hukum acara perdata 4

28
Pengertian Pembuktian Pembuktian menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian 1 : 1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. 2. Membuktikan dalam arti konvensionil Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan: · kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime) · kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee) 3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat- surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. 1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta, 1988. 1

Upload: rizky-ramadhan

Post on 18-Jan-2016

77 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Hukum Acara Perdata

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Acara Perdata 4

Pengertian Pembuktian

Pembuktian menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian1:

1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiahMembuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

2. Membuktikan dalam arti konvensionilMembuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:· kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)· kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridisDidalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam

1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta, 1988.

1

Page 2: Hukum Acara Perdata 4

2

hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim.

Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Pengertian Sistem PembuktianSistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan “pembuktian”.

Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata asing “system” (Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti “suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.2

Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa sarjana hukum mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Andi Hamzah mendefenisikan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.3 M. Yahya Harahap menilai pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.4

Arti sistem pembuktian adalah suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Pengertian ini merujuk pada pengertian dari sistem dan pengertian dari pembuktian yang dikemukakan M. Yahya Harahap. Maksud bagian-bagian kelengakapan dari sistem pembuktian penulis merujuk pada pengertian yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, yaitu alat-alat bukti dan barang bukti.

2 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html3 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 22.

Page 3: Hukum Acara Perdata 4

3

Sistem Pembuktian

a. Conviction-in Time

Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Dalam sistem pembuktian ini hakim memiliki andil yang sangat besar, jika hakim telah merasa yakin bahwa terdakwa benar melakukan apa yang didakwakan kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan pidana terhadapnya, dan sebaliknya. Persoalan darimana hakim mendapatkan keyakinan tidak menjadi permasalahan.5

Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time yaitu jika alat-alat bukti yang diajukan di persidangan mendukung kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim tidak yakin akan itu semua maka tetap saja terdakwa bisa bebas. Dan sebaliknya, jika alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak mendukung adanya kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim meyakini terdakwa benar-benar melakukan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum maka pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim.6

b. Conviction-Raisonee

Dalam sistem pembuktian conviction raisonee “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Memang pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak terbuktinya dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa ditentukan oleh hakim tapi dalam memberikan putusannya hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima. Arti diterima disini hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan yang logis dan masuk akal.7

5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 2566 ibid7 ibid

Page 4: Hukum Acara Perdata 4

4

c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Maksud dari pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah harus tunduk terhadap undang-undang. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem pembuktian conviction-in time dan conviction-raisonee. Dalam sistem ini tidak ada tempat bagi “keyakinan hakim”. Seseorang dinyatakan bersalah jika proses pembuktian dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan telah menunjukkan bahwa terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat bukti yang diajukan diatur secara tegas dalam undang-undang.8

d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

Berbeda dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif disayaratkan adanya keyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah ataukah tidak. Dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti diatur secara tegas oleh undang-undang, demikian juga dengan mekanisme pembuktian yang ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung benarnya dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa maka haruslah timbul keyakinan pada diri hakim akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika alat-alat bukti telah mendukung kebenaran bahwa terdakwa bersalah namun belum timbul keyakinan pada diri hakim maka pidana tidak dapat dijatuhkan.

8 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 257

Page 5: Hukum Acara Perdata 4

Asas-asas Pembuktian

Ada 10 jenis asas-asas Hukum Pembuktian Perdata yang terpenting untuk diketengahkan dalam tulisan ringkas ini, kesemuanya erat kaitannya dengan sifat khas dari Hukum Acara Perdata selaku induk dari Hukum Pembuktian Perdata. Karena itulah asas-asas Hukum Pembuktian Perdata ini tidak bisa dilepaskan dari asas-asas Hukum Acara Perdata pada umumnya.

1. ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEMAsas yang paling utama dari Hukum Pembuktian adalah asas Audi Et Alteram Partem yaitu asas kesamaan prosesuil dan para pihak yang berperkara. Atau seperti yang dituliskan oleh Milton C. Jacobs bahwa "General rules of evidence are the same in equity as at law". Dalam istilah lainnya, asas ini pun sering disebut sebagai asas "EINES MANNES REDE IST KEINES MANNES REDE".

Berdasarkan asas inilah sehingga Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberi kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak. Dalam hal putusan verstek, dianggap Hakim sudah memberi kesempatan kepada kedua pihak, tetapi kesempatan itu tidak digunakan oleh tergugat.

