hukum acara perdata 3

Upload: rizky-ramadhan

Post on 10-Oct-2015

121 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Hukum Acara Perdata

TRANSCRIPT

Gugatan RekonvensiPasal 118.HIR(1) Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenamya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .)(2) Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) "Reglemen Susunnan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama.(3) Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jikatidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut.(4) Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 95-11, 4', 5'; KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.)Pasal 120a.(s.d.u. dg. S. 1935-102.)(1) Jika tuntutan itu berhubungan dengan perkara, pengadilan yang sudah diputuskan oleh hakim desa, penggugat harus menyebutkan isi keputusan itu dalam tuntutannya; kalau dapat, salinan keputusn itu hendaklah disertakan. (RO. 3a.)(2) Pada waktu atau sesudah tuntutan itu diterima atau pada waktu persidangan dimulai, ketua pengadilan negeri akan mengingatkan penggugat mengenai kewajibnya, yang diterangkan dalam ayat (1).PengertianRekonvensi diatur dalamPasal 132 a dan b HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.[footnoteRef:1] Penggugat dalam gugatan pertama atau gugat rekonvensi disebut sebagai penggugat dalam konvensi atau tergugat dalam rekonvensi begitu juga sebaliknya. [1: Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.]

DalampenjelasanPasal 132a HIRdisebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Contoh, dalam hal ini diantara kedua belah pihak yang sama ada kalanya ada suatu urusan lain, yang berisikan juga kewajiban salah satu pihak untuk berprestasi kepada pihak lain dan dimana kita ketahui apabila akan mengajukan gugatan lagi harus melalui proses awal lagi. Akan tetapi disini hukum memberikan jalan kepada pihak yang sedang berperkara untuk tidak usah mengajukan gugatan baru lagi. Melainkan cukup dengan mengajukan tuntutan baliknya dalam jawabannya terhadap gugatan semula. TujuanGugatan rekonvensi pada hakikatnya merupakan gabungan dua tuntutan yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur, dan menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan satu sama lain. Terutama bagi pihak yang tergugat, berarti menghemat biaya karena tidak diwajibkan untuk membayar perkara. Di samping itu, tujuan daripada gugat rekonvensi ini adalah:[footnoteRef:2] [2: Drs. H. Abd Mannan, SH., S.IP., M.Hum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000]

1. Menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan sekaligus, 1. Mempermudah prosedur pemeriksaan, 1. Menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain, 1. Menetralisir tuntutan konvensi, 1. Memudahkan acara pembuktian dan menghemat biaya.

Syarat materilSyarat materil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf (a) HIR hanya berisi penegasan bahwa:1. tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;2. tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang substansial.Walaupun tidak terdapat pengaturan mengenai syarat harus adanya koneksitas antara gugatan rekonvensi dengan konvensi, ternyata dalam prakteknya, pengadilan cenderung menerapkannya. Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materil gugatan rekonvensi. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat:1. terdapat faktor hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;2. hubungan itu harus sangat erat, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan.Salah satu tujuan pokok sistem rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat biaya dan waktu. Sehingga memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan rekonvensi, tidak akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, agar tujuan yang diamanatkan dalam sistem rekonvensi ini (Pasal 132 (a) HIR) tidak menyimpang dari arah yang dicita-citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Namun, prinsip ini tidak boleh mengurangi hak tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.Pada dasarnya eksistensi gugatan rekonvensi tidak tergantung (asesor) pada gugatan konvensi dan dapat berdiri sendiri serta dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda. Hanya secara eksepsional hukum memberikan hak kepada tergugat menggabungkan gugatan rekonvensi kedalam gugatan konvensi.Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas antara gugatan konvensi dengan rekonvensi, dan putusan yang dijatuhkan atas gugatan konvensi bersifat negatif yaitu gugatan tidak dapat diterima, dengan alasan gugatan mengandung cacat formil (eror in personal, obscuur libel, tidak berwenang mengadili, dan lain sebagainya), maka berakibat:1. putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi2. dengan demikian, oleh karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.Namun, dalam hal lain, apabila terdapat gugatan rekonvensi tidak mempunyai hubungan erat atau koneksitas dengan gugatan konvensi, kemudian gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, maka gugatan rekonvensi tidak tunduk mengikuti putusan konvensi tersebut. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya. Syarat FormilSupaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya.Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:1. menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;2. merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;3. menyebut dengan rinci petitum gugatan.Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil, dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik sebagai tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat untuk melawan gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi.Apabila tergugat rekonvensi terdiri dari beberapa orang dan gugatan rekonvensi memiliki kaitan yang erat dengan gugatan konvensi, sebaiknya seluruh penggugat konvensi ditarik sebagai tergugat rekonvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat formil gugatan rekonvensi yang berbentukplurium litis consortiumyaitu kurangnya pihak yang ditarik sebagai tergugat. Dan, apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi, maka tidak perlu menarik semua penggugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi. Cukup satu atau beberapa orang yang benar-benar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.Pasal 132 huruf (b) angka (1) HIR mengatur bahwa waktu pengajuan gugatan rekonvensi wajib dilakukan bersama-sama dengan pengajuan jawaban. Apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan bersama-sama dengan jawaban, maka akan mengakibatkan gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan tersebut tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Terdapat beberapa penafsiran yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan jawaban dalam praktek, ada yang menafsirkan jawaban sebagai jawaban pertama tetapi ada juga yang menfsirkan jawaban menjangkau juga jawaban dalam bentuk duplik.Penafsiran yang sempit yang menafsirkan jawaban bermakna jawaban pertama mempunyai alasan bahwa:1. memperbolehkan atau memberikan kebebasan bagi tergugat mengajukan gugatan rekonvensi diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;2. memperbolehkan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi melampaui jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara;3. rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan harus pada jawaban pertama yaitu agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan rekonvensi.Prof. Subekti berpendapat bahwa gugatan rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi dimulai, hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, dan tidak dalam proses secara tertulis.Pengajuan gugatan rekonvensi tidak harus bersama-sama dengan jawaban pertama tetapi dibenarkan sampai proses pemeriksaan memasuki tahap pembuktian. Dengan demikian, gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap jawab-menjawab. Yang menjadi syarat adalah gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban. Sehingga dapat diajukan bersama-sama pada jawaban pertama boleh juga pada jawaban duplik terhadap replik penggugat.Menurut praktek peradilan saat ini, pengajuan gugatan rekonvensi hampir seluruhnya disampaikan pada jawaban pertama. Sehingga isi muatan jawaban pertama meliputi eksepsi, bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) dan gugatan rekonvensi.

