hubungan pusat dan daerah

30
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH (oleh Novi Hendra) Permasalahan Otonomi Daerah di Indonesia dapat dikatakan sebagai masalah klasik yang sampai sekarang belum tuntas penanganannya. Dikatakan demikian, karena pada kenyataannya sejak awal-awal tahun kemerdekaan sampai 54 tahun kemudian, masalah Otonomi Daerah telah menjadi bahan diskursus yang penting dan terus berkembang. Para pakar, baik dari bidang hukum maupun dari bidang Administrasi Negara menengarai bahwa perkembangan Otonomi Daerah terkesan tidak lepas dari nuansa politis yang melatarbelakangi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Secara sekilas, gejala tersebut dapat dilihat sejak konsep desentralisasi diterapkan di Indonesia pada jaman kolonial sampai zaman pemerintahan Orde Baru. Kesan ini terus membayangi setiap produk serta kebijakan yang lahir. Sebagai gambaran, sejak merdekanya bangsa kita pada tahun 1945, sudah enam buah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan sebuah Penetapan Presiden (Penpres) telah ditetapkan. Masing-masing mempunyai substansi dan pendekatan yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu dijalankan, semua peraturan tersebut harus diganti dengan dasar ketidakpuasan terhadap peraturan-peraturan tersebut serta anggapan bahwa substansi dari peraturan-peraturan tersebut sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan zaman.

Upload: novi-hendra

Post on 18-Nov-2014

25.212 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Oleh Novi Hendra, S. IP

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan pusat dan daerah

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

(oleh Novi Hendra)

Permasalahan Otonomi Daerah di Indonesia dapat dikatakan sebagai

masalah klasik yang sampai sekarang belum tuntas penanganannya. Dikatakan

demikian, karena pada kenyataannya sejak awal-awal tahun kemerdekaan sampai

54 tahun kemudian, masalah Otonomi Daerah telah menjadi bahan diskursus yang

penting dan terus berkembang.

Para pakar, baik dari bidang hukum maupun dari bidang Administrasi

Negara menengarai bahwa perkembangan Otonomi Daerah terkesan tidak lepas dari

nuansa politis yang melatarbelakangi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.

Secara sekilas, gejala tersebut dapat dilihat sejak konsep desentralisasi diterapkan

di Indonesia pada jaman kolonial sampai zaman pemerintahan Orde Baru. Kesan ini

terus membayangi setiap produk serta kebijakan yang lahir.

Sebagai gambaran, sejak merdekanya bangsa kita pada tahun 1945,

sudah enam buah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan

sebuah Penetapan Presiden (Penpres) telah ditetapkan. Masing-masing mempunyai

substansi dan pendekatan yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi

pengalaman menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu dijalankan, semua

peraturan tersebut harus diganti dengan dasar ketidakpuasan terhadap peraturan-

peraturan tersebut serta anggapan bahwa substansi dari peraturan-peraturan

tersebut sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan zaman.

Perubahan undang-undang Pemerintahan Daerah yang telah enam

kali dilakukan tersebut dapat dilihat sebagai kondisi ketidakstabilan politik

perundang-undangan di bidang otonomi daerah. Namun demikian, hal ini bukan

berarti bahwa tiap peraturan perundang-undangan harus selalu "everlasting"dari

sudut keberlakuannya.

Berkaitan dengan hal ini, Harun Alrasid mengatakan bahwa Undang-

undang sebagai suatu produk hukum adalah "subject to change" . Artinya, apabila

dirasakan sudah tidak sesuai dan tidak lagi mampu untuk mengakomodasi

kebutuhan-kebutuhan riil yang hidup di masyarakat, maka suatu Undang-undang

dapat segera di-amandemen-kan, bahkan kalau perlu amandemen tersebut dapat

Page 2: Hubungan pusat dan daerah

dilakukan sesering mungkin. Hal ini secara positif dapat dilihat sebagai pencerminan

adanya lembaga Legislatif yang responsif terhadap perubahan sosial yang terjadi

dalam masyarakat.

Frekuensi perubahan Undang-undang ini memang cukup tinggi,

bahkan dapat dikatakan memegang "rekor" dalam hal kuantitas perubahan.

Perkembangan ini jika ditinjau dari sisi positif mungkin menandakan bahwa diskursus

mengenai Otonomi Daerah terus berkembang dan berusaha memenuhi

perkembangan yang terjadi. Akan tetapi apabila substansi perubahan tersebut dikaji

lebih lanjut, maka akan timbul pertanyaan, "apakah nilai-nilai normatif yang ada

selama ini tidak cukup memberikan pedoman yang jelas bagi pengembangan pola

pikir otonomi daerah?" sehingga nuansa politis selalu dapat memegang peranan

penting dibandingkan dengan nuansa teoritis normatif, dan menimbulkan efek bahwa

Indonesia terus berada dalam pencarian bentuk ideal dalam rangka hubungan Pusat

dan Daerah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan berikutnya, "apakah selama ini

bangsa Indonesia masih belum berhasil membuat Undang-undang tentang Otonomi

Daerah yang dapat mengikuti arus dan tuntutan zaman sesuai dengan tujuan

perjuangan bangsa Indonesia?"

Rencana amandemen UU No. 5/1974 mengenai Pemerintahan

Daerah saat ini cenderung membenarkan gejala tersebut, apalagi secara kronologis

dapat dilihat bahwa yang menjadi substansi perubahan tersebut merupakan asas

fundamental yang penting dalam konsep hubungan antara pusat dan daerah.

