hubungan pusat dan daerah
DESCRIPTION
Oleh Novi Hendra, S. IPTRANSCRIPT
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
(oleh Novi Hendra)
Permasalahan Otonomi Daerah di Indonesia dapat dikatakan sebagai
masalah klasik yang sampai sekarang belum tuntas penanganannya. Dikatakan
demikian, karena pada kenyataannya sejak awal-awal tahun kemerdekaan sampai
54 tahun kemudian, masalah Otonomi Daerah telah menjadi bahan diskursus yang
penting dan terus berkembang.
Para pakar, baik dari bidang hukum maupun dari bidang Administrasi
Negara menengarai bahwa perkembangan Otonomi Daerah terkesan tidak lepas dari
nuansa politis yang melatarbelakangi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.
Secara sekilas, gejala tersebut dapat dilihat sejak konsep desentralisasi diterapkan
di Indonesia pada jaman kolonial sampai zaman pemerintahan Orde Baru. Kesan ini
terus membayangi setiap produk serta kebijakan yang lahir.
Sebagai gambaran, sejak merdekanya bangsa kita pada tahun 1945,
sudah enam buah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan
sebuah Penetapan Presiden (Penpres) telah ditetapkan. Masing-masing mempunyai
substansi dan pendekatan yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi
pengalaman menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu dijalankan, semua
peraturan tersebut harus diganti dengan dasar ketidakpuasan terhadap peraturan-
peraturan tersebut serta anggapan bahwa substansi dari peraturan-peraturan
tersebut sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan zaman.
Perubahan undang-undang Pemerintahan Daerah yang telah enam
kali dilakukan tersebut dapat dilihat sebagai kondisi ketidakstabilan politik
perundang-undangan di bidang otonomi daerah. Namun demikian, hal ini bukan
berarti bahwa tiap peraturan perundang-undangan harus selalu "everlasting"dari
sudut keberlakuannya.
Berkaitan dengan hal ini, Harun Alrasid mengatakan bahwa Undang-
undang sebagai suatu produk hukum adalah "subject to change" . Artinya, apabila
dirasakan sudah tidak sesuai dan tidak lagi mampu untuk mengakomodasi
kebutuhan-kebutuhan riil yang hidup di masyarakat, maka suatu Undang-undang
dapat segera di-amandemen-kan, bahkan kalau perlu amandemen tersebut dapat
dilakukan sesering mungkin. Hal ini secara positif dapat dilihat sebagai pencerminan
adanya lembaga Legislatif yang responsif terhadap perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat.
Frekuensi perubahan Undang-undang ini memang cukup tinggi,
bahkan dapat dikatakan memegang "rekor" dalam hal kuantitas perubahan.
Perkembangan ini jika ditinjau dari sisi positif mungkin menandakan bahwa diskursus
mengenai Otonomi Daerah terus berkembang dan berusaha memenuhi
perkembangan yang terjadi. Akan tetapi apabila substansi perubahan tersebut dikaji
lebih lanjut, maka akan timbul pertanyaan, "apakah nilai-nilai normatif yang ada
selama ini tidak cukup memberikan pedoman yang jelas bagi pengembangan pola
pikir otonomi daerah?" sehingga nuansa politis selalu dapat memegang peranan
penting dibandingkan dengan nuansa teoritis normatif, dan menimbulkan efek bahwa
Indonesia terus berada dalam pencarian bentuk ideal dalam rangka hubungan Pusat
dan Daerah.
Hal ini menimbulkan pertanyaan berikutnya, "apakah selama ini
bangsa Indonesia masih belum berhasil membuat Undang-undang tentang Otonomi
Daerah yang dapat mengikuti arus dan tuntutan zaman sesuai dengan tujuan
perjuangan bangsa Indonesia?"
Rencana amandemen UU No. 5/1974 mengenai Pemerintahan
Daerah saat ini cenderung membenarkan gejala tersebut, apalagi secara kronologis
dapat dilihat bahwa yang menjadi substansi perubahan tersebut merupakan asas
fundamental yang penting dalam konsep hubungan antara pusat dan daerah.
Semangat pemerintah dalam pemberian otonomi terus berubah, dari otonomi
dengan nuansa demokratis ke otonomi yang bercirikan liberal, dilanjutkan ke
"Otonomi seluas-luasnya", selanjutnya kepada "Otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab" pada UU No. 5/74 dan terakhir dalam Rancangan Undang-
Undang Pemerintah Daerah yang baru, akan digunakan konsep "Otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab".
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1999 mengenai Otonomi Daerah dan
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah telah mengamanatkan amandemen terhadap
Undang-undang No. 5/1974 sebagai dasar operasional terhadap Otonomi Daerah
dan menggantinya dengan Undang-undang baru dengan semangat
penyelenggaraan "Otonomi luas-nyata dan bertanggung jawab". Amanat ini telah
ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan segera menyusun RUU mengenai Otonomi
Daerah beserta RUU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah.