Larangan Mengajukan Gugatan RekonvensiPasal 132a ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement (HIR), mengatur bahwa tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi dalam setiap perkara. Akan tetapi, ternyata pasal tersebut mencantumkan pengecualian, berupa larangan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dalam perkara tertentu. Larangan pengajuan gugatan rekonvensi yaitu:1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan status kualitasLarangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi penggugat, sedangkan dia tengah bertindak sebagai penggugat mewakili kepentingan pemberi kuasa (principal). Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C tentang sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam peristiwa semacam ini undang-undang melarang atau tidak membenarkan C mengajukan gugatan rekonvensi kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa ini harus diajukan oleh C secara tersendiri kepada A melalui prosedur gugatan perdata biasa.2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa perkaraLarangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 2 HIR, namun larangan dalam pasal ini hanya dapat diterapkan sepanjang mengenai pelanggaran yurisdiksi absolut, tetapi dapat ditolerir apabila yang dilanggar adalah kompetensi relatif. Contohnya, A menggugat B atas sengketa jual beli tanah. Terhadap gugatan tersebut, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa hibah bagi yang beragama Islam menjadi yurisdiksi absolut lingkungan peradilan agama.Gugatan rekonvensi yang melanggar kompetensi relatif dapat dibenarkan demi tegaknya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Contohnya, A berdomisili di Bogor mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung kepada B yang bertempat tinggal di Bandung. Dalam kasus tersebut, B dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi kepada A meskipun hal ini melanggar kompetensi relatif berdasar asasactor sequitur forum reiPasal 118 ayat (1) HIR, yang menggariskan, gugatan harus diajukan di daerah hukum Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Berarti secara konvensional, jika B hendak menggugat A sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, harus diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor. Akan tetapi untuk tegaknya pelaksanaan sistem peradilan yang efektif dan efisien, B dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi di Pengadilan Negeri Bandung, meskipun terjadi pelanggaran yurisdiksi relatif.

3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusiLarangan gugatan rekonvensi yang menyangkut sengketa perlawanan terhadap eksekusi putusan, contohnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan perlawanan tersebut, pihak terlawan tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi. Alasan larangan tersebut, gugatan pelawan terhadap putusan eksekusi dianggap sebagai perkara yang sudah selesai diputus persengketaannya.Tetapi Pasal 379 Reglement op de Rechsvordering (Rv), menyatakan tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugatan perlawanan, baik yang berbentukderden verzet(perlawanan pihak ketiga) ataupartay verzet(perlawanan para pihak), hal ini berarti hukum memperbolehkan terlawan mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan adanya kontroversi dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke 3 (tiga) HIR dengan Pala 379 Rv, dalam praktik terdapat acuan penerapan yaitu terhadap perlawanan berbentukderden verzetyang mengandung dalil dan argumentasi lain yang masih berkaitan langsung dengan pokok materi yang dilawan, secara kasuistik dimungkinkan mengajukan gugatan rekonvensi. Akan tetapi, apabila gugatan perlawanan berbentukpartay verzetyang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.

4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat bandingLarangan ini ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Pasal 132 a ayat (2) HIR mengatur bahwa apabila dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Sehubungan dengan larangan ini, apabila tergugat mempunyai tuntutan kepada penggugat, tetapi lalai mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan mengajukan gugatan perkara biasa.5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasiTidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang secara tegas pengajuan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi. Dengan demikian, berdasarkan prinsip penafsirana contrarioboleh mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi, karena undang-undang sendiri tidak tegas melarangnya. Akan tetapi, fungsi Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi, bukan peradilanjudex factiyang berwenang memeriksa dan menilai permasalahan fakta (feitelijke kwesties). Sehingga tidak dibenarkan dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, meskipun tidak ada ketentuan yang melarangnya. Larangan tentang itu dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung No. 209 K/Sip/1970 yang mengatakan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi tidak dapat diajukan.

4

1

ACARA ISTIMEWA

Putusan GugurA. Dasar HukumPengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang berbunyi: Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.

B. PengertianPutusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan.

C. Waktu dijatuhkannya putusan gugur:putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan

D. Syarat terjadinya putusan gugur :putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :Memerhatikan ketentuan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengguguran gugatan:

1. Syarat pengguguranSupaya pengguguran gugatan sah menurut hukum harus dipatuhi syarat sebagai berikut:

a. Penggugat Telah Dipanggil Secara PatutPenggugat telah dipanggil secara patut apabila: Surat panggilan atau exploot telah dilakukan secara resmi oleh juru sita sesuai dengan ketentuan undang-undang untuk, untuk hadir atau menghadap pada hari tanggal sidang yang ditentukan; Panggilan dilakukan dengan patut, yaitu antara hari panggilan dengan hari persidangan tidak kurang dari tiga hari.

b. Penggugat Tidak Hadir Tanpa Alasan Yang Sah (Unreasonable Default)Syarat yang kedua, penggugat tidak hadir atau tidak menghadap persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, dan juga tidak menyuruh kuasa atau orang lain untuk mewakilinya. Jika ketidakhadiran berdasarkan alasan yang sah (unseasonable default), ketidakhadiran penggugat tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan gugatan. Pengguguran yang demikian tidak sah dan bertentangan dengan hukum.