Semangat pemerintah dalam pemberian otonomi terus berubah, dari otonomi

dengan nuansa demokratis ke otonomi yang bercirikan liberal, dilanjutkan ke

"Otonomi seluas-luasnya", selanjutnya kepada "Otonomi yang nyata dan

bertanggung jawab" pada UU No. 5/74 dan terakhir dalam Rancangan Undang-

Undang Pemerintah Daerah yang baru, akan digunakan konsep "Otonomi luas,

nyata dan bertanggung jawab".

Ketetapan MPR No. XV/MPR/1999 mengenai Otonomi Daerah dan

Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah telah mengamanatkan amandemen terhadap

Undang-undang No. 5/1974 sebagai dasar operasional terhadap Otonomi Daerah

dan menggantinya dengan Undang-undang baru dengan semangat

penyelenggaraan "Otonomi luas-nyata dan bertanggung jawab". Amanat ini telah

Page 3: Hubungan pusat dan daerah

ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan segera menyusun RUU mengenai Otonomi

Daerah beserta RUU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah.

Masyarakat Transparansi Indonesia sebagai suatu Lembaga Swadaya

Masyarakat yang mempunyai visi untuk mencapai integritas nasional merasa perlu

untuk menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia,

mengingat bahwa permasalahan Otonomi Daerah merupakan masalah yang

strategis dan memerlukan sumbang saran dari segala pihak, terutama dalam rangka

mewujudkan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan

berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

Idealnya, jawaban secara komprehensif atas isu tersebut hanya bisa

didapatkan dengan mengadakan penyelesaian menyeluruh terhadap akar

permasalahan, baik ke bawah maupun keatas. Penyelesaian kebawah meliputi

penyelesaian permasalahan yang meliputi subsistem dari hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah seperti hubungan keuangan antara pusat dan daerah,

sedangkan keatas meliputi pembahasan hubungan pemerintah pusat dan daerah

dari konteks konstitusi negara kita.

Untuk itu dibutuhkan kajian yang panjang dan menyeluruh, akan tetapi

terbatasnya waktu membuat Tim Kerja Bidang Hukum MTI membatasi kontribusi

pemikiran ini pada komentar yang didasarkan pada sudut normatif konseptual

terhadap Rancangan Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Rancangan

Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah yang sedang dibahas.

Kerangka Teoritis

Konsepsi mengenai negara bangsa (nation-state), jika dihubungkan dengan

pelaksanaan konsepsi negara kesejahteraan membawa perubahan pada ruang

lingkup dan isi wewenang, tugas, dan tanggung jawab pemerintah baik kualitatif,

maupun kuantitatif. Tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lama makin

berkembang pula. Pertambahan dan perkembangan wewenang, tugas, dan

tanggung jawab di bidang pemerintahan menimbulkan akibat:

Tidak mungkin lagi menyusun suatu rincian lengkap mengenai wewenang,

tugas, dan tanggung jawab pemerintah.

Urusan pemerintahan yang begitu luas dan kompleks yang tidak mungkin

dirinci, menimbulkan berbagai persoalan seperti; Bagaimana urusan pemerintahan

sebaiknya dibagi antara pusat dan daerah? Jenis atau macam urusan pemerintah

Page 4: Hubungan pusat dan daerah

manakah yang tepat diserahkan atau dibiarkan menjadi urusan rumah tangga daerah

dan yang tetap menjadi urusan pusat? Bagaimanakah hubungan yang tepat antara

Pusat dan Daerah dalam desentralisasi?

Pertambahan dan perkembangan urusan pemerintahan secara kualitatif

dapat menimbulkan perubahan pada sifat urusan pemerintahan tersebut. Suatu

urusan yang semula bersifat kedaerahan (lokal) dapat berubah menjadi urusan yang

mempunyai sifat nasional, begitu pula sebaliknya. Perubahan sifat ini pada saatnya

akan menyentuh hubungan Pusat dan Daerah, karena akan menyangkut pergeseran

wewenang, tugas, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Hal ini membuat desentralisasi dan pola implementasinya menjadi agenda

penting dalam pelaksanaan suatu negara. Khusus bagi negara Republik Indonesia

yang konstitusinya mengamanatkan bentuk negara kesatuan, pemahaman konsep

desentralisasi menjadi paralel dengan konsep mengenai Otonomi Daerah. Dalam

sistem negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat,

sementara otonomi pemerintah daerah hanya meliputi urusan-urusan yang diberikan

oleh pemerintah pusat. Konsep tersebut membuat masalah desentralisasi menjadi

amat berpengaruh atas otonomi daerah yang diberlakukan.

Perlu diingat bahwa pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu terkait

dengan sentralisasi. Ini dikarenakan desentralisasi dan sentralisasi merupakan dua

hal yang berkesinambungan (continuum). Bahkan Bhenyamin Hoessein dalam

disertasinya mengatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi merupakan satu

kesatuan, dengan argumentasi bahwa setelah berakhirnya era negara-kota (polis -

state) hampir tidak ada negara yang semata-mata menganut sentralisasi, sebaliknya

dalam negara bangsa (nation-state), tidak mungkin hanya dilaksanakan

desentralisasi tanpa sentralisasi.