Masyarakat Transparansi Indonesia sebagai suatu Lembaga Swadaya
Masyarakat yang mempunyai visi untuk mencapai integritas nasional merasa perlu
untuk menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia,
mengingat bahwa permasalahan Otonomi Daerah merupakan masalah yang
strategis dan memerlukan sumbang saran dari segala pihak, terutama dalam rangka
mewujudkan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan
berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
Idealnya, jawaban secara komprehensif atas isu tersebut hanya bisa
didapatkan dengan mengadakan penyelesaian menyeluruh terhadap akar
permasalahan, baik ke bawah maupun keatas. Penyelesaian kebawah meliputi
penyelesaian permasalahan yang meliputi subsistem dari hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah seperti hubungan keuangan antara pusat dan daerah,
sedangkan keatas meliputi pembahasan hubungan pemerintah pusat dan daerah
dari konteks konstitusi negara kita.
Untuk itu dibutuhkan kajian yang panjang dan menyeluruh, akan tetapi
terbatasnya waktu membuat Tim Kerja Bidang Hukum MTI membatasi kontribusi
pemikiran ini pada komentar yang didasarkan pada sudut normatif konseptual
terhadap Rancangan Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Rancangan
Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah yang sedang dibahas.
Kerangka Teoritis
Konsepsi mengenai negara bangsa (nation-state), jika dihubungkan dengan
pelaksanaan konsepsi negara kesejahteraan membawa perubahan pada ruang
lingkup dan isi wewenang, tugas, dan tanggung jawab pemerintah baik kualitatif,
maupun kuantitatif. Tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lama makin
berkembang pula. Pertambahan dan perkembangan wewenang, tugas, dan
tanggung jawab di bidang pemerintahan menimbulkan akibat:
Tidak mungkin lagi menyusun suatu rincian lengkap mengenai wewenang,
tugas, dan tanggung jawab pemerintah.
Urusan pemerintahan yang begitu luas dan kompleks yang tidak mungkin
dirinci, menimbulkan berbagai persoalan seperti; Bagaimana urusan pemerintahan
sebaiknya dibagi antara pusat dan daerah? Jenis atau macam urusan pemerintah
manakah yang tepat diserahkan atau dibiarkan menjadi urusan rumah tangga daerah
dan yang tetap menjadi urusan pusat? Bagaimanakah hubungan yang tepat antara
Pusat dan Daerah dalam desentralisasi?
Pertambahan dan perkembangan urusan pemerintahan secara kualitatif
dapat menimbulkan perubahan pada sifat urusan pemerintahan tersebut. Suatu
urusan yang semula bersifat kedaerahan (lokal) dapat berubah menjadi urusan yang
mempunyai sifat nasional, begitu pula sebaliknya. Perubahan sifat ini pada saatnya
akan menyentuh hubungan Pusat dan Daerah, karena akan menyangkut pergeseran
wewenang, tugas, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Hal ini membuat desentralisasi dan pola implementasinya menjadi agenda
penting dalam pelaksanaan suatu negara. Khusus bagi negara Republik Indonesia
yang konstitusinya mengamanatkan bentuk negara kesatuan, pemahaman konsep
desentralisasi menjadi paralel dengan konsep mengenai Otonomi Daerah. Dalam
sistem negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat,
sementara otonomi pemerintah daerah hanya meliputi urusan-urusan yang diberikan
oleh pemerintah pusat. Konsep tersebut membuat masalah desentralisasi menjadi
amat berpengaruh atas otonomi daerah yang diberlakukan.
Perlu diingat bahwa pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu terkait
dengan sentralisasi. Ini dikarenakan desentralisasi dan sentralisasi merupakan dua
hal yang berkesinambungan (continuum). Bahkan Bhenyamin Hoessein dalam
disertasinya mengatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi merupakan satu
kesatuan, dengan argumentasi bahwa setelah berakhirnya era negara-kota (polis -
state) hampir tidak ada negara yang semata-mata menganut sentralisasi, sebaliknya
dalam negara bangsa (nation-state), tidak mungkin hanya dilaksanakan
desentralisasi tanpa sentralisasi.
Hal yang serupa juga dilontarkan oleh Bagir Manan dalam analisisnya untuk
mencari patokan sistem Rumah Tangga Daerah menurut dasar-dasar desentralisasi
dalam disertasinya. Selanjutnya, dalam disertasinya tersebut, ia juga menyimpulkan
bahwa UUD 1945 di satu sisi menghendaki dilaksanakannya desentralisasi dengan
pemberian otonomi yang seluas-luasnya dengan tujuan untuk menumbuhkan
prakarsa daerah, dan memfasilitasi keanekaragaman, sementara di saat yang sama
harus ada tempat bagi pusat untuk melakukan sentralisasi atas hal-hal yang tidak
dapat dilaksanakan oleh daerah, yaitu fungsi untuk menuju pemerataan keadilan dan
kesejahteraan.
Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama,
yaitu: Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan
wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat; Desentralisasi dapat pula
berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk
oleh pemerintah pusat.
Selanjutnya Bhenyamin Hoessein juga mengatakan bahwa perwujudan
desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi.
Dengan kata lain, desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses
memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu,
desentralisasi akan selalu berkaitan dengan otonomi daerah, dan daerah otonom.
