari segi

ekonomi, namun tidak bisa dipungkiri pembukaan tambak tersebut justru

memberikan ancaman terbesar terhadap keberadaan ekosistem mangrove yang

notabenenya bisa menyebabkan kerusakan hutan mangrove bahkan sampai

menyebabkan kepunahan spesies tertentu dari biodiversity yang dimiliki hutan

mangrove tersebut.

Kerusakan hutan mangrove membawa akibat pada ketidakmampuan suatu

kawasan dalam mendukung kehidupan sekelilingnya. Hutan mangrove dapat

dicirikan dengan adanya biodiversity tinggi yang mampu memberikan manfaat

Page 12: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

11

terhadap kehidupan. Untuk menentukan sejauh mana tingkat kerusakan hutan

mangrove tersebut harus diketahui distribusi spasial dan luas kerusakan hutan

mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang Provinsi Gorontalo, yang

didahului dengan melakukan pemetaan satuan lahan berdasarkan bentuklahan dan

pola penggunaan lahan melalui tumpang susun (overlay) peta yang memanfaatkan

teknologi sistem informasi geografis. Informasi tentang satuan bentuklahan

(landform) dapat diperoleh melalui intrerpretasi citra multitemporal meliputi

Landsat ETM+ tahun 2000, citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing

Satelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) tahun 2010, dan

uji lapangan, 2010. Hasil dari interpretasi citra ini kemudian dapat dipetakan.

Perubahan luas daerah yang mengalami kerusakan menggunakan citra Landsat

ETM+

Penggunaan lahan di suatu daerah dapat memberikan gambaran tentang

aktivitas masyarakat akan pemanfaatan lahan sehingga dapat digunakan menjadi

indikator cara masyarakat memperlakukan sumberdaya alam. Perubahan

penggunaan lahan yang ada dapat digunakan untuk mengevaluasi bentuk/pola

interaksi manusia, tanah, dan tumbuhan yang ada di lahan tersebut. Penggunaan

lahan tahun 2000 dan tahun 2010 menggunakan Peta RBI 1991 sebagai referensi

pembuatan peta dan hasil interpretasi citra Landsat ETM

tahun 2000 dan citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010, penggunaan perekaman

dua waktu yang berbeda tersebut guna mendapatkan data pasti dan akurat akan

luas kawasan mangrove yang telah rusak.

+ tahun 2000 dan citra

ALOS AVNIR-2. Penggunaan lahan tahun 2000 bersumber dari citra Landsat

ETM+ tahun 2000, dan pengecekan lapangan pada 2010, dan informasi

penggunaan lahan 2010 diperoleh berdasarkan interpretasi Peta RBI skala

1:50.000 tahun 1991, citra ALOS (Advanced Land Observing Satelite) AVNIR-2

(Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2)

Pengambilan data kerusakan hutan mangrove dilakukan secara Stratified

Sampling, yaitu berdasarkan satuan lahan yang menyebabkan kerusakan hutan

tahun 2010, dan

pengecekan lapangan pada 2010. Dalam studi ini pengunaan lahan dibatasi dan

mengacu pada jenis penggunaan lahan tertentu yang berkaitan langsung dengan

faktor penyebab kerusakan hutan mangrove.

Page 13: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

12

mangrove, yang lebih difokuskan pada mangrove yang rusak. Untuk lokasi

sampel dipilih berdasarkan kriteria kondisi mangrove. Penilaian ekonomi

berdasarkan kerusakan ekosistem mangrove. Variabel yang dilibatkan dalam

penelitian ini yakni semua pemanfaatan yang bersumber dari ekosistem hutan

mangrove, baik itu nilai ekonomi dari pemanfaatan secara langsung maupun tidak

langsung. Nilai ekonomi pemanfaatan langsung meliputi kayu untuk kayu bakar

dan bahan bangunan, hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, dan burung,

sementara nilai ekonomi tidak langsung berasal dari fungsi ekologis yakni

penahan intrusi, penahan gelombang dan pengendali banjir, dan sebagai sumber

penyedia pakan. Disamping itu diukur pula nilai pilihan, yakni keanekaragaman

hayati dan penyimpanan karbon, nilai keberadaan spesies langka, satwa

dilindungi, dan perlindungan habitat, dan nilai warisan. Karena keterbatasan biaya

maka variabel lain yang merupakan bagian dari pemanfaatan mangrove tidak

dilakukan diantaranya nilai pendidikan dan penelitian, garam, bahan pengawet,

bahan pewarna jala, dan sebagainya. Selain komponen variabel nilai dari

ekosistem mangrove, variabel yang juga terlibat yakni variabel karakteristik

lingkungan sosial-ekonomi meliputi kependudukan, tingkat pendidikan penduduk,

pendapatan dan pengeluaran; variabel karakteristik ekologis hutan mangrove

meliputi bentuklahan, penggunaan lahan, satuan lahan, kondisi tanah, iklim; dan

variabel karakteristik kerusakan hutan mangrove meliputi alih fungsi hutan

mangrove dan perubahan luas hutan mangrove.

Gambar 2.2 secara ringkas menunjukkan kerangka teori yang dibangun

untuk menjembatani telaah pustaka dengan metode yang dikembangkan dalam

disertasi ini. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk menghasilkan

model valuasi ekonomi memerlukan metode valuasi yang berbeda berdasarkan

tingkat kerusakannya pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kecamatan

Kwandang, sehingga dengan model valuasi ekonomi inilah yang akan digunakan

sebagai dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

Page 14: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

13

Keterangan: = Sumber = Proses

= Hasil Gambar 2.2 Skema pemikiran teoritik kerusakan hutan mangrove di lokasi

penelitian

Ekosistem hutan mangrove

Produktivitas ekosistem terganggu

Kelangsungan ekosistem paling tergantung pada

ekosistem yang terganggu

Valuasi ekonomi Kerusakan hutan mangrove meliputi nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, nilai keberadaan dan

nilai warisan

Informasi tentang luas, lokasi, dan jenis mangrove yang rusak,

serta intensitas kerusakan

Perlu metode valuasi yang berbeda berdasarkan tingkat kerusakannya pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir

Kwandang

Perlu rehabilitasi

Citra penginderaan jauh, peta, dan data lapangan

Asumsi : Keberlangsungan ekosistem

merupakan keberlanjutan ekologis jangka panjang

Model valuasi ekonomi sebagai dasar untuk rehabilitasi

kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Kwandang

Pesisir Kwandang

Keanekaragaman hayati yang

tinggi

Model untuk wilayah mangrove lain di Indonesia

Rekomendasi 1. Menetapkan Perda di bidang kehutanan yang

mengatur status hutan mangrove 2. Semua aspek yang bersentuhan langsung

dengan pemanfaatan mangrove harus memperhitungkan nilai-nilai ekologi

Terjadi kerusakan

Page 15: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

14

III. METODE PENELITIAN

Provinsi Gorontalo mempunyai kawasan mangrove yang luas di pantai

utara Kabupaten Gorontalo Utara, serta di pantai selatan Pohuwato. Kabupaten

Gorontalo Utara dipilih sebagai daerah penelitian karena terdapat hutan mangrove

yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, dan memiliki keunikan pola

zonasi yang berbeda dengan pola zonasi pada umumnya, meski pada saat ini telah

mengalami kerusakan. Lokasi penelitian tersebar di 6(enam) desa yaitu Desa

Bulalo, Desa Dambalo, Desa Leboto, Desa Molinggapoto, Desa Moluo, dan Desa

Mootinelo.

3.1 Bahan, Data dan Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian

3.1.1 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Citra Digital Landsat ETM+

2. Citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satelite/

(Enhanced Thematic Mapper Plus) dengan

resolusi spasial 30m tahun perekaman 2000 yang digunakan untuk membuat

peta penggunaan lahan, peta penutupan vegetasi, dan peta kerusakan

mangrove tahun 2000

Advanced Visible

and Near Infrared Radiometer type-2

3. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, Lembar Kwandang 2216-64 tahun

1991, digunakan sebagai referensi geometrik dan topografis bagi peta

administrasi, peta lokasi sampel, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan

tahun 2000, peta penggunaan lahan tahun 2010, peta penutupan vegetasi tahun

2000, peta penutupan vegetasi tahun 2010, peta satuan lahan dan peta

kerusakan mangrove tahun 2000-2010.

) dengan resolusi spasial 10m tahun

perekaman 2010 digunakan untuk membuat peta bentuklahan, peta

penggunaan lahan, peta penutupan vegetasi, peta kerusakan, peta vegetasi, dan

untuk menghitung karbon.

4. Peta bentuklahan dibuat dengan interpretasi Peta RBI, Peta Administrasi

Kecamatan Kwandang tahun 2010, Peta Geologi Lembar Tilamuta, Citra Alos

AVNIR-2 tahun 2010 digunakan untuk memberikan data dan informasi satuan

Page 16: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

15

bentuklahan, luas dan sebarannya di hutan mangrove wilayah pesisir

Kecamatan Kwandang.

5. Peta penggunaan lahan tahun 2000 dibuat dengan interpretasi Peta RBI, Peta

Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Citra Landsat ETM+

6. Peta penggunaan lahan tahun 2010 dibuat interpretasi Peta RBI, Peta

Administrasi Kecamatan Kwandang tahun 2010, Citra ALOS/AVNIR-2 tahun

2010 digunakan untuk melihat perubahan peruntukkan lahan mangrove akibat

kegiatan masyarakat akan penggunaan lahan mangrove yang telah berubah

peruntukkannya untuk pembuatan tambak, pemukiman, sawah, pelabuhan,

kebun, dan lain sebagainya di tahun 2010.

tahun

2000 digunakan untuk melihat perubahan peruntukkan lahan mangrove akibat

kegiatan masyarakat akan penggunaan lahan mangrove yang telah berubah

peruntukkannya untuk pembuatan tambak, pemukiman, sawah, pelabuhan,

kebun, dan lain sebagainya di tahun 2000.

7. Peta satuan lahan digunakan untuk menunjukkan wilayah mana yang memiliki

kesamaan bentuklahan dan penggunaan lahan pada kondisi sekarang yang

dibuat dengan menumpangsusunkan peta-peta tematik yang telah disusun

meliputi Peta Rupa Bumi, Peta Administrasi Kecamatan Kwandang tahun

2010, Peta bentuklahan tahun 2010, Peta penggunaan lahan tahun 2010, untuk

bahan pertimbangan dalam menentuan satuan-satuan lahan.

3.1.2 Data Sekunder Yang Diperlukan

Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian adalah :

1. Data sekunder terdiri dari data iklim (curah hujan dan jumlah hari hujan per

tahun) selama 6 tahun digunakan untuk menganalisis keadaan iklim pada

daerah penelitian.

2. Data Dalam Angka (DDA) Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2010, dan DDA

Kecamatan Kwandang tahun 2010.

3. Data dan informasi sekumder dari Dinas, Instansi Teknis Pemerintah yang

trekait dengan penelitian ini.

Page 17: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

16

3.1.3 Alat-alat Yang Digunakan Dalam Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Perangkat computer Notebook Tosibha, Intel Core 2 Duo.

2. Software SIG Arc View versi 3.3, ENVI 4.8, extensi xtool, extensi transform

dan registry tool yang digunakan dalam pemrosesan SIG dan pembuatan

tampilan atau layout peta, dan extensi edit tools merupakan ekstensi

tambahan yang digunakan untuk proses editing peta.

3. Program Microsoft Office Excel 2007 untuk membantu dalam perhitungan

yang berkaitan dengan pemetaan, analisis vegetasi, perhitungan karbon, dan

valuasi ekonomi hutan mangrove.

4. Alat tulis menulis sebagai pendukung pekerjaan di lapangan, Lembar ceklis

untuk kerja lapangan, yaitu mencek kondisi lapangan, kuisioner untuk para

nelayan, masyarakat, dan pemangku kepentingan yang berada di sekitar

Kawasan Hutan Mangrove.

5. Alat untuk survey dan pengukuran lapangan meliputi :

a. Global Posistion System (GPS) receiver garmin e-map, untuk

menentukan koordinat lokasi penelitian di lapangan.

b. Bor tanah untuk pengambilan sampel tanah yang akan di lakukan analisa

di laboratorium.

c. Salinometer untuk mengukur salinitas (kadar garam) yang terlarut dalam

air.

d. Kertas lakmus untuk mengukur tingkat keasaman atau kebasahan tanah

dan air.

e. Kamera digital untuk dokumentasi gambar obyek di lapangan.

f. Kabel data untuk pemindahan gambar obyek dari kamera digital ke

komputer.

g. Perlengkapan tape recorder untuk merekam kegiatan wawancara.

6. Perangkat analisis tanah di laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air, Fakultas

Geografi, Universitas Gadjah Mada.

Page 18: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

17

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dam kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi

dalam penelitian adalah seluruh kawasan mangrove, masyarakat, tokoh

masyarakat, instansi yang terkait dengan permasalahan yang diteliti baik di

Kabupaten Gorontalo Utara, maupun ditingkat Provinsi Gorontalo. Kerusakan

mangrove merupakan obyek kajian utama. Kajian ini akan dilakukan dengan

menggunakan pendekatan valuasi ekonomi untuk tingkat kerusakan mangrove.

Sebagai faktor yang juga memanfaatkan mangrove yaitu masyarakat pada

umumnya dan nelayan pada khususnya. Aspek yang menjadi sasaran kajian pada

kelompok masyarakat meliputi pemanfaatan mangrove, dengan mengkaji kondisi

sosial-ekonomi dalam hubungannya dengan pemanfaatan mangrove itu sendiri.

Jumlah Populasi diambil berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan mata

pencaharian yakni sebanyak 3432 orang. Jumlah satuan lahan di kawasan hutan

mangrove untuk tahun 2010 adalah 31 unit yang terbagi menjadi 9 kelas satuan

lahan.

3.2.2 Sampel Penelitian

Penentuan titik sampel di lapangan dilakukan dengan menggunakan

metode Stratified Random Sampling atau sampel secara acak berstrata.

Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi sampel adalah sukar atau

mudahnya dikenali suatu obyek pada saat interpretasi, tingkat kesulitan dan

keterjangkauan dalam mencapai lokasi sampel yang ditetapkan. Dalam penentuan

titik sampel pada setiap satuan lahan tetap memperhatikan penggunana lahan akan

pemanfaatan lahan kawasan hutan mangrove yang telah berubah peruntukkannya.

Satuan lahan diperoleh dari hasil tumpang susun peta bentuklahan dan peta

penggunanaan lahan/pemanfaatan lahan hutan mangrove. Hasil overlai parameter

bentuklahan dan penutupan/penggunaan lahan hutan mangrove di wilayah studi

menghasilkan 31 satuan lahan yang terbagi menjadi 9 kelas satuan lahan.

