tinjauan hukum acara perdata terhadap pengambilan
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PENGAMBILAN
KETERANGAN SAKSI DI PENGADILAN AGAMA
( STUDI KASUS DI PA KABUPATEN MALANG )
SKRIPSI
OLEH:
USAMAH SALIM BOB SAID
NPM. 21601012030
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISAM
2020
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PENGAMBILAN
KETERANGAN SAKSI DI PENGADILAN AGAMA
( STUDI KASUS DI PA KABUPATEN MALANG )
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam
Menyelesaikan Program Sarjana (S1)
Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam
Oleh:
Usamah Salim Bob Said
Npm. 21601012030
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISAM
2020
ABSTRAK
Said, Usamah salim bob 2020. Tinjauan Hukum Acara Perdata Terhadap Pengambilan
Keterangan Saksi Di Pengadilan Agama ( studikasus di PA kabupaten malang kelas
1A), Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam,
Universitas Islam Malang. Pembimbing 1: Drs. H. Ahmad Subekti, Mag. Pembimbing
2: Dr. Syamsu Madyan LC, MA.
Kata Kunci: Saksi, Pengadilan Agama
Penulisan ini dilatar belakangi setelah meninjau dari proses persidangan perkara
perceraian di pengadilan agama. Dan pada saat hakim memanggil dua orang saksi sebagai alat
bukti pada perkara perceraian secara bersamaan, namun ada beberapa hakim yang tidak
menyetujui perihal pemanggilan dua orang saksi secara bersamaan. Maka dari temuan itu
penulis menemukan ada perbedaan antara Hukum positif yang berlaku mengenai tata aturang
persidangan atau pengambilan keterangan saksi di pengadilan agama, khususnya di pengadilan
agama kabupaten malang.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Jenis penelitian ini adalah penelitian
lapangan ( field research), yaitu penelitian yang menekankan pada praktik di lapangan.
Penelitian ini bertujuan mempelajari secara intensif mengenai latar belakang dan dilakukan
dengan terjun langsung ke lapangan untuk menggali data yang diperlukan Hasil penelitian ini
adalah menjelaskan kebolehan pengambilan keterangan saksi secara bersamaan ,
Kesaksi merupakan alat bukti yang wajar dan penting, karna di dalam pemeriksaan
suatu perkara di persidangan di perlukan keterangan dari pihak ketiga yang mengalami
peristiwa tersebut, bukan dari pihak yang berperkara. Menurut pasal 1902 KUH perdata, dalam
suatu peristiwa atau hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat di buktikan dengan
tulisan atau akta, namun alat bukti tulisan tersebut hanya berkualitas sebagai permulaan
pembuktian tulis, penyempurnaan pembuktiannya dapat di tambah dengan saksi.
Kesaksian adalah kepastian yang di berikan kepada Hakim di persidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang di panggil di persidangan.
Hukum dalam teorinya umumnya memang berbeda dalam praktiknya. Hukum tidak lagi
seperti yang dipahami, akan tetapi lebih menyesuaikan pada lingkup pelaksanaannya.suatu
asas hukum merupakan munculnya berbagai norma hukum, yang kemudian dari satu norma itu
memunculkan berbagai kaidah hukum. Kaidah hukum inilah yang diwujudkan dalam peraturan
perundang-undangan dan menjadi pedoman dalam hidup dan bertingkah laku
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Undang-undang Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor
07 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pada Pasal 2 menyatakan: Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam
mengenai perkara tertentu.
Dalam pasal 49 menyatakan: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syariah. (A.A. Herlambang 2019 1)
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan di muka Pengadilan,
Hakim akan menempuh langkah-langkah yaitu, memberi peryataan segala peristiwa yang
diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, kemudian peristiwa-peristiwa yang telah
dikonstatir tersebut selanjutnya akan dicocokkan atau ditemukan hukumnya yaitu peraturan-
peraturan hukum yang tersedia atau hukum positif dengan pola sylogisme dan akhirnya
menetapkan hukumnya atau mengadili. Hakim akan mendengarkan dan menganalisa
pembuktian yang akan di bebankan kepada pihak-pihak yang beperkara. Salah satu yang harus
di hadirkan dalam sebuah sidang pembuktian adalah saksi.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak
yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim
memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan. Menurut M. Yahya Harahap,
pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian
untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa- peristiwa yang
didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Subekti, mantan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan guru besar hukum perdata pada Universitas
Indonesia berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti
dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku. ( As’ad, 2012:
28 )
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian,
yaitu: Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena
berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.
Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian tetapi bukan
kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-
tingkatan sebagai berikut:
1. Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan
disebut conviction intime.
2. Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut conviction
raisonee.
3. Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain berarti
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Pada tahapan penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap
terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum
tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan. Pada tahap pembuktian juga, pihak tergugat dapat menggunakan
haknya untuk menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat. Melalui pembuktian
dengan menggunakan alat-alat bukti inilah, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk
menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.