Selanjutnya suatu metode pelaksanaan Sistem Rumah Tangga Daerah akan
menentukan bentuk desentralisasi macam apa yang akan dilaksanakan dalam suatu
negara. Menurut Bagir Manan, dalam sistem Desentralisasi ada beberapa sistem
rumah tangga daerah yang berlaku, yaitu :
Sistem Rumah Tangga Daerah Formil
Sistem Rumah Tangga Daerah Materiil
Sistem Rumah Tangga Daerah Riil
Secara garis besar, ketiganya ditinjau dari sudut tata-cara pembagian
wewenang, tugas dan tanggung jawab, mengatur, dan mengurus urusan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada Sistem Rumah Tangga Daerah Formil,
pembagian tugas,wewenang, dan tanggung jawab antara Pusat Daerah tidak
dilakukan secara rinci.
Dasar pemikiran sistem ini adalah tidak ada perbedaan sifat antara urusan
yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara teoritis, sistem
rumah tangga formil memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada Daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan menjadikan urusan tersebut
urusan rumah tangga daerah. Satu-satunya pembatasan terhadap Daerah adalah;
"bahwa daerah tidak boleh mengatur apa yang telah diatur dengan Undang-
undang atau peraturan daerah yang lebih tinggi martabatnya. Apabila pihak yang
lebih tinggi kemudian mengatur apa yang tadinya telah diatur oleh daerah, maka
peraturan daerah yang bersangkutan sejak itu tidak berlaku lagi"
Ditinjau dari perspektif hubungan antara Pusat dan Daerah, sepintas lalu
Sistem Rumah Tangga Formal terlihat memberikan peluang kuatnya kecenderungan
desentralisasi. Dalam kenyataannya tidaklah demikian, bahkan hal sebaliknya yang
mungkin terjadi. Sistem Otonomi Formal merupakan sarana yang baik untuk menuju
kecenderungan sentralisasi.
Ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, tidak adanya tradisi otonomi,
serta rendahnya inisiatif daerah akan menjelmakan Daerah yang serba menunggu
dan tergantung pada Pusat. Kondisi ini akan semakin parah apabila keuangan
daerah tidak mampu menopang kegiatannya dan tergantung pula pada bantuan
keuangan dari Pusat.
Pada Sistem Rumah Tangga Materiil, pembagian tugas, wewenang, dan
tanggung jawab antara Pusat dan Daerah dilakukan secara rinci. Hal ini
dilatarbelakangi oleh usaha untuk memfasilitasi ketidakpastian yang timbul pada
sistem rumah tangga formil. Akan tetapi sistem ini dianggap oleh para pakar tidak
dapat dijadikan patokan obyektif untuk menciptakan hubungan serasi antara Pusat
dan Daerah.
Sistem Rumah Tangga Nyata (riil) merupakan sistem yang berusaha untuk
menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang timbul antara sistem Rumah Tangga
Formil dengan Sistem Rumah Tangga Materil. Sistem ini memiliki nilai-nilai yang
berasal dari kedua sistem sebelumnya. Meskipun demikian sistem ini menunjukkan
ciri-ciri khas yang membedakannya dengan sistem lainnya, yaitu:
Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu
daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal
semacam ini tidak mungkin terjadi pada Sistem Rumah Tangga Formal
Di samping urusan-urusan rumah tangga yang ditetapkan secara "material",
daerah-daerah dalam rumah tangga nyata dapat mengatur dan mengurus pula
semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi
daerahnya, sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau Daerah tingkat yang
lebih atas.
Otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan pada faktor-faktor nyata
suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah
tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.Berangkat dari pola
pemikiran pada kosep-konsep teoritis tersebut, maka pengkajian ini akan dilakukan
dengan mensimulasikan parameter tertentu kepada substansi dari RUU tersebut,
sehingga pada akhirnya dapat diketahui pola pemberian otonomi yang diberikan
pusat kepada Daerah.
Kerangka Yuridis
Kerangka Yuridis mengenai Otonomi Daerah dapat dilihat pada UUD 1945
sebagai konstitusi RI. Pasal 1 UUD 1945 memberikan pondasi bentuk negara
Indonesia sebaga suatu negara kesatuan.
Selanjutnya Pasal 18 UUD 1945 berbunyi; "Pembagian daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa"
Sedangkan penjelasan angka I pasal tersebut berbunyi "Oleh karena Negara
Indonesia itu suatu "eeindheidstaat", maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungannya yang bersifat "staat"juga. Daerah Indonesia akan dibagi
dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang
lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonoom (..), atau bersifat administrasi
belaka, supaya menurut aturan yang berlaku akan ditetapkan dengan Undang-
undang. Daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan oleh
karena di daerah pun pemerintahan bersendi atas dasar permusyawaratan."
Dari Pasal 18 dan penjelasan angka I pasal tersebut, dapat ditarik beberapa
pernyataan yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah sebagai bahan kajian :
Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak mungkin dapat dibentuk negara lagi
dalam negara Indonesia. Hal ini lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 UUD
1945 yang menyatakan
" (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik"
Oleh karena itu apabila kita membicarakan desentralisasi di Indonesia, maka
desentralisasi yang tercipta adalah yang berkaitan langsung dengan prinsip negara
kesatuan dan pada akhirnya juga akan berkaitan dengan prinsip sentralisasi.