Page 19: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

18

3.2.3 Teknik Pengambilan Sampel Tanah

Teknik pengambilan sampel tanah ditentukan dengan metode Stratified

Sampling. Penentuan sampel berdasarkan sebaran jenis tanah yang ada di lokasi

penelitian baik yang terdapat vegetasi, dan yang telah berubah peruntukkannya

menjadi tambak dan kebun. Berdasarkan kondisi kerusakannya yang homogen

maka pengambilan titik sampel tanah hanya diwakili dengan 11 titik sampel dari

total 31 titik sampel plot pengamatan. Untuk ketelitian hasil sampel tanah di

lokasi penelitian dilakukan pengujian laboratorium. Komponen yang diukur dan

dianalisis di laboratorium meliputi kondisi tanah yakni tekstur tanah, kelas tekstur

tanah, pH H20, Ph KCL, nitrogen total, nitrogen tersedia, P tersedia, K tersedia,

KPK, Ca, Mg, K, Na, kejenuhan basa, bahan organik, dan salinitas.

3.2.4 Teknik Pengambilan Sampel Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan Stratified

Sampling yaitu menentukan orang-orang yang dijadikan responden pada daerah

itu secara sampling juga mengingat setiap desa yang ada di Kecamatan Kwandang

itu berstrata (tidak sama) ada yang penduduknya padat, ada yang tidak, maka

pengambilan sampelnya perlu menggunakan stratified sampling, dan untuk

penentuan responden menggunakan random sampling yakni secara acak dimana

semua individu dalam populasi baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, diberi

kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel yakni terdiri dari

nelayan, petani, pekerja tambak, pedagang, tokoh masyarakat, para pemangku

kepentingan baik Provinsi dan pemerintah daerah.

Jumlah responden yang diambil sampel ditarik 2% dari 3432 orang total

populasi di enam desa, hal ini didasarkan pada waktu dan dana yang terbatas.

Sampel masyarakat yang telah ditetapkan sebesar 65 responden. Hal lain yang

dilakukan untuk melengkapi data adalah melakukan wawancara dengan para

tokoh masyarakat, para pemangku kepentingan baik Provinsi dan pemerintah

daerah sebanyak tiga responden pada saat survei dan pengukuran di lapangan.

Page 20: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

19

3.2.5 Teknik Pengambilan Sampel Vegetasi

Teknik pengambilan sampel vegetasi meliputi struktur vegetasi yaitu

dengan cara membuat transek segi empat yang ditandai dengan tali. Panjang

transek dibuat dengan ukuran 30 m x 30 m dengan mempertimbangkan resolusi

spasial dari citra yang digunakan. Selanjutnya, dipetakkan dan dicatat diameter,

tinggi tajuk, tinggi bebas cabang dan lebar tajuk tiap pohon. Total transek yang

dibuat sebanyak 31 transek, dari arah laut ke darat. Spesies mangrove di lokasi

penelitian diketahui dengan melakukan identifikasi spesies secara langsung di

lapangan pada setiap transek. Jumlah individu setiap spesies mangrove yang

ditemukan dalam transek dicatat.

3.2.6 Pengambilan Data Instansional

Pengambilan sampel pada instansi terkait adalah menggunakan metode

Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dilakukan berdasarkan

karakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang diperoleh.

Teknik ini didasarkan atas cirri tertentu yang diperkirakan mempunyai hubungan

dengan penelitian yang dilakukan. Metode ini digunakan dengan pertimbangan

bahwa hanya instansi tertentu yang memiliki kegiatan yang sesuai dengan

penelitian. Setelah penetapan instansi dilakukan maka hanya bagian-bagian

tertentu yang menjadi sasaran untuk dilakukan wawancara. Instansi terkait yakni

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gorontalo Utara, BPS Provinsi Gorontalo,

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo Utara, Dinas Perikanan

dan Kelautan Kabupaten Gorontalo Utara, BALIHRISTIK Provinsi Gorontalo,

BAPPEDA Kabupaten Gorontalo Utara, Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika Provinsi Gorontalo.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri atas : 1) Variabel Karakteristik Lingkungan

Sosial-Ekonomi yakni kependudukan, tingkat pendidikan penduduk, pendapatan

dan pengeluaran; 2) Variabel Karakteristik Lingkungan Abiotik yakni

bentuklahan, penggunaan lahan, kondisi tanah, iklim; 3) Variabel Karakteristik

Kerusakan Hutan Mangrove yakni alih fungsi hutan mangrove dan perubahan luas

Page 21: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

20

hutan mangrove; 4) Variabel Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove yakni nilai guna

langsung, nilai guna tak langsung, 3) nilai Pilihan, 4) nilai nilai keberadaan

spesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan habitat , 5) nilai warisan.

3.4 Prosedur Penelitian

1. Penyusunan pete-peta tematik meliputi Interpretasi Citra Landsat ETM+

2. Analisis Ekosistem Mangrove Berdasarkan Peta meliputi karakteristik

Lingkungan Abiotik, kondisi struktur vegetasi mangrove, kondisi sosial

ekonomi.

Tahun 2000 dan ALOS ENVIR-2 Tahun 2010, Peta Bentuklahan, Peta

Penggunaan/Pemanfaatan lahan, Peta Satuan Lahan, Peta Tanah, Peta

Penutupan Vegetasi, Peta Kerusakan Hutan Mangrove Tahun 2000-2010.

3. Analisis Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove

Teknik dan metode perhitungan valuasi ekonomi hutan mangrove yang

digunakan bersumber dari semua manfaat yang dihasilkan dari hutan

mangrove yang sesuai dengan hasil yang diperoleh baik itu dalam bentuk

produk maupun jasa mangrove.

Adapun teknik dan metode perhitungan valuasi ekonomi hutan mangrove

disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Teknik Dan Metode Perhitungan Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove

Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Valuasi A. Nilai Guna Langsung 1. Kayu bakar Harga pasar, harga kayu bakar 2. Kayu bangunan Harga pasar, harga kayu bangunan 3. Hasil tangkapan ikan Harga pasar, harga hasil tangkapan

ikan 4. Udang Harga pasar, harga udang 5. Kepiting bakau Harga pasar, harga kepiting bakau 6. Ekowisata Biaya perjalanan 7. Ilmu Pengetahuan Biaya langsung B. Nilai Guna Tak Langsung

1. Penahan intrusi Biaya pengganti, biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar

2. Sebagai pelindung, penahan gelombang (tsunami) dan pengendali banjir

Biaya pengganti, biaya yang dikeluarkan untuk membangun

Page 22: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

21

sarana fisik break water dan tembok penahan air yang digunakan sebagai pelindung, penahan gelombang dan pengendali banjir

3. Penyedia pakan Harga pasar, harga pakan C. Nilai Pilihan

1. Keanekaragaman hayati Nilai keanekaragaman hayati US $ 1500/km²

2. Penyimpanan karbon Nilai karbon 1 ton US $ saat ini 3. Memelihara iklim mikro dan makro hutan mangrove Biaya relokasi yakni biaya

penanaman, biaya bibit yang dikeluarkan untuk melestarikan kembali kawasan hutan mangrove yang telah rusak

D. Nilai Keberadaan 1. Spesies langka, satwa dilindungi, dan perlindungan

habitat Nilai spesies langka US $ 30 ha/th

E. Nilai Warisan Metode contingent valuation Sumber : Data Primer, 2010 4. Total Valuasi Ekonomi Kerusakan Hutan Mangrove

Perhitungan nilai ekonomi total mangrove menggunakan pendekatan,

yakni dengan menjumlahkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai

pilihan, nilai keberadaan, dan nilai warisan.

5. Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove

Analisis rehabilitasi hutan mangrove didasarkan pada nilai yang diperoleh

dari kerusakan hutan mangrove berdasarkan bobot nilai kondisi rusaknya

mangrove di lokasi penelitian yakni pada pengklasifikasian kondisi mangrove

berdasarkan kriteria baku kerusakan hutan mangrove dengan kriteria baik-sangat

padat, baik-sedang, rusak-jarang. Sementara itu, aktivitas rehabilitasi hutan

mangrove yang dilakukan masyarakat melalui kegiatan penanaman kembali

mangrove yang rusak dianalisis berdasarkan hasil kuisioner. Dengan nilai inilah

yang nantinya dijadikan acuan guna merehabilitasi kondisi mangrove yang telah

rusak.

Page 23: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

22

6. Penyusunan Model Valuasi Ekonomi sebagai Dasar untuk Rehabilitasi

Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Kwandang

Penyusunan model valuasi ekonomi yang nantinya digunakan sebagai

dasar untuk merehabilitasi kerusakan hutan mangrove di kecamatan kwandang

diperoleh dengan melibatkan berbagai komponen analisis variabel penyusunnya.

Model valuasi yang dihasilkan dapat membuktikan bahwa nilai ekologis dari nilai

ekonomi hutan mangrove lebih besar dari nilai ekonomi yang bersumber dari

pemanfaatan langsung, sehingga nilai pasti (rill) dari nilai ekologis akibat

kerusakan ekosistem ini dapat diterima.

IV. KONDISI DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Ekosistem Mangrove Di Daerah Penelitian

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi serta Luas Wilayah

Wilayah Kecamatan Kwandang berdasarkan Daerah Dalam Angka (DDA),

2010 terdiri atas 13 desa. Luas daerah penelitian berdasarkan data BPS adalah

301,26 Km², luas berdasarkan hasil perhitungan dengan bantuan Sistem Informasi

Geografi (SIG) adalah 306,23 Km². Adanya perbedaan hasil antara data BPS dan

hasil perhitungan dengan SIG, disebabkan oleh perhitungan dari BPS hanya

didasarkan pada perhitungan luas berdasarkan surat sertifikat tanah tanpa

menggunakan perhitungan dari citra. Sedangkan untuk penelitian ini semua data

akan mengacu pada luasan berdasarkan hasil citra ALOS/AVNIR-2 (Advanced

Land Observing Satelite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2

Berdasarkan luas Desa yang berada di daerah penelitian, Desa Bualemo memiliki

luas terbesar yaitu 117,96 Km² atau 38,52% lebih luas dibandingkan dengan Desa

lainnya di Kecamatan Kwandang, dan Desa Moluo memiliki luas paling kecil

yaitu 4,6 Km² atau 1,51%. Dari 13 Desa yang terlihat pada peta adminstrasi

Kecamatan Kwandang, hanya enam desa yang dipilih sebagai lokasi pengambilan

sampel yaitu Desa Molingkapoto, Dasa Mootinelo, Desa Leboto, Desa Bulalo,

Desa Moluo dan Desa Dambalo, dengan titik sebaran sampel sebanyak 31 titik

)

tahun perekaman 2010.

Page 24: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

23

sampel penelitian. Hal ini didasarkan pada kerusakan hutan mangrove yang terjadi

di wilayah tersebut.

4.1.2 Iklim

Curah hujan di wilayah Kwandang dari tahun 2006-2011 memberikan

pengaruh sangat besar akan pertumbuhan mangrove di daerah ini. Gambaran rata-

rata curah hujan selang tahun 2006-2011 secara lengkap disajikan pada Gambar

4.2.

Gambar 4.2 Rata-rata Curah Hujan Selang Waktu Tahun 2006-2011 Kecamatan Kwandang

4.1.3 Bentuklahan

Daerah Desa lokasi penelitian tersusun dari 6 bentuklahan yaitu perbukitan

berbatuan sedimen non-gamping diselingi sedimen gampingan, lereng kaki

perbukitan terkikis, rataan pasang surut, pegunungan berbatuan dominan vulkanik

non-intrusi, dataran alluvial dan dataran alluvial pantai. Dari keenam bentuklahan

di lokasi penelitian bentuklahan yang mendominasi adalah lereng kaki perbukitan

terkikis dan rataan lumpur pasang surut.

4.1.4 Penggunaan lahan

Penelitian ini menghasilkan data penggunaan lahan untuk dua tahun yang

berbeda, tahun 2000 melalui interpretasi Citra Digital Landsat ETM+ tahun

perekaman 2000 dan penggunaan lahan tahun 2010 melalui interpretasi citra

ALOS/AVNIR-2 tahun perekaman 2010. Analisis data ini memberikan informasi

1524 1500

2289

1007

2904

2432

83 66248 125 89 98

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Curah Hujan Jumlah Hari Hujan

Page 25: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

24

sejauh mana perkembangan pola penggunaan lahan masyarakat di lokasi

penelitian dalam kurun waktu 10 tahun.

Berdasarkan hasil interpretasi Peta RBI skala 1:50.000 tahun 1991 lembar

Kwandang, Peta Administrasi Kwandang tahun 2010, Citra Digital Landsat ETM+

Penggunaan lahan untuk tambak di Desa Bulalo dan Desa Moluo di tahun 2010

telah terjadi perubahan luasan yakni untuk Desa Bulalo sekarang luasan

tambaknya adalah seluas 105,2 Ha, sedangkan untuk Desa Moluo areal tambak

yang ada adalah seluas 70,94 Ha. Berdasarkan data ini untuk Desa Bulalo terjadi

peningkatan luasan areal pembukaan tambak disebabkan aktivitas masyarakat

yang terus memanfaatkan kawasan mangrove tersebut, sedangkan untuk Desa

Moluo terjadi perubahan luas tambak di mana pada tahun 2000 luas area

mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak adalah 73,17 Ha sekarang telah

terjadi penurunan luasan areal tambak yakni 70,94 Ha, hal ini disebabkan karena

adanya pertumbuhan mangrove di kawasan bekas mangrove.

(Enhanced Thematic Mapper Plus) tahun perekaman 2000, dan pengecekan

lapangan pada 2010, luas mangrove yang telah di konversi menjadi tambak

adalah 115.9 Ha yang terdapat di Desa Bulalo dengan luas 42,73 Ha, dan di Desa

Moluo seluas 73,17 Ha. Pola penggunaan lahan di lokasi penelitian, untuk Desa

Molingkapoto, Desa Mootinelo, Desa Leboto, dan Desa Dambalo belum terdapat

adanya penggunaan lahan untuk tambak. Sedangkan berdasarkan hasil interpretasi

Peta RBI skala 1:50.000 tahun 1991 lembar Kwandang, Peta Administrasi

Kwandang tahun 2010, Citra ALOS/AVNIR-2 tahun 2010, dan pengecekan

lapangan tahun 2010, untuk penggunaan lahan di tahun 2010, terjadi perubahan

penggunaan lahan untuk desa-desa yang pada tahun 2000 belum terdapat adanya

pembukaan tambak maka untuk tahun 2010 telah terlihat adanya pembukaan

tambak, untuk Desa Molingkapoto terdapat adanya tambak dengan luas 110,3 Ha,

untuk Desa Mootinelo daerah tambak yang ada seluas 111,1 Ha, untuk Desa

Leboto seluas 167,6 Ha, sedangkan untuk Desa Dambalo areal tambak yang ada

seluas 25,96 Ha.

Page 26: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

25

4.1.5 Tanah

Hasil analisa Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas Geografi

Universitas Gadjah Mada dan Uji Lapangan menunjukkan kondisi tanah

mangrove pada lokasi penelitian bahwa kondisi tekstur tanah di titik 28, 4, 5, 23,

24, dan 31 yang masih terdapat vegetasi mangrove terdiri atas pasir kasar (2,77%-

62,33%), pasir sangat halus (5,35%-19,58%), pasir (9,87%-67,68%), debu

(19,30%-58,07%), dan lempung (13,02%-35,71%), dengan kondisi tanah seperti

ini maka terlihat mangrove di wilayah Kwandang di dominasi oleh genus

Avicennia dan Sonneratia yang hidup dengan baik pada tanah berpasir,

Rhizophora sp lebih menyukai debu halus, dan Bruguiera sp menyukai tanah

lempung yang mengandung sedikit bahan organik, sedangkan yang tidak terdapat

vegetasi (telah diubah menjadi tambak dan kebun) tekstur tanahnya yakni pasir

kasar (7,28%-42,72%), pasir sangat halus (4,02%-18,14%), pasir (11,30%-

60,86%), debu (24,66%-58,07%), dan lempung (14,48%-31,32%).