Hal yang serupa juga dilontarkan oleh Bagir Manan dalam analisisnya untuk

mencari patokan sistem Rumah Tangga Daerah menurut dasar-dasar desentralisasi

dalam disertasinya. Selanjutnya, dalam disertasinya tersebut, ia juga menyimpulkan

bahwa UUD 1945 di satu sisi menghendaki dilaksanakannya desentralisasi dengan

pemberian otonomi yang seluas-luasnya dengan tujuan untuk menumbuhkan

prakarsa daerah, dan memfasilitasi keanekaragaman, sementara di saat yang sama

harus ada tempat bagi pusat untuk melakukan sentralisasi atas hal-hal yang tidak

Page 5: Hubungan pusat dan daerah

dapat dilaksanakan oleh daerah, yaitu fungsi untuk menuju pemerataan keadilan dan

kesejahteraan.

Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama,

yaitu: Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan

wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat; Desentralisasi dapat pula

berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk

oleh pemerintah pusat.

Selanjutnya Bhenyamin Hoessein juga mengatakan bahwa perwujudan

desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi.

Dengan kata lain, desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses

memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu,

desentralisasi akan selalu berkaitan dengan otonomi daerah, dan daerah otonom.

Selanjutnya suatu metode pelaksanaan Sistem Rumah Tangga Daerah akan

menentukan bentuk desentralisasi macam apa yang akan dilaksanakan dalam suatu

negara. Menurut Bagir Manan, dalam sistem Desentralisasi ada beberapa sistem

rumah tangga daerah yang berlaku, yaitu :

Sistem Rumah Tangga Daerah Formil

Sistem Rumah Tangga Daerah Materiil

Sistem Rumah Tangga Daerah Riil

Secara garis besar, ketiganya ditinjau dari sudut tata-cara pembagian

wewenang, tugas dan tanggung jawab, mengatur, dan mengurus urusan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada Sistem Rumah Tangga Daerah Formil,

pembagian tugas,wewenang, dan tanggung jawab antara Pusat Daerah tidak

dilakukan secara rinci.

Dasar pemikiran sistem ini adalah tidak ada perbedaan sifat antara urusan

yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara teoritis, sistem

rumah tangga formil memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada Daerah untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan menjadikan urusan tersebut

urusan rumah tangga daerah. Satu-satunya pembatasan terhadap Daerah adalah;

"bahwa daerah tidak boleh mengatur apa yang telah diatur dengan Undang-

undang atau peraturan daerah yang lebih tinggi martabatnya. Apabila pihak yang

Page 6: Hubungan pusat dan daerah

lebih tinggi kemudian mengatur apa yang tadinya telah diatur oleh daerah, maka

peraturan daerah yang bersangkutan sejak itu tidak berlaku lagi"

Ditinjau dari perspektif hubungan antara Pusat dan Daerah, sepintas lalu

Sistem Rumah Tangga Formal terlihat memberikan peluang kuatnya kecenderungan

desentralisasi. Dalam kenyataannya tidaklah demikian, bahkan hal sebaliknya yang

mungkin terjadi. Sistem Otonomi Formal merupakan sarana yang baik untuk menuju

kecenderungan sentralisasi.

Ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, tidak adanya tradisi otonomi,

serta rendahnya inisiatif daerah akan menjelmakan Daerah yang serba menunggu

dan tergantung pada Pusat. Kondisi ini akan semakin parah apabila keuangan

daerah tidak mampu menopang kegiatannya dan tergantung pula pada bantuan

keuangan dari Pusat.

Pada Sistem Rumah Tangga Materiil, pembagian tugas, wewenang, dan

tanggung jawab antara Pusat dan Daerah dilakukan secara rinci. Hal ini

dilatarbelakangi oleh usaha untuk memfasilitasi ketidakpastian yang timbul pada

sistem rumah tangga formil. Akan tetapi sistem ini dianggap oleh para pakar tidak

dapat dijadikan patokan obyektif untuk menciptakan hubungan serasi antara Pusat

dan Daerah.

Sistem Rumah Tangga Nyata (riil) merupakan sistem yang berusaha untuk

menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang timbul antara sistem Rumah Tangga

Formil dengan Sistem Rumah Tangga Materil. Sistem ini memiliki nilai-nilai yang

berasal dari kedua sistem sebelumnya. Meskipun demikian sistem ini menunjukkan

ciri-ciri khas yang membedakannya dengan sistem lainnya, yaitu:

Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu

daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal

semacam ini tidak mungkin terjadi pada Sistem Rumah Tangga Formal

Di samping urusan-urusan rumah tangga yang ditetapkan secara "material",

daerah-daerah dalam rumah tangga nyata dapat mengatur dan mengurus pula

semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi

daerahnya, sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau Daerah tingkat yang

lebih atas.

Page 7: Hubungan pusat dan daerah

Otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan pada faktor-faktor nyata

suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah

tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.Berangkat dari pola

pemikiran pada kosep-konsep teoritis tersebut, maka pengkajian ini akan dilakukan

dengan mensimulasikan parameter tertentu kepada substansi dari RUU tersebut,

sehingga pada akhirnya dapat diketahui pola pemberian otonomi yang diberikan

pusat kepada Daerah.

Kerangka Yuridis

Kerangka Yuridis mengenai Otonomi Daerah dapat dilihat pada UUD 1945

sebagai konstitusi RI. Pasal 1 UUD 1945 memberikan pondasi bentuk negara

Indonesia sebaga suatu negara kesatuan.

Selanjutnya Pasal 18 UUD 1945 berbunyi; "Pembagian daerah Indonesia

atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya

ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam

daerah-daerah yang bersifat istimewa"

Sedangkan penjelasan angka I pasal tersebut berbunyi "Oleh karena Negara

Indonesia itu suatu "eeindheidstaat", maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah

di dalam lingkungannya yang bersifat "staat"juga. Daerah Indonesia akan dibagi

dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang

lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonoom (..), atau bersifat administrasi

belaka, supaya menurut aturan yang berlaku akan ditetapkan dengan Undang-

undang. Daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan oleh

karena di daerah pun pemerintahan bersendi atas dasar permusyawaratan."