Daerah-daerah akan bersifat autonoom (otonomi) atau bersifat administratif belaka.
Daerah yang bersifat otonom adalah atas dasar desentralisasi, sedangkan daerah
administrasi belaka adalah atas dasar dekonsentralisasi. Dengan demikian prinsip
desentralisasi dan juga prinsip dekonsentrasi dilaksanakan baik secara bersamaan
maupun sendiri-sendiri di masing-masing daerah tersebut. Akan ada aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang mengenai pembagian daerah tersebut, dengan
memperhatikan bahwa untuk daerah otonom, pemerintahannya akan bersendi atas
dasar permusyawaratan
Dengan adanya institusi Badan Perwakilan Daerah dan pemerintahan yang
bersendi atas permusyawaratan, terlihat bahwa UUD 1945 mengharapkan agar
demokratisasi juga terjadi pada tingkat daerah. Selain itu, dapat diambil kesimpulan
bahwa UUD 1945 juga menghendaki agar daerah mempunyai otonomi yang luas.
Akan tetapi dari sisi lain, otonomi luas tersebut tidak berupa kedaulatan dan tidak
menimbulkan atribut yang melekat pada negara.
Bhenyamin Hoessein, dalam tulisannya, meninjau Pasal 18 UUD 1945 dan
menyimpulkan bahwa keberadaan daerah administrasi tidak sesuai dengan aspirasi
yang ada pada UUD 1945. Ia menambahkan bahwa sebenarnya penyebutan
"daerah administrasi belaka" yang terdapat dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945
tidak berarti akan diwujudkannya daerah administrasi dalam pemerintahan nasional,
tetapi suatu kenyataan bahwa pada saat disahkannya UUD 1945, Indonesia baru
memiliki tiga buah provincie (propinsi), 76 regentschap (kabupaten) dan 30
stadsgemeeente (gemeente). Sisanya masih merupakan administrasi belaka.
Munculnya kata "belaka" karena kenyataan pada jaman kolonial, setiap daerah
otonom berhimpit dengan daerah administrasi yang setara.
Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 telah mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah. Hal ini berarti bahwa
secara yuridis MPR sebagai wakil rakyat menghendaki dijalankannya reformasi
terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan Otonomi Daerah yang selama ini dijalankan
berdasarkan UU No. 5/1974, termasuk redefinisi terhadap keberadaan konsep
wilayah administratif yang ada selama ini di Indonesia.
Hubungan Pusat-Daerah dalam Sidang Paripurna DPD 2008
Pilkada Dibanggakan, Pemekaran Dikeluhkan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyelenggarakan sidang paripurna.
Redhi Setiadi dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) mencatat beberapa
hal penting tentang pelaksanaan otonomi daerah. Ada suasana lain di sidang
paripurna khusus DPD pekan lalu. Suasana yang awalnya terkesan tegang dan
monoton tiba-tiba pecah oleh gelak tawa dan tepuk tangan peserta sidang. Itu tak
lain karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tiba-tiba menghentikan
pidatonya untuk menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Sebagaimana diberitakan dalam situs resminya, Presiden SBY melontarkan
dua kemungkinan mengapa dia berkeringat. "Mohon maaf, kalau berkeringat seperti
ini pasti ada dua kemungkinan," katanya. "Pertama, mungkin karena penghematan
energi. Maka, AC dikurangi. Sama seperti di istana, panas," ujar SBY disambut gelak
tawa anggota dewan. "Kedua, berkeringat karena kita semua di sini sangat
bersemangat," lanjutnya. Tepuk tangan kemudian membahana di Ruang Nusantara
Gedung MPR/DPR/DPD.
Presiden pantas berkeringat. Dia harus menyampaikan keterangan
pemerintah mengenai arah dan kebijakan pembangunan nasional dan daerah serta
masalah-masalah kebangsaan yang terangkum dalam 17 halaman kuarto. Mengenai
otonomi daerah, presiden merangkumnya dalam tiga ranah. Yakni desentralisasi
politik, fiskal, dan administrasi.
Pertama, pada ranah desentraliasi politik, presiden membanggakan
kondusifnya situasi politik dan keamanan di daerah yang memungkinkan
terselenggaranya pilkada di beberapa penjuru tanah air. Pilkada merupakan
perwujudan desentralisasi politik. Pemerintah patut bangga. Sebab, sejak 1 Juni
2005 hingga 20 Agustus 2008, telah terselenggara 414 pilkada, baik pemilihan
gubernur maupun bupati/wali kota. Karena itu, pada akhir 2008, seluruh gubernur,
bupati, dan wali kota di Indonesia sudah terpilih langsung oleh rakyat di daerah.
Presiden juga mengapresiasi keikutsertaan calon perseorangan dalam proses
demokrasi di daerah mulai tahun 2008.
Pada bagian lain pidatonya, presiden juga menyadari perjalanan otonomi
daerah yang terkesan maju-mundur. Ini sekaligus merupakan respons terhadap
temuan DPD yang menyebutkan masih banyak peraturan perundangan yang tidak
satu penjuru dengan semangat otonomi daerah.
