reposisi peran gubernur dalam hubungan pusat dengan daerah

20
Edisi april - juni 2014 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah www.kppod.org Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah P ersoalan khas dalam hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah di Indonesia dari masa ke masa selalu sama, yakni pembagian tugas dan pembagian sumber daya ekonomi yang diwarnai tarik-menarik kepentingan. Sentralisasi dan desentralisasi adalah pasang surut dalam pengelolaan negara sejak Indonesia merdeka hingga kini. Koordinasi pembangunan antar level pemerintahan disebut sebagai obat mengatasi persoalan, namun praktiknya tak mudah dilaksanakan. Desentralisasi muncul sebagai konsekwensi logis dari luasnya wilayah negara, sehingga memerlukan pembagian kegiatan (tugas dan wewenang) antar tingkatan pemerintahan. Sementara, asas dekonsentrasi diletakkan di provinsi dalam rangka melaksanakan kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Dari sini tampak bahwa pengimbang antara sentralisasi pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintah daerah ialah peran ganda gubernur. Fungsi gubernur bukan saja untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, namun juga untuk memperkuat koordinasi dan efektivitas pencapaian tujuan nasional. Artinya provinsi diharuskan menjadi penghubung antara kepentingan pusat dan daerah, dan sebagai daerah wajib mengoptimalkan potensi sumberdayanya. Yang pasti pelaksanaan berbagai tugas gubernur harus dilihat dalam konteks efektivitas penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Namun ketidakjelasan posisi gubernur di antara pemerintah pusat dan pemerintah Ȧ řŘȦŘŖŖŚ Ě dan aparat. Di satu sisi, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, dan di lain sisi, gubernur adalah kepala daerah yang dipilih rakyat, namun sayang kewenangan gubernur terbatas dan tidak jelas. UU 32/2004 tidak mengatur secara jelas hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Kabupaten/kota “tidak memiliki hubungan hirarki” dengan provinsi, sehingga bupati/walikota “mengacuhkan” peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Untuk itu diperlukan pengaturan sistematis yang menggambarkan hubungan berjenjang, baik pengawasan, pembinaan, maupun koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten/kota. Menjadi dilematis manakala sebagian pihak kawatir bentuk negara kesatuan mengarah ke federasi apabila gubernur memiliki kewenangan sepenuhnya sebagai kepala daerah. Padahal, peran gubernur sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertanggungjawab kepada presiden dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat. Desentralisasi atau federasi merupakan sistem dan cara untuk untuk mengelola pemerintahan secara efektif sesuai histori, bentuk, karakter sistem pemerintahan yang dianut suatu negara. Cita-cita otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun bisa menjadi retorika belaka manakala pemerintah tidak bisa optimal dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki. Bagaimana reposisi peran gubernur berikut tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat merupakan isu krusial dalam UU Pemerintahan Daerah. Dual role tersebut memposisikan gubernur dalam hubungannya dengan presiden dan kementerian/lembaga di tingkat pusat, dalam hubungannya dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di tingkat provinsi, serta dalam hubungannya dengan bupati/walikota dan SKPD di tingkat kabupaten/kota. Ketidakjelasan posisi gubernur dalam tata kelola pemerintahan antara pusat dan daerah berimplikasi pada gagal atau berhasilnya otonomi daerah. Apapun peran provinsi kedepan, yang pasti haruslah ditujukan untuk memperkuat dan mempercepat proses pembangunan bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (Git)

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

Edisi april - juni 2014

KPPODMembangun Indonesia dari Daerah

www.kppod.org

Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

P ersoalan khas dalam hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah di Indonesia dari masa ke masa selalu sama, yakni pembagian tugas dan pembagian sumber daya ekonomi yang diwarnai tarik-menarik kepentingan. Sentralisasi dan desentralisasi

adalah pasang surut dalam pengelolaan negara sejak Indonesia merdeka hingga kini. Koordinasi pembangunan antar level pemerintahan disebut sebagai obat mengatasi persoalan, namun praktiknya tak mudah dilaksanakan.

Desentralisasi muncul sebagai konsekwensi logis dari luasnya wilayah negara, sehingga memerlukan pembagian kegiatan (tugas dan wewenang) antar tingkatan pemerintahan. Sementara, asas dekonsentrasi diletakkan di provinsi dalam rangka melaksanakan kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Dari sini tampak bahwa pengimbang antara sentralisasi pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintah daerah ialah peran ganda gubernur.

Fungsi gubernur bukan saja untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, namun juga untuk memperkuat koordinasi dan efektivitas pencapaian tujuan nasional. Artinya provinsi diharuskan menjadi penghubung antara kepentingan pusat dan daerah, dan sebagai daerah wajib mengoptimalkan potensi sumberdayanya. Yang pasti pelaksanaan berbagai tugas gubernur harus dilihat dalam konteks efektivitas penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.

Namun ketidakjelasan posisi gubernur di antara pemerintah pusat dan pemerintah

dan aparat. Di satu sisi, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, dan di lain sisi, gubernur adalah kepala daerah yang dipilih rakyat, namun sayang kewenangan gubernur terbatas dan tidak jelas. UU 32/2004 tidak mengatur secara jelas hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Kabupaten/kota “tidak memiliki hubungan hirarki” dengan provinsi, sehingga bupati/walikota “mengacuhkan” peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Untuk itu diperlukan pengaturan sistematis yang menggambarkan hubungan berjenjang, baik pengawasan, pembinaan, maupun koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten/kota.

Menjadi dilematis manakala sebagian pihak kawatir bentuk negara kesatuan mengarah ke federasi apabila gubernur memiliki kewenangan sepenuhnya sebagai kepala daerah. Padahal, peran gubernur sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertanggungjawab kepada presiden dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat. Desentralisasi atau federasi merupakan sistem dan cara untuk untuk mengelola pemerintahan secara efektif sesuai histori, bentuk, karakter sistem pemerintahan yang dianut suatu negara. Cita-cita otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun bisa menjadi retorika belaka manakala pemerintah tidak bisa optimal dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki.