2. Pengguguran Dilakukan Hakim Secara Ex-OfficioPasal 124 HIR memberi kewenangan secara ex-officio kepada hakim untuk menggugurkan gugatan, apabila terpenuhi syarat dan alasan untuk itu. Dengan demikian kewenangan itu, dapat dilakukan hakim, meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Namun hal itu, tidak mengurangi hak tergugat untuk mengajukan permintaan penggugaran. Malahan beralasan tergugat mengajukannya, karena ketidakhadiran penggugat dianggap merupakan tindakan sewenang-wenang kepada tergugat. Sebab ketidakhadiran itu, berakibat proses pemeriksaan tidak dapat dilakukan karena berbenturan dengan asas pemeriksaan contradictoir.

3. Rasio pengguguran gugatanMaksud utama pelembagaan pengguguran gugatan dalam tata tertib beracara adalah sebagai berikut.

a. Sebagai hukuman kepada penggugatPengguguran gugatan oleh hakim, merupakan hukuman kepada penggugat atas kelalaian atau keingkarannya mengahdiri atau menghadap di persidangan. Sangat layak menghukum penggugat dengan jalan menggugurkan gugatan, karena ketidakhadiran itu dianggap sebagai pernyataan pihak penggugat bahwa dia tidak berkepentingan lagi dalam perkara tersebut.

b. Membebaskan tergugat dari kesewenanganTujuan lain yang terkandung dalam pengguguran gugatan, membebaskan tergugat dari tindakan kesewenangan penggugat. Dianggap sangat tragis membolehkan penggugat berlarut-larut secara berlanjut ingkar menghadiri sidang, yang mengakibatkan persidangan mengalami jalan buntu pada satu segi, dan pada segi lain tergugat dengan patuh terus menerus datang menghadirinya, tetapi persidangan gagal disebabkan penggugat tidak hadirtanpa alasan yang sah. Membiarkan hal seperti itu berlanjut, merupakan penyiksaan yang menimbulkan kerugian moril dan materiil bagi tergugat. Menghadapi keadaan yang demikian sangat adil dan wajar membebaskan tergugat dari belenggu perkara, dengan jalan menggugurkan gugatan yang dimaksud. Memerhatikan rasio yang dikemukakan diatas, hakim harus tegas menerapkan ketentuan Pasal 124 HIR, apabila keingkaran penggugat menghadiri sidang benar-benar tanpa alasan yang sah. Atau apabila alasan ketidakhadiran yang diajukan bohong, dibuat-buat atau artifisial (artificial).

4. Pengguguran sidang pertamaKapan hakim secara ex-officio berwenang menggugurkan gugatan? Pasal 124 HIR tidak menegaskan hal itu. Pasal tersebut hanya mengatakan, kebolehan menggugurkan gugatan, apabila penggugat tidak datang mengahadap pada sidang yang ditentukan.

a. Pengguguran pada sidang pertamaSecara tersirat, makna kalimat jika penggugat tidak hadir menghadap persidangan yang ditentukan adalah hari sidang pertama. Penafsiran ini disimpulkan berdasarkan kaitan kalimat itu dengan panggilan. Berdasarkan tata tertib beracara, relevansi atau urgensi panggilan adalah pada sidang pertama, karena proses sidang selanjutnya tidak memerlukan panggilan, tetapi cukup melalui pengumuman pengunduran di sidang panggilan. Pendapat ini, sesuai dengan pedoman yang digariskan MA, yang mengatakan: jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang..., tetapi pada hari kedua itu datang pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBG).

b. Makna sidang pertamaYang dimaksud dengan sidang pertama dalam masalah ini, meliputi hari sidang yang lain setelah pengguguran. Misalkan hari sidang pertama ditentukan 1 Maret 2002, untuk itu penggugat telah dipanggil dengan patut. Ternyata tidak hadir memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah. Atau, ketidakhadirannya berdasarkan alasan yang sah. Berdasarkan ketidakhadiran itu, hakim mengundurkan hari sidang pada tanggal 15 Maret 2002, dan memerintahkan juru sita menyampaikan panggilan. Namun, pada hari sidang itu (15 Maret 2002) penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang demikian:

Sidang pengunduran (15 Maret 2002) tersebut, dianggap dan dikonstruksi sebagai sidang pertama; Oleh karena itu, pada sidang pengunduran itu tetap melekat hak dan kewenangan hakim secara ex-officio untuk menggugurkan gugatan penggugat.

Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian sidang pertama dalam kaitannya denganj pengguguran gugatan, tidak boleh ditafsirkan dan dikontruksi secara sempit (strict law), tetapi harus diterapkan secara luas meliputi sidang pengunduran selanjutnya dengan syarat, asal pada sidang sebelumnya penggugat tidak pernah hadir.

5. Pengunduran tidak imperatif, tetapi fakultatifKewenangan pengguguran gugatan yang diatur dalam Pasal 124 HIR, sepintas lalu bersifat imperatif. Seolah-olah pasal ini berisi perintah kepada hakim, harus atau wajib menggugurkan gugatan apabila penggugatan tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah. Sepintas lalu memang demikian, jika an sich berpedoman secara utuh kepada ketentuan pasal 124 HIR. Menurut pasal ini, asal penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, gugatan harus digugurkan.Ternyata sifat imperatif yang ada pada Pasal 124 HIR itu, dianulir oleh Pasal 126 HIR yang menegaskan:

Sebelum menjatuhkan putusan pengguguran gugatan yang disebut dalam pasal 124, PN dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada hari sidang yang lain, Sedangkan kepada pihak yang hadir (dalam hal ini tergugat), pengunduran sidang cukup diberitahukan oleh hakim dalam persidangan, dan pemberitahuan itu oleh hukum dianggap berlaku sebagai panggilan.Jadi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR, pengguguran gugatan bukan bersifat imperatif, tetapi fakultatif. Dengan demikian penerapannya, memberi kewenangan kepada hakim: Dapat mengugurkan gugatan secara langsung pada sidang pertama, atau Dapat mengundurkan sidang dengan jalan memerintahkan juru sita, untuk memanggil penggugat untuk kedua kalinya.