Hukum Pembuktian di dalam Hukum Acara Perdata menduduki tempat yang sangat
penting, yang bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan Hukum Material, karena
secara formal Hukum Pembuktian mengatur cara bagaimana untuk mengadakan pembuktian,
sebagaimana yang diatur dalam RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) dan HIR
(Herziene Indonesische Reglement). Dan secara materiil bertujuan untuk adanya Pembuktian
dengan pengajuan alat-alat bukti di dalam suatu persidangan Perkara di Pengadilan. Karenanya
Pembuktian merupakan penyajian alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim.
Ketika membahas tentang pembuktian, alat bukti yang diajukan oleh para pihak ke
persidangan akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang berwenang untuk melakukan
penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur
sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang
dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga Hakim tidak bebas menilainya.
Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan pada
Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya keterangan saksi yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya diserahkan pada Hakim untuk menilai
pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi.
(As’ad, 2012: 30 )
Alat bukti merupakan unsur penting di dalam pembuktian persidangan, karena hakim
menggunakannya sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Alat bukti adalah alat
atau upaya yang diajukan pihak beperkara yang digunakan hakim sebagai dasar dalam
memutus perkara. Dipandang dari segi pihak yang beperkara, alat bukti adalah alat atau upaya
yang digunakan untuk meyakinkan hakim di muka sidang pengadilan. Sedangkan dilihat dari
segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa digunakan
hakim untuk memutus perkara
Dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti saksi bukanlah merupakan alat bukti yang
utama. Hal ini terlihat dari penyebutan alat bukti saksi pada urutan ke dua. Hakim karena
jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Namun demikian, ada beberapa ketentuan yang mensyaratkan siapa-siapa orang yang tidak
dapat didengar dan mengundurkan diri sebagai saksi sebagaiman yang ditegaskan dalam pasal
172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR serta pasal 1909 dan pasal 1910 KUH Perdata.
Pembuktian dengan saksi pada umumnya dibolehkan dalam segala hal, kecuali
undang-undang menentukan lain misalnya, tentang persatuan harta kekayaan dalam
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan perjanjian kawin dan perjanjian asuransi hanya
dapat dibuktikan dengan polis. (pasal 168 HIR atau pasal 306 RBg)
Keterangan saksi yang disebut kesaksian ialah: apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti di tunjukkan kepada permasalahan yang
berhubungan dengan pembuktian. (Alfitra, SH., MH 2011: 58)
Saksi adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai apa yang di lihat, di
denger, atau dialaminya sendiri. Saksi juga bisa diartikan sebagai orang yang memberikan
keterangan di muka siding dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu peristiwa atau
keadaan yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa tersebut.
(Ratna 2008: 69)
Menjadi saksi adalah kewajiban hukum atas setiap orang. Pasal 224 KUHP
menyatakan bahwa “barangsiapa dipanggil sebagai saksi, solusi ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-
undang selaku demikian harus dipenuhi, diancam, dalam perkara pidana dengan pidana penjara
paling lama Sembilan bulan dan dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam
bulan”
Dalam praktiknya di sebuah persidangan das sollen berbeda dengan das seinnya.
Hukum dalam teorinya umumnya memang berbeda dalam praktiknya, hukum tidak lagi sekaku
yang di pahami, tetapi lebih pada sifat fleksibelnya dalam lingkup implementasinya. Apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan sebagai pedoman yang semestinya, diterapkan
secara berbeda. Salah satunya terkait dengan pemeriksaan saksi secara bersamaannya atau
sekaligus dalam proses persidangan, baik dalam pemeriksaan perkara pidana ataupun perdata.
Seperti halnya alat bukti pada umumnya, alat bukti keterangan saksi pun mempunyai
syarat formil dan materiil. Antara kedua syarat itu bersifat kumulatif, bukan alternatif. Oleh
karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah
sebagai alat bukti saksi. Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum, tetepi salah satu
syarat materiil tidak lengkap, tetap mengakibatkan saksi yang diajukan tisak sah sebagai alat
bukti. Atau sebaliknya, syarat materiil seluruhnya terpenuhi, tetapi syarat formil tidak, hukum
tidak menolerirnya, sehingga saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti. ( Harahap 2004:633)
Hal ini menjadi sangat esensial untuk dikaji karena pemeriksaan saksi satu per satu
menjadi salah satu syarat sahnya keterangan saksi sebagai alat bukti. Pemeriksaan saksi satu
per satu merupakan prinsip, yang tergolong sebagai syarat formil sahnya keterangan saksi
tersebut sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam pembuktian.