Bagaimana reposisi peran gubernur berikut tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat merupakan isu krusial dalam UU Pemerintahan Daerah. Dual role tersebut memposisikan gubernur dalam hubungannya dengan presiden dan kementerian/lembaga di tingkat pusat, dalam hubungannya dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di tingkat provinsi, serta dalam hubungannya dengan bupati/walikota dan SKPD di tingkat kabupaten/kota. Ketidakjelasan posisi gubernur dalam tata kelola pemerintahan antara pusat dan daerah berimplikasi pada gagal atau berhasilnya otonomi daerah. Apapun peran provinsi kedepan, yang pasti haruslah ditujukan untuk memperkuat dan mempercepat proses pembangunan bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (Git)

Page 2: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

2

EDITORIALMenata Relasi Propinsi dengan Kabupaten/Kota

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng

Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito

Sri Mulyati Boedi Rheza

Elizabeth KarlindaM. Iqbal Damanik

Distribusi:Regina Retno Budiastuti

Kurniawaty SeptianyAgus Salim

Layout: Winantyo

Alamat Redaksi:

Permata Kuningan Building 10th Fl.Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C

Guntur, SetiabudiJakarta Selatan 12980

Phone : +62 21 8378 0642/53Fax : +62 21 8378 0643

www.kppod.orghttp://perda.kppod.org

http://pustaka.kppod.org

Artikel ......................................... 3

Review Regulasi .......................... 6

Dari Daerah ................................ 8

Opini ......................................... 11

Laporan Diskusi Media ........... 12

Seputar Otonomi ...................... 13

Agenda KPPOD ........................ 14

Sekilas KPPOD ......................... 18

P ada suatu kesempatan, di depan rombongan anggota Komisi II DPR yang berkunjung ke Jawa Barat, Gubernur Ahmad Heryawan menyampaikan keluhan soal sulitnya berkoordinasi dengan

Kabupaten/Kota. Kehadiran para Bupati/Walikota dalam rapat koordinasi di Gedung Sate menjadi ukuran lantaran sangat jarang Kepala Daerah yang bersangkutan hadir secara langsung, lebih sering diwakili oleh Sekda/Kepala Dinas meski materi rapat amat krusial bagi semua daerah.

Menurut Gubernur, masalah demikian kerap terjadi di era otonomi (sejak UU No.22/1999 hingga UU No.32/2004) lantaran hirarki antar pemerintahan terputus. Gubernur seolah mengalami disfungsi sejalan dengan Propinsi —yang dibayangkan sebagai intermediate government— kehilangan peran dan seakan tak lagi bertaut secara kuat dengan Kabupaten/Kota.

Gambaran masalah semacam itu menjadi materi penulisan dalam sejumlah rubrik pokok KPPODBrief edisi ini. Melihat praktiknya, kami menengara bahwa kisah tersebut tak hanya ada di Jawa Barat tetapi merata di berbagai tempat lainnya. Rubrik “Dari Daerah” dalam KPPODBrief ini, misalnya, mengangkat kasus dari Propinsi Jawa Tengah. Kasus dari sejumlah belahan wilayah lainnya juga bisa ditemukan dalam rubrik “Artikel”.

Pada hampir setiap hubungan bermasalah pusat-daerah, ketiadaan peran

“mata air”, tetapi sebaliknya untuk urusan “air mata”), miskoordinasi perencanaan dan kebijakan, inefektivitas pengawasan (perda), hingga pengabaian pejabat Kabupaten/Kota terhadap setiap undangan rapat di propinsi.

Dalam aras lainnya, yakni prihal mengkordinasi perwakilan Kementerian/LPNK di daerah, derajat persoalan tak kalah peliknya. Di sini, kiprah Gubernur bahkan nyaris tak terdengar. Instansi vertikal tersebut seolah tidak punya kaitan apa pun dengan Propinsi kecuali karena “kebetulan” mereka berlokasi di yurisdiksi tersebut. Komunikasi, koordinasi dan pertanggungjawaban kerja sepenuhnya kepada induk masing-masing di Jakarta, sementara Gubernur hanya mendapat tembusan surat, laporan, dll untuk sejumlah kasus terbatas.

Dalam hal pelaksanaan program/proyek, disfungsi Gubernur atas instansi-instansi vertikal ini tak jarang menyebabkan disharmoni kebijakan, tumpang tindih dan terkesan rebutan lahan (pekerjaan). Gubernur--dalam konteks pembelaan atas kepentingan daerahnya—terlibat dalam hubungan tak harmonis dengan pusat dan berbeda dengan Menteri/Kepala LNPK prihal kebijakan pembangunan di wilayah yang dipimpinnya.

Kami berharap, sejumlah rubrik yang berisi tulisan terkait topik tersebut dalam KPPODBrief ini memberikan tambahan dan pengayaan bacaan bagi sidang pembaca. Harapan yang sama juga dialamatkan kepada anggota DPR-RI dan Pemerintah untuk serius merumuskan secara pas problem tersebut dalam revisi UU Pemda yang sedang dibahas hari-hari ini. (REJ)

Selamat membaca.

Page 3: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

3

Memfungsikan Kembali Propinsi dalam Otonomi Daerah

Artikel

* Peneliti KPPOD

K onstruksi perwilayahan dan otonomi daerah di dalam UUD 1945 adalah konstruksi bertingkat. Konstruksi seperti ini memperlihatkan bahwa hubungan antar daerah otonom tidak berdiri sendiri namun memiliki

hubungan yang hirarki. Namun, dalam kenyataannya, implementasi yang terjadi saat ini justru menghilangkan konstruksi yang diamanatkan oleh UUD 1945. Hubungan antar pemerintah saat ini tidak terjadi karena adanya ketidaksesuaian dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum dan lantaran desain administrasi maupun praktik pemerintahan yang bermasalah.

Boedi Rheza *

Implikasinya, kerancuan tersebut menimbulkan komplikasi di dalam hubungan antar pemerintahan, baik dari pusat sampai ke daerah. Implikasi lebih lanjut terlihat pada pembagian kewenangan dan urusan di masing-masing tingkatan pemerintahan. Kewenangan di setiap tingkat pemerintah menjadi timpang dan menyebabkan tumpang tindih di dalam beberapa urusan. Tumpang tindih kewenangan ini juga pada

pengelolaan beberapa urusan seperti pertanahan, pertambangan, tenaga kerja asing, perhubungan, penanaman modal, dan BKKBN 1).

Tumpang tindih kewenangan, misalnya, terlihat pada polemik pembangunan kawasan Saripetojo di Kota Solo yang terjadi pada pertengahan 2011 lalu. Polemik

es PT. Saripetojo antara Gubernur Jawa Tengah dengan

Pemprov Jateng membangun pusat perbelanjaan di lahan bekas Pabrik Es Saripetojo tersebut pada awal tahun 2011, namun ditentang oleh Pemerintah Kota Solo dan berbagai kalangan masyarakat, dengan alasan bahwa kawasan Saripetojo adalah kawasan cagar budaya dan adanya Perda No.01 Tahun 2010 yang mewajibkan Pemerintah Kota Solo melindungi Pasar Tradisional.