Dari Pasal 18 dan penjelasan angka I pasal tersebut, dapat ditarik beberapa

pernyataan yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah sebagai bahan kajian :

Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak mungkin dapat dibentuk negara lagi

dalam negara Indonesia. Hal ini lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 UUD

1945 yang menyatakan

" (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik"

Page 8: Hubungan pusat dan daerah

Oleh karena itu apabila kita membicarakan desentralisasi di Indonesia, maka

desentralisasi yang tercipta adalah yang berkaitan langsung dengan prinsip negara

kesatuan dan pada akhirnya juga akan berkaitan dengan prinsip sentralisasi.

Daerah-daerah akan bersifat autonoom (otonomi) atau bersifat administratif belaka.

Daerah yang bersifat otonom adalah atas dasar desentralisasi, sedangkan daerah

administrasi belaka adalah atas dasar dekonsentralisasi. Dengan demikian prinsip

desentralisasi dan juga prinsip dekonsentrasi dilaksanakan baik secara bersamaan

maupun sendiri-sendiri di masing-masing daerah tersebut. Akan ada aturan yang

ditetapkan dengan undang-undang mengenai pembagian daerah tersebut, dengan

memperhatikan bahwa untuk daerah otonom, pemerintahannya akan bersendi atas

dasar permusyawaratan

Dengan adanya institusi Badan Perwakilan Daerah dan pemerintahan yang

bersendi atas permusyawaratan, terlihat bahwa UUD 1945 mengharapkan agar

demokratisasi juga terjadi pada tingkat daerah. Selain itu, dapat diambil kesimpulan

bahwa UUD 1945 juga menghendaki agar daerah mempunyai otonomi yang luas.

Akan tetapi dari sisi lain, otonomi luas tersebut tidak berupa kedaulatan dan tidak

menimbulkan atribut yang melekat pada negara.

Bhenyamin Hoessein, dalam tulisannya, meninjau Pasal 18 UUD 1945 dan

menyimpulkan bahwa keberadaan daerah administrasi tidak sesuai dengan aspirasi

yang ada pada UUD 1945. Ia menambahkan bahwa sebenarnya penyebutan

"daerah administrasi belaka" yang terdapat dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945

tidak berarti akan diwujudkannya daerah administrasi dalam pemerintahan nasional,

tetapi suatu kenyataan bahwa pada saat disahkannya UUD 1945, Indonesia baru

memiliki tiga buah provincie (propinsi), 76 regentschap (kabupaten) dan 30

stadsgemeeente (gemeente). Sisanya masih merupakan administrasi belaka.

Munculnya kata "belaka" karena kenyataan pada jaman kolonial, setiap daerah

otonom berhimpit dengan daerah administrasi yang setara.

Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 telah mengamanatkan bahwa

penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan

yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip

demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah. Hal ini berarti bahwa

secara yuridis MPR sebagai wakil rakyat menghendaki dijalankannya reformasi

terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan Otonomi Daerah yang selama ini dijalankan

Page 9: Hubungan pusat dan daerah

berdasarkan UU No. 5/1974, termasuk redefinisi terhadap keberadaan konsep

wilayah administratif yang ada selama ini di Indonesia.

Hubungan Pusat-Daerah dalam Sidang Paripurna DPD 2008

Pilkada Dibanggakan, Pemekaran Dikeluhkan

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyelenggarakan sidang paripurna.

Redhi Setiadi dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) mencatat beberapa

hal penting tentang pelaksanaan otonomi daerah. Ada suasana lain di sidang

paripurna khusus DPD pekan lalu. Suasana yang awalnya terkesan tegang dan

monoton tiba-tiba pecah oleh gelak tawa dan tepuk tangan peserta sidang. Itu tak

lain karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tiba-tiba menghentikan

pidatonya untuk menyeka keringat yang membasahi wajahnya.

Sebagaimana diberitakan dalam situs resminya, Presiden SBY melontarkan

dua kemungkinan mengapa dia berkeringat. "Mohon maaf, kalau berkeringat seperti

ini pasti ada dua kemungkinan," katanya. "Pertama, mungkin karena penghematan

energi. Maka, AC dikurangi. Sama seperti di istana, panas," ujar SBY disambut gelak

tawa anggota dewan. "Kedua, berkeringat karena kita semua di sini sangat

bersemangat," lanjutnya. Tepuk tangan kemudian membahana di Ruang Nusantara

Gedung MPR/DPR/DPD.

Presiden pantas berkeringat. Dia harus menyampaikan keterangan

pemerintah mengenai arah dan kebijakan pembangunan nasional dan daerah serta

masalah-masalah kebangsaan yang terangkum dalam 17 halaman kuarto. Mengenai

otonomi daerah, presiden merangkumnya dalam tiga ranah. Yakni desentralisasi

politik, fiskal, dan administrasi.

Pertama, pada ranah desentraliasi politik, presiden membanggakan

kondusifnya situasi politik dan keamanan di daerah yang memungkinkan

terselenggaranya pilkada di beberapa penjuru tanah air. Pilkada merupakan

perwujudan desentralisasi politik. Pemerintah patut bangga. Sebab, sejak 1 Juni

2005 hingga 20 Agustus 2008, telah terselenggara 414 pilkada, baik pemilihan

gubernur maupun bupati/wali kota. Karena itu, pada akhir 2008, seluruh gubernur,

bupati, dan wali kota di Indonesia sudah terpilih langsung oleh rakyat di daerah.