Bila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandang

tidak cocok untuk tambak karena kandungan pasirnya ( > 50%) sehingga kurang

mampu menahan air dan mudah hancur. Hal ini dipertegas oleh penelitian Johari

(2009), bahwa tanah yang baik untuk tambak adalah jenis tanah dengan

kandungan lempung tinggi dan kandungan pasirnya rendah, kandungan pasir

tinggi umumnya tidak cocok untuk tambak, karena selain porositasnya tinggi daya

ikat tanahnya juga rendah sehingga mudah terlepas jika digunakan untuk

membangun tanggul. Tekstur tanah juga menentukan sumber air yang cocok

untuk tambak. Melihat data ini menegaskan bahwa wilayah Kwandang lebih

cocok untuk ditanami mangrove daripada di buat tambak.

4.1.6 Alih Fungsi Hutan Mangrove

4.1.6.1 Spesies Mangrove

Spesies mangrove yang di temukan di lokasi penelitian sebanyak 16 spesies yakni Rhizophora mucronata Blume, Rhizophora apiculata Lamk, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob, Brugueira gymnorrhiza (L) Lamk, Bruguiera paviflora (Roxb) W&A, Sonneratia alba J.E.

Page 27: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

26

Smith, Soneratia caseolaris (L) Eng, Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem, Xylocarpus granatum Koen (niri), Avecennia alba Blume, Avecennia marina (Forsk) Vierh, Avicennia officinalis (L) Lamk, Acanthus ilicifolius L, Heritiera littoralis Dryand. Ex W.Ait, Aegiceras corniculatum (L.) Blanco, dan distribusi spasialnya di posisikan pada citra ALOS/AVNIR-2.

4.1.6.2 Struktur Vegetasi Mangrove

a. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Pohon Pada

Kriteria Rusak

Pada Tabel 4.7, terlihat adanya spesies-spesies tertentu yang memiliki nilai-nilai parameter vegetasi yang tinggi dan hal ini dapat mencirikan spesies yang dominan dalam suatu komunitas tersebut. Spesies Avicennia alba Blume memiliki nilai penting sebesar 89,3%, dominansi sebesar 312 cm², frekuensi sebesar 0,42%, kerapatan sebesar 0,05 m², hal inilah yang menjadikan spesies Avicennia alba Blume terlihat paling dominan (30%) dari pada spesies lainnya. Sedangkan spesies Aegiceras corniculatum (L.) Blanco memiliki penyebaran yang tidak merata hanya ditemui pada titik tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai penting terkecil yakni 3,03%, dominansi sebesar 4,91 cm², frekuensi sebesar 0,03%, kerapatan sebesar 0,001 m². Tabel 4.7 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Kriteria

Rusak

Nama Spesies K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)

Avicennia alba 0,05 34,6 312 31,9 0,42 22,8 89,3 Sonneratia alba 0,024 16,9 210 21,5 0,29 15,8 54,2 Avicennia marina 0,018 12,3 133 13,6 0,19 10,5 36,5 Brugueira gymnorrhiza 0,011 7,69 85,1 8,71 0,16 8,77 25,2 Rhizophora Apiculata 0,01 6,92 52,7 5,39 0,19 10,5 22,8 Xylocarpus mulocensis 0,006 3,85 36,3 3,71 0,16 8,77 16,3 Soneratia caseolaris 0,006 3,85 38,6 3,94 0,13 7,02 14,8 Ceriops decandra 0,007 4,62 48,5 4,96 0,06 3,51 13,1 Rhizophora mucronata 0,004 3,08 14,3 1,46 0,06 3,51 8,05 Ceriops tagal 0,003 2,31 18,9 1,93 0,06 3,51 7,75 Xylocarpus granatum 0,003 2,31 8,65 0,89 0,03 1,75 4,95 Avicennia officinalis 0,001 0,77 14,7 1,51 0,03 1,75 4,03 Aegiceras corniculatum 0,001 0,77 4,91 0,5 0,03 1,75 3,03

Sumber : Analisis Data Primer, 2010

Page 28: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

27

b. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Pancang Pada

Kriteria Rusak

Berdasarkan analisis vegetasi untuk tingkat pancang terlihat adanya spesies-spesies tertentu yang memiliki nilai-nilai parameter vegetasi yang tinggi dan hal ini dapat mencirikan spesies yang dominan dalam suatu komunitas. Spesies-spesies mangrove tersebut, yakni Rhizophora apiculata Lamk adalah spesies yang paling mendominasi di lokasi penelitian sebesar 15% dengan nilai penting sebesar 46,5%, dominansi sebesar 174 cm², frekuensi sebesar 0,32%, dan kerapatan sebesar 0,02 m², sedangkan Rhizophora mucronata Blume memiliki nilai penting sebesar 39%, dominansi sebesar 111 cm², frekuensi sebesar 0,39%, dan kerapatan sebesar 0,05 m². Hal ini dapat berarti bahwa penyebaran mangrove Rhizophora dapat dikatakan merata pada lokasi penelitian dan karena memiliki dominansi yang besar dibandingkan dengan spesies lainnya di lokasi yang sama ini dapat berarti bahwa bentuk pohon Rhizophora apiculata Lamk lebih besar dan memiliki penutupan tajuk yang lebih luas dibandingkan dengan spesies lainnya. Struktur vegetasi mangrove dan sebaran spesies dominan untuk tingkat pancang disajikan pada Tabel 4.8 Tabel 4.8 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Pancang Pada

Kriteria Rusak

Nama spesies K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)

Rhizophora apiculata 0,02 1,72 174 32,9 0,32 11,9 46,5 Rhizophora mucronata 0,05 3,72 111 21 0,39 14,29 39 Ceriops decandra 0,39 31,9 10,8 2,04 0,13 4,762 38,7 Avicennia alba 0,14 11,2 58 10,9 0,35 13,1 35,2 Avicennia officinalis 0,26 21,1 17,8 3,35 0,1 3,571 28,1 Sonneratia alba 0,04 2,99 43,6 8,23 0,39 14,29 25,5 Ceriops tagal 0,01 0,54 52,4 9,89 0,35 13,1 23,5 Avicennia marina 0,13 10,3 18,6 3,51 0,19 7,143 21 Brugueira gymnorrhiza 0,1 8,08 25,2 4,76 0,19 7,143 20 Bruguiera paviflora 0,03 2,45 9,1 1,72 0,1 3,571 7,74 Xylocarpus mulocensis 0,06 4,81 2,83 0,54 0,06 2,381 7,73 Xylocarpus granatum 0 0,18 2,32 0,44 0,06 2,381 3 Soneratia caseolaris 0,01 0,45 2,67 0,5 0,03 1,19 2,15 Heritiera littoralis 0,01 0,54 1,13 0,21 0,03 1,19 1,95

Sumber : Analisis Data Primer, 2010

Page 29: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

28

c. Struktur Vegetasi Mangrove dan Nilai Penting Tingkat Semai Pada

Kriteria Rusak

Hasil perhitungan nilai penting untuk mangrove semai pada lokasi

penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua spesies mangrove semai yang

memiliki nilai dominan yang besar yakni 21% untuk spesies Rhizophora apiculata

Blume dengan nilai penting sebesar 42,74%, kerapatan sebesar 0,357 m²,

frekuensi 0,23% dan spesies Rhizophora mucronata Lamk dengan nilai penting

sebesar 41,22%, kerapatan sebesar 0,303 m², frekuensi 0,26%. Struktur vegetasi

mangrove dan sebaran spesies dominan untuk tingkat semai disajikan pada Tabel

4.9

Tabel 4.9 Struktur Vegetasi Mangrove Dan Nilai Penting Tingkat Semai Pada Kriteria Rusak

Nama spesies K KR F FR INP (m²) (%) (%) (%) (%)

Rhizophora apiculata 0,357 26,1 0,23 16,7 42,74 Rhizophora mucronata 0,303 22,2 0,26 19 41,22 Ceriops tagal 0,182 13,3 0,16 11,9 25,23 Avicennia alba 0,172 12,6 0,16 11,9 24,5 Acanthus 0,154 11,3 0,06 4,76 16,05 Avicennia marina 0,068 4,96 0,13 9,52 14,48 Xylocarpus mulocensis 0,053 3,9 0,13 9,52 13,42 Brugueira gymnorrhiza 0,036 2,6 0,13 9,52 12,12 Sonneratia alba 0,031 2,27 0,06 4,76 7,04 Ceriops decandra 0,011 0,81 0,03 2,38 3,19

Sumber : Analisis Data Primer, 2010

4.1.6.3 Zonasi Mangrove

Berdasarkan profil zonasi di lokasi penelitian memiliki keunikan

dibandingkan dengan hutan mangrove yang ada di daerah lain. Salah satu

keunikan tersebut berasal dari variasi jenis yang hidup tidak berdasarkan pola

zonasi pada umumnya. Hasil analisis vegetasi berdasarkan Indeks Nilai Penting

dan Indeks vegetasi berdasarkan citra dan uji lapangan di temukan dari pinggir

pantai sampai pedalaman daratan setiap spesies saling berasosiasi dalam satu

lapisan, sehingga zonasi di wilayah ini masuk zonasi sederhana yakni satu zonasi

atau zonasi campuran.

Page 30: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

29

Profil zonasi di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang tidak terdiri atas beberapa

zonasi, karena tidak ada zonasi yang murni satu genus saja, yang ditemukan hanya

satu zonasi yang miks, dimana setiap spesies tumbuh berulang sampai kearah

daratan, dan tumbuh saling bercampur antara beberapa spesies, tidak ditemukan

spesies yang dominan untuk menentukan pembagian zonasi.

4.1.7 Perubahan Luas Hutan Mangrove

Hasil analisis data kerusakan hutan mangrove tahun 2000 diperoleh data

bahwa total luas hutan mangrove di lokasi penelitian adalah seluas 759,1 Ha, yang

mengalami kerusakan seluas 155,8 hektar dengan kondisi kerusakannya adalah

rusak total dengan tidak ditemukannya lagi vegetasi mangrove di lokasi tersebut

adalah seluas 106 hektar atau 14% dari total luas hutan mangrove, sementara itu,

yang rusak-jarang adalah seluas 49,8 hektar atau 7%. Untuk kawasan mangrove

dengan kriteria baik-sangat padat adalah seluas 570,3 hektar atau 75% dari luas

hutan mangrove tahun 2000, dan luas kawasan mangrove dengan kriteria baik-

sedang adalah seluas 33 hektar atau 4%. Jika kondisi ini di bandingkan dengan

kerusakan di tahun 2010, terlihat adanya perubahan luasan yang sangat cepat.

Kerusakan mangrove tahun 2010 mencapai kenaikan sebesar 41% dari

21% di tahun 2000, sehingga total kerusakan mangrove tahun 2010 telah

mencapai 62%, di mana kawasan mangrove yang telah mengalami kerusakan

telah mencapai 687,3 hektar, dengan kondisi kerusakan yang terjadi adalah rusak

total tanpa ada vegetasi mangrove lagi adalah seluas 551,5 hektar atau 51% dari

total luas hutan mangrove, sedangkan untuk kondisi rusak-jarang adalah seluas

135,8 hektar atau 12% dari total luas hutan mangrove. Sementara itu, kawasan

mangrove dengan kriteria baik-sangat padat adalah seluas 341,8 hektar atau 31%

dari total luas hutan mangrove tahun 2010, dan kondisi mangrove dengan kriteria

baik-sedang adalah seluas 64,6 hektar atau 6 % dari total luasan mangrove.

Dari data kerusakan yang di peroleh terlihat perbedaan total luasan

mangrove di daerah penelitian, di mana hasil deliniasi area untuk kawasan

mangrove tahun 2000 luasan mangrove adalah seluas 759,1 hektar dan pada tahun

2010 terjadi peningkatan luasan area mangrove menjadi 1.093,7 hektar. Melihat

Page 31: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

30

data ini diasumsikan sebelum tahun 2000, telah ada kegiatan rehabilitasi hutan

mangrove pada kawasan yang memang telah mengalami kerusakan, tetapi belum

terbaca oleh citra Landsat ETM+

karena spesies yang di tanam masih berupa

semai. Kondisi ini diperkuat dengan data hasil wawancara pribadi dengan pihak

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Kwandang yang diwakili oleh

Bapak Imanuel Ruruh dan tim yang terlibat langsung pada kegiatan tersebut yakni

Rauf (45 th) bahwa sebelum tahun 2000 telah ada kegiatan rehabilitasi yang

dilaksanakan oleh salah satu Perguruan Tinggi di daerah Gorontalo yaitu STKIP

(UNG sekarang) yakni pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1995. Wujud nyata

dari hasil kegiatan tersebut dapat di lihat dengan penambahan areal luas hutan

mangrove di tahun 2010, walaupun memang kondisi kerusakannya lebih

meningkat yakni mencapai 687,3 hektar, di mana rusak total seluas 551,5 hektar

dan rusak jarang seluas 135,8 hektar, bahkan melebihi dari vegetasi yang terdapat

di tahun 2000 yakni 603,3 hektar.

V. VALUASI EKONOMI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE

5.1 Valuasi Ekonomi Kerusakan Hutan Mangrove

Valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove membuktikan bahwa nilai

ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan

dengan nilai ekonomi, sehingga mempertahankan mangrove lebih baik dari pada

membabat habis untuk pembukaan tambak atau peruntukkan lainnya dengan

alasan faktor ekonomi. Total valuasi ekonomi kerusakan hutan mangrove dan

proporsi nilai guna di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.20 dan Gambar 5.8.

Tabel 5.20 Total Valuasi Ekonomi Mangrove di Kecamatan Kwandang

No Jenis nilai Jumlah Nilai Rp/ha/th 1 Nilai Guna Langsung 20.183.079.000 2 Nilai Guna Tidak Langsung 23.213.053.409 3 Nilai Pilihan 9.084.019.871 4 Nilai Keberadaan 185.571.010 5 Nilai Warisan 6.790.000

Jumlah Total Nilai 52.672.513.290 Sumber : Analisis Data Primer, 2010

Page 32: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

31

Gambar 5.8 Proporsi Nilai Guna Total Valuasi Ekonomi Di Lokasi Penelitian, Tahun 2010

5.2 Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove di Lokasi Penelitian

Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di lokasi penelitian sepenuhnya

adalah merupakan tanggung jawab dari pemerintah yang kemudian diikuti oleh

masyarakat dan kelompok pelestari mangrove yang terdapat di lokasi tersebut.