Contoh lain dari permasalahan tidak berfungsinya

melibatkan nelayan tradisional terjadi karena terjadinya dan deplesi sumber daya2). Persepsi

kepemilikan sumber daya juga semakin mengekskalasi

atau kebijakan yang menjadi pagar hukum pengelolaan sumber daya tersebut.

Tidak berjalannya fungsi propinsi juga terlihat dari gagalnya praktek kerjasama antar daerah di Barlingmascakeb. Menurut Permendagri No.23 Tahun 2009, propinsi seharusnya memberikan pembinaan berupa pemberian informasi tentang peraturan perundang-undangan terkait, mekanisme pendanaan dan tata cara memperoleh sumber pendanaan. Tidak adanya pembinaan dari propinsi tentang pendanaan pada akhirnya juga membuat kerjasama antar daerah tidak dapat berjalan.

Praktik koordinasi langsung yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota juga memperlihatkan ‘ketiadaan’ posisi propinsi di dalam hubungan antar pemerintahan. Pemerintah Kabupaten/Kota cenderung melakukan koordinasi dan pertanggungjawaban langsung kepada Pemerintah Pusat (Kemendagri ataupun Kementerian Sektoral) tanpa melalui Pemerintah Propinsi. Hal ini dikarenakan adanya regulasi dan kebijakan sektoral yang memberikan peluang terjadinya hal tersebut. Sehingga praktik ini melemahkan posisi Pemerintah Propinsi dihadapan Kabupaten/Kota.

1. Kasmawati, Andi. “Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi dalam Hubungan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Negara Kesatuan”. Jurnal Hukum No. 4 Vol. 17: 552 – 566. Oktober 2010.

(Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur)”. Bogor. 2008..

Barlingmascakeb merupakan kerjasama antar daerah beberapa kabupaten di Jawa Tengah. Daerah yang terlibat dalam Substansi dari pelaksanaan kerjasama antar daerah ini adalah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen. Pembentukan ini disahkan melalui penandatanganan SKB masing-masing Bupati No. 130A Tahun 2003 tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama (RM) Barlingmascakeb. Fokus dari kegiatan Barlingmascakeb ini adalah regional marketing.

Page 4: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

4

Artikel

Tidak Jelasnya Posisi Propinsi

Beberapa permasalahan yang terjadi diatas justru memperlihatkan permasalahan di dalam hubungan antar pemerintah daerah, khususnya propinsi. Saat ini, sebagai daerah otonom, propinsi memiliki dua status. Status pertama adalah status daerah otonom. Sebagai daerah otonom, propinsi berotonomi terbatas yang meliputi urusan lintas wilayah berskala propinsi, terkait urusan yang tak mampu ditangani oleh Kabupaten/Kota. Status lainnya adalah sebagai wilayah administrasi yang memiliki peran melaksanakan asas dekonsentrasi dalam lingkungan kerja pusat dalam lini kewilayahan, berupa pembinaan, koordinasi dan pengawasan. Di luar dua hal tersebut, propinsi juga menjalankan fungsi pemerintahan umum.

Kenyataan yang ada, di dalam UU Pemda yang menjadi dasar desentralisasi tidak terdapat pengaturan yang jelas terhadap posisi propinsi. Di dalam UU No.22 Tahun 1999 maupun UU No.32 Tahun 2004, sebagai payung hukum pelaksanaan desentralisasi, tidak menyebutkan adanya hirarki antar propinsi dengan kabupaten/kota. Sementara itu, di dalam UUD 1945, menyebutkan dengan jelas bahwa konstruksi yang digunakan adalah kewilayahan dengan masing-masing tingkatan wilayah memiliki pemerintahan. Ketidakjelasan dan kerancuan yang teradapat di UU No.32 Tahun 2004 tersebut, membuat hubungan antar pemerintah menjadi hanya antar lingkup pemerintahan, bukan hirarkial. Sedangkan jika merujuk pada UUD 1945, hubungan antar pemerintah adalah hubungan yang hirarkial. Sehingga pola hubungan antar pemerintahan adalah garis yang continuum, bukan saling kontra dan tidak memiliki hubungan.

kesimpulan bahwa belum berjalannya fungsi koordinasi. Hal ini terlihat dari pernyataan Walikota Surakarta (Solo) yang akan berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Tengah menunjukkan tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Kota Solo dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Perbaikan koordinasi antar pemerintahan kedepan, jelas merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda.

Lemahnya Kedudukan Gubernur

Dua status yang dimiliki oleh propinsi juga membuat Gubernur yang merupakan Kepala Daerah Propinsi memiliki dua fungsi. Dua fungsi tersebut adalah Gubernur sebagai kepala daerah dan kepala wilayah yang tidak lain adalah wakil pemerintah di daerah. Konstruksi peraturan perundang-undangan yang cenderung mendistorsi hubungan antar pemerintah membuat kedua fungsi tersebut saat ini tidak bisa dijalankan dengan baik. Hal ini dikarenakan dampak dari distorsi tersebut yang membuat posisi propinsi di dalam hubungan pemerintahan yang tidak jelas, lemah dan cenderung ‘tidak terlihat’. Hal ini menyebabkan tugas-tugas sebagai wakil pusat yaitu koordinasi,

pembinaan dan pengawasan tidak dapat dilakukan oleh Gubernur.

Lemahnya posisi pemerintah propinsi juga diperburuk dengan adanya hubungan langsung antara pemerintah pusat dan daerah tanpa melibatkan pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat khususnya Kementerian. Hal yang melatari ini terdapat di dalam UU No.39 Tahun 2008 yang mengatur tentang kementerian, dimana kementerian tidak memiliki keharusan untuk berkoordinasi dengan pemerintah propinsi. Banyak program-program yang dibuat oleh kementerian tidak melibatkan propinsi dalam pelaksanaannya. Ketiadaan pelibatan propinsi akhirnya berdampak pada ketiadaan sinkronisasi, dan koordinasi kebijakan antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota.

Pembagian Urusan Antar Pemerintahan

Dalam naskah revisi UU Pemda, disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan Konkuren dan Urusan Pemerintahan Umum. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam prinsip Negara Kesatuan, pada dasarnya daerah tidak memiliki kewenangan mutlak dalam mengelola daerahnya. Campur tangan pemerintah pusat tetap diperlukan sebagai fungsi pembentuk standar peraturan nasional, monitoring, evaluasi, pemberdayaan dan fungsi pengendalian.