Page 10: Hubungan pusat dan daerah

Presiden juga mengapresiasi keikutsertaan calon perseorangan dalam proses

demokrasi di daerah mulai tahun 2008.

Pada bagian lain pidatonya, presiden juga menyadari perjalanan otonomi

daerah yang terkesan maju-mundur. Ini sekaligus merupakan respons terhadap

temuan DPD yang menyebutkan masih banyak peraturan perundangan yang tidak

satu penjuru dengan semangat otonomi daerah.

Menurut presiden, itu semua merupakan bagian dari proses evolusi. Itu juga

terjadi di negara lain. Karena itu, otonomi daerah kadang diwarnai proses

desentralisasi, resentralisasi, redesentralisasi, dan lain-lain. Kedua, desentralisasi

fiskal. Dalam pidatonya, presiden menyampaikan kabar gembira bagi daerah. Sebab,

pemerintah berencana mengalokasikan dana transfer ke daerah pada 2009 sebesar

Rp 303,9 triliun. Naik sebesar Rp 174,2 triliun dari tahun 2004 atau naik 134,3

persen.

Anggaran tersebut direncanakan berbentuk dana bagi hasil Rp 89,9 triliun

atau mengalami kenaikan 144,9 persen dari tahun 2004, dana alokasi umum (DAU)

Rp 183,4 triliun atau naik 123,3 persen dari tahun 2004, dan dana alokasi khusus

(DAK) Rp 22,3 triliun atau naik lebih dari empat setengah kali lipat dari tahun 2004.

Sementara itu, dana otonomi khusus untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat

direncanakan Rp 8,3 triliun, naik empat kali lipat dari 2004. Selain itu, pertama dalam

sejarah pusat-daerah, pemerintah juga mengalokasikan dana bagi hasil cukai

tembakau dua persen kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau.

Pemerintah patut berbangga dengan kian derasnya dana yang mengalir ke

daerah. Sebab, kenaikan yang berlipat-lipat dana itu melampaui angka inflasi setiap

tahun yang rata-rata sembilan persen. Sayang, pada pidato tersebut presiden masih

saja tidak menyebut jumlah dana yang mengalir dari daerah ke pusat. Jangan-

jangan, meskipun persentasenya naik, sebenarnya dana yang mengalir ke pusat

jauh lebih besar daripada yang dialirkan kembali ke daerah.

Ketiga, pada ranah desentralisasi administrasi, presiden mengapresiasi

upaya pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan. "Saya

memberikan apresiasi terhadap inisiatif dari pemerintah daerah yang melakukan

Page 11: Hubungan pusat dan daerah

penyederhanaan proses perizinan di daerah, dengan menyediakan kantor pelayanan

perizinan terpadu," kata presiden.

Menurut presiden, tumbuhnya kantor pelayanan satu pintu di berbagai daerah

memperlihatkan terjadinya peningkatan kesadaran pemerintah daerah tentang

pentingnya perbaikan iklim investasi. Ada kontradiksi pada pernyataan presiden itu.

Sebab, inisiatif daerah dalam menyederhanakan proses perizinan yang sudah

sampai pada taraf pembentukan kantor pelayanan satu pintu justru dimundurkan

oleh pusat dengan diterbitkannya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Pada PP itu, secara tersirat pemerintah tidak lagi mendorong pembentukan lembaga

perizinan satu pintu, melainkan hanya perizinan satu atap.

Padahal, sebelum PP itu terbit, ada Permendagri 24/2006 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang mengamanatkan kepada

daerah "wajib" membentuk lembaga perizinan satu pintu.

Pemekaran daerah juga disinggung presiden. Bahkan, secara tegas presiden

meminta pemekaran daerah segera dievaluasi. Sebab, sejak 1999 hingga sekarang,

telah terbentuk 191 daerah otonom baru. Terdiri atas 7 provinsi, 153 kabupaten, dan

31 kota. Dengan demikian, saat ini Indonesia terdiri atas 33 provinsi, 386 kabupaten,

dan 91 kota. Lebih dari evaluasi, seharusnya pemekaran daerah dihentikan untuk

sementara (moratorium).

Sebab, selama ini pemerintah belum menyampaikan kepada publik

perkembangan daerah otonom yang dibentuk pada 1999. Ditengarai, pemekaran

daerah yang terjadi hingga saat ini hanya akan memberatkan anggaran negara.

Terlebih, pemekaran didominasi motif politis elite lokal.

Sidang paripurna tahunan keempat DPD ini mengambil tema Rekonstruksi

Kebijakan Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Implementasinya. Ada

beberapa hal yang menjadi sorotan lembaga senator daerah itu. Pertama, DPD

mengeluhkan masih adanya inkonsistensi antara kebijakan dasar desentralisasi dan

kebijakan-kebijakan lain pemerintahan.

Inkonsestensi kebijakan itu berwujud tidak sinkronnya regulasi-regulasi

sektoral dengan regulasi otonomi daerah. Masih banyak produk perundangan-

undangan yang belum disinkronkan. Karena dualisme peraturan perundangan di

Page 12: Hubungan pusat dan daerah

daerah itu, kerap terjadi kerancuan dan ketidakpastian. Antara lain pada kegiatan

ekonomi di daerah. Sayang, DPD tidak merinci UU apa saja yang tidak konsisten

dengan semangat desentralisasi itu.