Akan tetapi terlepas dari sifat fakultatif yang digariskan di atas, ditinjau dari segi pendekatan rasio yang terkandung dalam pelembagaa pengguguran, dianggap lebih tepat menerapkannya ke arah yang bersifat imperatif, demi untuk melindungi kepentingan tergugat pada satu segi, dan untuk edukasi bagi penggugat dan masyarakat pada sisi lain.

6. Putusan Pengguguran Tidak Ne Bis In IdemPerhatikan kembali Pasal 124 HIR. Di dalamnya terdapat kalimat yang berbunyi: akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatnnya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara tersebut.

a. Putusan Pengguguran Berdasarkan Alasan FormilPutusan pengguguran gugatan, diambil dan dijatuhkan:

Sebelum diperiksa materi pokok perkara, Oleh karena itu, putusan diambil berdasarkan alasan formil yaitu atas alasan penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable default), Dengan demikian putusan pengguguran bukan putusan mengenai pokok perkara, sehingga dalam putusan tidak melekat ne bis in idem yang digariskan Pasal 1917 KUH Perdata. Berarti sekiranya pun putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata), pada putusan tidak melekat unsur ne bis in idem.

b. Putusan Pengguguran Dijatuhkan Secara SederhanaMengenai menjatuhkan putusan pengguguran gugatan, dapat berpedoman kepada ketentuan Pasal 176 Rv:

Dilakukan tanpa hadirnya penggugat, dalam sidang secara sederhana, Namun tetap dituangkan dalam bentuk putusan sebagaimana mestinya. Putusan Pengguguran Diberitahukan Kepada Penggugat

Menurut pasal 276 Rv, untuk tegasnya kepastian hukum:

Putusan pengguguran gugatan diberitahukan kepada penggugat, Pemberitahuan dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan ketentuan Pasal 390 HIR.Dengan adanya pemberitahuan, menjadi dasar bagi penggugat untuk melakukan upaya hukum yang proposional untuk itu.

c. Penggugat Berhak Mengajukan KembaliSeperti yang telah dijelaskan di atas, dalam putusan pengguguran tidak melekat unsur ne bis in idem sehingga putusan tersebut tidak termasuk putusan yang disebut Pasal 1917 KUH Perdata. Oleh karena itu, sangat tepat ketentuan Pasal 124 HIR yang memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan kembali gugatan itu kepada PN untuk diproses sebagaimana mestinya. Terdapat pengajuan kembali, tergugat tidak dapat mengajukan keberatan atau perlawanan.

d. Pengajuan Kembali Dengan Membayar Biaya PerkaraPengajuan kembali, dianggap sebagai perkara baru. Oleh karena itu, terhadap pengajuan berlaku ketentuan Pasal 121 ayat (4) HIR:

Harus lebih dahulu dibayar biaya perkara, sejumlah panjar perkara yang ditentukan oleh panitera; Atas bukti pembayaran itu, baru dilakukan pendaftaran dalam registrasi.

7. Pengguguran Gugatan Dibarengi Perintah Pengangkatan Sita Jaminan (CB)Putusan pengguguran gugatan yang dijatuhkan pengadilan menimbulkan akibat hukum terhadap semua tindakan hukum yang telah diambil pengadilan. Sekiranya dalam perkara yang bersangkutan telah diletakkan sita jaminan terhadap milik tergugat atau objek barang sengketa:

sita tersebut harus diangkat; pengangkatan sita itu, dicantumkan dalam amar putusan yang berisi perintah mengangkat sita; namun, apabila penggugat mengajukan kembali perkara itu, dia berhak meminta lagi agar sita diletakan. Namun permintaan itu tidak dengan sendirinya dikabulkan, tetapi harus berdasar pertimbangan baru lagi.

E. Akibat Hukum Putusan Gugur

Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:1. Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.2. Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya: Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau final and binding, Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.

3. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara baru.

Dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:

1) Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk melanjutkan perkara;2) Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;3) Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;4) Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;5) Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;

Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara.

PUTUSAN VERSTEKA. Istilah dan PengertianDalam penulisan ada yang memeprgunakan istilah hukum acara tanpa hadir. Sedangkan Soepomo menyebut acara luar hadir. Mengenai pengertian verstek, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Sehubungan dengan itu, persoalan verstek tidak lepas kaitannya dengan ketentuan pasal 124 HIR (pasal 77 Rv) dan pasal 125 ayat (1) HIR (pasal 73 Rv). Pasal 124 HIR, pasal 77 Rv, mengatur verstek kepada penggugat

Berdasarkan pasal diatas, hakim berwenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadir penggugat dengan syarat:

1) Bila penggugat tidak hadir pada sidang yang ditentukan tanpa alasan yang sah,2) maka dalam peristiwa seperti itu, hakim berwenang memutus perkara tanpa hadirnya penggugat yang disebut verstek, yang memuat diktum:3) Membebaskan tergugat dari perkara tersebut,4) Menghukum penggugat membayar biaya perkara,5) Terhadap putusan verstek itu penggugat tidak dapat mengajukan perlawanan (verzet) maupun upaya banding dan kasasi, sehingga terhadap putusan tertutup upaya hukum,6) Upaya yang dapat dilakukan penggugat adalah mengajukan kembali gugatan itu sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara,7) Pasal 125 ayat (1) HIR, pasal 73 Rv, mengatur verstek terhadap tergugat

Berdasarkan pasal tersebut, kepada hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat: Apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default wihthout reason), Dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisikan diktum: Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukumMemperhatikan penjelasan diatas, pengertian verstek ialah pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada tanggal yang ditentukan. Dengan demikian putusan diambil dan dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.

B. Tujuan Verstek

Maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan. Sekiranya undang-undang menentukan bahwa untuk sahnya proses pemeriksaan perkara, mesti dihadiri para pihak, ketentuan yang demikian tentunya dapat dimanfaatkan tergugat dengan itikad buruk untuk menggagalkan penyelesaian perkara. Setiap kali dipanggil menghadiri sidang, tergugat tidak menaatinya dengan maksud untuk menghambat pemeriksaan dan penyelesaian perkara.

