hukum acara perdata 5

50
PUTUSAN HAKIM/PENGADILAN Maruarar Siahaan dalam bukunya berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengutip pendapat Mr. M.P. Stein mengatakan bahwa putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. 1 Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 195 KUHAP yang berbunyi: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.” Dari bunyi Pasal 195 KUHAP di atas dapat ditarik kesimpulan juga bahwa putusan pengadilan yang tidak dibacakan di sidang terbuka untuk umum adalah putusan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun di bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut: 1 Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi. 1

Upload: rizky-ramadhan

Post on 18-Jan-2016

133 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Hukum Acara Perdata

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Acara Perdata 5

PUTUSAN HAKIM/PENGADILAN

Maruarar Siahaan dalam bukunya berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia yang mengutip pendapat Mr. M.P. Stein mengatakan bahwa putusan dalam

peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri

sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.1

Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 195 KUHAP yang berbunyi:

“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum

apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.”

Dari bunyi Pasal 195 KUHAP di atas dapat ditarik kesimpulan juga bahwa putusan

pengadilan yang tidak dibacakan di sidang terbuka untuk umum adalah putusan yang tidak

sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Adapun di bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut:

1. Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan

suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang

menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat

akibat-akibatnya. 2

2. Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan

putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi

wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis

1 Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.2 Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H. Pengantar Hukum Acara Perdata,penerbit: Alumni, Bandung,1974, hal. 105.

1

Page 2: Hukum Acara Perdata 5

2

dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu gugatan.

3. Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan

dan mengakhiri perkara perdata. 3

4. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah : suatu

pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan

dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa

antara para pihak. 4

Asas-asas Putusan Hakim

Dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang

diberi tugas untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan oleh undang-

undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum.

Agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum, maka putusan tersebut harus:

1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Artinya harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar

dasar putusan, serta menampilkan pasal dalam peraturan undang – undang

tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta berdasarkan

sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum

adat baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) hakim

3 Ridwan Syahrani, S.H.,Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,penerbit: Pustaka Kartini, Jakarta,1988, hal. 83.4 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,penerbit: Liberty,Jogyakarta,1993,Hal. 174.

Page 3: Hukum Acara Perdata 5

3

wajb mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan para pihak yang

berperkara.

2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50

Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara menyeluruh memeriksa

dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim

tidak boleh hanya memeriksa sebagian saja dari tuntutan yang diajukan oleh

penggugat.

3. Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan yang diajukan

(ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim yang mengabulkan

melebihi posita maupun petitum gugatan dianggap telah melampaui batas

kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau invalid, meskipun hal itu

dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur dalam Asas ini diatur dalam Pasal 178

ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.

4. Diucapkan di Muka Umum

Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam Undang

undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20. Hal ini tidak

terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, khususnya

dalam bidang hukum keluarga, misalnya perkara perceraian, sebab meskipun

perundangan membenarkan perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup.

Dalam pasal 34 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan

perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga

prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat dikesampingkan,

pelanggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.

Page 4: Hukum Acara Perdata 5

4

Jenis Putusan

Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang

kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai

berikut :

1. Putusan Akhir

adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui

semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua

tahapan pemeriksaan.

Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan,

tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :

a. putusan gugur

b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet

c. putusan tidak menerima

d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak

berwenang memeriksa

Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang

menentukan lain.

2. Putusan Sela

adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan

tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tidak mengakhiri

pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.

Page 5: Hukum Acara Perdata 5

5

Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah,

melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.

Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda

tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.

Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan

akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir. Hakim tidak terikat pada

putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya.

Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan

putusan akhir. Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang

sah dari putusan itu dengan biaya sendiri.

Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan

dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :

a. Putusan gugur

adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena

penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat

hadir dan mohon putusan. Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau

sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan. Putusan gugur dapat

dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :

Penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang

hari itu

Penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula

mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu

halangan yang sah

Tergugat/termohon hadir dalam siding

Page 6: Hukum Acara Perdata 5

6

Tergugat/termohon mohon keputusan

Dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat

pula diputus gugur. Dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar

biaya perkara. Tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara

baru lagi

b. Putusan Verstek

adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir

meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan.