Menurut presiden, itu semua merupakan bagian dari proses evolusi. Itu juga
terjadi di negara lain. Karena itu, otonomi daerah kadang diwarnai proses
desentralisasi, resentralisasi, redesentralisasi, dan lain-lain. Kedua, desentralisasi
fiskal. Dalam pidatonya, presiden menyampaikan kabar gembira bagi daerah. Sebab,
pemerintah berencana mengalokasikan dana transfer ke daerah pada 2009 sebesar
Rp 303,9 triliun. Naik sebesar Rp 174,2 triliun dari tahun 2004 atau naik 134,3
persen.
Anggaran tersebut direncanakan berbentuk dana bagi hasil Rp 89,9 triliun
atau mengalami kenaikan 144,9 persen dari tahun 2004, dana alokasi umum (DAU)
Rp 183,4 triliun atau naik 123,3 persen dari tahun 2004, dan dana alokasi khusus
(DAK) Rp 22,3 triliun atau naik lebih dari empat setengah kali lipat dari tahun 2004.
Sementara itu, dana otonomi khusus untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat
direncanakan Rp 8,3 triliun, naik empat kali lipat dari 2004. Selain itu, pertama dalam
sejarah pusat-daerah, pemerintah juga mengalokasikan dana bagi hasil cukai
tembakau dua persen kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau.
Pemerintah patut berbangga dengan kian derasnya dana yang mengalir ke
daerah. Sebab, kenaikan yang berlipat-lipat dana itu melampaui angka inflasi setiap
tahun yang rata-rata sembilan persen. Sayang, pada pidato tersebut presiden masih
saja tidak menyebut jumlah dana yang mengalir dari daerah ke pusat. Jangan-
jangan, meskipun persentasenya naik, sebenarnya dana yang mengalir ke pusat
jauh lebih besar daripada yang dialirkan kembali ke daerah.
Ketiga, pada ranah desentralisasi administrasi, presiden mengapresiasi
upaya pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan. "Saya
memberikan apresiasi terhadap inisiatif dari pemerintah daerah yang melakukan
penyederhanaan proses perizinan di daerah, dengan menyediakan kantor pelayanan
perizinan terpadu," kata presiden.
Menurut presiden, tumbuhnya kantor pelayanan satu pintu di berbagai daerah
memperlihatkan terjadinya peningkatan kesadaran pemerintah daerah tentang
pentingnya perbaikan iklim investasi. Ada kontradiksi pada pernyataan presiden itu.
Sebab, inisiatif daerah dalam menyederhanakan proses perizinan yang sudah
sampai pada taraf pembentukan kantor pelayanan satu pintu justru dimundurkan
oleh pusat dengan diterbitkannya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Pada PP itu, secara tersirat pemerintah tidak lagi mendorong pembentukan lembaga
perizinan satu pintu, melainkan hanya perizinan satu atap.
Padahal, sebelum PP itu terbit, ada Permendagri 24/2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang mengamanatkan kepada
daerah "wajib" membentuk lembaga perizinan satu pintu.
Pemekaran daerah juga disinggung presiden. Bahkan, secara tegas presiden
meminta pemekaran daerah segera dievaluasi. Sebab, sejak 1999 hingga sekarang,
telah terbentuk 191 daerah otonom baru. Terdiri atas 7 provinsi, 153 kabupaten, dan
31 kota. Dengan demikian, saat ini Indonesia terdiri atas 33 provinsi, 386 kabupaten,
dan 91 kota. Lebih dari evaluasi, seharusnya pemekaran daerah dihentikan untuk
sementara (moratorium).
Sebab, selama ini pemerintah belum menyampaikan kepada publik
perkembangan daerah otonom yang dibentuk pada 1999. Ditengarai, pemekaran
daerah yang terjadi hingga saat ini hanya akan memberatkan anggaran negara.
Terlebih, pemekaran didominasi motif politis elite lokal.
Sidang paripurna tahunan keempat DPD ini mengambil tema Rekonstruksi
Kebijakan Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Implementasinya. Ada
beberapa hal yang menjadi sorotan lembaga senator daerah itu. Pertama, DPD
mengeluhkan masih adanya inkonsistensi antara kebijakan dasar desentralisasi dan
kebijakan-kebijakan lain pemerintahan.
Inkonsestensi kebijakan itu berwujud tidak sinkronnya regulasi-regulasi
sektoral dengan regulasi otonomi daerah. Masih banyak produk perundangan-
undangan yang belum disinkronkan. Karena dualisme peraturan perundangan di
daerah itu, kerap terjadi kerancuan dan ketidakpastian. Antara lain pada kegiatan
ekonomi di daerah. Sayang, DPD tidak merinci UU apa saja yang tidak konsisten
dengan semangat desentralisasi itu.
Menurut evaluasi JPIP, memang masih banyak ditemukan UU, PP, peraturan
menteri, dan surat edaran menteri yang tidak berpenjuru pada semangat otonomi
daerah. Dalam satu departemen pun, seperti Departemen Dalam Negeri (Depdagri),
proses penyelarasan peraturan perundangan juga tidak berjalan. Akibatnya,
peraturan pelaksana satu UU saja bisa saling bertentangan.