C. Syarat Acara VerstekPerihal syarat sahnya penerapan verstek kepada tergugat, merujuk kepada ketentuan pasal 125 ayat (1) HIR atau pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari pasal tersebut, dapar dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tergugat Telah Dipanggil dengan Sah dan Patuta. Yang melaksanakan pemanggilan juru sitaHal itu ditegaskan dalam pasal 388 jo. Passal 390 ayat (1) HIR. Menurut pasal itu, yang diwajibkan menjalankan panggilan adalah juru sita PN. Jika pihak yang hendak dipanggil berada di luar yurusdiksi relatif yang dimilikinya, panggilan dilakukan berdasarkan pasal 4 Rv, yaitu mendelegasikan kepada juru sita yang berwenang di daerah hukum itu.

b. Bentuknya dengan surat panggilanBerdasarkan pasal 390 ayat (1), pasal 2 ayat (3) Rv panggilan dilakukan dalam bentuk: Surat tertulis yang disebut surat panggilan atau relaas panggilan (bericht report) Panggilan tidak sah dalam bentuk lisan (oral) karena secara teknis yustisial, sangat sulit atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya sehingga dapat merugikan kepentingan tergugat

c. Cara pemanggilan yang sahKategori cara pemamggilan yang sah, digariskan dalam pasal 390 ayat (1) dan (3) HIR atau pasal 6 ke7- Rv

Tempat tinggal tergugat diketahui: Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau keluarganya Penyampaian dilakukan di tempat tinggal atau tempat tempat dominili pilihan.Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemukan juru sita di tempat kediaman.

Tempat tinggal tidak diketahui: Juru sita menyampaikan panggilan kepada walikota atau bupati, dan Walikota atau bupati mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu dengan jalan menempelkan pada pintu umum kamar sidang PN. Pemanggilan tergugat yang berada di luar negeri

Cara pemanggilan dalam kasus seperti ini, tidak diatur dalam HIR dan RBG. Oleh karena itu, dalam praktik dipedomani keputusan dalam bentuk melalui jalur diplomatik. Jika tempat tinggal tergugat di luar negeri tidak diketahui, tata cara panggilan tunduk kepada ketentuan pasal 390 ayat (3) HIR.1) Pemanggilan terhadap tergugat yang meninggalTata caranya berpedoman pada pasal 390 ayat (2) HIR dan pasl 7 Rv. Apabila ahli waris dikenal, panggilan ditujukan kepada semua ahli waris tanpa menyebut identitas mereka satu persatu dan panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum pewaris Apabila ahli waris tidak dikenal, panggilan disampaikan melalui kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum pewaris.

d. Jarak Waktu Pemanggilan dengan Hari SidangSupaya panggilan sah dan patut, harus berpedoman kepada pasal 122 HIR atau pasal 10 Rv. Pasal tersebut mengatur jarak waktu anatar pamanggilan dengan hari sidang.

Dalam keadaan normal, digantungkan pada faktor jarak tempat kediaman tergugat dengan gedung PN: 8 (delapan) hari, apabila jaraknya tidak jauh 14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan 20 (dua puluh) hari, apabila jaraknya jauh

Dalam keadaan mendesakMenurut pasal 122 HIR, dalam keadaan mendesak jarak waktunya dapat dipersingkat, tetapi tidak boleh kurang dari 3 hari.

2. Tidak Hadir Tanpa Alasan yang SahSyarat yang kedua, tergugat tidak datang menghadiri penggilan sidang tanpa alasan yang sah. syarat ini ditegaskan dalam pasal 125 ayat (1) HIR: Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau Tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak mewakilinya, Padahal tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak menghiraukan dan menaati panggilan tanpa alasan yang sah Dalam kasus seperti itu, hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan verstek, yaitu putusan di luar hadir tergugat.

Jadi, apabila tergugat in person atau wakilnya tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, kepada tergugat dapat dikenakan hukuman berupa penjatuhan putusan verstek.

3. Tergugat Tidak Mengajukan Eksepsi KompetensiBerdasarkan pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 121 HIR, hukum acara memberi hak kepada tergugat mengajukan eksepsi kompetensi, baik absolut berdasarkan pasal 134 HIR atau relatif berdasarkan pasal 133 HIR. Apabila tergugat tidak mengajukan eksepsi seperti tiu, kemudian tergugat tidak memenuhi panggilan sidang berdasarkan alasan yang sah, hakim dapat langsung menyelesaikan perkara berdasarkan verstek.

D. Penerapan Acara Verstek Tidak Imperatif

Pada satu sisi, undang-undang mendudukan kehadiran tergugat di sidang sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya. Disisi lain, undang-undang tidak memaksakan penerapan acara verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak.

E. Penerapan Acara Verstek ( Putusan di Luar Hadir)

Ada kemungkinannya pada hari sidang yang telah ditetapkan tergugat tidak datang dan tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap di persidangan, sekalipun sudah dipanggil denagn patut oleh jurusita. Tidak ada keharusan bagi tergugat untuk datang di persidangan. HIR memang tidak mewajibkan tergugat untuk datang di persidangan. Kalau tergugat tidak datang setelah panggilan dengan patut, maka gugatan dikabulkan dengan putusan diluar hadir atau verstek, kecuali kalu gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.

Tentang kapan boleh dijatukan putusan verstek ada yang berpendapat bahwa putusan verstek harus dijatuhkan pada hari sidang pertama, yang mendasarkan pada kata-kata ten dage dienende dalam pasal 123 HIR (pasal 149 Rbg) yang diartikan sebagai hari sidang pertama. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kata-kata ten dage dienende dapat pula diartikan ten dage dat de zaak dient yang berarti tidak hanya hari sidang pertama saja. Pasal 126 HIR (pasal 150 Rbg) memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi. Kata verstek itu sendiri berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Ada kalanya putusan verstek itu dijalankan (pasal 129 ayat 2 HIR. 153 ayat 2 Rbg).