Saksi harus diperiksa satu per satu. Dasar hukum pemeriksaan saksi tersebut telah
tertuang dalam Pasal 144 ayat (1) HIR menyatakan bahwa “Saksi-saksi yang datang pada hari
yang ditentukan itu dipanggil dalam ruang sidang seorang demi seorang.” Selanjutnya dalam
R.Bg. disebutkan secara limitatif bahwa “Saksi-saksi yang telah menghadap, dipanggil satu per
satu untuk masuk ke ruangan sidang”.
Saksi-saksi yang akan diambil keterangannya dipanggil satu per satu (seorang demi
seorang) untuk masuk ke ruang sidang. Saksi tidak dibolehkan saling mendengarkan
keterangan. Hal ini untuk menghindari saksi saling memengaruhi sehingga tidak memberikan
keterangan yang seharusnya, sebagaimana yang mereka dengar sendiri, mereka lihat sendiri,
atau mereka alami sendiri. Kebebasan saksi dalam memberikan keterangan menjadi prinsip
dasar diaturnya pemeriksaan saksi harus satu per satu. Di pihak lain, hakim pun diberikan
kebebasan dalam menilai kuantitas kesaksian saksi yang diperiksa di persidangan.
Pemeriksaan saksi secara sekaligus ini merupakan hal yang lumrah dalam praktik.
Bagi terdakwa (dalam perkara pidana) atau para pihak (dalam perkara perdata), pemeriksaan
saksi yang demikian bisa saja menguntungkan, ataupun merugikan terdakwa. Namun, secara
formil hal tersebut bisa menjadi tameng bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan
upaya hukum.
Dunia praktik memberikan fakta yang berbeda terkait dengan prinsip pemeriksaan
saksi satu per satu. Sering terjadi pemeriksaan saksi dilakukan sekaligus. Beragam pula alasan
yang diberikan oleh para penegak hukum dalam menjelaskan hal tersebut.
Seperti halnya menurut bapak Drs. Moh. Jaenuri, S.H., M.H selaku hakim di
pengadilan agama Kabupaten Malang. Bahwasanya narasumber membolehkan dua orang saksi
masuk kedalam ruang sidang secara bersamaan karna menurutnya saksi itu sudah disumpah
dan diberikan penjelasan jika memberikan keterangan palsu atau tidak benar dan tidak ada
kemungkinan saksi itu memberikan jawaban yang tidak sebenarnya dari apa yang saksi lihat
dan dengar sendiri. ( Jaenuri, S.H., M.H dikutip pada tanggal 18 juni 2020).
Dan ada juga Hakim yang tidak membolehkan dua orang saksi masuk kedalam ruang
sidang secara bersamaan karna ditakutkan saksi-saksi itu memberikan jawaban atau
menyamakan keterangan satu sama lain.
Hal ini lah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan sebuah penelitian yang
berjudul “TINJAUAN HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PENGAMBILAN
KETERANGAN SAKSI DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MALANG.”
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kesaksian dalam tinjauan undang-undang hukum acara perdata?
2. Bagaimana jika pengambilan keterangan saksi dilakukan secara bersamaan dalam
persidangan di Pengadilan Agama kabupaten Malang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian diatas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mendiskripsikan bagaimana kesaksian dalam tinjauan undang-undang hukum acara
perdata.
2. Untuk mendiskripsikan keabsahan pengambilan keterangan saksi jika dilakukan secara
bersamaan dalam persidangan di Pengadilan Agama kabupaten Malang.
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baru bagi
pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang Hukum Syariah (Ahwal al syakhshiyah) ,
khususnya dalam ranah Peradilan Islam yang berhubungan dengan pembuktian.
2. Kegunaan praktis
Penelitian ini dapat mengharapkan informasi dalam praktisi hukum, selain itu di
harapkan dapat meningkatkan keilmuan dalam hukum islam, keluasan wawasan serta
kemampuan pemahaman penelitian tentang penerapan undang-undang hukum acara perdata.
E. Difinisi oprasional
Yakni untuk menjelaskan variabel-variabel yang terdapat di dalam judul skripsi di
antaranya:
1. Hukum acara perdata
Peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum
perdata materiil.
2. Saksi
seorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau
kejadian melalui indra mereka ( pengelihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan ) yang dapat
menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau
kejadian.
3. Pengadilan agama
Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu (perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah ).
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kesaksian Dalam Tinjaun Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Kesaksi merupakan alat bukti yang wajar dan penting, karna di dalam pemeriksaan suatu
perkara di persidangan di perlukan keterangan dari pihak ketiga yang mengalami peristiwa
tersebut, bukan dari pihak yang berperkara. Menurut pasal 1902 KUH perdata, dalam suatu
peristiwa atau hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat di buktikan dengan
tulisan atau akta, namun alat bukti tulisan tersebut hanya berkualitas sebagai permulaan
pembuktian tulis, penyempurnaan pembuktiannya dapat di tambah dengan saksi.