Sebenarnya lembaga "verstek" ini adalah merupakan faktor penunjang terlaksananya asas Audi Et Alteram Partem ini, karena dengan adanya verstek, maka tergugat didorong untuk menggunakan haknya memperoleh kesamaan prosesuil dengan hadir, karena kalau tergugat tidak hadir padahal telah dipanggil secara patut, akibatnya Hakim dapat menjatuhkan putusah verstek.

Sebagai konsekwensi adanya kesempatan yang sama secara prosesuil telah diberikan terhadap kedua pihak yang berperkara maka suatu perkara tidak dapat disidangkan dua kali berdasarkan asas "BIS DE EADEM RE NE SIT ACTIO".

Berdasarkan asas Audi Et Aiteram Partem ini, hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi

5

Page 6: Hukum Acara Perdata 4

6

kedua pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebelah. Di sini perlunya Hakim memperhatikan asas-asas beban pembuktian.

Penggugat mau pun tergugat dapat menggunakan semua alat-alat bukti, dalam arti kata tentunya menurut kebutuhan dan kasusnya. Kecuali dalam hal-hal khusus, misalnya antara penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pembuktian bahwa jika terjadi persengketaan di muka pengadilan, satu-satunya alat bukti yang dapat digunakan adalah alat bukti tertulis atau akta otentik misalnya.

Untuk menjamin terlaksananya asas Audi Et Alteram Partem ini, undang-undang telah menentukan bahwa pengadilan dilakukan dengan pemeriksaan terbuka untuk umum, kecuali dalam hal-hal khusus misalnya perkara yang berkaitan dengan kesusilaan maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum.

2. ASAS IUS CURIA NOVITAsas Hukum Pembuktian yang juga merupakan asas Hukum Acara Perdata pada umumnya dikenal dengan sebutan asas "IUS CURIA NOVIT", yaitu bahwa Hakim selalu difiksikan mengetahui akan hukumnya dari setiap kasus yang diadilinya. Sebenarnya asas ini berasal dari zaman Legistis dimana menurut kaum Legis, hukum itu identik dengan undang-undang, dan undang-undang mampu mengatur keseluruhan aturan hukum. Dewasa ini ajaran Legis sudah tidak diterima, tetapi asas IUS CURIA NOVIT masih tetap diperlakukan.

Berdasarkan asas ini, Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara hingga putus dengan alasan Hakim tidak mengetahui hukumnya, atau hukumnya belum ada. Dalam hal hukumnya jelas belum ada, Hakim harus menggunakan methode Analog dan Argumentum A Contrario.

Berdasarkan asas lus Curia Novit ini, maka para pihaklah yang wajib untuk membuktikan "peristiwa"nya, sedang Hakim membuktikan masalah hukumnya.

Page 7: Hukum Acara Perdata 4

7

3. ASAS NEMO TESTIS INDONEUS IN PROPRIA CAUSAAsas ini menganut ajaran bahwa tidak seorangpun vang dapat menjadi saksi atas perkaranya sendiri. Sehingga berdasarkan asas ini, baik pihak penggugat atau pun pihak tergugat tidak mungkin tampil sebagai saksi dalam persengketaan antara mereka.

Dengan lain perkataan, saksi haruslah orang lain yang akan memberikan keterangan kesaksian tentang apa yang dilihatnya, didengarnya dan dialaminya.

Sehubungan dengan saksi ini, ada asas khusus yang bunyinya “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS” (satu saksi bukan saksi). Dan biasanya asas inipun diterapkan alat bukti persangkaan-persangkaan.

4. ASAS NE ULTRA PETITAAsas ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut.

Sehubungan dengan pembuktian, maka ini berarti hakim tidak boleh membuktikan lebih daripada apa yang dituntut oleh penggugat.

Jika tergugat telah mengakui secara penuh dengan “pengakuan murni” atas gugatan penggugat, maka sekalipun pengakuan tergugat itu diketahui oleh hakim sebagai tidak benar, tetapi hakim berdasarkan asas Ne Ultra Petita harus menerima pengakuan murni tergugat itu sebagai sesuatu yang benar.

Inilah sehingga Hakim Perdata dalam membuktikan bersifat "PREPONDERENSE OF EVIDENCE".

5. ASAS NEMO PLUS JURIS TRANSFERRE POTEST QUAM IPSE HABETAsas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan lebih banyak hak daripada apa yang dimilikinya.