Verstek artinya tergugat tidak hadir.

Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah

tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang

tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil

dengan resmi dan patut. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :

Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu

Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan

orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah

Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan

Penggugat hadir dalam sidang

Penggugat mohon keputusan

Dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus

verstek. Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belum menilai

secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat. Apabila gugatan itu beralasam dan tidak

melawan hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang

mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak

Page 7: Hukum Acara Perdata 5

7

perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian.

Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat

berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek

Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet).

Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya

lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding. Terhadap putusan verstek maka

penggugat dapat mengajukan banding. Apabila penggugat mengajukan banding, maka

tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding

Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran

dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan

verstek.

Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan

pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Perlawanan (verzet berkedudukan

sebagai jawaban tergugat)

Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil

pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan

verstek dan menolak gugatan penggugat. Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh

hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek

Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding. Putusan verstek yang tidak

diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan

akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Putusan kontradiktoir

adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak

Page 8: Hukum Acara Perdata 5

8

dihadiri salah satu atau para pihak.

dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat

maupun tergugat pernah hadir dalam sidang

terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.

Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:

a. Putusan tidak menerima

yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan

penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan

penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan

tidak memenuhi syarat hukum baik secara formil maupun materiil

Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu

menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak

menerima gugatan penggugat

Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan

gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum

tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi

Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam

hal verstek yang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak

sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban

Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru

menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka

gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.

Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir

Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan

Page 9: Hukum Acara Perdata 5

9

perkara baru. Demikian pula pihak tergugat

Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu

perkara merupakan suatu putusan akhir

b. Putusan menolak gugatan penggugat

yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan

dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti

Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu

memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat

diperiksa dan diadili.

c. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak

menerima selebihnya.

Putusan ini merupakan putusan akhir

Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau

tidak memenuhi syarat sehingga :

- Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan

- Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak

- Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak

diterima

d. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya

putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh

dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti

Page 10: Hukum Acara Perdata 5

10

Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum

mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu

ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk

dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti

Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat

Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka

putusan dibagi sebagai berikut:

1. Putusan Diklatoir

- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan

yang resmi menurut hukum

- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk

penetapan atau beschiking

- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan

- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi

- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru,

melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan

yang telah ada

2. Putusan Konstitutif

- Yaitu suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru,

berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.

- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau

Page 11: Hukum Acara Perdata 5

11

hubungan keperdataan satu sama lain

- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi

- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan

- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain

bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya, dan

sebagainya

- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan

hukum tetap

3. Putusan Kondemnatoir

- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk

melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk

memenuhi prestasi

- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius

- Putusan kondemnatoir selaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan

eksekusi

- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela,

maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh

pengadilan yang memutusnya

- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih

dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)

- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk:

1. menyerahkan suatu barang

2. membayar sejumlah uang

Page 12: Hukum Acara Perdata 5

12

3. melakukan suatu perbuatan tertentu

4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan

5. mengosongkan tanah/rumah

Sifat Putusan

Jalannya suatu proses peradilan akan berakhir dengan adanya suatu putusan Hakim.

Dalam hal ini, Hakim terlebih dahulu menetapkan fakta-fakta (kejadian-

kejadian) yang dianggapnya benar dan berdasarkan kebenaran yang didapatkan ini

kemudian Hakim baru dapat menerapkan hukum yang berlaku antara kedua belah pihak

yang berselisih (berperkara), yaitu menetapkan “hubungan hukum”.

Menurut sifatnya, putusan Hakim ini dibedakan dalam 3 (tiga) macam yaitu:

1) Putusan Declaratoir

Putusan ini merupakan putusan yang bersifat menerangkan. Menegaskan suatu keadaan

hukum semata-mata.

2) Putusan Constitutive

Putusan ini merupakan putusan yang meniadakan atau menimbulkan suatu keadaan

hukum yang baru.

3) Putusan Condemnatoir

Putusan ini merupakan putusan yang menetapkan bagaimana hubungan suatu

keadaan hukum disertai dengan penetapan penghukuman kepada salah satu

pihak.