Setalah dilakukan rehabilitasi kondisi hutan mangrove lima tahun terakhir dari 65

responden yang menjawab kondisi tidak berubah yakni 9,23% (6 orang), kondisi

semakin baik yakni 20% (13 orang), kondisi semakin buruk yakni 49,23% (32

orang) dan lainnya yakni 21,23% (14 orang). Responden yang masuk kategori

lainnya menjawab kondisi mangrove tidak ada perubahan begitu-begitu terus

kerusakannya, tidak ada perubahan yang serius, sudah rusak dan tidak ada

penanaman.

Pelaksanaan rehabilitasi hendaknya pemerintah daerah Kecamatan

Kwandang lebih melibatkan masyarakat sepenuhnya dengan harapan apabila

gerakan rehabilitasi tersebut dipercayakan sepenuhnya kepada masyarakat yang

berada di kawasan mangrove secara otomatis mereka merasa memiliki hutan

mangrove tersebut sehingga tanpa adanya perintah masyarakat setempat akan

berupaya ikut menjaga, memelihara, dan melakukan pengawasan akan keberadaan

hutan mangrove yang memang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Selain itu juga dalam melakukan rehabilitasi lebih dititik beratkan pada kondisi

38%

44%

17%

1%0%

Nilai Guna Langsung

Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai Pilihan

Nilai Keberadaan

Nilai Warisan

Page 33: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

32

kerusakannya, seperti di desa Mootinelo yang telah mengalami kerusakan 2,6 Km

dari garis pantai dengan luas kerusakannya mencapai 181,29 hektar, Desa Leboto

yang kerusakannya mencapai 181,23 hektar, dan desa Bulalo yang kerusakannya

80 meter dari garis pantai dengan luas kerusakannya mencapai 123,4 hektar.

5.3 Model Valuasi Ekonomi sebagai Dasar untuk Rehabilitasi Kerusakan

Hutan Mangrove

Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini yakni model

prosedur atau berupa kerangka konseptual yang diperoleh dengan melibatkan

berbagai komponen analisis dan memberikan hasil yang bervariasi. Kerusakan

hutan mangrove di lokasi penelitian berada pada kriteria rusak jarang. Hal ini

menandakan bahwa mangrove di wilayah ini sebagian besar sudah habis. Pemicu

terbesar akan rusaknya hutan mangrove di lokasi penelitian yakni karena adanya

pembukaan tambak-tambak, baik yang masih produktif maupun non produktif.

Dari segi ekonomi ini memberikan keuntungan yang besar, akan tetapi keadaan

ini tidak akan berlangsung lama, terbukti banyak lahan ambak yang sudak tidak

produktif lagi. Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian ini bahwa berdasarkan

uji analisis kondisi tanah di lokasi penelitian tidak cocok untuk tambak, karena

bila dilihat dari tekstur tanahnya kawasan mangrove wilayah Kwandang

kandungan pasirnya (> 50%) sehingga kurang mampu menahan air dan mudah

hancur.

Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa kondisi masyarakat di lokasi

penelitian kurang memberikan perhatian terhadap pelestraian hutan mangrove, hal

ini terutama disebabkan karena tingkat ekonomi masyarakat masih rendah,

terbatasnya pengetahuan, tingkat pendidikan, dan kesadaran akan nilai manfaat

mangrove bagi kehidupan mereka. Nilai ekosistem mangrove lebih diutamakan

untuk nilai ekonomi saja sedangkan nilai ekologis dari mangrove itu sendiri terus

terabaikan. Pandangan ini yang harus segera diluruskan, berdasarkan temuan

penelitian ini terbukti bahwa nilai ekonomi yang bersumber dari fungsi ekologis

lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai ekonomi, di mana nilai yang

bersumber dari fungsi ekologis mencapai 61,7% lebih besar dari nilai guna

Page 34: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

33

langsung 38,3%. Berdasarkan temuan ini terbukti bahwa mempertahankan

mangrove lebih baik dari pada membabat habis untuk pembukaan tambak atau

peruntukkan lainnya dengan alasan faktor ekonomi.

Kontribusi utama penelitian ini secara teoritis terletak pada aspek-aspek

berikut:

a. Untuk melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove seharusnya

perhitungan tersebut tidak sekedar berdasarkan nilai guna dan non guna yang

diperoleh dari ekosistem mangrove, tetapi juga nilai kerusakan diakibatkan

oleh ekosistem ini perlu di nilai. Sehingga nilai ekologis dari mangrove itu

sendiri tidak selalu terabaikan. Selain itu untuk keakuratan data riil luasan

yang rusak dan masih terdapat vegetasi mangrove jangan hanya berdasarkan

perhitungan manual di lapangan tetapi juga harus menggunakan pola spasial

dalam valuasi ekonomi yang bersumber dari citra.

b. Metode valuasi yang digunakan, di mana peneliti menemukan cara-cara baru

dalam melakukan valuasi ekonomi diantaranya memodifikasi semua rumus

yang digunakan untuk masing-masing nilai yang bersumber dari hutan

mangrove dengan melibatkan proses analisis spasial dan pemetaan. Nilai

guna langsung dengan memasukkan nilai kerusakan, menemukan persamaan

regresi linier untuk nilai tangkapan ikan, udang, dan kepiting, terbukti bahwa

semakin luas mangrove maka tangakapan ikan, udang, dan kepiting pun

meningkat. Nilai guna tidak langsung memasukaan luas area yang rusak

menemukan nilai riil fungsi mangrove sebagai penahan intrusi, sebagai

pelindung, penahan gelombang, dan pengendalian banjir, dan fungsi

mangrove sebagai penyedia pakan. Nilai pilihan untuk fungsi mangrove

sebagai penyimpan karbon diperoleh dengan cara menghitung langsung nilai

karbon di lapangan berdasarkan volume batang pohon dari spesies mangrove

dan dipadukan dengan nilai karbon dari citra dengan menggunakan

persamaan regresi. Nilai keberadaan spesies langka, satwa dilindungi, dan

perlindungan habitat memasukkan nilai hasil temuan di lapangan berdasarkan

komposisi ekofloristik dan analisis vegetasi.

Page 35: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

34

c. Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola spasial perlu dilakukan sebagai

salah satu fondasi penilaian kerusakan ekologis, agar penentuan target lokasi,

intensitas rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.

Menurut pandangan penulis, hal-hal tersebut di atas belum dilakukan oleh

peneliti lain di Indonesia baik setiap aspek secara terpisah maupun keseluruhan

aspek secara terkombinasi.

VI. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI

6.1 Kesimpulan

(1) Laju perubahan luasan hutan mangrove dilihat dari Citra Digital Landsat

ETM+

(2) Ditemukan 16 spesies yang mendiami hutan mangrove di wilayah pesisir

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara yakni spesies Rhizophora

mucronata Blume, Rhizophora Apiculata Lamk, Ceriops decandra (Griff.)

Ding Hou, Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob, Brugueira gymnorrhiza (L) Lamk,

Bruguiera paviflora (Roxb) W&A, Sonneratia alba J.E. Smith, Soneratia

caseolaris (L) Eng, Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem, Xylocarpus

granatum Koen (niri), Avecennia alba Blume, Avecennia marina (Forsk)

Vierh, Avicennia officinalis (L) Lamk, Acanthus ilicifolius L, Heritiera

littoralis Dryand. Ex W.Ait, Aegiceras corniculatum (L.) Blanco. Dari 16

spesies tersebut terlihat adanya kehadiran spesies yang langka secara global

sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus dalam hal

pengelolaannya yakni spesies Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Hasil

analisis vegetasi berdasarkan Indeks Nilai Penting dan Indeks vegetasi

(berdasarkan citra dan uji lapangan) di temukan bahwa profil zonasi di

wilayah ini masuk pada zonasi sederhana (satu zonasi atau zonasi campuran)

tahun 2000 hutan mangrove di lokasi penelitian yang rusak adalah

seluas 155,8 Ha, dan selang waktu 10 tahun, berdasarkan Citra ALOS/AVNIR-

2 tahun 2010 perubahan luasan mangrove yang telah mengalami kerusakan

mencapai 687,3 hektar. Melihat data ini terjadi peningkatan kerusakan hutan

mangrove mencapai 531,596 hektar atau meningkat 63% dari kondisi

sekarang.

Page 36: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

35

dimana dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan setiap spesies saling

berasosiasi dalam satu lapisan. Profil zonasi di wilayah pesisir Kecamatan

Kwandang tidak terdiri atas beberapa zonasi, karena tidak ada zonasi yang

murni satu genus saja, yang ditemukan hanya satu zonasi yang merupakan

campuran (mixel), dimana setiap spesies tumbuh berulang sampai kearah

daratan, dan tumbuh saling bercampur antara 16 spesies tersebut.

(3) Valuasi ekonomi berdasarkan kerusakan hutan mangrove ditemukan bahwa

nilai guna dari total hutan mangrove lokasi penelitian mencapai

Rp52.672.513.290/10th (± 52,672 milyar/10th). Jika nilai ini dibahagi 10

tahun, maka kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan mangrove rerata

pertahunnya mencapai Rp5.267.251.329/tahun. Dari nilai ekonomi total

tersebut diketahui bahwa nilai ekologi dari nilai guna tidak langsung memiliki

nilai lebih tinggi dari nilai lainnya yakni Rp23.213.053.409/10th. Jenis nilai

lainnya yang diperoleh yakni nilai guna langsung sebesar

Rp20.183.079.000/10th, nilai pilihan sebesar Rp9.084.019.871/10th, nilai

keberadaan spesies langka, satwa dilindungi, perlindungan habitat sebesar

Rp185.571.010/10th dan nilai warisan sebesar Rp6.790.000/10th.Valuasi

ekonomi kerusakan hutan mangrove membuktikan bahwa nilai ekonomi yang

bersumber dari fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan dengan

nilai ekonomi, sehingga mempertahankan mangrove lebih baik dari pada

membabat habis untuk pembukaan tambak atau peruntukkan lainnya dengan

alasan faktor ekonomi.

(4) Hasil penelitian ini menemukan bahwa model valuasi ekonomi berbasis data

spasial belum di lakukan di Indonesia dan valuasi ekonomi untuk aspek

rehabilitasi hutan mangrove dari segi kerusakannya di Indonesia belum

dibahas secara rinci. Model yang dikembangkan dalam penelitian ini yakni

dalam bentuk kerangka kerja untuk valuasi ekonomi kerusakan ekologis yang

mutlak memerlukan proses analisis spasial dan pemetaan, dengan melibatkan

berbagai variabel yakni variabel karakteristik lingkungan sosial, variabel

karakteristik abiotik hutan mangrove, variabel karakteristik kerusakan hutan

mangrove, dan variabel valuasi ekonomi hutan mangrove. Dana yang

Page 37: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

36

dialokasikan pada tahun 2010 untuk rehabilitasi kerusakan hutan mangrove

yakni seluas 24 hektar tidak sebanding dengan kerusakannya yakni sebasar

687,3 hektar dan nilai rupiah dari hasil valuasi ekonomi kerusakan hutan

mangrove tersebut.

6.2 Saran

(1) Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola spasial perlu dilakukan sebagai

salah satu fondasi penilaian kerusakan ekologis, agar penentuan target lokasi,

intensitas rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.

(2) Untuk melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove seharusnya

perhitungan tersebut tidak sekedar berdasarkan nilai guna dan non guna yang

diperoleh dari ekosistem mangrove, tetapi juga nilai kerusakan diakibatkan

oleh ekosistem ini perlu di nilai. Sehingga nilai ekologis dari mangrove itu

sendiri tidak selalu terabaikan. Selain itu untuk keakuratan data riil luasan

yang rusak dan masih terdapat vegetasi mangrove jangan hanya berdasarkan

perhitungan manual di lapangan tetapi juga harus menggunakan pola spasial

dalam valuasi ekonomi yang bersumber dari citra.

6.3 Implikasi

(1) Perubahan luasan mangrove dengan menggunakan pola spasial diperlukan

untuk melakukan valuasi ekonomi terutama untuk memperoleh data riil akan

tingkat kerusakan hutan mangrove pada kondisi rusak jarang, rusak total, dan

kondisi baik.

(2) Berdasarkan karakteristik abiotik hutan mangrove pembukaan tambak yang

terjadi di daerah penelitian semua berada di dalam kawasan yang tadinya

adalah merupakan hutan mangrove. Bila dilihat dari tekstur tanahnya

kawasan mangrove wilayah Kwandang tidak cocok untuk tambak karena

kandungan pasirnya ( > 50%) sehingga kurang mampu menahan air dan

mudah hancur. Pendapat Johari (2009), bahwa tanah yang baik untuk tambak

adalah jenis tanah dengan kandungan lempung tinggi dan kandungan pasirnya

rendah, kandungan pasir tinggi umumnya tidak cocok untuk tambak, karena

selain porositasnya tinggi daya ikat tanahnya juga rendah sehingga mudah

Page 38: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

37

terlepas jika digunakan untuk membangun tanggul. Tekstur tanah juga

menentukan sumber air yang cocok untuk tambak. Melihat data ini

menegaskan bahwa wilayah Kwandang lebih cocok untuk ditanami mangrove

daripada di buat tambak.

(3) Hasil analisis vegetasi kerusakan hutan mangrove menunjukkan kondisi

mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Kwandang berada pada kondisi

sangat buruk, dengan tingkat kerapatan vegetasi mangrove kurang dari satu

atau berkisar pada nilai rata-rata 0 – 0,3. Indeks Nilai Penting (INP)

menemukan kelompok spesies yang paling banyak hilang di lokasi penelitian

adalah species Avicennia alba Blume yang memiliki nilai penting sebesar

89,31%, spesies Rhizophora Apiculata Lamk dengan nilai penting sebesar

46,52%, spesies Rhizophora mucronata Blume memiliki nilai penting sebesar

38.96%. Hal ini diakibatkan tempat tumbuh (habitat) spesies-spesies ini telah

berubah peruntukkannya menjadi tambak, kebun, sawah, pelabuhan dan

sebagainya. Bila kondisi ini terus menerus dibiarkan kemungkinan besar

spesies Rhizophora mucronata pun semakin habis. Dari keseluruhan spesies

yang ditemukan terdapat spesies Ceriops decandra yang merupakan spesies

langka secara global sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian

khusus dalam hal pengelolaannya.

(4) Terbatasnya pengetahuan, tingkat pendidikan, dan kesadaran akan nilai

manfaat mangrove bagi kehidupan masyarakat di lokasi penelitian merupakan

skala prioritas untuk segera ditingkatkan, agar nilai ekosistem mangrove yang

bersumber dari nilai ekologis yang terabaikan bisa segera dibenahi.

Pandangan bahwa keuntungan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan nilai

ekologi harus segera diluruskan karena, nilai ekonomi yang bersumber dari

fungsi ekologis lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai ekonomi, di

mana nilai yang bersumber dari fungsi ekologis mencapai 75,28% lebih besar

dari nilai guna langsung 24,7%. Valuasi ekonomi dengan menggunakan pola

spasial perlu dilakukan sebagai salah satu fondasi penilaian kerusakan

ekologis, agar penentuan target lokasi, intensitas rehabilitasi dapat

dilaksanakan dengan lebih tepat.