Tuntutan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek diajukakn dan diperiksa seperti perkara consevatoir. Dalam acara perlawanan yang mengajukan perlawanan (pelawan, apposant) tetap menduduki kedudukannya sebagai tergugat seperti dalam perkara yang telah diputus verstek, sedang terlawan ( geoppossende) tetap sebagi penggugat. Apabila perlawanan diterima oleh pegadilan, maka pelaksanaan putusan verstek terhenti, kecuali kalau ada perintah untuk melanjutkan pelaksanaan putusan verstek itu ( pasal 129 ayat 4 HIR, 153 ayat 5 Rbg).

Dalam pemeriksaan perlawanan (verzetprocedure) oleh karena kedudukan para pihak tidak berubah, maka pihak penggugatlah (terlawan) yang harus mulai dengan pembuktian. Kalau dalam acara perlawanan penggugat tidak datng, maka perkara diperiksa secara consevatoir. Sedangkan kalau tergugat dalam acara perlawanan itu tidak datng lagi, maka untuk kedua kalinya diputus verstek, terhadap mana tubtutab perlawanan (verzet) tidak diterima (pasal 129 ayat 5 HIR, 153 ayat 6 Rbg). Jika terdapat bebrapa orang tergugat, sedang salah seorang atau lebih di antaranya tidak datang atau tidak menyuruh wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil dengan patut, perkara diperiksa secara consevatoir. Apabila kedua belah pihat tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan, meskipun kedua-duanya telah dipanggil dengan patut, maka denagn kewibawaan badan pengadilan serta agar jangan sampai ada perkara yang berlarut-larut tidak berketentuan dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada, walaupun tentang hal ini tidak ada ketentuannya.

Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek. Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat). Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat. Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek, terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

F. Bentuk Putusan Verstek

Mengenai bentuk putusan verstek yang dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, pasal 149 RBG, dan pasal 78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:

Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu terima dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada PN bahwa pendakwa itu melawan hak atau tidak beralasan.

Memperhatikan kalimat terakhir pasal di atas, bentuk putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan terdiri dari:

1. Mengabulkan Gugatan PenggugatBentuk putusan verstek yang pertama, mengabulkan gugatan penggugat. Apabila hakim hendak menerapkan acara verstek, pada prinsipnya, putusan yang harus dijatuhkan mengabulkan gugatan penggugat. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tanggung jawab hakim dalam penerapan acara verstek adalah berat. Tanpa melalui proses pemeriksaan yang luas dan mendalam terhadap fakta-fakta yang melekat pada sengketa, hakim mengabulkan gugatan, semata-mata berdasarkan surat gugatan yang diajukan penggugat. Berarti putusan diambil tanpa perlawan dan bantahan dari pihak tergugat.Sejauhmana jangkauan pengabulan yang dapat dituangkan dalam putusan verstek, terdapat perbedaan pendapat.a) Mengabulkan seluruh gugatan.b) Boleh mengabulkan sebagian saja.

2. Menyatakan Gugatan Tidak dapat di TerimaKalimat terakhir pasal 125 ayat (1) HIR menegaskan: kecuali nyata kepada pengadilan negeri, gugatan melawan hukum atau tidak beralasan. Memperhatikan ketentuan diatas hakim harus menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan: Melawan hukum atau ketertiban dan kesusilaan Tidak beralasan atau tidak mempunyai dasar hukum

3. Menolak Gugatan PenggugatMalahan bukan hanya terbatas pada bentuk putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima, tetapi dapat juga berbentuk menolak gugatan penggugat. Jika menurut pertimbangan hakim, gugatan yang diajukan tidak didukung alat bukti yang memenuhi batas minimal pembuktian, hakim dapat menjatuhkan putusan verstek yang memuat diktum: Menolak gugatan penggugat . sekiranya penggugat keberatan terhadap putusan itu, ia dapat mengajukan banding berdasarkan pasal 8 ayat (1) undang-undang no 20 tahun 1947.

G. Upaya Hukum Terhadap Putusan Versyek

Pasal 129 HIR, pasal 153 RBG mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek: Ayat (1) mengenai bentuk upaya hukumnya yaitu perlawanan atau verzet, Ayat (2) mengenai tenggang waktu Ayat (3) mengatur cara pengajuan hukum, Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek, Ayat (5) ketentuan tentang pengajuan verzet terhadap verstek.

Demikian gambaran singkat tentang aspek-aspek yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap putusan verstek. Pengaturan yang bersifat spesifik terhadap upaya hukum terhadap putusan verstek sejalan dengan kekhususan yang melekat pada putusan verstek itu sendiri.

H. Perlawanan Atas Putusan Verstek

Dalam suatu perkara telah diputus secara verstek, dapat dilakukan upaya hukum berupa verzet, yang diajukan di pengadilan yang memutus verstek tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Pertama, sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg, Tergugat/Para Tergugat yang dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. Pasal 391 HIR dalam menghitung tenggat waktu maka tanggal/hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung.

Kedua, jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).

Ketiga, jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat 2 Jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat 2 Jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) didaftar dalam satu nomor perkara.

Keempat, perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan putusan verstek.Kelima, hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (lihat Pasal 129 ayat 3 HIR, Pasal 153 ayat 3 RBg dan SEMA No 9 Tahun 1964).

Keenam, apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contracdictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (pasal 129 ayat 5 HIR dan Pasal 153 ayat 5 RBg).

Ketujuh, apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi: Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar Membatalkan putusan verstek Mengabulkan gugatan Penggugat atau menolak gugatan Penggugat

Kedelapan, apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi: "Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar" atau "Menguatkan putusan verstek tersebut"

Kesembilan, terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara.