Page 13: Hukum Acara Perdata 5

13

Suatu putusan harus ditandatangani oleh Ketua Sidang dan Panitera yang telah

mempersiapakan perkaranya. Apabila ketua tersebut berhalangan menandatanganinya

maka putusan itu ditandatangani sendiri oleh Hakim anggota tertua yang telah ikut

memeriksa dan memutuskan perkaranya (pasal 187 ayat 1 HIR), sedangkan apabila

paniteranya yang berhalangan, hal itu harus dicatat saja dalam berita acara (pasal 187

ayat 1 HIR).

Sifat Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan

tertentu.

Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :

Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada tingkatan ini pemeriksaan

perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk

derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk

daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).

Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada tingkatan ini pemeriksaan

perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang

Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum Acara Perdata yang

berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).

Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan

perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung.

Page 14: Hukum Acara Perdata 5

14

Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam,

yaitu putusancondemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir.

putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah

untuk memenuhi prestasi. Hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap

tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Amar putusan selalu berbunyi

“Menghukum .... dan seterusnya”

putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang

baru. Misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, menyatakan pailit,

memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan sebagainya. Amar putusan berbunyi :

“Menyatakan ... dan seterusnya.”

putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu

keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan

tergugat dinyatakan sah menurut hukum dan sebagainya. Amar putusannya selalu

berbunyi : “Menyatakan ... sah menurut hukum.”

Dari ketiga putusan akhir tersebut diatas, putusan yang memerlukan pelaksanaan

(executie) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan akhir

lainya hanya mempunyai kekuatan mengikat.

Putusan Serta Merta

A. Pengertian Putusan Serta Merta

Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan

dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa

dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum

banding, kasasi dan perlawanan oleh pihak yang kalah atau pihak ketiga yang merasa

Page 15: Hukum Acara Perdata 5

15

berhak. Menurut Abdulkadir Muhammad, putusan serta merta adalah putusan yang

dijatuhkan dapat langsung dilaksanakan eksekusinya secara serta merta, meskipun

putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. putusannya menjadi

berkekuatan hukum tetap.

Mengenai tingkat peradilan, di Indonesia secara umumnya dibagi menjadi dua

tingkat peradilan yaitu pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) dan pengadilan

tinggi (pengadilan tingkat kedua) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan judex

factie[6].

Mahkamah Agung tidak disebut pengadilan tingkat ketiga, karena Mahkamah

Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan sebagai pemeriksa

dalam penerapan hukumnya saja.

B. Landasan Hukum Putusan Serta Merta

Mengenai landasan hukum putusan serta merta, ialah diatur dalam Pasal 180 Ayat

(1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg. Berikut bunyi dari Pasal 180 Ayat (1) HIR:

[7] “Pengadilan negeri boleh memerintahkan supaya keputusan dijalankan dahulu,

walaupun keputusan itu dibantah atau diminta banding, jika ada surat yang sah, satu

surat tulisan, yang menurut peraturan yang laku untuk hal itu berkekuatan bukti, atau

jika ada hukuman dahulu, dengan keputusan, yang sudah medapat kekuatan keputusan

pasti, demikian juga jikalau tuntutan sementara dikabulkan, tambahan pula dalam

perselisihan hak milik”.

Pasal 180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg memberikan kewenangan bagi

hakim untuk menjatuhkan putusan serta-merta, namun dalam prakteknya untuk

melaksanakan kewenangan tersebut masih simpang siur sehingga sering menyimpang dari

Page 16: Hukum Acara Perdata 5

16

patokan undang-undang. Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada

pengadilan negeri, pengadilan tinggi dilarang menjatuhkan putusan serta merta. Putusan

serta merta dapat dijatuhkan, apabila telah dipertimbangkan alasan-alasannya secara

seksama sesuai tuntutan yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku.

C. Syarat Dijatuhkannya Putusan Serta Merta

Syarat putusan serta merta menurut menurut Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg, dan Pasal 54

Rv:

1. Gugatan didasarkan atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik.

2. Didasarkan atas akta dibawah tangan yang diakui atau yang dianggap diakui jika

putusannya dijatuhkan secara verstek.

3. Didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Syarat putusan serta merta menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000

yaitu:

1. Gugatan berdasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan yang tidak

dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya.

2. Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.

3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah rumah, gudang, dan lain-lain dimana

hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan

kewajibannya sebagai penyewa yang beritikat baik.

4. Gugatan mengenai pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan

mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.

5. Dikabulkannya gugatan provisionil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan

jelas serta memenuhi pasal 332 Rv.

Page 17: Hukum Acara Perdata 5

17

Jadi apabila salah satu syarat tersebut di atas dipenuhi, maka barulah dapat dijatuhkan

putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, walaupun diajukan perlawanan atau

banding, sedang dalam hal-hal di luar itu tidak boleh dijatuhkan sedang dalam hal-hal di

luar itu tidak boleh dijatuhkan putusan serupa itu.

Sebelum menjatuhkan putusan serta merta, hakim wajib mempertimbangkan lebih dahulu

gugatan tersebut telah memenuhi syarat secara formal, syarat mengenai surat kuasa dan

syarat-syarat formil lainnya. Hakim wajib menghindari putusan serta merta yag

gugatannya tidak memenuhi syarat formil yang dapat berakibat dibatalknnya putusan oleh

pengadilan tinggi atau mahkamah agung.

Sita jaminan yang dilakukan terhadap barang-barang milik tergugat atau terhadap barang-

barang tertentu milik tergugat yang dikuasai oleh tergugat, tidak menjadi penghalang

untuk menjatuhkan putusan serta merta apabila memenuhi syarat-syarat menjatuhkan

putusan serta merta. Berdasarkan Pasal 195 HIR dan/atau Pasal 206 RBg, putusan serta

merta hanya dapt dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan

negeri dan pengadilan negeri yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan putusan serta merta, diwajibkan untuk memperhatikan SEMA No. 3

Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001 yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan

putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). SEMA No. 3 Tahun 2000 menyebutkan

adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang atau objek eksekusi

sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lainnya apabila ternyata dikemudian

hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tinggi pertama.

Dengan SEMA No. 3 Tahun 1978 tertanggal 1 April 1978, Mahkamah Agung menegaskan

kembali kepada para ketua/ hakim pengadilan negeri seluruh Indonesia agar tidak

Page 18: Hukum Acara Perdata 5

18

menjatuhkan keputusan uitvoerbaar bij voorraad walaupun syarat-syarat dalam Pasal 180

Ayat (1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg telah terpenuhi. Hanya dalam hal-hal yaang tidak

dapat dihindarkan, keputuan demikian yang sangat exceptionil sifatnya dapat dijatuhkan,

dengan mengingat syarat-syarat yang tercantum dalam SEMA No. 6 Tahun 1975.

C. Pelaksanaan Putusan Serta Merta

Putusan uitvoerbaar bij voorrrad dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama

(PN). Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang dibolehkan walaupun

menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI pelaksanaan dari adanya

penjatuhan putusan serta merta tersebut sering menimbulkan berbagai masalah.

D. Tata Cara/Prosedur Pelaksanaan Putusan Serta Merta

Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang mengatur tentang tata

cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan serta merta. Di dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata

cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus dengan putusan serta merta

(uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun

2001 mahkamah Agung kembali menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan

serta merta disyaratkan adanya jaminan yang nilainya sama dengan barang/benda objek

eksekusi.

Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya

putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut

memenuhi ketentuan Pasal 180 Ayat (1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg serta pasal 332 Rv

sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta, karena selain pelaksaan putusan

Page 19: Hukum Acara Perdata 5

19

serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak permasalahan apalagi

dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang tereksekusi ternyata diputus

menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua Pengadilan bersangkutan harus super

hati-hati dalam mengabulkan gugatan provisionil dan permintaan putusan serta-merta.