Page 39: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

SUMMARY DISSERTATION

ECONOMIC VALUATION MODEL AS THE BASIS FOR REHABILITATING MANGROVE FOREST DAMAGE ALONG THE

COASTAL AREA IN KWANDANG NORTH GORONTALO GORONTALO PROVINCE

The program of study

Geography

By

DEWI WAHYUNI K. BADERAN NIM : 08/278454/SGE/171

GRADUATE PROGRAM

FACULTY OF GEOGRAPHY GADJAH MADA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

2013

Page 40: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

1

ECONOMIC VALUATION MODEL AS THE BASIS FOR REHABILITATING MANGROVE FOREST DAMAGE ALONG THE COASTAL AREA IN

KWANDANG NORTH GORONTALO GORONTALO PROVINCE

(A SUMMARY)

I. INTRODUCTION

The coastal area and the sea of Indonesia has the richness as well as the

largest biodiversity in the world, which is reflected in the exictence of coastal

ecosystem, such as mangrove forests, coral reefs, seagrass, and a wide variety of fish

(Bappenas, 2007). The protection of mangrove forests is important because these

forests have significant benefit in physical, chemical, biological, and socio-

economical aspects.

The ignorance of the value of mangrove forest ecosystems is caused by two

main factors, namely: (1) most goods and services generated by the mangrove

ecosystem is not traded in the market, so it does not have a value that can be

observed, and (2) some of these goods and services are far from the mangrove

ecosystem, so the appreciation of the goods and services are often considered to have

nothing to do with mangroves (eg marine productivity resulted from the contribution

of mangroves, which increases the number of fish, shrimp, crabs, mollusks in a

region far from the coastal waters such as mangrove forests in the sea of Kwandang,

Gorontalo

In Indonesia, economic valuation of ecological value on mangrove forests

which is based on indirect use value, option value, existence value, and legacy value

is often neglected. Most researches have only focused on examining direct use value

of mangrove forest ecosystem based on economic value in the market, some of which

are the price of firewood, fish, shrimps, crabs, birds, and etc. Essentially, the method

for examining environmental products and services offers a more comprehensive

assessment towards the assessment of various products and services from mangrove

).

Page 41: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

2

ecosystem. This assessment will subsequently provide detailed for the decision

makers.

The inavailability of data on the economic value of mangrove resources

reulting in the damage or the loss of these resources are not perceived as a

disadvantage. As a result, many ecological components of mangrove received less

attention in the further management. Therefore, studies on the economic valuation of

mangrove resources, particularly for ecological value of indirect use value, option

value, existence value, and legacy value is important to be done immediately and is

expected to provide information or interpretations about how much economic

value of a resource in a coastal region is, where the existence of mangrove

resources have a great influence to the standards of the locals life,

especially in coastal villages that economically depends on this resource.

In light of the earlier discussion, Province of Gorontalo has large mangrove

forests areas. One of these areas lies in the coastal of Kwandang, North Gorontalo,

Province of Gorontalo. Sulawesi Island has been selected as the focus of this research

because it has some advantages, such as its biodiversity and the variety of living

species which do not correspond to the general zonation. Ecologically, the area in this

island is confronted to the damaged ecosystem, particularly mangrove.

Mangrove forest area in this island has largely been shrinking due to illegal

logging, mainly caused by human activities around the forest who do the logging and

timber extraction (Rhizophora sp) for fuelwood and construction of building. Local

people recognise the name of mangrove wood by the term Loraro/Wuwa 'ata wood

which means very strong and durable for the construction of buildings as well

as excellent for firewood. Another activity that contributes significantly to the

damage of mangrove is the opening of ponds for aquaculture.

It is worrying if there is no model of economic valuation that can be the basis

for rehabilitating mangrove forest; the ecosystem can be lost. A model of economic

valuation of the mangrove resource, it can be used as a reference in terms of the

Page 42: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

3

allocation of the utilization of mangrove forests in this area and t

Model of economic valuation describes the procedures or conceptual

framework, based on the spatial data, the ecological condition and the damage of

mangrove forest (which includes land form, land use, land structure, weather, types of

mangroves, mangrove structure and mangrove zonation). In addition, economical

assessment and ecologically mangrove use are also part of the basis for mangrove

rehabilitation.

his model helps the

management of mangrove forest to maintain the ecosystem.

II. LITERATURE REVIEW AND THE ORETICAL FRAMEWORK

2.1 Literature review

2.1.1 Concept of natural resources economic valuation

According to Max (1883, dalam Suparmoko, 2006), natural resources have

no value unless there is human activity in there. Instead, according to classical

economic experts, everything that can be brought into transaction must have a value.

In this case, the “value” is distinguished by “price”, “price” is always associated with

the amount of rupiahs that must be paid to obtain goods, while the value of an item is

not always associated with the amount of rupiahs but has included the benefits of

such goods for society as a whole. On the basis of this thought, there is a trend of

taking resources excessively. Furthermore, Davis and Johnson (1987) classify the

value based on method of judgment or value judgment, namely: (a) market value, the

value specified through market transaction, (b) the value of usability, the value

derived from the use of such resources by a particular individual, and (c) social

values, values that are specified by the regulations, legal representative, or the public.

While Pearce (1992 in Munasinghe, 1993) classifies values of benefits which

describes Total Economic Value based on the way the benefit obtained or its process.

Economic value of a product or service is measured by calculating the

willingness to pay from individuals over the product or service. Subsequently, the

willingness to pay reflects individual preference for a particular product being

Page 43: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

4

questioned. Therefore, economic valuation in the context of environment is about the

preference measurement of the locals for better environment. Valuation is the

fundamental for sustainable development. The most important thing to point out is

what needs to be done to execute economic valuation. The result of valuation is stated

in money terms as a way to find preference revelation. For example, asking ” do the

locals have a willingness to pay?”. In addition, it is stated that the use of money value

enables us to compare environmental values and development values (Cserge, 1994).

Basically, economic valuation aims at providing economic values to the used

resources thats suits the real value of the locals perspective. Therefore, it is important

to undertsand to what extent the bias occures between the price and the real value that

should be determined from the used resources. It is also important to fogure out

factors leading to the bias. Economics as a tool to execute economic valuation is a

knowledge of making choices. Making choices out of alternatives about environment

that we have iscomplicated, compared to the one in the context of purely private

goods.

Total economic values are economic values in natural resources, such as

usability and functional values that must be taken into account in drawing up the

management policy so that the allocation and its implementation can be appropriately

determined. As an illustration, for example, in the context of alternative land use

determination of the magrove forests. Based on the law of costs and benefits ( a

benefit-cost rule), the decision to develop a mangrove forest can be justified if the net

benefits from the development of the ecosystem is higher that that of conservation.

Thus, in this case, the benefits of conservation is measured by the total of economic

value of mangrove forests. Total economic value can also be interpreted as the total

economic value of the change in the quality of the environment.

2.1.2 Ecosystem and Zonation of Mangrove Forest

The mangrove forest is a general term used to describe a variety of tropical

beach communities that are dominated by a few species of distinctive trees and shrubs

Page 44: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

5

which have the ability to grow in salty waters (Nybakken, 1992). Mangrove forest is

a typical forest found along the coast or estuaries that are affected by the tides.

Mangroves grow in sheltered or flat beaches, usually along the side of the island,

protected from the wind or behind a coral reef in the sheltered offshore (Nontji, 1987;

Nybakken, 1992). According to Irwanto (2006, in Katili, 2009), mangrove forests are

complex ecosystem that consist of the flora and fauna of coastal areas, living on the

land and sea together, between the tides.

The notion of mangrove forests, according to Alikodra (1998), is a forest

formation that are affected by the sea water tides with anaerobic soil. Meanwhile,

Bengen (202) defines mangrove forests as tropical beach vegetation communities

dominated by a few species of mangrove trees that are ablto to grow and develop in

the muddy tidal beach. Mangrove forest is a type of typical rainforest growing along

the coast or estuaries that are affected by the sea water tides, mangroves are mostly

found on the beaches of shallow bay, estuary, the delta and sheltered beaches.

Mangroves grow optimally in the coaastal area that has a large muddy estuary,

whereas in the coastal areas with no estuariy, mangrove cannot grow optimally.

According to Aksornkoae (1993), mangroves can also grow optimally in muddy and

tidal areas which cause anaerobic conditions, this is due to the mangroves that have

roots which serve as a buffer and to absorb oxygen from the air of the water surface

directly.

Zoning mangrove forest is determined by the state of the soil, salinity,

flooding, tidal, the rate of deposition and erosion as well as the relative height of land

and water. Zoning also describes the stages of succession which are in line with the

changes in place to grow. The change are very dynamic place to grow due to the rate

of precipitation or erosion. Adaptability of a species to a state where mangroves grow

can determine the species composition in each zone. The farther from the sea then a

species will replace another type, and this process can take up to the transition area,

which is bordered by swamp communities, freshwater and inland forests.

Page 45: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

6

2.1.3 The Cause and Extent of Mangrove Forest Damage

Data from the Ministry of Environment (MoE) RI (2008) by Directorate

General of Land Rehabilitation and Social Forestry (DG RLPS), Ministry of Forestry

(2000) Indonesia states that vast potential of mangrove forests is 9.204.840.32 ha area

with a good condition 2,548,209.42 ha , the condition of damaged and defective

condition 4,510,456.61 2,146,174.29 ha. Data mapping results from Survey Center of

Natural Resources of the Sea (PSSDAL)-Bakosurtanal by analyzing Landsat ETM

image data (image data accumulated in 2006-2009, 190 scenes), estimating vast

mangrove in Indonesia is 3,244,018.46 hectares (Hartini, et al ., 2010). Ministry of

Forestry in 2007 also issue data on Indonesian mangrove forest, which is

7,758,410.595 hectares (Director of Forest and Land Rehabilitation Ministry of

Forestry, 2009 in Hartini et al, 2010), but almost 70% of it is broken (do not know

what kind of damage categories).

Mangrove damage can be caused by several factors, such as human activities,

pollution, sedimentation, waves, tides and currents. Human activities, such as illegal

logging, land clearing, waste disposal influence or give pressure on the mangrove

habitat. Sourced from the human desire to convert mangrove forests into land for

housing, commercial activities, industry and agriculture. Besides, the increased

demand for wood production also led to the increased exploitation of mangroves.

Other activities that cause damage to mangrove forests are clearing land for fish

ponds. This last activity contributes largely in this ecosystem destruction (Dahuri,

2002).

Land clearing ponds is not the only main cause of mangrove destruction as

described by Bengen and Adrianto (1998), but can also be caused by other factors,

such as high population pressure that demands higher mangrove conversion, planning

and management of coastal resources in particular past mangroves which are highly

sectoral, low public awareness about conservation and ecosystem services and

poverty of coastal communities that are forced by economic necessity, so as to

arbitrarily open land in the mangrove forest area to meet the needs of its economy.

Page 46: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

7

Similarly, for the purpose of obtaining illegal wood as building materials, firewood

and more. They still think that mangrove forests are common property and can be

used at any time and by anyone. Furthermore, Saparinto (2007) states that the level of

damage to mangroves can be divided into three conditions, namely: (1) damaged,

marked by endless mangrove forests in the region, the destruction of the ecological

balance, the high sea water intrusion and soil degradation, (2) moderate damage,

marked little remaining mangrove forest in the region, the ecological balance in the

levels of moderate and intrusion that occurred not too severe, and (3) not damaged,

the condition of mangroves is still well preserved and conserved.

2.1.4 Damaged Mangrove Forest Rehabilitation

Rehabilitation is essentially replanting mangrove forests that have been

damaged. Rehabilitation in order to operate effectively and efficiently should be

preceded by a survey to determine the potential for rehabilitation based on assessment

of physical conditions and vegetation. In many countries, efforts are being made to

restore habitats of destroyed mangrove by replanting program, or even plant

mangroves in the unknown / known areas before. The reasons vary. In some cases,

the goal is to preserve or re-create an ecosystem for its own sake. The more common,

replanting is done because of awareness of the value of mangrove resources for

fishing or other activities, or to prevent coastal erosion (Hogarth, 1999).

2.1.5 Mapping of Mangrove Damage

Remote sensing provides the only efficient way for mapping and monitoring

ecological changes in a large area. With respect to ecological zones, remote sensing

provides a means to observe regions on a global and local scale. Object identification

using remote sensing technology is implemented with several approaches, among

others; characteristic spectral imagery, visualization, floristic, geography and

phsygonomik Hartono (2003). In the object recognition through image generated by

the satellite system has been based on spectral characteristics. Different objects will

Page 47: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

8

give different spectral reflectance, even the same objects with different conditions

and densities will give different spectral value(Swain and Davis, 1978).

According Danoedoro (2009), the study of mangrove ecosystem through

spatially approach can be applied by using a large-scale image or a high spatial

resolution. Spatial approach enable us to see canopy texture and location that are the

focus of the research. To see if there are mangroves and non mangrove forest

medium-low resolution images printed on a scale of 1:300.000 1:100.000 can be

applied, with the assumption that the width of the smallest mapping unit is 1 mm or

equivalent to 100-300 meters. However, in reality, width 1 mangrove zones can be

less than 15 meters, and the printed image of this zone can be identified and mapped

to 1mm. Thus, the raw scale for detailed mapping is 1:15,000 mangrove zone

(although depictions of a wide zone of 1 mm will be less accurate) and the raw spatial

resolution is approximately 2.5 to 4 m.

Danoedoro (1996) describes that the input data can be done in three ways,

namely: scanning, digitized, and tabulation. Data management component includes

all operations preparation, activation, storage and re-printing all the data obtained

from the input data. Manipulation and analysis of data are to produce new

information. In some facilities, such as: spatial interpolation, ’tumpangsusun’ maps

(map crossing, ’tumpangsusun’ with the help of two-dimensional matrices or tables,

and calculations map), modeling and data analysis. Component output in the form of

new spatial information, it can be a map, chart or tabular printout and data as well as

in electronic form.

Furthermore, it is also noted that the SIG is able to analyze and convert the set

of spatial data into information for specific purposes. The key is the ability of GIS

data analysis to produce new information. One of them is ’tumpangsusun’ map

(overlay). GIS provides ’tumpangsusun’ facilities quickly to generate new mapping

unit in accordance with the criteria established (Danoedoro, 1996). The definition

suggests that GIS is a system that consists of various components that can not stand

on their own. Having a computer hardware along with the software does not mean

Page 48: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

9

that we already have a GIS when geographic data and human resources to operate it is

not available yet. As computer systems in general, GIS is simply a "tool" that has

special abilities. Human resource capacity to formulate problems and to analyze the

final result are very instrumental in the success of GIS.

2.2 Theoretical Framework

Mangrove forest in coastal Kwandang district has been damage because of the

use and management that have less attention to sustainability aspect. Damaged

mangrove ecosystem bring about impacts such as changes in area, disturbed

mangrove ecosystem productivity and running out of the diversity of mangrove

species in this region. Mangrove forest damage occurred in coastal areas of District

Kwandang is not only caused by the activities of people living around the mangrove

areas, but also caused by the acceleration of development in North Gorontalo

regency. Kwandang is one district that is part of the expansion in North Gorontalo

district as well as a district capital in the northern province of Gorontalo.