Kedua, DPD mengkritisi struktur bangunan otonomi daerah yang disusun
sebagai bangunan berjenjang (hierarchical autonomy). Yakni di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Wujudnya, beberapa kewenangan yang didesentralisasikan masih
terbagi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, dalam
pelaksanaannya masih terlihat benturan-benturan karena belum jelasnya batas-
batas kewenangan antara dua tingkat otonomi tersebut.
Untuk itu, DPD mengusulkan peninjauan kembali dikotomi provinsi dan
kabupaten/kota sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah. DPD melontarkan
kemungkinan agar otonomi daerah dilaksanakan pada satu tingkat saja, apakah di
tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Lontaran gagasan DPD itu menarik untuk dikaji. Bisa jadi, ini akan menjadi
bola panas yang makin mempertentangkan peran pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam otonomi daerah. Memang sudah saatnya, peran dan fungsi
provinsi yang kian tanggung seperti saat ini segera dicarikan solusi.
Menarik otonomi ke tingkat provinsi jelas merupakan kemunduran. Sebab,
akan makin menjauhkan pemerintah dengan masyarakat. Wilayah Indonesia yang
amat luas tidak cocok jika otonomi daerah diletakkan di provins. Provinsi sebaiknya
diperankan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Tugas dan fungsinya
bersifat konsultatif dan supervisi atas segala kebijakan yang dibuat pemerintah
kabupaten/kota.
Ketiga, seiring dengan semakin besarnya dana pusat yang mengalir ke
daerah, DPD mengharapkan pemerintah meningkatkan pemberdayaan
(empowerment) serta memberikan bimbingan dan petunjuk. Terutama yang
berkenaan dengan proses penganggaran dan pembiayaan di daerah. Karena itu,
BPK (Basan Pemeriksa Keuangan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu
melakukan supervisi dan tuntunan pada jajaran penyelenggara pemerintahan di
daerah untuk menegakkan disiplin anggaran agar mencegah korupsi dan
pemborosan keuangan negara.
Banyaknya kasus korupsi di daerah terutama disebabkan oleh tidak jelasnya
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang regulasi penganggaran
pemerintah daerah. Ini bisa dilihat dari banyaknya kepala daerah dan birokrat daerah
yang terjerat kasus korupsi karena dianggap melanggar PP, permendagri,
permenkeu, ataupun surat edaran menteri.
Celakanya, regulasi-regulasi itu biasanya terbit belakangan, namun berlaku
surut. Terkait dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, DPD menyoroti
perencanaan dan pemrogramannya. Praktik yang terjadi saat ini, daerah seolah
hanya ditempati kegiatan yang tidak terukur dan tidak berada dalam kerangka
perencanaan pembangunan daerah.
Selain itu, atas nama dana dekonsentrasi, telah tumbuh unit-unit kerja
kepanjangan tangan pusat atau UPT-UPT yang di banyak daerah tidak dibutuhkan.
Bahkan, tumpang-tindih dengan dinas-dinas otonomi. Temuan JPIP juga
menyiratkan hal yang sama. Kadang, pembentukan dinas baru di daerah dimotivasi
agar bisa mendapatkan dana dekonsentrasi dari departemen pusat.
Sebab, dana tersebut tidak bisa turun jika tidak ada instansi di daerah yang
satu rumpun dengan departemen di pusat. Karena itu, DPD menyarankan agar
pemerintah mempertimbangkan dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
dialihkan menjadi anggaran-anggaran yang langsung dialokasikan ke daerah.
Misalnya dalam bentuk DAU.
Untuk menepis penilaian selama ini bahwa DPD hanya memikirkan upaya
penguatan kewenangan, lembaga para senator itu juga melaporkan hasil yang telah
dicapai selama empat tahun masa kerja. Sejak 2004, DPD telah menghasilkan 154
buah produk. Rinciannya, 10 buah usul inisiatif RUU, 83 pandangan, pendapat, dan
pertimbangan mengenai berbagai rancangan undang-undang baik yang berasal dari
presiden maupun DPR, dan 38 produk hasil pengawasan. Selain itu, ada 23
keputusan yang berkaitan dengan APBN.
Sayangnya, di antara sepuluh buah RUU inisiatif yang telah disampaikan
kepada DPR, baru satu RUU yang ditindaklanjuti oleh DPR. Yakni RUU tentang
Perubahan Ketiga atas UU 3/1950 tentang Pembentukan DI Jogjakarta.
Perlunya Undang-Undang tentang Tata Hubungan Kewenangan Antara Pusat
dan Daerah di Indonesia
Pada negara yang menganut sistem negara kesatuan, hubungan
kewenangan antara tingkat pemerintahan (eksekutif), sebagai salah satu lembaga
negara (staat organ) menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang dipimpin oleh
Presiden sebagai kepala pemerintahan, perlu untuk diatur dalam suatu undang-
undang khusus yang mengatur hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan
tersebut. Hal tersebut pada dasarnya sudah diperintahkan oleh Pasal 18 A Undang-
Undang Dasar 1945 yang memerintahkan bahwa hubungan kewenangan antara
pusat dan daerah diatur dengan undang-undang.