E. Larangan Putusan Serta Merta

Banyaknya SEMA yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mengenai putusan serta

merta menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan serta merta dalam praktek tidak

memuaskan. Dalam praktek putusan serta merta dikabulkan berdasarkan bukti yang

keotentikannya dibantah oleh pihak lawan dengan bukti yang otentik pula. Untuk itu

melalui SEMA pada dasarnya Mahkamah Agung memberikan petunjuk, yaitu ketua

pengadilan negeri, ketua pengadilan agama, para hakim pengadilan negeri dan hakim

pengadilan agama tidak menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal sebagai

berikut:

a) Gugatan didasarkan pada bukti surat auntentik atau surat tulisan tangan

(handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya,

yang menurut Undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti.

b) Gugatan tentang Hutang - Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.

c) Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, di mana

hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan

kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik.

d) Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini)

setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.

Page 20: Hukum Acara Perdata 5

20

e) Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan agar hukum yang tegas

dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.

f) Gugatan berdasarkan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in

kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang

diajukan.

g) pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

Seperti yang dijelaskan dalam pasal 180 HIR DAN 191 RBg sasarnya putusan serta merta

tidak dapat dilaksanakan kecuali dalam keadaan exceptional. Dasar hukum atas larangan

tersebut adalah Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) RBG, Rv Pasal 54–57, dan SEMA

No. 3 tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil,

serta SEMA No. 4 tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil.

Pasal 18 ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) RBG menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi

hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta, adalah gugatan didasarkan atas suatu alas

hak yang berbentuk akta otentik, gugatan didasarkan atas akta di bawah tangan yang

diakui, dan putusan serta merta yang didasarkan pada putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap. Adapun Pasal 54-57 Rv pengaturannya lebih luas.

Pasal 54 mengatur syarat-syarat pengabulan dan pemberian jaminan atas pelaksanaan

putusan tersebut. Pasal 55 mengatur kebolehan pelaksanaan putusan yang dijalankan

lebih dahulu tanpa jaminan tertentu. Sedangkan Pasal 56 Rv memberi hak mengajukan

putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu pada tingkat banding. Sementara itu, dalam

SEMA No. 3 Tahun 2000 ada tiga poin penting yang diatur antara lain:

Page 21: Hukum Acara Perdata 5

21

1. Para hakim harus betul-betul dan sungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan

memperhatikan serta mentaati syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum mengabulkan

putusan serta merta.

2. Tentang keadaan-keadaan tertentu dapat dijatuhkannya putusan serta merta. Selain

keadaan yang sudah diatur Pasal 18 ayat (1) dan 191 ayat (1) RBG, keadaan tertentu yang

dimaksud adalah gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak

dibantah. Juga gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gedung dan lain-lain,

dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis, atau penyewa terbukti melalaikan

kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik. Demikian pula dikabulkannya gugatan

provisi serta pokok sengketa mengenaibez its r echt.

3. Tentang adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek

eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata

dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat

Pertama

Adapun poin penting SEMA No. 4 Tahun 2001, selain penegasan kembali

mengenai jaminan dalam SEMA terdahulu. SEMA ini menyatakan bahwa tidak boleh

ada putusan serta merta tanpa adanya jaminan yang sama nilainya dengan nilai barang.

E. Eksekusi Putusan Serta Merta

Pelaksanaan putusan serta merta yang akan dimintakan izin kepada ketua pengadilan

tinggi, oleh ketua pengadilan negeri wajib meneliti dengan seksama sebelum permohonan

tersebut diajukan, apabila putusan serta merta tersebut dinilai tidak memenuhi syarat

yang ditentukan, oleh undang-undang ketua pengadilan negeri berwenang untuk tidak

Page 22: Hukum Acara Perdata 5

22

melanjutkan permohonan tersebut. Putusan serta merta yang akan dilaksanankan harus

mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari ketua pengadilan tinggi.