Pemerintah Provinsi sebagai fungsi koordinasi, pembinaan, pengawasan dan monitoring atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Sementara Kabupaten/Kota dalam konteks pelaksanaan desentralisasi, daerah hendaknya diberi kewenangan yang luas dalam hal mengatur dan mengurus daerahnya sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.

Dari sisi kebijakan, pola general competence yang selama ini diterapkan, telah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dengan pelimpahan sebagian besar urusan pemerintahan kepada daerah dan sisanya dipegang oleh pusat, namun dalam pelaksanaannya banyak urusan yang dilimpahkan tersebut tidak disertai dengan pola pendanaan yang sesuai. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakjelasan dalam hal kewenangan pelaksanaan urusan yang menjadi urusan bersama (konkuren).

Rekomendasi

Implementasi Otonomi Daerah saat ini justru membuat hubungan antar pemerintahan tidak kuat. Implikasi yang sangat terlihat adalah tidak berjalannya fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan khususnya dari Pemerintah Propinsi. Beberapa rekomendasi yang perlu diusulkan untuk perbaikan ke depan adalah:

1. Fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan propinsi perlu diperkuat khususnya untuk urusan-urusan lintas pemerintah (Pusat-Propinsi-

Page 5: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

5

Artikel

Kabupaten/Kota). Penguatan ini dapat dilakukan dengan menegaskan kembali posisi propinsi di dalam otonomi daerah melalui revisi peraturan perundang-udangan otonomi daerah.

2. Penegasan kembali kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memberikan batasan yang tegas dan batasan skala kewenangan yang dimiliki masing-masing level Pemerintahan sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan friksi di masing-masing level pemerintahan.

3. Adanya klausul yang menegaskan kembali pola pembagian urusan konkuren dan lebih mendetilkan urusan yang menjadi kewenangan pusat, Provinsi, maupun daerah Kab/Kota.

4. Untuk mendukung peran gubernur, perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, misal dengan lebih menegaskan peran tersebut dalam UU sektoral sehingga lebih jelas peran dan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan begitu fungsi pembinaan Gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun sebagai

kepala daerah otonom dapat berjalan secara maksimal.

Daftar Pustaka

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Selat Madura dalam Perspektif Sosiologis-Hukum (Studi Kasus Nelayan Batah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur)”. Bogor. 2008.

Kasmawati, Andi. “Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi dalam Hubungan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Negara Kesatuan”. Jurnal Hukum No. 4 Vol. 17: 552 – 566. Oktober 2010.

KPPOD. “Laporan Penelitian: Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah”. Jakarta. 2013.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Page 6: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

6

tanah inilah yang menimbulkan multi intrepretasi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perda ini. Untuk menghindari perbedaan persepsi, dan untuk memperjelas substansi (konteks) dari kata penggunaan dan pengambilan air tanah, maka dalam Bab I (ketentuan umum) perlu ditambahkan mengenai pengertian “penggunaan air tanah” secara jelas.

2. Inkonsistensi antar pasal. Pasal 23 ayat 1 Perda, menyebutkan bahwa pengambilan air tanah untuk kegiatan industri, pertambangan, dan pariwisata diperbolehkan paling besar mempunyai debit 10 liter/detik untuk setiap titik sumur bor. Sementara pada pasal 22 disebutkan bahwa “setiap kegiatan penggunaan air tanah yang total debitnya 50 liter per detik atau lebih dalam areal kurang dari 10 hektar wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)”. Pasal 22 ayat 2 tersebut menyiratkan bahwa dalam areal kurang dari 10 hektar diperbolehkan menggunakan air tanah lebih besar dari 50 liter/detik selama dilengkapi dengan dokumen AMDAL, sebagaimana diatur dengan Permeneg LH No.11 Tahun 2006.

3. Membuat aturan yang belum memiliki konsideran peraturan pusat. Pasal 17 ayat 1 huruf r, mewajibkan bagi perusahaan untuk menyusun dan melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) yang selanjutnya disampaikan kepada Bupati melalui Kepala Dinas. Mengacu pada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat 4 menyebutkan bahwa: Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Persoalannya saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR ini.

Apabila mengacu kepada Perda Jawa Barat No.8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.5 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Air Tanah, CSR bukanlah kewajiban bagi Perusahaan, bahkan justru pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada Pelaku usaha. Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, pemegang izin penggunaan dan/atau pengusahaan air tanah, serta masyarakat yang

Aspek Yuridis

Perlu tambahan acuan yuridis yang aktual agar sejalan dengan berbagai prinsip pengelolaan sumber daya air. Masih perlu menambahkan beberapa konsideran penting yakni:1. Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara RI tahun 2008 Nomor 82, tambahan Lembaran Negara RI No.4858)

2. Peraturan Presiden No.33 Tahun 2011 tentang kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air (diundangkan tanggal 20 Juni 2012)

3. Keputusan Presiden No.26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah (diundangkan tanggal 13 September 2011).

4. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.5 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Air Tanah

Dua ketentuan peraturan pusat dan Perda Provinsi Jawa Barat tersebut perlu untuk dijadikan acuan agar perda ini sejalan dengan berbagai prinsip dalam pengelolaan sumber daya air tanah.

Aspek Substansi

1. Ketidakjelasan pengertian “penggunaan air tanah”. Pada pasal-pasal yang terutama secara khusus mengatur mengenai ketentuan perizinan bagi kegiatan yang pengambilan air tanah (pasal 11 sampai dengan 24) banyak menggunakan istilah “penggunaan air tanah”. Persoalannya adalah pada Bab I Ayat 1 (Ketentuan Umum), sama sekali tidak memuat pengertian atau maksud dari “penggunaan air tanah”. Dalam Bab I Ayat 1 angka 11 hanya disebutkan pengertian dari “pengambilan air tanah”, yakni setiap kegiatan penggunaan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran, penurapan atau dengan cara pemantekan untuk dimanfaatkan airnya dan atau untuk tujuan lain. Ketidakjelasan pengertian penggunaan

P erda Kabupaten Bogor No.17 Tahun 2011 tetang Pengelolaan Air Tanah, mengatur mengenai pengelolaan air tanah. Terkait dengan pengelolaan air tanah tersebut

perda ini secara khusus mengatur pengelolaan air tanah untuk kepentingan industri maupun bukan industri . Dalam konteks ini kemudian Perda juga mengatur ketentuan perizinan bagi badan atau perseorangan yang hendak memakai atau mengusahakan atau mengeksplorasi a ir tanah.