I. Eksekusi Putusan Verstek

Ketentuan mengenai eksekusi putusan verstek diatur dalam pasal 128 HIR. Sudah barang tentu, ketentuan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan prinsip umum pelaksanaan eksekusi yang digariskan pasal 195 HIR. Pada dasarnya pasal 128 HIR hanya terbatas secara khusus mengatur pada kapanputusan verstek melekat kekuatab eksekutorial. Sedangkan bagaimana cara melaksanakan eksekusi tunduk kepada ketentua yang digariskan pasal 195 HIR.

1. Putusan verstek tidak dapat dieksekusi sebelum lewat tanggal 14 hari dari tanggal pemberi tanggal putusan2. Dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang 14 hari atas alasan sangat perlu.3. Perlawanan (verzet) menyingkirkan eksekusi.

Jawaban Gugatan, Replik & Duplik

Jawaban TergugatTerdiri dari 3 macam :1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara.2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)3. Rekonvensi yaitu gugatan balik atau gugat balas yang diajukan tergugat kepada penggugat.

EksepsiDalam Hukum Acara Perdata, ada beberapa hal yang dapat diajukan eksepsi, yang secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:1. Eksepsi Kompetensi/Prosesuila. Tidak berwenang mengadili secara AbsolutKompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 Lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer), Peradilan khusus (Arbitrase, Peradilan Niaga, P4D, dst)b. Tidak berwenang mengadili secara Relatif.Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama (pasal 118 HIR). Eksepsi jenis ini dapat diakibatkan beberapa hal:a) Pengadilan yang berwenang adalah dimana Tergugat bertempat tinggal (Actor Sequitur Forum Rei)b) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana debitur bertempat tinggal (Actor Sequitur tanpa hak opsi)c) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Penggugat bertempat tinggal, dengan catatan tergugat tidak diketahui keberadaannya.d) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Harta sengketa (tidak bergerak) berada (Forum Rei sitae)e) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan di salah satu tempat dari beberapa harta sengketa (tdk bergerak) berada (Forum Rei Sitae dengan hak opsi)Eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi diajukan pada tahap jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan bersamaan dengan pokok perkara 9 Cara pengajuan Pasal 136 HIR dan 160 RBg) dan diputus sebelum pokok perkara. Putusan berbentuk putusan sela jika ditolak dan berbentuk putusan akhir jika dikabulkan.2. Eksepsi Syarat Formila. Surat kuasa khusus tidak sah.Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, diantaranya:1) Surat kuasa bersifat umum (Putusan MA no.531 K/SIP/1973).2) Surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana disebut dalam pasal 123 HIR, SEMA no.1/1971 23 Januari 1971 jo SEMA no.6 tahun 1994, yaitu tidak disebutkan secara spesifik ingin berperkara di peradilan tertentu, tidak menyebut obyek perkara dan tidak tercantum tanggal dan tanda tangan pemberi kuasa.3) Surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang. Misalnya, dalam sebuah Perusahaan Terbuka (P.T.), yang memberi kuasa adalah komisaris dari perusahaan tersebut dan bukan direksi perusahaan (Putusan MA no.10 K/N/1999).b. Error in PersonaSuatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak di bawah umur (Pasal 1330 KUHPer), mereka yang berada di bawah perwalian/curatele (Pasal 446 dan 452 KUHPer), tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).Dapat juga dianggap error in persona apabila pihak yang ditarik sebagai Tergugat/Termohon keliru/salah (Putusan MA No.601 K/SIP/1975), atau pihak Penggugat/pemohon atau Tergugat/Termohon yang tercantum dalam surat gugatan/permohonan tidak lengkap (Plurium Litis Consorsium, Putusan MA 156 K/Pdt/1983)c. Nebis In Idem.Nebis in idem adalah sebuah perkara para pihak yang sama, dengan obyek sama, dan materi pokok perkara yang sama tidak dapat diperiksa lagi. Jika ada perkara obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihaknya berbeda tidak termasuk nebis in idem (Pasal 1917 KUHPerd, putusan MA No. 588 K/SIP/1973, dan putusan MA No. 647 K /SIP/1973). Dengan demikian, suatu perkara dapat dikatakan Nebis In Idem apabila:1) Pernah diperkarakan sebelumnya (putusan MA No. 1743 K/SIP/1983)2) Telah berkekuatan hukum tetap (putusan MA No. 647 K/SIP/1973)3) Telah tertutup upaya hukum biasa (banding dan kasasi)4) Telah diajukan banding dan kasasi.5) Telah lewat waktu banding dan kasasi.6) Tidak diajukan upaya hukum.Akan tetapi, kita ada perkara sama yang telah diputus tidak dapat diterima/N.O. karena tidak memenuhi syarat formil, maka itu tidak termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya (putusan MA No. 878 k/ Sip/ 1977).Putusan perkara nebis in idem bersifat positif, berisi amar mengabulkan.d. Gugatan prematurSuatu gugatan/permohonan disebut prematur jika ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnyagugatan warisan disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia, atau hutang yang belum jatuh tempo tidak dapat dituntut untuk ditunaikan.e. Obscuur LibelObscuur secara sederhana disebut tidak jelas. Misal tidak jelas dasar hukum yang menjadi dasar gugatan, tidak jelas obyek gugatan (jika itu berupa tanah maka batas2, letak, ukuran), Petitum tidak jelas (tidak rinci), atau ada kontradiksi antara posita dan petitum.Salah satu contoh kontradiksi antara posita dan petitum adalah antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (artikel tentang ini pernah saya dibahas di blog ini dengan artikel berjudul Antara Wan Prestasi dan Perbuatan Melawan Hukum).Untuk mengingatkan, bahwa tuntutan wan prestasi dan perbuatan melawan hukum tidak dapat dijadikan satu, sehingga apabila positanya menjelaskan masalah wan prestasi, petitum tidak dapat berisi tuntutan perbuatan melawan hukum. Hal ini terjadi karena beberapa hal:a) Segi sumber hukum- Wanprestasi berdasarkan pasal 1243 KUHPerd yang timbul dari persetujuan, tuntutan terjadi karena perjanjian tidak dipenuhi sama sekali/tidak tepat waktu/tidak dipenuhi secara layak.- Melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerd, terdapat unsur perbuatan melanggar hukum dan dapat dituntut sekaligus secara pidana dan perdata.b) Segi hak menuntut- Wanprestasi memerlukan proses atas pernyataan lalai, apabila ada klausul debitur langsung wanprestasi, namun jika tidak ada klausul maka harus somasi terlebih dahulu.- Perbuatan Melawan Hukum tidak diperlukan somasic) Segi tuntutan ganti rugi- Tuntutan ganti rugi untuk Wanprestasi dihitung sejak terjadi kelalaian (1237 KUHPerd), meliputi kerugian yang dialami dan keuntungan yang akan diperoleh (1236 & 1243 KUHPerd)- Tuntutan ganti rugi Perbuatan Melawan Hukum dapat tidak dirinci, dan dapat dituntut ganti rugi immateriil dan materiil tanpa ada standar tertentu (1365 KUHPerd).Eksepsi Materil1)Dillatoir yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat BELUM dapat diajukan karena waktunya belum habis/belum jatuh tempo. Contoh: Istri mengajuakn gugatan cerai dengan alasan suami meninggalkan rumah selama 4 bulan. Ternyata pada saat pengajuan gugatan, suami meninggalkan rumah baru selama 3 bulan. Hal ini bisa dijadikan eksepsi bahwa gugatan cerai belum saatnya untuk diajukan.2)Peremptoir yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa ada hal yang menghalangi dikabulkannya gugatan.Contoh: di Sumatera Utara, ada tradisi sebelum pernikahan suami harus memenuhi permintaan istri. Kemudian karena si suami tidak memenuhi permintaan tersebut, istri mengajukan gugatan cerai. Ternyata tidak dipenuhinya permintaan istri tersebut adalah atas persetujuan istri. Hal ini menyebabkan alasan gugatan istri menjadi tidak ada, dan menghalangi dikabulkannya gugatan.