Dalam suatu kesaksian, harus mengenai suatu peristiwa yang di lihat dengan mata sendiri
oleh seorang saksi. Jadi seorang saksi itu tidak boleh hanya mendengar saja tentang adnya
peristiwa tersebut dari orang lain. Dan juga keterangan saksi itu tidak boleh dari hasil
keterangan suatu kesimpulan yang di tariknya sendiri dari sutu peristiwa yang dilihat atau
dialaminya. Karna hakimlah yang berhak menarik kesimpulan dari suatu peristiwa
tersebut. Kesaksian bukanlah suatu alat bukti yang sempurna dan mengikat hakim, akan
tetapi keputusan menerima atau tidaknya terserah pada hakim. Artinya hakim berhak untuk
mempercayai atau tidak mempercayai keterangan dari seorang saksi.
2. Pengambilan Keterangan Saksi Secara Bersamaan Dalam Persidangan Di Pengadilan
Agaama Kabupaten Malang.
Kesaksian adalah kepastian yang di berikan kepada Hakim di persidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang di panggil di persidangan.
Hukum dalam teorinya umumnya memang berbeda dalam praktiknya. Hukum tidak lagi
seperti yang dipahami, akan tetapi lebih menyesuaikan pada lingkup pelaksanaannya.suatu
asas hukum merupakan munculnya berbagai norma hukum, yang kemudian dari satu
norma itu memunculkan berbagai kaidah hukum. Kaidah hukum inilah yang diwujudkan
dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi pedoman dalam hidup dan bertingkah
laku.
B. Saran
Satu rekomendasi yang dapat di berikan ialah proses pemeriksaan saksi di pengadilan
agama, ketika hakim meminta keterangan saksi lebih baik memintai keterangannya secara
satu per satu, karna apabila saksi dimintai keterangannya secara bersamaan dirasa tidak
efektif karena besar kemungkinan saksi yang tidak tau menau mengenai pokok
permasalahan penggugat akan menirukan keterangan yang telah disampaikan oleh saksi
satunya kepada majelis hakim.
DAFTAR RUJUKAN
Alfitra, (2011). Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana,Perdata Dan Korupsi Di Indonesia. Depok:Raih Asa Sukses.
As’ad Rasyid 5 November 2012, Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-alat-bukti.html
Asikin Zainal, S.H., SU (2018). Hukum acara perdata di Indonesia. Cet III. Jakarta. Prenadamedia group.
Departemen pendidikan dan kebudayaan (1989), Kamus Besar Bahasa Indonesia.Cetak II Jakarta. Balai Pustaka.
Fauzan, (1963).Perma dan Sema sebagai pengisi kekosongan hukum Indonesia menuju terwujudnya peradilan yang agung. Jakarta.
Herlambang.A.a (2019). Pengadilan Agama:Kumpulan Jawaban Atas Pengadilan Agama.Jakarta.AABOOKS.
Harap Yahya (1993). Kedudukan Kewenangan Dan Hukum Acara Peradilan Agama.Cetak II Jakarta. PT garuda metro politan press.
Harahap, M Yahya (2004). Hukum acara perdata tentang gugatan,persidangan,penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Jakarta: sinar grafika.
Mujahidin Ahmad, (2018). Prosedur Atau Alur Beracara Di Pengadilan Agama Yogyakarta: Deepublish.
Mashudi (2019). Penyelesaian sengketa hubungan industrial. Surabaya. Graha indah wisesa.
Manan Abdul, S.H., S.IP., M.Hum (2005). Penerapan hukum acara pertdata di lingkungan
agama. Jakarta. Fajar interpratama mandiri.
Makarao Taufik (2009). Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka.
Nasir Moh (2003), Metode Penelitian, Jakarta. Bumi Aksara.
Nasution (2003). Metode Research (penelitian ilmiah ). Cet. VI. Jakarta. Bumi Aksara.
Pasal 144 HIR Ayat 1 tentang pemeriksaan saksi
Pasal 168 HIR atau pasal 306 Rbg tentang alat bukti saksi
Rukajat Ajat, M. Mpd. (2018). Pedekatan Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. CV Budi Utama.
R.Subekti dan dkk (2004), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta. Pradnya Paramita.
Ratna Winotia (2008). Perbandingan Alat Bukti Keterangan Saksi Pada Hukum Acara Perdata Dalam System Hukum Indonesia Dengan Singapura. Depok.Universitas Indonesia.
Rianto Yatim (1996). Metode Penelitian Pendidikan Tinjauan Dasar. Surabaya. SIC.
Sugeng Bambang A.S., S.H.,M.H. Sujayadi, S.H. (2012). Pengantar Hukum Acara Perdata Dan Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta. Penadamedia group.
WirawanArdi Wayan Dkk (2012). Konflik Dan Kekerasan Komunal. Yogyakarta. CV Budi Utama.