Dihubungkan dengan pembuktian, maka contohnya dapat penulis gambarkan sebagai berikut:

Page 8: Hukum Acara Perdata 4

8

“Si A menggugat bahwa gedung bertingkat yang terletak di Jl. Sabutung 58 Ujungpandang adalah rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara ini, Tergugat adalah si B yang menempati rumah itu. Dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan pengakuan murni bahwa “benar gedung bertingkat itu adalah milik si A” Padahal si B sebenarnya mengetahui bahwa gedung yang di tempatinya itu sebenarnya adalah milik Tuan X”. Dalam hal kasus di atas, karena si B mengakui sesuatu yang bukan haknya, maka berdasarkan asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet, hakim tidak boleh menerima pengakuan itu.

Lain halnya seandainya gedung tadi milik si B, kemudian dengan kesadaran penuh si B mengakui di muka persidangan bahwa gedung itu milik si A, pengakuan ini meskipun tidak benar, tetap karena mengenai hak si B sendiri, maka oleh hukum dianggap si B memberi hadiah kepada si A gedung bertingkat miliknya itu.

6. ASAS NEGATIVA NON SUNT PROBANDAAsas ini menyatakan bahwa sesuatu yang bersifat negatie itu tidak dapat dibuktikan. Yang dimaksud sebagai sesuatu yang bersifat negatie adalah yang menggunakan perkataan "TIDAK", misalnya : Tidak berada di Malino, Tidak merusak mobil si A, tidak berhutang kepada si X, dan lain-lain.

Sehubungan dengan asas ini, penulis ingin memperlunak, bahwa sesuatu yang bersifat negatif tidaklah berarti mustahil untuk dibuktikan, hanya saja sulit untuk dibuktikan secara langsung. Dengan lain perkataan, dapat dibuktikan secara tidak langsung.

Sebagai misal: Jika si A diminta untuk membuktikan ketidakberadaannya di Pare-Pare pada tanggal 9 Nopember 1982, maka si A dapat membuktikannya dengan jalan membuktikan keberadaannya di Jakarta pada saat yang sama.

7. ASAS ACTORI INCUMBIT PROBATIOAsas ini dikenal juga sebagai asas "beban pembuktian" (The Burden of proof ) yang dalam Hukum Positip kita di Indonesia diatur dalam pasal 163 H.I.R. (pasal 283 RBG, pasal 1865 BW).

Page 9: Hukum Acara Perdata 4

9

Asas ini berarti bahwa barangsiapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkali adanya hak orang lain, harus membuktikannya. Hal ini berarti bahwa dalam hal:

a. Pembuktian yang diajukan penggugat dan tergugat sama-sama kuat, atau

b. Pembuktian yang diajukan penggugat dan tergugat sama sekali tidak ada,

maka baik penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani dengan pembuktian oleh Hakim.

Bagi pihak yang dibebani pembuktian, kemudian ternyata tidak mampu untuk membuktikannya, harus dikalahkan dalam perkara itu. Inilah yang dinamai sebagai "resiko pembuktian". Siapa yang harus dibebani pembuktian? Sifatnya kasuistis, artinya tergantung kasusnya.

8. ASAS YANG PALING SEDIKIT DIRUGIKANAsas ini menyatakan bahwa Hakim harus membebani pembuktian bagi pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus membuktikan.

Asas ini jika dalam Hukum Pidana sebenarnya merupakan perwujudan dan The Presumption of innocence" (Praduga tak bersalah).

Asas ini sering dihubungkan dengan asas Negativa non sunt probanda. Jadi yang dianggap pihak yang paling dirugikan jika harus membuktikan adalah pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negative.

9. ASAS BEZITTER YANG BERITIQAD BAIKAsas ini berbunyi bahwa itiqad baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda dan barang siapa menggugat akan adanya itiqad buruk bezittter itu harus membuktikannya.

Page 10: Hukum Acara Perdata 4

10

Jadi dengan asas ini telah ditentukan bahwa jika penggugat dalam gugatannya mendakwa/ menyatakan adanya itiqad buruk pada si tergugat yang merupakan bezitter dari barang yang digugat, si penggugatlah yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat pasal 533 BW).

10. ASAS YANG TIDAK BIASA HARUS MEMBUKTIKANAsas ini ditemui dalam putusan Mahkamah Agung, sehingga merupakan asas yang lahir dari Yurisprudensi, bahwa barangsiapa yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang tidak biasa itu.

Selain ke-10 macam asas-asas Hukum Pembuktian yang penulis anggap terpentng, tentu saja masih ada asas-asas lain yang dapat ditemui baik dalam Hukum Positip maupun Yurisprudensi atau Doktrina.

Page 11: Hukum Acara Perdata 4

Beban Pembuktian

Teori Beban PembuktianDalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang bebanpembuktian yang merupakan pedoman bagi Hakim yaitu:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)Menurut teori ini maka siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Teori ini sekarang telah ditinggalkan.