Ig. Sigit Murwito *

Perda Harus Mengacu Peraturan Lebih Tinggi:Analisis Perda Kabupaten Bogor No.17/2011 tentang Pengelolaan Air Tanah

* Deputi Direktur Eksekutif KPPOD

Review Regulasi

Page 7: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

7

Review Regulasi

melakukan upaya penghematan, konservasi dan rehabilitasi air tanah pada daerah imbuhan, zona aman, zona kritis, dan zona rusak. Insentif kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dapat diberikan dalam bentuk pemberian bantuan keuangan, bantuan sarana dan prasarana, dan/atau jasa lingkungan sebagai apresiasi terhadap upaya penghematan, konservasi dan rehabilitasi di wilayahnya. Insentif kepada pemegang izin penggunaan dan/atau pengusahaan air tanah serta masyarakat dalam upaya penghematan, konservasi dan rehabilitasi air tanah, dapat diberikan dalam bentuk: a. bantuan sosial; b. penyediaan infrastruktur; dan/atau c. penghargaan.

Aspek Prinsip

1. Ketentuan besaran debit air yang diperbolehkan dalam rangka pengambilan air tanah tidak sesuai prinsip azas pemanfaatan air tanah. Pasal 23 ayat 1 Perda, menyebutkan bahwa pengambilan air tanah untuk kegiatan industri, pertambangan, dan pariwisata diperbolehkan paling besar mempunyai debit 10 liter/detik untuk setiap titik sumur bor. Besaran debit air yang diperbolehkan dalam rangka pengambilan air tanah untuk kegiatan industri seharusnya berdasarkan: (1). Azas pemanfaatan, (2). Jenis dan karakteristik masing-masing industri, (3). Kondisi hidrogeologi setempat.

Dimana prinsip-prinsip tersebut sesungguhnya juga diatur dalam beberapa pasal perda ini (Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2), yakni harus memperhatikan azas pemanfaatan, prioritas pemanfaatan, dan dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi hidrogeologi setempat.

Harus disadari bahwa kebutuhan air untuk industri dalam proses produksi berbeda-beda. Untuk beberapa jenis industri air hanya sebagai pendukung kegiatan proses produksi dan bukan merupakan bahan baku, namun ada kegiatan industri yang membutuhkan air sebagai bahan baku, seperti industri Air Minum dalam Kemasan (AMDK). Dalam konteks tertentu air minum kemasan sudah menjadi kebutuhan pokok. Oleh karenanya industri air minum kemasan tidak bisa diperlakukan sama dengan industri lainnya. Dengan demikian semestinya yang dijadikan pedoman penentuan ijin penggunaan air untuk industri secara umum adalah data cekungan air tanah dan kajian hidrologi dan hidrogeologi daerah setempat, bukan ditetapkan berdasarakan besaran debit secara sama rata untuk seluruh wilayah. Besaran debit air yang diperbolehkan juga harus mempertimbangkan karakteristik industri.

2. Bertentangan dengan semangat konservasi. Ketentuan apabila sebuah sumur bor maksimal memiliki kapasitas 10 liter/detik, dan bila industri memerlukan lebih dari 10 liter/detik harus melakukan pengeboran sumur baru dengan jarak minimal 200 meter dari sumur yang sudah ada (pasal 23 ayat 1) bertentangan dengan tujuan konservasi. Karena di suatu area akan banyak sekali sumur padahal seharusnya bisa cukup satu sumur saja karena ketersediaan air tanah mencukupi untuk itu.

Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No.8 tahun 2012 tentang Perubahan atas Perda Provinsi Jawa Barat No.5 tahun 2008 tentang Pengelolaan Air Tanah, pengaturan kerapatan titik pengeboran, dilakukan dengan menetapkan jarak antar titik pengeboran berdasarkan kondisi hidrogeologis setempat.

3. Mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan persaingan yang tidak seimbang. Bagi industri AMDK yang memiliki kebutuhan air yang lebih dari 10 liter/detik, yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengeboran pada titik lain dengan jarak minimal 200 meter dari titik bor seperti yang diatur dalam pasal 23 ayat 4. Bila dipaksakan maka akan memerlukan biaya tambahan (investasi) atau ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung oleh industri. Dampak lainnya adalah mengakibatkan persaingan yang tidak sehat bagi industri air minum, karena hanya pelaku usaha besar yang memiliki kemampuan kapital saja yang bisa memenuhi ketentuan, tetapi bagi pelaku usaha kecil menengah sulit berkembang karena biaya pengeboran yang sangat tinggi dan harus ditanggung oleh pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas dan meningkatkan kapasitas produksinya.

4. Larangan mengambil air tanah dalam bentuk air curah (Pasal 24 huruf g) merupakan pelanggaran prinsip pengelolaan sumber daya air. Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menganut faham bahwa hak Guna Air hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai air atau mengusahakan sejumlah kuota air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan pemerinatah kepada pengguna air baik pengguna air yang memerlukan izin maupun pengguna air yang tidak memerlukan izin. Selanjutnya faham hak guna air ini mengandung arti bahwa, sumber air dikuasai oleh negara, dan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Dalam kaitan ini, pelarangan pengambilan air dalam bentuk air curah telah melanggar prinsip tersebut diatas, dengan pertimbangan bahwa: Air curah adalah air yang keluar dari mata air/sumber air sebelum dilakukan pemrosesan dan pengemasan. Air curah biasa digunakan untuk kebutuhan masyarakat dan industri. Bagi masyarakat dan industri yang tidak memiliki sumber air/akses air di lokasi domisili, mereka mendapakan air bersih dalam bentuk curah baik menggunakan tanker maupun pemipaan.

Kesimpulan

Perda Kabupten Bogor No.17 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Air Tanah telah melanggar berbagai aspek (yuridis, substansi, dan prinsip). Untuk itu perlu dilakukan perbaikan di sejumlah pasal seperti yang sudah disebutkan dalam ulasan diatas. Sambil menunggu proses peninjauan ulang dan perubahan yang harus dilakukan, untuk sementara waktu sebaiknya perda ini tidak diberlakukan terlebih dahulu. Untuk mengatasi kekosongan peraturan daerah, maka perlu dibuat peraturan dalam bentuk Peraturan Bupati dengan mempertimbangkan berbagai analisis yang ada terhadap perda yang sedang dipermasalahkan ini.