Pada suatu Negara kesatuan, hubungan antara pemerintah pusat dengan
daerah dapat diatur melalui berbagai peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
otonomi daerah. Hal ini disebabkan antara lain karena berbagai cakupan dan
masalah yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggungjawab berbagai tingkat
pemerintahan yang ada di suatu Negara tidak akan bisa diatur hanya oleh satu
undang-undang saja. Oleh karena itu, keberadaan berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur hubungan hukum dan kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah merupakan suatu keniscayaan yang wajar dalam suatu
Negara.
Secara umum, ada beberapa undang-undang yang dapat berkaitan dengan
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu antara lain undang-
undang yang mengatur otonomi daerah secara umum, undang- undang yang
mengatur organisasi pemerintahan daerah, undang-undang yang mengatur tentang
hubungan keuangan pusat dan daerah, undang-undang yang mengatur hubugan
kewenangan pusat dan daerah. Selain itu, materi-materi tentang pemerintahan
daerah dapat juga diatur dalam berbagai undang-undang sektoral lainnya, yang
berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan otonomni daerah.
Undang-undang yang mengatur tentang hubungan kewenangan pusat dan
daerah merupakan salah satu undang-undang yang utama dalam mengatur berbagai
materi yang berkaitan dengan atribusi, distribusi, dan delegasi serta koordinasi
kewenangan di antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara yang
berstatus sebagai negara kesatuan. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang
yang mengatur hubungan pusat dan daerah merupakan suatu kebutuhan utama
dalam suatu Negara kesatuan untuk mengatur penataan kewenangan hubungan
hukum dan kekuasaan di antara berbagai level pemerintahan di suatu negara.
Kewenangan Pemerintahan
Kewenangan pemerintahan merupakan dasar utama untuk setiap tindakan
dan perbuatan hukum dari setiap tingkat pemerintahan yang ada di suatu negara.
Tanpa adanya dasar kewenangan yang sah, maka berbagai tindakan dan perbuatan
hukum yang dilakukan oleh setiap tingkat pemerintahan dapat dikategorikan sebagai
tindakan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
Secara umum, kewenangan pemerintahan dapat diperoleh melalui atribusi,
delegasi dan mandat serta tugas pembantuan (medebewind). Cara memperoleh
kewenangan tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara
berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh,
pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level
pemerintahan yang bersifat nasional, regional dan lokal atau level pemerintahan
atasan dan pemerintahan bawahan. Selain itu pelaksanaan delegasi membuktikan
adanya level pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang
lebih rendah (delegans).
Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak,
kewajiban, dan tanggungjawab di antara berbagai level pemerintahan yang ada.
Dengan adanya pembagian atribusi, distribusi, delegasi, dan mandat dapat
digambarkan bagaimana berbagai level pemerintahan tersebut mempunyai hak,
kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda antara satu level pemerintahan dengan
level pemerintahan lainnya.
Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai
level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan
ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab di antara mereka. Oleh karena itu,
makna dari perbedaan hak, kewajiban dan tanggungjawab dari berbagai level
pemerintahan yang ada merupakan suatu hal yang secara pokok menggambarkan
secara nyata kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan
yang ada di suatu negara.
Keterkaitan antara (Rancangan) UU Hubungan Kewenangan dengan UU
32/2004
Sebagaimana dikemukakan diatas, hubungan kewenangan pusat dan daerah
dapat diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang khusus
mengatur otonomi daerah, atau tersebar di berbagai peraturan perundang-
undangan sektoral lainnya.
Hal ini didasarkan pada kenyataaan empiris dan yuridis yang
menggambarkan bahwa materi dan cakupan pengaturan tentang hubungan
kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya diatur oleh satu undang-undang.
Oleh karena itu, pada suatu negara kesatuan, selain diperlukan adanya undang-
undang yang mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah, juga dibutuhkan
berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan dengan otonomi daerah dan
berbagai undang-undang lainnya, seperti undang- undang yang mengatur tentang
(organisasi) pemerintahan daerah.
Secara umum, undang-undang hubungan kewenangan akan mengatur materi
yang berkaitan dengan prosedur, tata cara, dan hal-hal lain-lainnya tentang
distribusi, atribusi dan delegasi kewenangan, termasuk mengenai tugas
pembantuan, dan lain sebagainya. Undang-undang ini akan menata terjadinya
hubungan hukum dan kekuasaan, baik yang bersifat statis maupun dinamis, dari
berbagai level pemerintahan yang ada.
Hubungan hukum dan kekuasaan yang terjadi dilakukan berdasarkan prinsip
harmonisasi dan sinkronisasi di antara level-level pemerintahan yang ada sehingga
tidak menciptakan benturan kepentingan di antara pembuat dan pelaksana
kewenangan, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal.