2. Teori Hukum SubyektifMenurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukjum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hal hatrus membuktikannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Teori ini memdasarkan pada pasal 1865 BW.

3. Teori Hukum ObyektifMenurut teori ini mengajukan tuntutan hak ataua gugatan berarti bahwa pengguggat minta kepada Hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan ukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugatharus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk ditetapkan pada peristiwa tersebut.

4. Teori Hukum PublikMenurut teori ini maka mencari kekuasaan suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

5.

11

Page 12: Hukum Acara Perdata 4

12

6. Teori Hukum AcaraAsas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari pada para pihak di muka Hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan dari para pihak. Asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu Hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.

Page 13: Hukum Acara Perdata 4

Alat BuktiAlat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat

dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan

perkara dalam tahap pembuktian. Sedangkan Pembuktian adalah upaya yang dilakukan

para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang

diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.

Macam macam Alat bukti:

Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR dan 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata ada lima

alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia, Yaitu:

1. alat bukti tertulis

2. alat bukti saksi

3. alat bukti persangkaaan

4. alat bukti pengakuan

5. alat bukti sumpah

Dalam praktek masih ada salah satu alat bukti lain yang sering digunakan yaitu alat

bukti pengetahuan Hakim, yaitu hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri pada waktu

melakukan pemeriksaan setempat.

Macam-Macam Alat Bukti.

1. Alat Bukti Tertulis atau Surat

Dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti Dalam acara perdata,

bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama di banding yang lain.

13

Page 14: Hukum Acara Perdata 4

14

Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan

yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran

seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan atau pikiran seseorang yang ditujukan untuk

dirinya dan orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian.

Ada dua macam alat bukti tertulis atau surat, yaitu:

1. Surat yang bukan akta, dan

2. Surat yang berupa akta; yang dapat dibagi lagi atas:

a. Akta Otentik; dan

b. Akta dibawah tangan.

1. Surat Yang Bukan Akta

Surat di Bawah tangan yang bukan akta tercantum dalam Pasal 1874 KUHPerdata.

Beberapa jenis surat tertentu digolongkan ke dalam surat yang bukan akta, yaitu:

buku daftar (register), surat- surat rumah tangga, dan catatan- catatan yang dibubuhkan

oleh kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya (Ps. 1881, 1883

KUHPer,294, 297 RBg). 294, 297 RBg).

Kekuatan Pembuktian terhadap surat yang bukan akta diserahkan sepenuhnya

kepada pertimbangan hakim (Ps. 1881 ayat (2) KUHPer, Ps. 294 ayat (2) RBg).

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi

dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak yang dibuat sejak awal untuk maksud

pembuktian.

Syarat formal sebuah akta adalah adanya tanda tangan pada akta tersebut (Ps.

1869 KUHPer). Hal ini bertujuan untuk membedakan kebenaran akta yang dibuat oleh

orang yang satu dengan orang yang lain. Jadi, fungsi tanda tangan pada akta adalah

untuk yang lain. memudahkan identifikasi dan mencirikan serta mengindividualisir suatu

Page 15: Hukum Acara Perdata 4

15

akta. Dengan demikian, karcis kereta api, rekening listrik dan resi tidak termasuk dalam

pengertian akta.

2a. Akta Otentik

Mengenai Akta Otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, 285 RBg dan 1868 KUHPerdata

akta Otentik adalah Akta yang dibuat oleh Pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh

pemerintah menurut peraturan perundang itu oleh pemerintah menurut peraturan

perundang- undangan yang berlaku, baik undangan yang berlaku, baik dengan maupun

tanpa bantuan pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk

dimuat di dalamnya oelh yang berkepentingan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

pejabat yang berwenang adalah Notaris, Panitera,Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim,

dsb. Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dsb.

Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli

warisnya atau orang warisnya atau orang- orang yang mendapatkan hak daripadanya.

Dengan katalain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenaran lain,nya tidak

dapat dibuktikan.

Akta Otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yaitu:

1. Kekuatan pembuktian formil Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka

sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

2. Kekuatan pembuktian materiil Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-

benar peristiwa yang benar peristiwa yang tersebut dalam akta tersebut telah terjadi.

3. Kekuatan mengikat Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada

tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum

tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Oleh karena menyangkut

pihak ketiga, maka akta otentik mempunyai kekuatan bukti keluar.