Page 8: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

8

Dari Daerah

P ropinsi Jawa Tengah memiliki beragam sumber daya termasuk sumber daya manusia yang terampil dengan upah buruh yang kompetitif. Potensi ini menyebabkan banyak investor melirik Jawa Tengah sebagai lokasi

pengembangan usaha. Namun, potensi yang dimiliki Jawa Tengah bisa menjadi tidak maksimal jika koordinasi kewenangan antar pemerintah tidak berjalan dengan baik.

Kota (Kota Surakarta) terkait alih fungsi lahan, dan hal ini tentu saja memperlambat jalannya pembangunan..

Elizabeth Karlinda *

* Peneliti KPPOD

Pertengahan tahun 2011 lalu, Propinsi Jawa Tengah terjadi konflik alih fungsi lahan eks Pabrik es PT. Saripetojo antara Gubernur Jawa Tengah (Bibit Waluyo) dan Walikota Surakarta (Joko Widodo). Konflik tersebut dimulai dengan rencana Pemprov Jateng membangun mall di lahan bekas Pabrik Es Saripetojo tersebut pada awal tahun 2011, namun ditentang oleh Pemerintah Kota Surakarta dan berbagai kalangan masyarakat.

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah sebagai pemilik lahan ngotot untuk tetap mendirikan mall dengan membongkar bangunan pabrik es Saripetojo yang dianggap pemerintah kota Surakarta sebagai bangunan cagar budaya. Penentangan juga karena adanya Perda No. 1 Tahun 2010 tentang Perlindungan Pasar Tradisional, yang mewajibkan Pemerintah kota Surakarta melindungi pasar tradisional.

Bibit Waluyo yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah mengatakan tetap akan melanjutkan, pembangunan mall.

Di tempat yang berbeda Joko Widodo yang saat

itu menjabat Walikota Surakarta menyatakan:

Dimintai tanggapan tentang pernyataan Gubernur yang akan tetap membangun mal di lahan tersebut, Jokowi mengakui itu menjadi kewenangan Gubernur. Mengingat status lahan yang ditempati bangunan bekas Pabrik Es Saripetojo itu merupakan milik Pemerintah Propinsi Jateng. “Kalau itu memang kewenangan Gubernur,” katanya. Disinggung lagi tentang apakah ada upaya yang akan diambilnya untuk menghentikan rencana tersebut, Jokowi menegaskan akan dibahas dalam koordinasi tersebut. (Solopos, 25 Juni 2011).

Dari pernyataan di atas terlihat konflik terjadi karena tidak adanya koordinasi (komunikasi) antara Pemerintah Propinsi (Gubernur) dengan Pemerintah Kota Surakarta (Walikota). Walikota Surakarta yang menyatakan bahwa pembangunan ini adalah kewenangan Gubernur dan akan berkoordinasi dengan Gubernur memperlihatkan dengan jelas belum terjalinnya komunikasi (koordinasi) secara langsung.

Konflik ini semakin memanas karena lamanya proses koordinasi, adu argumentasi dua pimpinan yang notabenenya ada dalam satu kewilayahan malah terjadi

M. Iqbal Damanik *

”Ora iso, kok arep ditolak, lha wong iku lemahku (pemerintah-red). Pembangunan mal, tetep jalan terus, Pemerintah Kota Surakarta itu termasuk bagian Pemprop (Pemerintah Propinsi) Jateng atau berdiri di luar Pemprov Jateng? Jateng itu yang punya Pemkot Surakarta atau Gubernur Jateng?” (Solopos, 25 Juni 2011).

“Saat ini kami kumpulkan dulu surat-surat yang diperlukan dan ada kaitannya dengan Saripetojo. Setelah itu saya akan berkoordinasi dengan Pak Gubernur.”

Page 9: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

9

Dari Daerah

di media massa. Bibit Waluyo bahkan menilai Wali Kota Surakarta bodoh. “Wali Kota Surakarta itu bodoh, kebijakan Gubernur kok ditentang. Sekali lagi saya tanya, Surakarta itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?” (Koran Tempo, 22 Juni 2011).

Adapun Wali Kota Surakarta Joko Widodo tidak mempermasalahkan pernyataan Bibit, yang menyatakan dirinya adalah wali kota bodoh. “Memang dari dulu saya itu bodoh. Saya juga heran kenapa rakyat memilih orang bodoh jadi wali kota dua periode,” katanya enteng. Pembongkaran itu membuat hubungan antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah tidak harmonis. Dia menyatakan siap bertemu langsung dengan Gubernur Bibit Waluyo untuk membicarakan masalah itu. (Koran Tempo 22 juni 2011).

Konflik akhirnya meluas, tidak lagi antara Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jawa Tengah dengan Joko Widodo saja sebagai Walikota Surakarta. Bibit Waluyo yang menyatakan Joko Widodo “bodoh” menyebabkan perlawanan dari masyarakat Surakarta. Konflik yang seharusnya bisa diselesaiakan dengan koordinasi antar pemerintah dalam satu kewilayahan ini menjadi polemik yang panjang.

Penolakan alih fungsi lahan pabrik es PT. Saripetojo ini merupakan salah satu kasus hubungan pemimpin daerah yang tidak terkoordinasi. Untuk menghindari terjadinya konflik serupa, perlu koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi serta Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan kewenangan masing-masing.

KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) tertarik untuk datang ke Propinsi berpenduduk 32,3 juta jiwa Ini, melihat bagaimana Pemerintah Propinsi mensiasati agar konflik vertical yang disebabkan lemahnya koordinasi antar pemerintah tidak kembali terjadi dan bagaimana fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan yang dimiliki pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat berjalan.

KPPOD mengirim surat secara resmi ke Pemerintah Propinsi Jawah Tengah, kemudian didisposisikan ke BAPPEDA Propinsi. Diskusi antara KPPOD dan jajaran pemerintah Propinsi Jawa Tengah berlangsung pada hari Rabu (28/5) di kantor Bappeda Propinsi. Diskusi dipimpin langsung oleh Bapak Herru Setiadhie (Kepala BAPPEDA) dengan melibatkan unsur lain seperti BPMP (Badan Penanaman Modal Propinsi), Biro Otonomi Daerah, Biro Tata Pemerintahan, dan beberapa jajaran BAPPEDA lainya.