Development activities in the area, especially the area of expansion, can have

positive effects of such development, but at the same time carry a considerable risk,

especially on the environmental aspect. Therefore, these two aspects need to be taken

into account in a balanced way. Similarly, clearing mangroves for shrimp farming

with the main aim to meet the needs of people living in economic terms, but it can not

be denied the opening of the pond actually provide the greatest threat to the existence

of the mangrove ecosystem that can cause damage to mangrove forests and even lead

to the extinction of certain species of biodiversity owned mangrove forest. Mangrove

forest damage brings about the inability of the region in supporting its surrounding.

Mangrove forests can be characterized by the presence of high biodiversity that is

able to provide benefits to life. To determine the extent of mangrove forest

destruction, we must know the spatial distribution and extensive destruction of

mangrove forests in coastal areas Kwandang district of Gorontalo Province, which

was preceded by mapping land units based on landform and land use patterns with

Page 49: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

10

overlapping stacking (overlay) maps that utilize technology geographic information

systems. Information on landform units can be obtained through multitemporal image

interpretation which includes Landsat ETM+ in 2000, the image of ALOS/AVNIR-2

(Advanced Land Observing Satellite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

type-2) in 2010, and field tests, 2010. Then the results of image interpretation were

mapped. Changes in the area that suffered from damage using Landsat ETM+ in 2000

and the image of ALOS AVNIR-2 in 2010, the use of those two recording from

different times is to get the exact and accurate data on damaged mangrove areas.

The use of land in an area can provide a snapshot of the community land-use

activities that can be used as an indicator of how society treats the natural resources.

Existing land-use change can be used to evaluate the shape or pattern of human

interaction, soil, and plants that exist on the land. Land use in 2000 and in 2010 using

1991RBI map as a reference in mapping and interpretation of the results of Landsat

ETM+ in 2000 and the image of ALOS AVNIR-2. Land use in 2000 derived from

Landsat ETM+ in 2000, and field checks in 2010 and 2010 land-use information

obtained by the interpretation of 1:50,000 scale map RBI in 1991, the image of ALOS

(Advanced Land Observing Satellite) AVNIR-2 (Advanced Visible and near Infrared

Radiometer type-2) in 2010, and field checks in 2010. In this study we limit the use

of land and refer to certain types of land uses that are directly related to the

destruction causes of mangrove forests.

Data retrieval of mangrove forest destruction was done by stratified sampling,

which is based on units of land damage mangrove forests, which more focused on the

damaged mangroves. For the location of the sample was selected by mangrove

conditions criteria. Economic assessment based on mangrove ecosystem damage. The

variables included in this study are all utilization derived from mangrove forest

ecosystem, both direct and indirect use of economic value. The economic value of

direct use include wood for firewood and building materials, the catch of fish, shrimp,

crabs, and birds, while indirect economic value derived from retaining the ecological

Page 50: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

11

functions of intrusion, anchoring wave and flood control, and as a source of feed

providers. Besides that, we also measured the option value, the biodiversity and

carbon storage, the value of the presence of endangered species, protected species and

habitat protection, and heritage value. Due to the costs limitations, other variables that

are part of the utilization of mangrove are not include, such as the value of education

and research, salt, preservatives, dyes nets, and so on. In addition to the variable

component of the mangrove ecosystem value, we also involved socio-economic

characteristics variables include demographics, level of education, income and

expenditure; mangrove forest ecological characteristics variables include landforms,

land use, land units, soil conditions, climate, and characteristics of mangrove forest

destruction variable which covers over the functions of mangroves and mangrove

forest area changes.

Figure 2.2 shows a brief theoretical framework that was built to bridge the

literature review with the methods developed in this dissertation. In the picture shows

that to generate economic valuation models require different valuation methods based

on the level of damage to the mangrove ecosystem in coastal areas Kwandang

District, so that this economic valuation model is to be used as the basis for the

rehabilitation of mangrove forest destruction in the coastal district of Kwandang,

North Gorontalo

.

Page 51: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

12

Note: = Source = Process

= Results

Image 2.2 Scheme of theoretical framework on mangrove forest damage in research site

Mangrove forest

Damage

Assumption : Ecosystem sustainability is a long-

term ecological sustainability

Kwandang coast

Disturbed ecosystem productivity

The survival of most dependent ecosystems disturbed

Remote sensing imagery, petamap, and field data

lapangan

High biodiversity Need rehabilitation

Information about area, location, and the species of damaged mangrove,and

the damage intensity

Model for mangrove in other area in

Indonesia Economic valuation

of the mangrove forest damage

Need different valuation method based on the level of the damage of mangrove

ecosystem in Kwandang coast

Economic valuation model as the basis for rehabilitation of mangrove forest damage

Recommendation

1. Establish regulations (Perda) on the forestry which govern mangrove forests status

2. All aspects related directly with the utilization of mangrove should take into account ecological values

Page 52: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

13

III. RESEARCH METHODOLOGY

Gorontalo province has got extensive mangrove areas in the north coast of

North Gorontalo regency and in the south coast of Pohuwato. We chose North

Gorontalo regency as research areas since there is mangrove forest having high

biodiversity and unique zoning patterns which are different from zoning pattern in

general, although nowadays it has been damage. The location of this research spread

in 6 (six) villages; Bulalo, Dambalo, Leboto, Molinggapoto, Moluo and Mootinelo.

3.1 Materials, data and tools in Research

3.1.1 Materials

Materials used in the research are:

1. Images of Digital Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) with a

spatial resolution of 30m the year 2000 recording used to create maps of land

use, vegetation maps, and map mangrove destruction

2. Images of ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satelite/

in 2000

Advanced Visible

and Near Infrared Radiometer type-2) with a spatial resolution of 10m in 2010

recording are used to create maps of landforms, land use maps, vegetation maps,

damage maps, vegetation maps, and to calculate the carbon

3. RBI Indonesia map scale 1:50,000, Sheet 2216-64 Kwandang 1991, used as a

reference to the geometric and topographical maps of administration, sample

location maps, maps of landforms, land use maps of 2000, land use maps of 2010,

maps of vegetation cover in 2000, maps of vegetation cover in 2010, the map of

mangrove destruction in 2000, the map of mangrove destruction in 2010, the land

unit maps, and map vegetation.

.

4. The map created by the interpretation of landforms map RBI, District

Administration Map Kwandang In 2010, Geological Map Sheet Tilamuta, Citra

Alos AVNIR-2 in 2010

5.

.

Land Use Map of 2000 made from the interpretation of RBI map, Map Kwandang

District Administration in 2010, Landsat ETM+ in 2000.

Page 53: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

14

6. Land Use Map of 2010 made into interpretation RBI Map, Map Kwandang

District Administration in 2010, Image ALOS/AVNIR-2

7.

2010.

Land Unit map created by stacking ride thematic maps that have been prepared

consisting of map RBI, Map Kwandang District Administration in 2010, Map of

landforms of 2010, Land Use Map in 2010, for consideration in determining land

units

.

3.1.2 Secondary Data

Secondary data needed in this research are:

1. Secondary data consisting of climate data (rainfall and number of rainy days per

year) for the past 6 years are used to analyze the climatic conditions in the study

area

2.

.

Data in Figures (Data Dalam Angka) North Gorontalo regency in 2010, and the

DDA District Kwandang in 2010

3.

.

Secondary Data and information from the Office, government technical

institutions associated with this study

.

3.1.3 Tools

Tools used in this research are:

1. Computer Notebook Toshiba, Intel Core 2 Duo.

2. Software SIG Arc View 3.3 version, ENVI 4.8, extensi xtool, extensi transform

and registry tool GIS were used in processing and manufacturing of display or

layout map, and the extension is an extension of an additional edit tools used for

editing the

3.

map.

Microsoft Office Excel 2007 programs to assist the calculation related to

mapping, vegetation analysis, carbon calculation, economic valuation of

mangrove forests.

Page 54: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

15

4. Stationery as supporting work in the field, sheet checklist for field work, which is

to check the condition of the field, questionnaires for the fishermen,

communities, and stakeholders around Mangrove Forest

5.

.

Tools for surveys and field measurements include:

a.

Global Position System (GPS) receiver garmin e-map, to determine

the location coordinates

b.

research in the field.

Ground drill for soil sampling that

c.

will be analyzed in the laboratory.

Salinometer to measure salinity (salt content) dissolved

d.

in water.

Litmus paper to measure the acidity or wet soil

e.

and water.

Digital cameras to document images of objects

f. Data cable

in the field.

for transfer of image objects from digital cameras to

g.

computers.

Tape recorder to record interviews

6.

.

The analysis soil device in the laboratory of Hydrology and Water Quality,

Faculty of Geography

, Universitas Gadjah Mada.

3.2 Population and research sample

3.2.1 Population

Population is generalisationn area which consists of objects /subjects having

specific qualities and characteristics determined by researcher to be studied and taken

its conclusion (Sugiyono, 2009). The population of this research is all mangrove

areas, communities, community leaders, agencies concerned with the problems

studied both in the District of North Gorontalo, and Gorontalo province. Mangrove

damage is the main object of study. This study was conducted using the economic

valuation approach to the level of mangrove destruction

O

.

ther factors that also utilize the mangrove are community in general and

fishermen in particular. Aspects of the targeted study to the community include the

utilization of mangrove, by examining the socio-economic conditions in relation to

the utilization of mangrove itself. The population taken based on the livelihoods of

Page 55: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

16

people is 3432 people. The population of land units in the mangrove forests for the

year 2010 were identified by map land units are 41 units divided into 9 land units

.

3.2.2 Research Sample

Determination of research sample in the field was done using stratified

random sampling.

Considerations taken in determining the location of the sample is

difficulties or easyness to recognize an object at the time of interpretation, complexity

and affordability in achieving the specified sample locations. In determining the

sample points on each unit of land would still consider the land use of mangrove

forest land use that has changed from the destining. Land units are obtained from

overlapping stacking landform maps and maps of land usage/utilization of mangrove

forest. Results of landform parameters ovderlay and closure / land use mangrove

forests in the study area produce 31 units of land are divided into 9 classes of land

units.

3.2.3 Sampling Technique of Land Unit

The technique of soil sampling with stratified sampling in which technique

sampling is performed based on the characteristics of the elements defined to the

target population obtained. The determination of sampling was based on distribution

of soil types in both study sites contained vegetation, and that has been turned into

farms and gardens. Under conditions of a homogeneous damage then taking a soil

sample points were represented by 11 sample points from a total of 31 sample points

plot observations. This is done with the consideration that the type of soil in the study

area already exists, but it is necessary for the precision of the soil samples for

laboratory testing

. Components measured and analyzed in laboratoty include soil

condition e.g soil texture, soil texture class, pH H20, ph KCL, total nitrogen, P

available, K available, KPK, Ca, Mg, K, Na, alkali saturation, organic material, and

salinity.

Page 56: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

17

3.2.4 Sampling Techniques of Socio-Economic Aspects of Community

Stratified sampling is used to determine the respondents in the sampling area

since every village in the district Kwandang have different characteristic, some are

dense the others are not. In choosing the respondents from every area we use random

sampling in which every individual is given an equal opportunity to be respondents.

The respondents are fishermen, farmers, farm workers, merchants, community leaders

, the stakeholders of both provincial and local governments

.

The number of respondents was 2% of 3432 total population in the six

villages, it is due to a limited time and funds. There were 65 respondents. Another

thing that is done to complete the data was conducted interviews with three

respondents from community leaders, stakeholders both provincial and local

governments during survey and

field measurements.

3.2.5 Vegetation Sampling Techniques

Vegetation sampling techniques include vegetation structure by making

square transect marked by rope. Each transect was 30x30 meter condering spatial

resolution of image used. Then, diameter, crown height, free banch height and the

width of every tree are mapped and recorded. Total transect made were 31 sample

points, from the sea to land. Mangrove species in research area was known by doing

direct identification in each transect. Any species of mangrove found in the transects

were recorded.

3.2.6 Data Collection in Agencies

Sampling on agencies used purposive sampling method, that is sampling

techniques based on specified characteristics of the target population elements

obtained. The technique is based on certain traits thought to have ties with the

research conducted. This method is used by the consideration that only certain

agencies that have activities in accordance with the study. After the establishment of

the agency conducted only certain parts that were targeted for interviews. The

Page 57: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

18

relevant agencies were the Central Statistics Agency (BPS) District of North

Gorontalo, Gorontalo province BPS, Forestry and Plantation North Gorontalo

District, Fisheries and Marine North Gorontalo District, Gorontalo Province

BALIHRISTIK, Planning North Gorontalo District, the Meteorology, Climatology

and Geophysics Gorontalo Province

.

3.3 Research variables

The variables consisted of: 1) Socio-Economic Characteristics Variables

which are the population, level of education, income and expenses, 2) Environmental

abiotic Characteristics variables ie landform, land use, land units, soil conditions,

climate, and 3) Characteristics of Forest mangrove Degradation Variable ie over the

functions of mangroves and mangrove forest area changes; 4) Economic Valuation of

mangrove Forest Variables ie direct use values and indirect use values, 3) the value of

options, 4) the value of the presence of endangered species, protected species and

habitat protection, 5 ) heritage value

.

3.4 Research Procedure

1. Preparation of thematic maps covering Interpretation Landsat ETM+

2.

in 2000 and

ALOS/AVNIR-2 in 2010, landform map, map use / land use, land unit map, map

of the land, vegetation closure map, map of mangrove forest degradation.

Mangrove ecosystem analysis based on the map include abiotic environment

characteristics, the condition of mangrove vegetation structure, socio-economic

conditions.

3. Analysis of economic valuation of mangrove forests techniques and methods of

calculation of economic valuation of mangrove forests that used are from all the

benefits derived from mangrove forests either in the form of mangrove products

and services

.

Page 58: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

19

The techniques and methods of calculation of economic valuation of mangrove

forests are presented in Table

Tabel 3.5

3.5.

The techniques and methods of calculation of economic valuation of

mangrove forestsEconomic values of mangrove forest

Valuation

A. Direct use value

1. Firewood Market price, the price of firewood

2. Wood Market price, the price of buildings wood

3. Fish catches Market price, the price of fish catches

4. Shrimp Market price, the price of shrimp

5. Mangrove crabs Market price, the price of mangrove crabs

6. Ecotourism fare

7. Knowledge Direct cost

B. Indirect use value

1. Intrusion barriers Replacement costs, the costs to obtain

fresh water

2. As a shield, anchoring wave (tsunami)

and flood control

Replacement cost, the cost to build the

break water infrastructure and water-

retaining wall used as a protective barrier

wave and flood control

3. Feed provider Market price, the price of feed

C. Value option

1. Biodiversity Biodiversity value in US $ 1500/km²

2. Carbon storage Carbon value 1 ton US $ at recent

3. Maintaining micro and macro climate mangrove

forest

Relocation costs which is the cost of

planting, seed costs spent to preserve the

mangrove forest back that have been

damaged

D. Existence value

1. Endangered species, protected wildlife, dan

habitat protection

Endangered species value US $ 30 ha/year

E. Heritage value contingent valuation methotds

Source : Primary Data, 2010

Page 59: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

20

4. Total economic valuation of mangrove forest degradation calculation of the total

economic value of mangrove use adding the direct use values, indirect use value,

option value, existence value, and the value of heritage

5.

.