Page 16: Hukum Acara Perdata 4

16

2b. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan

maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum.Akta di bawah tangan

mempunyai kekuatan bukti yangsempurna seperti akta otentik, apabila isi dan

tandatangan dari akta tersebut diakui oleh orang yangbersangkutan.Dalam akta otentik

tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar mempunyai

kekuatan pihak yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna.Dalam Akta otentik, tanda tangan tidak merupakan persoalan, akan tetapi

dalam akta di bawah tanganpemeriksaan tentang benar tidaknya akta yangbersangkutan

telah ditandatangani oleh yang bersangkutan merupakan acara pertama.

2. Bukti Saksi

Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak

dikecualikan oleh undang-undang (Ps. 1895 KUHPerdata). Tiap kesaksian harus disertai

keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan

khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian (Ps. 1907

KUHPer, Ps. 171 HIR). Dengan kata lain, Saksi adalah seseorang yang melihat, mengalami

atau mendengar sendiri kejadian (atau peristiwa hukum) yang diperkarakan. Testimonium

de auditu (kesaksian de auditu) adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia

tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang

kejadian itu. Pada prinsipnya, testimonium de auditu tidak dapat diterima sebagai alat

bukti.Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercaya, disebut

juga Unus testis nullus testis (Pasal 1905

KUHPer, Ps. 169 HIR).

Yang tidak dapat didengar sebagai saksi, yaitu (Ps. 145 HIR):

Page 17: Hukum Acara Perdata 4

17

1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah atu pihak menurut garis lurus.

2. Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telahbercerai.

3. Anak Anak- anak yang belum cukup berumur 15 tahun

4. Orang gila, walaupun kadang- kadang ingatannya terang.

Mereka ini boleh didengar keterangannya, akan tetapi bukan sebagai saksi.

Keterangan yang mereka berikan hanya boleh dianggap sebagai penjelasan. Untuk

memberikan keterangan tersebut mereka tidak perlu disumpah (pasal 145 ayat 4 HIR).

· Akan tetapi, dalam perkara tertentu keluarga sedarah atau keluarga semenda cakap

menjadi saksi (Ps. 145ayat 2 HIR). Misal: dalam perkara-perkara mengenai kedudukan

perdata salah satu pihak, perkara2 mengenai nafkah yang harus dibayar, perkarmengenai

alasan yang dapat menyebabkanpembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua,

perkara mengenai suatu perjanjian kerja, dsb.

· Yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian, yaitu (Ps. 146 ayat 1 HIR):

1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah

satu pihak.

2. Keluarga sedarah menurut keturunan garis lurus,saudara laki2 dan saudara perempuan

dari laki-laki atau isteri salah satu pihak

3. Semua orang karena martabat, pekerjaan atau Semua orang karena martabat,

pekerjaan atau jabatan yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia yang berhubungan

dengan martabat, pekerjaan atau jabatan itu.

3. Alat Bukti Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik

dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui

Page 18: Hukum Acara Perdata 4

18

umum (Ps. 1915 KUHPerdata, Ps. 173 HIR, Ps. 310 RBg). Persangkaan undang-undang atau

persangkaan hukum adalah persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-

undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu

(Ps. 1916 KUHPer). Persangkaan-persangkaan semacam ini, antara lain:

1. perbuatan yang oleh UU dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan

wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan UU.

2. Perbuatan yang oleh UU diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang

disimpulkan dari keadaan tertentu.

3. Kekuatan yang oleh UU diberikan kepada suatu putusan hakim yg telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Kekuatan yang oleh UU diberikan kepada pengakuan atau sumpah salah satu

pihak.

Persangkaan Hakim adalah persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta

(fetelijke vermoeden) atau presumptiones facti yang bersumber dari fakta yang terbukti

dalam persidangan sebagai titik tolak menyusun persangkaan (Ps. 1922 KUHPer, Ps. 173

HIR).

4. Alat Bukti Pengakuan (Ps. 1923 KUHPer, Ps. 174 HIR)

Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak

kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara.Pernyataan atau keterangan

itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Keterangan itu merupakan

pengakuan, bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk

keseluruhan atau sebagian.

Page 19: Hukum Acara Perdata 4

19

5. Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan atau pernyatan yang dikuatkan

atas nama Tuhan, dengan tujuan:

agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut

atas murka Tuhan apabila dia berbohong;

takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi

yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.

Ada 2 macam sumpah, yaitu:

1. sumpah yang dibebankan oleh hakim

2. sumpah yang dimohonkan pihak lawan.

Apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta

bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan

sumpah termaksud (Ps. 177 HIR).

Page 20: Hukum Acara Perdata 4

20

Daftar Pustaka

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jakarta, 1988.

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Jakarta, 1986.

http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html