*****

Amanat dalam UU 32 Tahun 2004 yang dijabarkan dalam PP No.19 Tahun 2010 juncto PP No.23 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai

Wakil Pemerintah di Wilayah Propinsi, Gubernur memiliki tugas antara lain: melakukan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah antara pemerintah daerah Propinsi dengan instansi vertikal, pemerintah daerah Propinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota, serta antar pemerintah Kabupaten/Kota di wilayahnya; Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Tugas koordinasi, pembinaan dan pengawasan (korbinwas) tersebut dilaksanakan secara langsung oleh Gubernur maupun melalui SKPD yang membidangi.

Namun, Pemerintrah propinsi dalam menjalankan tugas korbinwas tidak berjalan dengan mudah, sering terdapat perbedaan dalam memandang peraturan dan pembangunan, seperti yang sudah pernah terjadi di kasus Saripetojo. Untuk menghindari hal ini terjadi kembali pemerintah propinsi Jawa Tengah memaksimalkan fungsi Bakorwil, mengingat rentang kendali yang jauh. Herru Setiadhie mengatakan “kita memfungsikan Bakorwil mengkoordinir dan membahas program lintas daerah, bahkan kita mengusulkan ke KEMENPAN agar status pejabat Bakorwil menjadi pebajat struktural.” Tidak strukturalnya jabatan Bakorwil ini menyebabkan kinerja yang kurang baik sehingga memperlambat koordinasi.

Pada Kasus Saripetojo, tidak berjalannya bakorwil menjadi salah satu penyebab tidak terinformasikannya rencana pembangunan mall ke pemeirntah Surakarta, sehingga perdebatan meluas di media massa. Saat kasus ini bergulir anggota komisi A DPRD Jawa Tengah menyatakan “Semestinya, perseteruan antara Gubernur dan Walikota Surakarta tak perlu sampai memanas seperti sekarang jika Badan Koordinator Lintas Wilayah (Bakorwil) II yang membawahi eks Karesidenan Surakarta, sejak awal melakukan mediasi penyelesaian masalah Saripetojo” Bakorwil II yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah Propinsi (Pemprov) Jateng dan berkedudukan di Kota Surakarta, seharusnya segera tanggap terhadap masalah yang ada di wilayahnya sehingga tak sampai berlarut-larut. (Solopos, 26 Juni 2011).

Pemprop Jateng melaksanakan musrenbang berjenjang, agar perencanaan pembangunan singkron antara pemerintah Propinsi dengan Kabupaten/Kota, dan konflik vertikal tidak lagi terjadi. Musrenbang berjenjang dilaksanakan mulai dari musrembang desa, musrembang kecamatan, musrembang kabupaten, musrembang bakorwil hingga musrembang Propinsi. Mengingat rentang kendali dan luas wilayah Propinsi Jawa Tengah yang besar, sebelum masuk ke musrembang Propinsi, dilaksanakan musrembang bakorwil di tiga wilayah.

Musrembang di tingkat bakorwil dihadiri oleh perwakilan dari Propinsi dan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Kepala Bakorwil untuk berdiskusi bersama membahas tentang program lintas daerah.

Page 10: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

10

Dari Daerah

Diselenggarakannya musrembang bakorwil ini merupakan salah satu upaya pemprov Jateng untuk mendekatkan diri kepada Kabupaten/Kota sehingga program yang dilaksanakan baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota dapat bersinergi dan dapat mengakomodasi kepentingan Kabupaten/Kota.

Persoalan berikutnya, Pemahaman pemerintah Kabupaten/Kota, bahwa dalam era otonomi pemerintah Kabupaten/Kota tidak hierarki dengan Pemerintah Propinsi, dan seluruh urusan bisa langsung ke Pemerintah Pusat melalui Kementerian terkait. Interpretasi ini menjadi alasan bagi Kabupaten/Kota untuk tidak hadir dalam rapat-rapat koordinasi yang dilaksanakan Propinsi.

Kepala Daerah yang enggan menghadiri rapat-rapat koordinasi menjadi potensi konflik vertikal, karena rancangan pembangunan bisa diintepretasikan berbeda oleh masing-masing pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak sejalan dalam implementasinya. Melihat hal ini kepala Bappeda menambahkan “Syukur kalau wakilnya mau datang, ini nanti yang datang malah hanya sekedar staf.” Lemahnya posisi pemerintah propinsi juga disebabkan hubungan timpal balik langsung antara pemerintah pusat dan daerah tanpa melibatkan pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat.

Terjadinya praktik pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang melakukan koordinasi dan pertanggungjawaban kerja secara langsung kepada Pemerintah Pusat (Kemendagri ataupun Kementerian Sektoral) tanpa melalui Pemerintah Propinsi, ini dikarenakan adanya regulasi dan kebijakan sektoral yang memberikan peluang terjadinya hal tersebut. Praktik ini melemahkan posisi Pemerintah Propinsi dihadapan Kabupaten/Kota.

Praktik ini masih terus berlangsung, banyak program atau usulan program pusat (kementrian) di daerah tanpa melibatkan pemerintah propinsi. Meski begitu, Pemerintah propinsi tetap berupaya menjalin koordinasi dengan menyelenggarakan rakor perbatasan dengan mengundang Kabupaten/Kota yang berbatasan dan SKPD terkait. Selain itu, dukungan anggaran pun diberikan oleh Pemprov kepada Pemkab/Pemkot sebesar Rp 1,6 T (tahun 2013), seperti kutipan dari Herru Setiadhie berikut ini:

Peran Propinsi dalam menjalankan Fungsi Koordinasi Pembinaan dan Pengawasan bukan lah hal yang bisa dinihilkan dalam tata pemerintahan, Jika fungsi korbinwas dijalankan, maka komunikasi vertical maupun horizontal dalam pemerintahan di daerah akan berjalan dengan baik, sehingga pembangunan dapat seiring. Seperti yang terjadi pada konflik sari petojo akhirnya selesai dengan kesepakatan setelah para kepala daerah duduk bersama. yakni merubah rencana pembangunan dalam memanfaatkan lahan tersebut, yang pada mulanya untuk kawasan mall menjadi hotel (13.000 m2) dan sebagian lagi menjadi bangunan cagar budaya (400 m2).

Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah Pemerintah Propinsi dapat menyelaraskan perencanaan pembangunan dari pusat hingga daerah. Tata kelola yang berjenjang seperti ini akan dan mendorong efisiensi birokrasi di bidang ekonomi dan layanan publik yang tentu saja akan mempercepat pembangunan dalam skala nasional.