Setelah izin diberikan oleh ketua pengadilan negeri tinggi maka sebelum eksekusi

dilaksanankan harus ada jaminan dari pihak pemohon eksekusi (perhatikan dalam SEMA

No. 3 Tahun 2000 junc to SEMA No. 4 Tahun 2001) atau secara singkatnya penggugat

dapat mengajukan eksekusi yaitu dengan cara menyampaikan salinan putusan

pada pengadilan tinggi (30 hari). Jika penggugat mengajukan pemohonan eksekusi,

dikirimkan pada pengadilan tinggi beserta berkas lengkap disertai pendapat ketua

pengadilan negeri..

F. Hal Dikabulkannya Putusan Serta Merta

Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusanuitvoerbaar bij

voorraad dalam perkara yang memenuhi ketentuan Pasal 180 Ayat (1) HIR dan Pasal 191

Ayat (1) RBg serta Pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini hakim masih sah-sah saja

menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-hal yang tidak

diinginkan dimana pihak yang tereksekusi yang ternyata dikemudian hari menjadi pihak

yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung telah pula

mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 4 Tahun 2001 tentang Putusan Serta-Merta yang

isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat dijalankan pihak pemohon

eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang nilainya sama dengan nilai

barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Namun kalau yang akan dieksekusi itu adalah sebuah bangunan yang mempunyai nilai

sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak

pemohon eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang

Page 23: Hukum Acara Perdata 5

23

akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya tentu masalahnya

menjadi lain jika di kemudian hari pihaktereksekusi ternyata diputus menang dalam

perkara tersebut.

Ketua pengadilan negeri dan/atau ketua pengadilan tinggi harus dapat menjamin bahwa

bangunan bersejarah yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti semula

tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi tereksekusi tidak

ada lagi (in kracht van gewijsde). Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini ketua

Mahkamah Agung telah mengeluarkan ancaman yang keras kepada pejabat yang

bersangkutan yang ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta

sebagaimana ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No. 3 tahun 2000 tentang Putusan

Serta-Merta dan Provisionil.

Page 24: Hukum Acara Perdata 5

UPAYA HUKUM

A. Pengertian

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang

atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi

pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa

yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang

dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah

satu pihak.

Upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan

haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan

atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

B. Macam Upaya Hukum

Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan

upaya hukum luar biasa.

1. Upaya hukum biasa

Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan

hukum tetap. Upaya ini mencakup:

a. Perlawanan/verzet

b. Banding

c. Kasasi

Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan

tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau

uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya

hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.

2. Upaya hukum luar biasa 25

Page 25: Hukum Acara Perdata 5

Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada

asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:

a. Peninjauan kembali (request civil)

b. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial

Ad.1.a. Upaya Hukum Biasa: Perlawanan/verzet

Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek).

Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam

tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek

diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.

Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):

1. keluarnya putusan verstek

2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan

jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan

3. verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum

dimana penggugat mengajukan gugatannya.

Ad.1.b. Upaya Hukum Biasa: Banding

Banding artinya ialah mohon supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat

pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena

merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama. Yang merupakan

Pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan Agama (PA), sedangkan yang merupakan

Pengadilan Tingkat Banding adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA)/Pengadilan Tinggi

Umum (PTU). (pasal 6 UU No.7/1989).

Putusan Pengadilan yang bisa diajukan banding adalah :

26

Page 26: Hukum Acara Perdata 5

27

Putusan yang bersifat pemidanaan.

Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

Putusan dalam perkara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan

terdakwa.

Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau

penuntutan.

Upaya Hukum Biasa , Banding Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu

pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No.

4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947

tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera

Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947). Urutan banding

menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal

188-194 HIR, yaitu:

1. ada pernyataan ingin banding

2. panitera membuat akta banding

3. dicatat dalam register induk perkara

4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah

pernyataan banding tersebut dibuat.

5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra

memori banding.

Untuk masa tenggang waktu penajuan banding di tetapkan sebagai berikut : bagi

pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya

dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya 14 (empat belas) hari terhitung

mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.

Sedangkan bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum Pengadilan Agama yang

Page 27: Hukum Acara Perdata 5

28

putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandinya ialah 30 (tiga puluh) hari

terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang

bersangkutan. (pasal 7 UU No.20/1947).

Mencabut permohonan banding

Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama/Pengadilan Tinggi

Umum, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon. Apabila berkas

perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama maka :

Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan agama yang bersangkutan.

Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding.

Putusan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu banding

berakhir.

Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada PTA/PTU/PTN.

Sedangkan apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada PTA/PTU/PTN, maka :

Pencabutan banding disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke

PTA/PTU/PTN.

Apabila pencabutan itu disampaikan melalui PA maka pencabutan itu segera

dikirimkan ke PTA/PTU/PTN.

Apabila permohonan banding belum diputus maka PTA/PTU/PTN akan

mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali

permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara

banding.

Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.

Page 28: Hukum Acara Perdata 5

29

Apabila pemohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut. Dan

pencabutan banding itu tidak diperlukan persetujuan dengan pihak lawan.

Ad.1.c. Upaya Hukum Biasa: Kasasi

Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung (MA). Sedangkan pengertian

pengadilan kasasi ialah Pengadilan yang memeriksa apakah judex fatie tidak salah dalam

melaksanakan peradilan. Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA

dan PTA/PTU/PTN dibatalkan oleh MA karena telah salah dalm melaksanakan peradilan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kasasi adalah sebagai berikut : Pembatalan

atau pernyataan tidak sah oleh MA terhadap putusan hakim, karena putusan itu,

menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang. Seperti yang telah dijelaskan diatas,

bahwa hak kasasi hanyalah hak MA, sedangkan menurut kamus istilah hokum, kasasi

memiliki arti sebagai berikut : pernyataan tidak berlakunya keputusan hakim yang lebih

rendah oleh MA, demi kepentingan kesatuan peradilan.

Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan

putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat

peradilan akhir.

Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. MA merupakan

putusan akhir terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding, atau Tingklat Terakhir dari

semua lingkungan Peradilan. Ada beberapa alasan bagi MA dalam tingkat kasasi untuk

membatalkan putusan atau penetapan dari semua lingkungan peradilan, Alasan yang

dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985

jo. UU No 5/2004 adalah:

1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas

wewenang;

Page 29: Hukum Acara Perdata 5

30

2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;

3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan

yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Syarat-syarat kasasi

Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan kasasi, yaitu sebagai

berikut :

Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi.

Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.

Putusan atau penetapan PA dan PTA/PTU/PTN, menurut huku dapat dimintakan kasasi.

Membuat memori kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985).

Membayar panjar biaya kasasi (pasal 47).

Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan.

Untuk permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu,

14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada

ang bersangkutan (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985). Apabila 14 (empat belas) telah

lewat tidak ada permhonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan maka

dianggap telah menerima putusan (pasal 46 ayat (2) UU No. 14/1985). Pemohon kasasi

hanya dapat diajukan satu kali (pasal 43 UU No. 14/1985). Mencabut permohonan kasasi

(pasal 49 UU No. 14/1985).

Sebelum permohonan kasasi diputuskan oleh MA maka permohonan tersebut dapat

dicabut kembali oleh pemohon, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lawan, apabila

berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka :

Pencabutan disampaikan kepada PA yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun

lisan.

Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi.

Page 30: Hukum Acara Perdata 5

31

Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi walaupun tenggang waktu

kasasi belum habis.

Berkas perkara tidak perlu di teruskan ke MA. Dan apabila berkas perkara sudah

dikirimkan kepada MA, maka :

Pencabutan disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke MA.

Apabila pencabutan disampaikan melalui PA, maka pencabutan segera dikirimkan

kepada MA.

Apabila permohonan kasasi belum diputuskan, maka MA akan mengeluarkan

“penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara

kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi.

Apabila permohonan kasasi telah diputuskan, maka pencabutan kembali tidak mungkin

dikabulkan.

Kasasi demi kepentingan hukum (pasal 45 UU No. 14/1985).

Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena

jabatannya dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang diperiksa dan diputus

oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding di semua lingkungan

[eradilan. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan hanya satu kali.