Jawaban Tergugat Mengenai Perkara

PengakuanAdalah jawaban yang membenarkan isi gugatan, artinya apa yang digugat terhadap tergugat diakui kebenarannya.

Jika tergugat pada jawaban pertama mengakui, maka dalam jawaban berikutnya sampai ketingkat banding, tergugat tetap terikat dengan pengakuan itu, artinya pengakuan itu tidak dapat ditarik kembali.

Penyangkalan/BantahanAdalah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang digugat terhadap tergugat.

Bantahan yang secara umum mengatakan bahwa keterangan dan tuntutan penggugat itu adalah tidak benar sama sekali tanpa menyebutkan alasan-alasannya, tidak akan ada artinya dan dianggap hakim sebagai tidak membantah.ReplikReplik merupakan tahap yang dilakukan setelah proses pengajuan jawaban tergugat di pengadilan. Replik adalah jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Diajukan secara tertulis (maupun lisan). Replik yang diajukan oleh penggugat berisi peneguhan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.DuplikSetelah penggugat mengajukan replik, maka tahapan pemeriksaan selanjutnya adalah Duplik. Duplik adalah jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Diajukan secara tertulis (maupun lisan) Duplik yang diajukan tergugat berisi peneguhan jawabannya, yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.

Pengaruh Lampau WaktuDalam buku keempat BW mengatur tentang kadaluarsa, antara lain :1. Yang menyebabkan seseorang dibebaskan hak menuntut seseorang menjadi gugur. Dalam bahasa latinnya disebut Praescriptio, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Extinctieve Verjaring.2. Yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak tertentu. Kadaluwarsa ini mengharuskan adanya itikad baik dari orang yang akan memperoleh hak tersebut. Dalam bahasa Latinnya disebut Usucapio, sedang dalam bahasa Belanda disebut Acquisiteve verjaring.Kadaluwarsa adalah semacam upaya hukum, sehingga tentang adanya kadaluwarsa harus dikemukakan oleh pihak lawan dalam jawabannya.Apabila dikemukakan eksepsi bahwa hak untuk menuntut telah kadaluarsa, dan alasan tersebut ternyara berdasar, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima. Namun apabila eksepsi tersebut dianggap tidak berdasar, maka eksepsi tersebut akan ditolak dan mengenai pokok perkara akan diputus. Dalam hal yang pertama, putusan yang akan dijatuhkan adalah putusan akhir, sedangkan dalam hal yang kedua yang dijatuhkan berupa putusan sela.Dalam hukum adat tidak dikenal kadaluwarsa dalam arti hukum barat, yang dasarnya adalah karena lampaunya waktu tertentu ialah 2,5 tahun atau 20 tahun lalu timbul kadaluwarsa, melainkan pengaruh lampau penyebab dalil yang menjadi dasar gugat sesuatu perkara sudah tidak dapat dibuktikan lagi, karena saksi-saksinya kesamuanya telah wafat atau kalaupun mereka masih hidup, mereka sudah jompo atau pikun, sehingga tidak dapat memberi keterangan yang berharga.

Penggugat/Tergugat IntervensiPihak yang merasa memiliki kepentingan dengan adanya perkara perdata yang ada, dapat mengajukan permohonan untuk ditarik masuk dalam proses pemeriksaan perkara perdata tersebut yang lazim dinamakan sebagai Intervensi.. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung. Pihak Intervensi tersebut dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun sebagai Tergugat Intervensi.Menurut, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007, dalam hal pengikut-sertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaituvoeging, intervensi/tussenkomstdanvrijwaringtidak diatur dalam HIR atau RBg. Tetapi dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, yaitu berdasarkanPasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv serta sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil. Berikut ini penjelasan 3 (tiga) macam intervensi yang dimaksud, yaitu:

a)Voeging (menyertai)adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonanvoeging,Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.

b) Intervensi /tussenkomst(menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.c)Vrijwaring(ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat).Vrijwaringdiajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.Setelah ada permohonanvrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara pokok.