Mangrove rehabilitation efforts analysis of mangrove rehabilitation based on a

value derived from the destruction of mangrove forests based on the weight value

of mangrove destruction condition in the study site. The classification based on

standard criteria of the condition of mangrove destruction of mangrove forests to

the criteria of good-very solid, well-being, broken-rare. Meanwhile, mangrove

rehabilitation activities conducted through mangrove replanting analyzed based on

the results of the questionnaire. This value will be used as a reference in order to

rehabilitate the damaged mangrove conditions

6.

.

Economic valuation model formulation as a basis for the rehabilitation of

mangrove forest degradation in sub kwandang economic valuation modeling that

will be used as the basis for the rehabilitation of mangrove deforestation in sub

Kwandang obtained by involving the various constituent components of the

analysis variables. The resulting valuation model can prove that the ecological

value of the economic value of mangrove forests is greater than the economic

value derived from the direct use, so the exact value of ecological value due to

damage to the ecosystem is acceptable

.

IV. RESEARCH AREA

4.1 CONDITIONS

Condition of Regional Mangrove Ecosystem Research

4.1.1 Geographical, administration and total area

District Kwandang by Region in Figures (DDA), 2010 consisted of 13

villages. Broad research areas based on BPS is 301.26 km², broadly based on

calculations with the help of Geographic Information System (GIS) is 306.23 km².

The big difference in the results between BPS and the calculation results with GIS,

due to the computation of BPS is based on extensive calculations pursuant to the

certificate of land without the use of the calculation of the image. While all of the

Page 60: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

21

data for this study will refer to the area based on the image ALOS/AVNIR-2

(Advanced Land Observing Satellite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

type-2) year recording

Based on extensive village located in the study area, the village has a greatest

is Bualemo, 117.96 km ² or 38.52% wider than the other in District Kwandang

Village, and the smallest village is Moluo at 4.6 Km ² or 1.51 %. Of the 13 village

visible on the map District administration Kwandang, only six villages were selected

for sampling; Molingkapoto, Mootinelo, Leboto, Bulalo, Villages and Moluo

Dambalo, with distribution of sample points ,31 points. It is based on the destruction

of mangrove forests that occur in the region.

2010.

4.1.2 Climate

Rainfall in Kwandang region in year 2006-2011 make a huge influence on

mangrove growth in this area. Preview average rainfall year interval 2006-2011 is

presented in Figure 4.2

.

Figure 4.2 Average Rainfall Interval Time Year 2006-2011 District

Kwandang

1524 1500

2289

1007

2904

2432

83 66248 125 89 98

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Curah Hujan Jumlah Hari Hujan

Page 61: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

22

4.1.3 Landforms

The village area in research sites is composed of 6 landforms which are hill

non-limestone sedimentary rocks interspersed with calcareous sediments, eroded

slopes of foothills, tidal flats, rocky mountains dominant non-volcanic intrusions,

alluvial plains and coastal alluvial plains. Of the six landforms in the study sites were

dominated landforms eroded slopes of foothills and tidal mud flats.

4.1.4 The land use

This study produced the data of land use for two different years, 2000 through

interpretation of Landsat ETM+Image Digital recording in 2000 and land use in 2010

through the recording in image interpretation ALOS/AVNIR-2 2010. Analysis of

these data provides information how far the development of land use patterns in the

study site in the past 10 years.

Based on the interpretation of 1:50,000 scale map of 1991 RBI Kwandang

sheet, Map Kwandang Administration in 2010, Digital Image Landsat ETM+

(Enhanced Thematic Mapper Plus) recording in 2000, and checking the field in 2010,

mangrove area that has been converted into farms is 115.9 ha located in the village of

Bulalo with an area 42.73 ha, and in the Village area of 73.17 ha Moluo. Land use

patterns in the study sites, for Molingkapoto Village, Village Mootinelo, Leboto

village, and the village Dambalo there are not any use of land for farms. Meanwhile,

based on the interpretation of 1:50,000 scale map of 1991 RBI Kwandang sheet, Map

Kwandang Administration in 2010, Image ALOS/AVNIR-2 in 2010, and field checks

in 2010, for the use of land in the year 2010, there was a change of use of land for

villages in which in 2000 there have not been there for the opening of the pond. In

2010 has seen the opening of the pond, in Molingkapoto village there is widely 110.3

hectares pond,in Village Mootinelo existing pond area covering is 111.1 hectares, in

village Leboto is 167.6 ha, while for Dambalo village pond area there covering 25.96

hectares.

Page 62: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

23

The land use for the pond in the village of Bulalo and Moluo in 2010 has

changed. Now, in Bulalo village pond area is 105.2 ha, while for Moluo village there

are 70.94 hectares pond. Based on this data, in Villages Bulalo there are increasing

areal extents of shrimp ponds due to human activity that continues to exploit the

mangrove areas, while for Moluo village, there is a change in pond widespread , in

2000 the mangrove area has been converted into farm is 73.17 hectares, now there

has been a decline into 70.94 ha pond area, this is due to the growth of mangroves in

the area of former mangrove.

In the location of the study was only found 6 types of landforms that non-

limestone sedimentary rocky hills interspersed with calcareous sediments (D2B),

eroded slopes of the foothills (D1a), tidal mud flats (M1), the dominant volcanic

rocky mountains of non-intrusion (D1a), alluvial plains (F2), coastal alluvial plains

(F1). To discover to what extent the change of use that occurred in the area of

mangrove forests in the year 2000 and the year 2010 can be seen from the results of

the analysis of mangrove land units in the region for two different times. The results

of the analysis unit of land for mangrove area in 2000 found 34 land units, while in

2010 found 41 land units. This land units provide evidence that the resulting damage

mangrove forest in the study site was the impact of land use of mangrove forest that

has changed into ponds, gardens, fields, settlements, ports, shrubs, and agricultural

land (moor)

.

4.1.5 Land

Laboratory analysis results of Hydrology and Water Quality of the Faculty of

Geography, Gadjah Mada University and field test shows mangrove soils at the study

site that the texture of soil conditions at point of 28, 4, 5, 23, 24, and 31 that still have

mangrove vegetation which consists of coarse sand (2.77% -62.33%), very fine sand

(5,35% -19,58%), sand (9,87% - 67,68%), dust (19,30% -58,07% ), and clay (13,02%

- 35,71%), with the condition of the soils in the area then look mangrove Kwandang

dominated by Avicennia and genus Sonneratia that live well on sandy soil,

Page 63: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

24

Rhizophora sp more like fine dust, and Bruguiera sp like clay containing little organic

matter, whereas there is no vegetation (has been converted into farms and gardens)

that the soil texture of coarse sand (7,28% - 42,72%), very fine sand (4,02% -

18,14%), sand (11,30% - 60,86%), dust (24,66% - 58,07%), and clay (14,48% -

31,32%).

When viewed from the soil texture Kwandang mangrove areas are not suitable

for a pond because the sand content (> 50%) so it is less able to hold water and easily

destroyed. This is confirmed by research Johari (2009), that the soil is good for the

pond is a type of soil with a high clay content and low sand content, high sand

content is generally not suitable for the pond, because in addition to high porosity soil

holding capacity is low so it is easy regardless if used to build the levees. Soil texture

also define a suitable water source for the pond. Seeing this data confirms that the

region Kwandang more suitable for planting mangrove than made pond.

4.1.6 The change of Mangrove Forests use

4.1.6.1 Spesies Mangrove

Mangrove species foundin research sites are 16 species; Rhizophora

mucronata Blume, Rhizophora apiculata Lamk, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou,

Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob, Brugueira gymnorrhiza (L) Lamk, Bruguiera

paviflora (Roxb) W&A, Sonneratia alba J.E. Smith, Soneratia caseolaris (L) Eng,

Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem, Xylocarpus granatum Koen (niri), Avecennia

alba Blume, Avecennia marina (Forsk) Vierh, Avicennia officinalis (L) Lamk,

Acanthus ilicifolius L, Heritiera littoralis Dryand. Ex W.Ait, Aegiceras corniculatum

(L.) Blanco, and their spatial distribution is posited in ALOS/AVNIR-2 image.

Page 64: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

25

4.1.6.2 Mangrove vegetation structure

a. Mangrove vegetation structure and the Importance of the Criteria Level

Damaged Trees

In Table 4.7, there are a certain species that have high vegetation parameter

values and it can characterize the dominant species in a community. Species

Avicennia alba Blume has important value of 89,3%, the dominance of 312 cm ², a

frequency of 0,42%, a density of 0,05 m², this which makes the species Avicennia

alba Blume showed the most dominant (30%) of the species other. While species

Aegiceras corniculatum (L.) Blanco had an uneven spread, it was only found at a

certain point. This is indicated by the smallest critical value 3,03%, the dominance of

4,91 cm ², a frequency of 0.03%, a density of 0.001 m².

Table 4.7 Mangrove vegetation structure and the Importance of the Criteria Level Damaged Trees

Species K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)

Avicennia alba 0,05 34,6 312 31,9 0,42 22,8 89,3 Sonneratia alba 0,024 16,9 210 21,5 0,29 15,8 54,2 Avicennia marina 0,018 12,3 133 13,6 0,19 10,5 36,5 Brugueira gymnorrhiza 0,011 7,69 85,1 8,71 0,16 8,77 25,2 Rhizophora Apiculata 0,01 6,92 52,7 5,39 0,19 10,5 22,8 Xylocarpus mulocensis 0,006 3,85 36,3 3,71 0,16 8,77 16,3 Soneratia caseolaris 0,006 3,85 38,6 3,94 0,13 7,02 14,8 Ceriops decandra 0,007 4,62 48,5 4,96 0,06 3,51 13,1 Rhizophora mucronata 0,004 3,08 14,3 1,46 0,06 3,51 8,05 Ceriops tagal 0,003 2,31 18,9 1,93 0,06 3,51 7,75 Xylocarpus granatum 0,003 2,31 8,65 0,89 0,03 1,75 4,95 Avicennia officinalis 0,001 0,77 14,7 1,51 0,03 1,75 4,03 Aegiceras corniculatum 0,001 0,77 4,91 0,5 0,03 1,75 3,03

SourceS : Primary data Analisys, 2010

Page 65: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

26

b. Mangrove vegetation structure and the Important Value of Stake Level In

Damage Criteria l

Berdasarkan analisis vegetasi untuk tingkat pancang terlihat adanya spesies-

spesies tertentu yang memiliki nilai-nilai parameter vegetasi yang tinggi dan hal ini

dapat mencirikan spesies yang dominan dalam suatu komunitas. Spesies-spesies

mangrove tersebut, yakni Rhizophora apiculata Lamk adalah spesies yang paling

mendominasi di lokasi penelitian sebesar 15% dengan nilai penting sebesar 46,5%,

dominansi sebesar 174 cm², frekuensi sebesar 0,32%, dan kerapatan sebesar 0,02 m²,

sedangkan Rhizophora mucronata Blume memiliki nilai penting sebesar 39%,

dominansi sebesar 111 cm², frekuensi sebesar 0,39%, dan kerapatan sebesar 0,05 m².

Hal ini dapat berarti bahwa penyebaran mangrove Rhizophora dapat dikatakan merata

pada lokasi penelitian dan karena memiliki dominansi yang besar dibandingkan

dengan spesies lainnya di lokasi yang sama ini dapat berarti bahwa bentuk pohon

Rhizophora apiculata Lamk lebih besar dan memiliki penutupan tajuk yang lebih luas

dibandingkan dengan spesies lainnya. Struktur vegetasi mangrove dan sebaran

spesies dominan untuk tingkat pancang disajikan pada Tabel 4.8

Based on the analysis of vegetation to levels is seen any pilling certain species

that have high vegetation parameter values and it can characterize the dominant

species in a community. Mangrove species, Rhizophora apiculata Lamk is the most

dominant species in the study sites by 15% with a significance of 46,5%, amounting

to 174 cm² dominance, frequency of 0,32%, and a density of 0,02 m², while

Rhizophora mucronata Blume have significant value by 39%, the dominance of

111cm², a frequency of 0,39%, and a density of 0,05 m². This could mean that the

spread of mangrove Rhizophora can be said evenly among the sites and because it has

a huge dominance compared to other species in the same location, may mean that the

shape of the tree Rhizophora apiculata Lamk is larger and has a crown cover greater

than other species. Mangrove vegetation structure and distribution of the dominant

species on stake levels are presented in Table 4.8

Page 66: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

27

Tabel 4.8 Mangrove vegetation structure and the Important Value of Stake Level In Damage Criteria

Species K Kr D Dr F Fr INP (m²) (%) (cm²) (%) (%) (%) (%)

Rhizophora apiculata 0,02 1,72 174 32,9 0,32 11,9 46,5 Rhizophora mucronata 0,05 3,72 111 21 0,39 14,29 39 Ceriops decandra 0,39 31,9 10,8 2,04 0,13 4,762 38,7 Avicennia alba 0,14 11,2 58 10,9 0,35 13,1 35,2 Avicennia officinalis 0,26 21,1 17,8 3,35 0,1 3,571 28,1 Sonneratia alba 0,04 2,99 43,6 8,23 0,39 14,29 25,5 Ceriops tagal 0,01 0,54 52,4 9,89 0,35 13,1 23,5 Avicennia marina 0,13 10,3 18,6 3,51 0,19 7,143 21 Brugueira gymnorrhiza 0,1 8,08 25,2 4,76 0,19 7,143 20 Bruguiera paviflora 0,03 2,45 9,1 1,72 0,1 3,571 7,74 Xylocarpus mulocensis 0,06 4,81 2,83 0,54 0,06 2,381 7,73 Xylocarpus granatum 0 0,18 2,32 0,44 0,06 2,381 3 Soneratia caseolaris 0,01 0,45 2,67 0,5 0,03 1,19 2,15 Heritiera littoralis 0,01 0,54 1,13 0,21 0,03 1,19 1,95 Sources : Primary Data Analysis, 2010

c. Mangrove vegetation structure and The Importance value of seedling level

in Damage Criteria

The result of importance value for mangrove seedlings at the site showed that

there are two species of mangrove seedlings that have high great value for the

dominant 21% for Rhizophora apiculata Blume species with critical value of 42,74%,

density of 0,357 m², frequency of 0.23% and species Rhizophora mucronata Lamk

with critical value of 41,22%, density of 0,303 m², frequency of 0,26%. Mangrove

vegetation structure and distribution of the dominant species for seedlings are

presented in Table 4.9

Page 67: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

28

Tabel 4.9 Mangrove vegetation structure and Importance value of seedling level in Damage Criteria

Species K KR F FR INP

(m²) (%) (%) (%) (%)

Rhizophora apiculata 0,357 26,1 0,23 16,7 42,74

Rhizophora mucronata 0,303 22,2 0,26 19 41,22

Ceriops tagal 0,182 13,3 0,16 11,9 25,23

Avicennia alba 0,172 12,6 0,16 11,9 24,5

Acanthus 0,154 11,3 0,06 4,76 16,05

Avicennia marina 0,068 4,96 0,13 9,52 14,48

Xylocarpus mulocensis 0,053 3,9 0,13 9,52 13,42

Brugueira gymnorrhiza 0,036 2,6 0,13 9,52 12,12

Sonneratia alba 0,031 2,27 0,06 4,76 7,04

Ceriops decandra 0,011 0,81 0,03 2,38 3,19

Sources : Primary data Analysis, 2010

4.1.6.3 Mangrove Zonation

Zoning profiles in the study site is unique compared to existing mangrove

forests in other areas. One of the uniqueness comes from variations in the type living

that is not as same as the pattern of zoning in general. Vegetation analysis results

based on importance value index and vegetation index based imagery and field tests

were found from the coast to inland, each species are associated with each other in a

single layer, so the zoning in this area is a simple entry zoning which consists of one

zoning or mixed.