Dan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan piha-pihak yang

berperkara, artinya ialah tidak menunda pelaksanaan putusan dan tidak mengubah

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ad.2.a. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali

Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata “Herziening”, Mr. M. H. Tirtaamijaya

menjelaskan herziening sebagai berikut : itu adalah sebagai jalan untuk memperbaiki

suatu putusan yang telah menjadi tetap-jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud

Page 31: Hukum Acara Perdata 5

32

memperbaiki suatu kealpaan hakim yang merugikan si terhukum..., kalau perbaikan itu

hendak dilakukan maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu keadaan yang pada

pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui oleh hakim itu..., jika ia mengetahui keadaan itu,

akan memberikan putusan lain.

Dalam buku yang lain menyatakan bahwa peninjauan kembali atau biasa disebut

Request Civiel adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui

oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi

lain. Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh MA. Peninjauan kembali diatur

dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila

terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan

kembali kepada MA, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang

berkepentingan (pasal 21 UU No. 14/1970).

Syarat-syarat peninjauan kembali

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk peninjauan kembali diantaranya sebagai

berikut :

• Diajukan oleh pihak yang berperkara.

• Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

• Membuat surat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.

• Membayar panjar biaya peninjauan kembali.

• Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang memutus perkara pada tingkat

pertama.

Page 32: Hukum Acara Perdata 5

33

Adapun yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah para pihak yang berperkara

atau ahli warisnya (yang dapat dibuktikan dengan akta dibawah tanda tangan mengenai

keahliwarisannya yang didelegasi oleh Ketua Pengadilan Agama) apabila pemohon

meninggal dunia (pasal 68 UU No. 14/1985), juga bisa dengan wakil yang secara khusus

dikuasakan untuk mengajukan permohonan PK dengan bukti adanya surat kuasa.

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang,

terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh

pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]

Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004,

yaitu:

a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan

pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan

yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang ituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan

sebab-sebabnya;

e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang

nyata.

Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69

UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat

pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).

Pencabutan permohonan peninjauan kembali

Page 33: Hukum Acara Perdata 5

34

Permohonan PK dapat dicabut selam belum diputuskan, dalam dicabut permohonan

peninjauan kembali (PK) tidak dapat diajukan lagi (pasal 66 ayat (3) UU No. 14/1985).

Pencabutan permohonan PK ini dilakukan seperti halnya pencabutan permohonan kasasi.

Ad.2.b Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet

Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga,

maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut.

Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi dan atau sita jaminan tidak hanya

terhadap suatu benda yang padanya melekat hak milik melainkan juga hak-hak lainnya.

Pihak pelawan harus dilindungi karena Ia bukan pihak berperkara namun dalam hal ini

kepentingannya telah tersentuh oleh sengketa dan konflik kepentingan dari penggugat

dan tergugat. Untuk dapat mempertahankan dimuka dan meyakinkan pengadilan dalam

mengabulkan perlawanannya maka Ia harus memiliki alas hak yang kuat dan dapat

membuktikan bahwa benda yang akan disita tersebut adalah haknya. Dengan demikian,

maka Ia akan disebut sebagai pelawan yang benar dan terhadap peletakan sita akan

diperintahkan untuk diangkat. Perlawanan pihak ketiga ini merupakan upaya hukum luar

biasa tetapi pada hakikatnya lembaga ini tidak menunda dilaksanakannya eksekusi.

Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir ataupun revindicatoir

tidak diatur baik dalam HIR, RBg ataupun Rv, ketentuan mengenai hal tersebut didapatkan

dari yurisprudensi putusan Mahakamah Agung tanggal 31 Oktober 1962 No.306

K/Sip/1962 dalam perkara CV. Sallas dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasifik Line.

Denderverzet Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR. Dikatakan

sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat

pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mengikat pihak

ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh sebab

Page 34: Hukum Acara Perdata 5

35

itu dikatakan luar biasa). Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus

perkara tersebut pada tingkat pertama.

Page 35: Hukum Acara Perdata 5

36

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,penerbit:

Liberty,Jogyakarta,1993

Ridwan Syahrani, S.H.,Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,penerbit:

Pustaka Kartini, Jakarta,1988

Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H. Pengantar Hukum Acara Perdata,penerbit: Alumni,

Bandung,1974