Menurut evaluasi JPIP, memang masih banyak ditemukan UU, PP, peraturan

menteri, dan surat edaran menteri yang tidak berpenjuru pada semangat otonomi

daerah. Dalam satu departemen pun, seperti Departemen Dalam Negeri (Depdagri),

proses penyelarasan peraturan perundangan juga tidak berjalan. Akibatnya,

peraturan pelaksana satu UU saja bisa saling bertentangan.

Kedua, DPD mengkritisi struktur bangunan otonomi daerah yang disusun

sebagai bangunan berjenjang (hierarchical autonomy). Yakni di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota. Wujudnya, beberapa kewenangan yang didesentralisasikan masih

terbagi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, dalam

pelaksanaannya masih terlihat benturan-benturan karena belum jelasnya batas-

batas kewenangan antara dua tingkat otonomi tersebut.

Untuk itu, DPD mengusulkan peninjauan kembali dikotomi provinsi dan

kabupaten/kota sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah. DPD melontarkan

kemungkinan agar otonomi daerah dilaksanakan pada satu tingkat saja, apakah di

tingkat provinsi atau kabupaten/kota.

Lontaran gagasan DPD itu menarik untuk dikaji. Bisa jadi, ini akan menjadi

bola panas yang makin mempertentangkan peran pemerintah provinsi dan

kabupaten/kota dalam otonomi daerah. Memang sudah saatnya, peran dan fungsi

provinsi yang kian tanggung seperti saat ini segera dicarikan solusi.

Menarik otonomi ke tingkat provinsi jelas merupakan kemunduran. Sebab,

akan makin menjauhkan pemerintah dengan masyarakat. Wilayah Indonesia yang

amat luas tidak cocok jika otonomi daerah diletakkan di provins. Provinsi sebaiknya

diperankan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Tugas dan fungsinya

bersifat konsultatif dan supervisi atas segala kebijakan yang dibuat pemerintah

kabupaten/kota.

Ketiga, seiring dengan semakin besarnya dana pusat yang mengalir ke

daerah, DPD mengharapkan pemerintah meningkatkan pemberdayaan

(empowerment) serta memberikan bimbingan dan petunjuk. Terutama yang

Page 13: Hubungan pusat dan daerah

berkenaan dengan proses penganggaran dan pembiayaan di daerah. Karena itu,

BPK (Basan Pemeriksa Keuangan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu

melakukan supervisi dan tuntunan pada jajaran penyelenggara pemerintahan di

daerah untuk menegakkan disiplin anggaran agar mencegah korupsi dan

pemborosan keuangan negara.

Banyaknya kasus korupsi di daerah terutama disebabkan oleh tidak jelasnya

petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang regulasi penganggaran

pemerintah daerah. Ini bisa dilihat dari banyaknya kepala daerah dan birokrat daerah

yang terjerat kasus korupsi karena dianggap melanggar PP, permendagri,

permenkeu, ataupun surat edaran menteri.

Celakanya, regulasi-regulasi itu biasanya terbit belakangan, namun berlaku

surut. Terkait dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, DPD menyoroti

perencanaan dan pemrogramannya. Praktik yang terjadi saat ini, daerah seolah

hanya ditempati kegiatan yang tidak terukur dan tidak berada dalam kerangka

perencanaan pembangunan daerah.

Selain itu, atas nama dana dekonsentrasi, telah tumbuh unit-unit kerja

kepanjangan tangan pusat atau UPT-UPT yang di banyak daerah tidak dibutuhkan.

Bahkan, tumpang-tindih dengan dinas-dinas otonomi. Temuan JPIP juga

menyiratkan hal yang sama. Kadang, pembentukan dinas baru di daerah dimotivasi

agar bisa mendapatkan dana dekonsentrasi dari departemen pusat.

Sebab, dana tersebut tidak bisa turun jika tidak ada instansi di daerah yang

satu rumpun dengan departemen di pusat. Karena itu, DPD menyarankan agar

pemerintah mempertimbangkan dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan

dialihkan menjadi anggaran-anggaran yang langsung dialokasikan ke daerah.

Misalnya dalam bentuk DAU.

Untuk menepis penilaian selama ini bahwa DPD hanya memikirkan upaya

penguatan kewenangan, lembaga para senator itu juga melaporkan hasil yang telah

dicapai selama empat tahun masa kerja. Sejak 2004, DPD telah menghasilkan 154

buah produk. Rinciannya, 10 buah usul inisiatif RUU, 83 pandangan, pendapat, dan

pertimbangan mengenai berbagai rancangan undang-undang baik yang berasal dari

presiden maupun DPR, dan 38 produk hasil pengawasan. Selain itu, ada 23

keputusan yang berkaitan dengan APBN.

Page 14: Hubungan pusat dan daerah

Sayangnya, di antara sepuluh buah RUU inisiatif yang telah disampaikan

kepada DPR, baru satu RUU yang ditindaklanjuti oleh DPR. Yakni RUU tentang

Perubahan Ketiga atas UU 3/1950 tentang Pembentukan DI Jogjakarta.

Perlunya Undang-Undang tentang Tata Hubungan Kewenangan Antara Pusat

dan Daerah di Indonesia

Pada negara yang menganut sistem negara kesatuan, hubungan

kewenangan antara tingkat pemerintahan (eksekutif), sebagai salah satu lembaga

negara (staat organ) menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang dipimpin oleh

Presiden sebagai kepala pemerintahan, perlu untuk diatur dalam suatu undang-

undang khusus yang mengatur hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan

tersebut. Hal tersebut pada dasarnya sudah diperintahkan oleh Pasal 18 A Undang-

Undang Dasar 1945 yang memerintahkan bahwa hubungan kewenangan antara

pusat dan daerah diatur dengan undang-undang.