Zoning profile in coastal areas of Kwandang District does not consists of

several zoning, since there is no pure zoning one genus only, found only one mixed

zoning, where each species grows again until towards the mainland, and grow

intermingled among several species, there are not any dominant species to determine

the zoning division.

Page 68: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

29

4.1.7 Changes in mangrove forest

Data analysis result of mangrove forest destruction in 2000 data showed that

total area of mangrove forest at the study site was an area of 759,1 hectares, the

damaged area of 155,8 hectares with damage condition is completely destroyed with

no further discovery of mangrove vegetation at the site, an area of 106 hectares or

14% of the total area of mangrove forests, meanwhile, was broken-rarely is covering

49,8 hectares or 7%. For mangrove areas with well-very solid criterion is measuring

570.3 hectares or 75% of mangrove forest in 2000, and extensive mangrove areas

with well-

Mangroves damage in 2010 achieved an increase of 41% from 21% in 2000,

bringing the total mangrove destruction in 2010 to 62%, where the mangrove areas

that have been damaged has reached 687,3 hectares, with the condition of the damage

is broken total, no more mangrove vegetation, is covering 551,5 hectares or 51% of

the total area of mangrove forests, while a rarely damaged condition is covering 135,8

hectares or 12% of the total area of mangrove forest. Meanwhile, the mangrove areas

with well

being criteria are measuring 33 hectares or 4%. If this condition compared

with the damage in 2010, there has been rapid change of area.

-very solid criterion is measuring 341,8 hectares or 31% of the total

mangrove forest area in 2010, and the condition of mangroves to the criteria well-

From the data obtained, teher is visible difference in the total area of

mangroves in the area of research, in which delineate areas for mangrove area in 2000

covering an area of 759,1 hectares of mangrove and in 2010 an increase in the extent

of mangrove area to 1093,7 hectares. Looking at the data, it is assumed that prior to

2000, there has been rehabilitation of mangrove forests in areas that are already

damaged, but not yet read by the Landsat ETM

being is an area of 64,6 hectares or 6% of the total mangrove area.

+ because the species is still a seedling

planted. This condition is confirmed by data from a personal interview with the

Department of Forestry and Plantation Kwandang District, represented by Mr

Emmanuel Ruruh and teams directly involved in the activity, Rauf (45 th) that prior

to 2000, there has been rehabilitation activities undertaken by one of the universities

Page 69: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

30

in Gorontalo, STKIP (UNG now) from 1993 to 1995. Concrete manifestation of the

results of these activities can be seen with the addition of extensive areas of

mangrove forest in 2010, despite the condition of the damage is further increased,

reaching 687,3 hectares, of which damaged a total area of 551,5 acres and rarely

damaged area of 135,8 hectares, even exceed the vegetation found in the year 2000

which is 603,3 hectares

.

V. ECONOMIC VALUATION OF MANGROVE FOREST DAMAGE

5.1 Economic Valuation Of Mangrove Forest Damage

Economic valuation of mangrove forest destruction proves that the economic

value derived from the ecological function is greater than economic value, therefore

maintaining mangrove is better than clear-cutting them for the opening of the farm or

other earmarked by reason of economic factors. Total economic valuation of

mangrove forest destruction and the proportion of value to the research sites are

presented in Table 5.20 and Figure 5.8.

Table 5.20 Total economic valuation of Mangrove in Kwandang district

No Type of value Total value Rp/ha/year

1 Direct use value 20,183,079,000

2 Indirect use value 23,213,053,409

3 Option Value 9,084,019,871

4 Existence Value 185,571,010

5 Value of Heritage 6,790,000

Total Value 52,672,513,290

Source : Primary data Analysis, 2010

Page 70: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

31

Figure 5.8 Proportion of Value Total Economic Valuation in Research Sites,

2010 5.1.2 Damage Rehabilitation of Mangrove Forests in the Study Sites

Rehabilitation of mangrove deforestation in the study site is entirely the

responsibility of the government, followed by the community and mangrove

conservationist groups in the site. After rehabilitation of mangrove forest conditions

in past five years, from 65 respondents who answered that the condition does not

change are 9,23% (6 people), better condition are 20% (13 people), worse condition

are 49,23% (32 people) and others 21,23% (14 people). Respondents that were

categorized as others answered no change in the condition of mangroves, it continues

to damage and no effort to replant.

Talking about rehabilitation in Kwandang district, the local government

should involve the community more fully in the hope that when the rehabilitation

movement is entrusted entirely to the people who are in the mangrove areas, they will

automatically feel posses mangrove forest. As a result, they will actively participate

to keep, maintain, and control the existence of mangrove forests that are located not

far from where they live. In addition, in rehabilitation should place more emphasis on

the damage conditions, such as in Mootinelo that have been damaged 2,6 km from the

coastline and vast damage reaching 181,29 hectares, and in Leboto with damage

25%

28%11%

36%

0%

Nilai Guna Langsung

Nilai Guna Langsung Tidak Langsung

Nilai Pilihan

Nilai Keberadaan

Nilai Warisan

Page 71: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

32

reaching 181,23 hectares, and Bulalo which is the damage is 80 meters from the

shoreline with extensive damage reaches 123,396. Those three villages immediately

need rehabilitiation.

5.3 Economic Valuation Model as the basis for the Rehabilitation of Mangrove

Forest Degradation

The model that will be developed in this research is procedural model or

conceptual framework acquired by involving various components analysis and

provide varying results. The damage of mangrove forests in the research site is in

rare-broken criteria. This indicates that the mangrove in the area is mostly gone. The

trigger of the mangrove forest destruction in the study site is mostly because of the

opening of the ponds, which are both productive and non-productive. From an

economic perspective this gives a huge advantage, but this situation will not last long,

which proved that many ponds are no longer productive. This is reinforced by the

findings of this study that based on the tests analysis of the soil conditions at the sites,

the sites are not suitable for the pond, because the soil texture in mangrove areas

Kwandang, the sand content is > 50% so it is less able to hold water and easily

destroyed.

Based on this study it was found that the people at the sites pay little attention

to the preservation of mangrove forest. This is mainly due to the low economic level,

the lack of knowledge, education, and awareness of the value of mangrove benefits to

their lives. Value of mangrove ecosystems are preferred for economic value only

while the value of the mangrove ecological itself continues neglected. This view that

must be straightened out, based on the findings of this study proved that the economic

value derived from ecological functions are greater value than economic value, where

the value comes from ecological function reaches 75,28% greater than direct use

value 24,7 %. Based on these findings prove that maintaining mangrove better than

clear-cutting for the opening of the farm or other earmarked by reason of economic

factors.

Page 72: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

33

The main contribution of this study is theoretically lies in the following aspects:

a. To perform an economic valuation of mangrove ecosystems, such calculations

should not simply based on use and non-use values obtained from the mangrove

ecosystem, but also there is a need to value the damage caused by this ecosystem.

So the ecological value of the mangrove itself is not necessarily abandoned. In

addition to the accuracy of the data and the real extent of the damaged mangrove

vegetation there are not only based on manual calculations in the field but also

must use spatial patterns in economic valuation derived from the image.

b. Valuation method used in this research, the researchers found new ways of doing

economic valuation such as modifying all the formulas that are used for each value

derived from mangrove forests by involving the spatial analysis and mapping.

Direct use value by including the value of the damage, find the linear regression

equation for the value of the catch of fish, shrimp, and crab, it is shown that the

vast mangrove then catches of fish, shrimp, and crabs increased. Indirect use value

which involve damaged area find the real value of mangroves function as intrusion

barrier, as protection, anchoring waves, and flood control, and functions of

mangroves as feed providers. The option value of mangrove’s function as carbon

storage obtained directly by calculating the value of the carbon in the field based

on the volume of species of mangrove trees and combined with the carbon value of

the image by using a regression equation. Value of the presence of rare species,

wildlife protection, habitat protection include a value of the findings in the field

based on ekofloristik composition and analysis of vegetation.

c. Economic valuation using spatial pattern needs to be done as one of the

foundations of ecological damage assessment, in order to determine the target

location, intensity of rehabilitation can be carried out with more precision.

In my opinion, the things mentioned above has not been done by other

researchers in Indonesia, either each aspect separately or the combination of all

aspects.

Page 73: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

34

VI. CONCLUSION, SUGGESTIONS AND IMPLICATION

6.1 Conclusion

1) The change rate of mangrove forest area seen from Landsat ETM+

2) Based on the analysis of mangrove vegetation, we found 16 species that inhabit the

mangrove forests in the region Kwandang. They are species Rhizophora

mucronata Blume, Rhizophora apiculata Lamk, Ceriops decandra (Griff.) Ding

Hou, Ceriops tagal (Perr.) CBRob, Brugueira gymnorrhiza (L ) Lamk, Bruguiera

paviflora (Roxb) W & A, Sonneratia alba JE Smith, Soneratia caseolaris (L) Eng,

Xylocarpus mulocensis (Lamk) Roem, Xylocarpus granatum Koen (NIRI),

Avecennia alba Blume, Avecennia marina (Forsk) Vierh, Avicennia officinalis (L)

Lamk, Acanthus ilicifolius L, Heritiera littoralis. Ex W.Ait, Aegiceras

corniculatum (L.) Blanco. Of those 16 species, there is a presence of a globally

endangered species, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, so that it is vulnerable

and require special attention to manage it. Vegetation analysis results based on

importance value index and vegetation index based on imagery and field tests

found from the coast to inland mainland, each species are associated with each

other in a single layer, so the zoning in this area is a simple entry zoning or mixed

zoning. Zoning Profile in coastal areas of Kwandang District do not consists of

several zonings, since there is no pure zoning which consist only one genus. We

found only one mixture zoning, in which each species grows to the mainland, and

grow intermingled between 16 species.

Digital Image

2000, mangrove forests in the study site is an area of 155.8 hectares damaged, and

in 10 years, based Image ALOS/AVNIR-2, mangrove area in 2010 changes that

have been damaged reaching 687,3 acres. Seeing this data an increase in mangrove

forest destruction reached 531,596 hectares, an increase of 63% from the present.

3) Based on the analysis of economic valuation on destruction of mangrove forests, it

was found that the use value of the total mangrove forest in study site reached

Rp52.672.513.290/10 years. If this value is divided into 10 years, the loss caused

by the destruction of mangrove forests reaches Rp5.267.251.329 annually. Out of

Page 74: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

35

the total economic value, foundthat the ecological value of the indirect use values

has a higher value than the other values, Rp23.213.053.409/10 years. Other types

of values obtained by the direct use values Rp20.183.079.000/10th, the option

value of Rp9.084.019.871/10 years, the value of the presence of rare, protected

species, habitat protection and heritage value of Rp185.571.010/10years

Rp6.790.000/10years.Economic destruction valuation of mangrove forests prove

that the economic value derived from ecological functions has greater value than

economic value, thereby maintaining mangrove better than clear-cutting for the

opening of the farm or other earmarked by reason of economic factors.

Economic valuation of mangrove forest destruction proves that the economic value

derived from the ecological function value is greater than economic value,

therefore maintaining mangrove is better than clear-cutting for the opening of the

farm or other earmarked for economic reasons.

(4) The results of this study found that the economic valuation model based on the

spatial data has not been done in Indonesia and economic valuation for aspects of

mangrove rehabilitation in Indonesia in terms of the damage has not been

discussed in detail. The model developed in this study which is in the form of a

framework for the economic valuation of ecological damage that requires absolute

spatial analysis and mapping process, involving many variables like social

characteristics variables, variable abiotic characteristics of the mangrove forest,

mangrove forest destruction characteristic variables and the variable valuation

mangrove forest economy. Funds allocated in 2010 for the rehabilitation of

mangrove forest destruction which 24 hectares is not worth the damage that 687,3

hectares and the rupiah from the economic valuation of mangrove forest

destruction is.

Page 75: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

36

6.2 Suggestion

1) Economic valuation using spatial pattern needs to be done as one of the

foundations of ecological damage assessment, in order to determine the location

target and intensity of rehabilitation can be carried out appropriately.

2) To conduct an economic valuation of mangrove ecosystems, such calculations

should not simply based on use and non-use values obtained from the mangrove

ecosystem, but also the value of the damage caused by this ecosystem needs in

value. So the ecological value of the mangrove itself is not necessarily abandoned.

Besides that, the accuracy of the data and the real extent of the damaged mangrove

vegetation has not only based on manual calculations in the field but also must use

spatial patterns in economic valuation derived from the image.

6.3 Implications

1) Changes in mangrove area using spatial patterns is needed to perform an economic

valuation, especially to obtain the real data of the level of mangrove forests

destruction; rarely damaged, totally destroyed, and in good condition.

2) Based on the abiotic characteristics of the mangrove forest, shrimp ponds that

occur in the study area were all in the area which was once a mangrove forest. If it

is viewed from the soil texture, Kwandang mangrove areas are not suitable for a

pond because the sand content (> 50%) so it is less able to hold water and easily

destroyed. Johari (2009) points out that the soil that is good for the pond is kind of

soil with high clay content and low sand content. Soil with high sand content is

generally not suitable for the pond, because in addition to its high porosity, its

holding capacity is low so it is easy to lose if it is used to build levee. Soil texture

also defines the suitable water source for the pond. This data confirms that the

region Kwandang more suitable for planting mangrove than making pond.

3) The results of the analysis indicate vegetation destruction of mangrove forests in

coastal Kwandang District are in very bad condition, with the rate of mangrove

vegetation density less than one or ranged on average from 0 to 0.3. Important

Page 76: MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK …repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3183_RD-201301051...rehabilitasi kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan

37

Value Index (IVI) found the most abundant species lost in the study site was

Avicennia alba Blume species that have significant value by 89.31%, the species

Rhizophora apiculata Lamk critical value of 46.52%, the species Rhizophora

mucronata Blume with significant value at 38.96%. This is due to the changes of

their habitat into ponds, gardens, fields, ports and so on. If this condition is

allowed to continue, it is likely that species Rhizophora mucronata will washed

out. Of those 16 species, there is a presence of a globally endangered species,

Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, so that it is vulnerable and require special

attention to manage it.

4) Lack of knowledge, education, and awareness of the value of mangrove benefits

for the community at the study site is a priority to be immediately improved, so

that the value of mangrove ecosystems resulting from the neglected ecological

value could be addressed. The view that the economic benefits are better than the

ecological value should be corrected since the economic value derived from

ecological functions are greater than economic value, where the value comes from

ecological function reaches 75,28%, whic is greater than direct use values 24,7%.

Economic valuation using spatial pattern needs to be done as one of the

foundations of ecological damage assessment, in order to determine the target

location, intensity of rehabilitation can be carried out more appropriately.