Secara khusus, undang-undang hubungan kewenangan mengatur dan
menata integrasi dan sinergi di antara pembuat dan pelaksana kewenangan yang
ada di berbagai level pemerintahan yang ada dan mengatur secara baik koordinasi
dan evaluasi dari hubungan kewenangan yang terjadi di antara para pembuat dan
pelaksana kewenangan tersebut. Oleh karena itu, undang-undang hubungan
kewenangan tersebut sangat mempengaruhi hubungan kerja dan kerjasama antara
pemerintah pusat, pemerintah regional, dan pemerintah lokal di Indonesia.
Secara umum, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah lebih berfokus pada organisasi pemerintahan daerah.
Undang-undang ini mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas dari
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai suatu organisasi
pemerintahan di tingkat lokal dan mempunyai hubungan yang dekat dengan
masyarakat sebagai konstituennya. Sebagai contoh, Undang-Undang 32/2004
mengatur tentang kewenangan daerah sebagai daerah otonom, urusan wajib dan
urusan pilihan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan juga mengatur
tentang perangkat organisasi pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, undang-undang 32/2004 merupakan undang-undang yang
mengatur tentang organisasi pemerintahan daerah sebagai bagian dari organisasi
pemerintahan negara kesatuan secara keseluruhan.
Secara khusus, UU 32/2004 juga menegaskan kembali kedudukan daerah
otonom sebagai bagian integral dari negara kesatuan Indonesia. Walaupun daerah
otonom merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban mandiri,
sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan tetapi kedudukan (pemerintahan)
daerah otonom adalah melaksanakan berbagai kewenangan pemerintahan yang
telah didesentralisakan oleh Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan
tersebut tetap berada di tangan Pemerintah Pusat.
Sehingga secara teoritis yuridis, pemerintahan daerah merupakan sub-sistem
dari sistem pemerintahan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, UU 32/2004
merupakan undang-undang yang megatur bagaimana suatu organisasi
pemerintahan negara dijalankan berdasarkan prinsip lokalitas dan kekhasan di
daerah masing-masing.
Secara umum, keterkaitan antara Undang-Undang No. 32 tahun 2004
dengan (Rancangan) Undang-Undang Tata Hubungan adalah dengan berlakunya
kedua undang-undang tersebut akan terjadi hubungan saling melengkapi
(complementary) antara kedua undang-undang tersebut. Sebagai contoh, apabila
UU 32/2004 mengatur mengenai organisasi pemerintahan daerah, khususnya yang
berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka (RUU)
Tata Hubungan akan melengkapinya dengan memberikan pengaturan mengenai
hubungan kewenangan antara (pemerintah) nasional atau pusat dengan
(pemerintah) daerah, dan juga mengatur hubungan kewenangan antar daerah
otonom di Indonesia.
Selain itu, (RUU) Tata Hubungan merupakan semacam software dari
hubungan kewenangan pusat dan daerah, yang berkaitan dengan norma, prosedur
dan aturan umum hubungan kewenangan, sedangkan UU 32/2004 merupakan
hardware, yang berbentuk antara lain organisasi dan para pejabat pelaksana dari
hubungan kewenangan tersebut.
Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan mengatur tentang hal-hal yang lebih
bersifat abstrak, sedangkan UU Pemerintahan Daerah lebih banyak mengatur hal-hal
yang bersifat konkrit dari pelaksanaan hubungan kewenangan pusat dan daerah.
Secara khusus, RUU Tata hubungan karena merupakan norma umum dan
abstrak dalam mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah dapat merupakan
referensi utama dari berbagai Undang-Undang, baik yang bersifat umum atau
bersifat khusus, tentang pemerintahan daerah yang akan dibentuk oleh Pemerintah
di kemudian hari.
Berbagai undang-undang tersebut nantinya akan merupakan norma-norma
khusus yang mengatur pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan kondisi,
permasalahan dan budaya yang berbeda di setiap daerah.
Oleh karena itu, kaitan antara RUU Tata Hubungan dan UU Pemerintahan
Daerah merupakan satu rangkaian undang-undang yang mengatur secara umum
berbagai hal yang berkaitan dengan pemerintahan daerah di Indonesia, dan secara
khusus mengatur hubungan kewenangan di antara organisasi dan otoritas pelaksana
pemerintahan yang ada di tingkat pusat dan lokal. Dengan demikian, hubungan
antara kedua undang-undang tersebut dapat disimpulkan sebagai hubungan hukum
yang saling berkait , melengkapi dan tidak terpisahkan antara satu undang-undang
dengan undang-undang lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bajwa Indonesia sebagai
suatu negara kesatuan memerlukan suatu undang-undang khusus yang mengatur
hubungan kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka menciptakan
integrasi dan distribusi kewenangan dari seluruh level pemerintahan yang ada serta
menghindari terjadi overlapping kewenangan antara berbagai level pemerintahan
tersebut.
Prospek Otonomi Daerah di Masa Mendatang
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi,
otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi
Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah,
lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan
masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang
“otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan
pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat
disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena
semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah
sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada
masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah.
UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948
memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah.
Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian
UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung.
Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas,
nyata dan bertanggungjawab.
Otonomi Daerah Saat Ini
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang
berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah
otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata
ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai
tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah
serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :
1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman
Daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertangung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta
antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada
lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.