Pada suatu Negara kesatuan, hubungan antara pemerintah pusat dengan

daerah dapat diatur melalui berbagai peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan

otonomi daerah. Hal ini disebabkan antara lain karena berbagai cakupan dan

masalah yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggungjawab berbagai tingkat

pemerintahan yang ada di suatu Negara tidak akan bisa diatur hanya oleh satu

undang-undang saja. Oleh karena itu, keberadaan berbagai peraturan perundang-

undangan yang mengatur hubungan hukum dan kewenangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah merupakan suatu keniscayaan yang wajar dalam suatu

Negara.

Secara umum, ada beberapa undang-undang yang dapat berkaitan dengan

hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu antara lain undang-

undang yang mengatur otonomi daerah secara umum, undang- undang yang

mengatur organisasi pemerintahan daerah, undang-undang yang mengatur tentang

hubungan keuangan pusat dan daerah, undang-undang yang mengatur hubugan

kewenangan pusat dan daerah. Selain itu, materi-materi tentang pemerintahan

daerah dapat juga diatur dalam berbagai undang-undang sektoral lainnya, yang

berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan otonomni daerah.

Page 15: Hubungan pusat dan daerah

Undang-undang yang mengatur tentang hubungan kewenangan pusat dan

daerah merupakan salah satu undang-undang yang utama dalam mengatur berbagai

materi yang berkaitan dengan atribusi, distribusi, dan delegasi serta koordinasi

kewenangan di antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara yang

berstatus sebagai negara kesatuan. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang

yang mengatur hubungan pusat dan daerah merupakan suatu kebutuhan utama

dalam suatu Negara kesatuan untuk mengatur penataan kewenangan hubungan

hukum dan kekuasaan di antara berbagai level pemerintahan di suatu negara.

Kewenangan Pemerintahan

Kewenangan pemerintahan merupakan dasar utama untuk setiap tindakan

dan perbuatan hukum dari setiap tingkat pemerintahan yang ada di suatu negara.

Tanpa adanya dasar kewenangan yang sah, maka berbagai tindakan dan perbuatan

hukum yang dilakukan oleh setiap tingkat pemerintahan dapat dikategorikan sebagai

tindakan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga

dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang

baik.

Secara umum, kewenangan pemerintahan dapat diperoleh melalui atribusi,

delegasi dan mandat serta tugas pembantuan (medebewind). Cara memperoleh

kewenangan tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara

berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh,

pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level

pemerintahan yang bersifat nasional, regional dan lokal atau level pemerintahan

atasan dan pemerintahan bawahan. Selain itu pelaksanaan delegasi membuktikan

adanya level pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang

lebih rendah (delegans).

Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak,

kewajiban, dan tanggungjawab di antara berbagai level pemerintahan yang ada.

Dengan adanya pembagian atribusi, distribusi, delegasi, dan mandat dapat

digambarkan bagaimana berbagai level pemerintahan tersebut mempunyai hak,

kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda antara satu level pemerintahan dengan

level pemerintahan lainnya.

Page 16: Hubungan pusat dan daerah

Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai

level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan

ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab di antara mereka. Oleh karena itu,

makna dari perbedaan hak, kewajiban dan tanggungjawab dari berbagai level

pemerintahan yang ada merupakan suatu hal yang secara pokok menggambarkan

secara nyata kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan

yang ada di suatu negara.

Keterkaitan antara (Rancangan) UU Hubungan Kewenangan dengan UU

32/2004

Sebagaimana dikemukakan diatas, hubungan kewenangan pusat dan daerah

dapat diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang khusus

mengatur otonomi daerah, atau tersebar di berbagai peraturan perundang-

undangan sektoral lainnya.

Hal ini didasarkan pada kenyataaan empiris dan yuridis yang

menggambarkan bahwa materi dan cakupan pengaturan tentang hubungan

kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya diatur oleh satu undang-undang.

Oleh karena itu, pada suatu negara kesatuan, selain diperlukan adanya undang-

undang yang mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah, juga dibutuhkan

berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan dengan otonomi daerah dan

berbagai undang-undang lainnya, seperti undang- undang yang mengatur tentang

(organisasi) pemerintahan daerah.

Secara umum, undang-undang hubungan kewenangan akan mengatur materi

yang berkaitan dengan prosedur, tata cara, dan hal-hal lain-lainnya tentang

distribusi, atribusi dan delegasi kewenangan, termasuk mengenai tugas

pembantuan, dan lain sebagainya. Undang-undang ini akan menata terjadinya

hubungan hukum dan kekuasaan, baik yang bersifat statis maupun dinamis, dari

berbagai level pemerintahan yang ada.

Hubungan hukum dan kekuasaan yang terjadi dilakukan berdasarkan prinsip

harmonisasi dan sinkronisasi di antara level-level pemerintahan yang ada sehingga

tidak menciptakan benturan kepentingan di antara pembuat dan pelaksana

kewenangan, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal.

Secara khusus, undang-undang hubungan kewenangan mengatur dan

menata integrasi dan sinergi di antara pembuat dan pelaksana kewenangan yang

Page 17: Hubungan pusat dan daerah

ada di berbagai level pemerintahan yang ada dan mengatur secara baik koordinasi

dan evaluasi dari hubungan kewenangan yang terjadi di antara para pembuat dan

pelaksana kewenangan tersebut. Oleh karena itu, undang-undang hubungan

kewenangan tersebut sangat mempengaruhi hubungan kerja dan kerjasama antara

pemerintah pusat, pemerintah regional, dan pemerintah lokal di Indonesia.

Secara umum, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah lebih berfokus pada organisasi pemerintahan daerah.

Undang-undang ini mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas dari

Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai suatu organisasi

pemerintahan di tingkat lokal dan mempunyai hubungan yang dekat dengan

masyarakat sebagai konstituennya. Sebagai contoh, Undang-Undang 32/2004

mengatur tentang kewenangan daerah sebagai daerah otonom, urusan wajib dan

urusan pilihan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan juga mengatur

tentang perangkat organisasi pemerintahan daerah.

Oleh karena itu, undang-undang 32/2004 merupakan undang-undang yang

mengatur tentang organisasi pemerintahan daerah sebagai bagian dari organisasi

pemerintahan negara kesatuan secara keseluruhan.

Secara khusus, UU 32/2004 juga menegaskan kembali kedudukan daerah

otonom sebagai bagian integral dari negara kesatuan Indonesia. Walaupun daerah

otonom merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban mandiri,

sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan tetapi kedudukan (pemerintahan)

daerah otonom adalah melaksanakan berbagai kewenangan pemerintahan yang

telah didesentralisakan oleh Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan

tersebut tetap berada di tangan Pemerintah Pusat.

Sehingga secara teoritis yuridis, pemerintahan daerah merupakan sub-sistem

dari sistem pemerintahan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, UU 32/2004

merupakan undang-undang yang megatur bagaimana suatu organisasi

pemerintahan negara dijalankan berdasarkan prinsip lokalitas dan kekhasan di

daerah masing-masing.

Secara umum, keterkaitan antara Undang-Undang No. 32 tahun 2004

dengan (Rancangan) Undang-Undang Tata Hubungan adalah dengan berlakunya

kedua undang-undang tersebut akan terjadi hubungan saling melengkapi

Page 18: Hubungan pusat dan daerah

(complementary) antara kedua undang-undang tersebut. Sebagai contoh, apabila

UU 32/2004 mengatur mengenai organisasi pemerintahan daerah, khususnya yang

berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka (RUU)

Tata Hubungan akan melengkapinya dengan memberikan pengaturan mengenai

hubungan kewenangan antara (pemerintah) nasional atau pusat dengan

(pemerintah) daerah, dan juga mengatur hubungan kewenangan antar daerah

otonom di Indonesia.

Selain itu, (RUU) Tata Hubungan merupakan semacam software dari

hubungan kewenangan pusat dan daerah, yang berkaitan dengan norma, prosedur

dan aturan umum hubungan kewenangan, sedangkan UU 32/2004 merupakan

hardware, yang berbentuk antara lain organisasi dan para pejabat pelaksana dari

hubungan kewenangan tersebut.

Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan mengatur tentang hal-hal yang lebih

bersifat abstrak, sedangkan UU Pemerintahan Daerah lebih banyak mengatur hal-hal

yang bersifat konkrit dari pelaksanaan hubungan kewenangan pusat dan daerah.

Secara khusus, RUU Tata hubungan karena merupakan norma umum dan

abstrak dalam mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah dapat merupakan

referensi utama dari berbagai Undang-Undang, baik yang bersifat umum atau

bersifat khusus, tentang pemerintahan daerah yang akan dibentuk oleh Pemerintah

di kemudian hari.

Berbagai undang-undang tersebut nantinya akan merupakan norma-norma

khusus yang mengatur pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan kondisi,

permasalahan dan budaya yang berbeda di setiap daerah.

Oleh karena itu, kaitan antara RUU Tata Hubungan dan UU Pemerintahan

Daerah merupakan satu rangkaian undang-undang yang mengatur secara umum

berbagai hal yang berkaitan dengan pemerintahan daerah di Indonesia, dan secara

khusus mengatur hubungan kewenangan di antara organisasi dan otoritas pelaksana

pemerintahan yang ada di tingkat pusat dan lokal. Dengan demikian, hubungan

antara kedua undang-undang tersebut dapat disimpulkan sebagai hubungan hukum

yang saling berkait , melengkapi dan tidak terpisahkan antara satu undang-undang

dengan undang-undang lainnya.

Page 19: Hubungan pusat dan daerah

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bajwa Indonesia sebagai

suatu negara kesatuan memerlukan suatu undang-undang khusus yang mengatur

hubungan kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka menciptakan

integrasi dan distribusi kewenangan dari seluruh level pemerintahan yang ada serta

menghindari terjadi overlapping kewenangan antara berbagai level pemerintahan

tersebut.

Prospek Otonomi Daerah di Masa Mendatang

Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi,

otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi

Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah,

lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan

masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang

“otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan

pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat

disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.

Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena

semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah

sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada

masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah

diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah.

UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948

memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah.

Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian

UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung.

Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas,

nyata dan bertanggungjawab.

Otonomi Daerah Saat Ini

Page 20: Hubungan pusat dan daerah

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang

berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah

otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah

yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah

keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup

kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar

negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta

kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk

menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata

ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang

dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan

pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada

Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai

tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan,

pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah

serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :

1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman

Daerah.

2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertangung jawab.

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota.

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta

antara Daerah.

Page 21: Hubungan pusat dan daerah

5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah

Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada

lagi wilayah administratif.

6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi

badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas

maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam

kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan

pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil

Pemerintah.

8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari

Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada

Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber

daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.