“Kenapa daerah langsung ke pusat, yang salah kan pusat mau menerima. Logikanya berjenjang, pengaturan pengawasan pengendalian dimandatkan ke Pemerintah Propinsi, tapi setelah merembuk anggaran ‘ditumpok dewe’ (dikerjakan sendiri). Percuma ada UU Perencanaan dan UU Penyusunan anggaran bottom up planning. Paling tidak Pemerintah Propinsi memberikan rekomendasi.”

“kita menamakan prinsip ngemong, pemerintah Kabupaten/Kota dipahamkan, kalau pendekatannya keras-kerasan mereka merasa bisa semuanya. Kabupaten/Kota salah memahami otonomi, kalau tidak punya duit baru buat nota ke Propinsi. tapi kita tetap memberikan stimulasi duit ke pemerintah kota hingga desa, mulai dari specific grand, stimulan kawasan kritis seperti Dieng dan Muria, stimulan Minapolitan, Agropolitan, hingga profil daerah maupun non-spesific grand sejumlah Rp 1,6 T”

Page 11: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

11

Opini

Resentralisasi Parsial dalam Revisi UU Pemda

S alah satu isu krusial dalam muatan perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda adalah penarikan sebagian urusan yang saat ini berada dalam pengelolaan Kabupaten/Kota ke level Propinsi. Menyitir pasal 28 draft RUU

Pemda, urusan kehutanan dan kelautan menjadi bagian kewenangan Propinsi. Bahkan, dalam perkembangan pembahasannya di DPR menguat pula usulan untuk memperluas domain tersebut, yakni kepada sektor strategis (berdimensi ekosistem, eksternalitas, dll) seperti perkebunan dan pertambangan. Agar kabupaten/kota tak resisten maka diberikan ”gula-gula” berupa bagi hasil pajak/nonpajak urusan tersebut

Robert Endi Jaweng *

masyarakat, baik berupa akses lapangan kerja, bantuan/program sosial, maupun pembangunan daerah.

Namun, praktik umumnya serasa masih jauh panggang dari api. Alih-alih tata kelola (good mining-practice), yang terjadi justru salah urus. Hasil rekonsiliasi data-data IUP menunjukan: dari 10.566 ijin yang diterbit pemda, terdapat sekitar 5.940 yang non-clean and clear (3.988 izin operasi dan produksi mineral, serta 1.952 IUP operasi dan produksi batubara). Ironisnya, semua praktik tersebut berjalan tanpa kontrol dan koordinasi Propinsi yang memang minim basis otoritas tadi.

Menggeser Bandul

Gambaran masalah di atas jelas serius dan nyata. Tiap dimensi masalah dari desentralisasi, lebih-lebih jika menyangkut pembagian urusan, tentu tidak saja memengaruhi hubungan Pusat dan Daerah tetapi juga berdampak kepada pelaku usaha (resiko politik dan regulasi usaha yang tak berkepastian). Namun, langkah koreksi tentu tak seperti opsi yang dipilih pemerintah dalam draft revisi: memutar bandul dan memindahkan titik berat otonomi ke Propinsi atau menarik sebagian urusan yang kini berada di tangan Kabupaten/Kota.

Penguatan propinsi jelas niscaya. Hanya saja, sisi pendekatan penguatannya mesti dilokalisir sebatas status propinsi sebagai wilayah administrasi dan kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pusat di Daerah. Masalah-masalah di atas terjadi, antara lain, lantaran otoritas kontrol/koordinasi dan kapasitas Provinsi lemah. Jejaring kebijakan dan garis pemerintahan kelak hanya akan bisa tersambung kembali jika otoritas, fungsi dan kelembagaan pranata yang melaksanakan korbinwas juga kuat: Gubernur dan perangkatnya.

Dalam usulan revisi saat ini, Pusat terkesan bergerak terlalu jauh. Sisi pendekatan yang dipilih justru pada penguatan propinsi sebagai entitas daerah otonom (DO).

Alasan Pokok

Menilik motifnya, penarikan kewenangan tadi tak lepas dari niat Pusat untuk memperkuat posisi propinsi, khususnya otoritas Gubernur. Selama ini, meski konstruksi perwilayahan administrasi kita menempatkan propinsi sebagai intermediary unit antara Pusat dan Daerah, faktanya propinsi nyaris hilang dalam susunan pemerintahan (the missing-link) dan Gubernur mengalami disfungsi.

Tak heran, koordinasi Pusat-Daerah kerap macet, kebijakan menjadi fragmentatif. Hal ini terlihat baik pada realitas simbolik (undangan rapat di Propinsi sering diabaikan Kabupaten/Kota) maupun tataran substantif (perencanaan pembangunan lokal dan regional yang tak selaras, bahkan bertentangan). Dalam konteks itu, revisi UU Pemda diarahkan kepada upaya penguatan dan reposisi propinsi, termasuk melalui cara penarikan sebagian urusan otonomi dari kabupaten/kota (resentralisasi parsial).

Alasan lainnya tentu terkait buruknya praktik desentralisasi itu sendiri. Harus diakui, tata kelola sumber daya alam selama 14 tahun ini sarat masalah. Regulasi perijinan dan pungutan tak menjamin kepastian berusaha, bahkan acap menimbulkan resiko bisnis serius. Praktik perburuan rente/korupsi dan destruksi ekologis menjadi fenomena luas, sementara kontribusi kekayaan alam tersebut bagi penerimaan

Lihat kasus desentralisasi pertambangan, misalnya. Berdasar regulasi otonomi (UU No.32/2004) maupun regulasi sektoral (UU No.4/2009), baik Izin Usaha (IUP) maupun penetapan wilayah usaha (WUP) berada dalam domain daerah. Desain tersebut memang membuat pemda lebih berkuasa atas investor dan lebih berkewenangan dalam mengelola sumber daya lokal. Manfaat diharapkan bisa lebih jelas/langsung dirasakan

* Direktur Eksekutif KPPODBersambung ke Halaman 15

Page 12: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

12

Platform Desentralisasi Partai Politik Peserta Pemilu 2014

Laporan Diskusi Media

D alam meraih simpati masyarakat, partai politik saat ini lebih banyak menggunakan cara-cara yang kurang substantif seperti menggunakan artis maupun figur terkenal guna mengumpulkan suara terbanyak,

sedangkan materi program yang disampaikan tidak lagi menjadi fokus utama. Isu bagaimana membangun kemandirian daerah, Isu mengenai tata kelola ekonomi daerah dan pengembangan ekonomi lokal, dianggap kurang seksi dijadikan materi untuk adu gagasan dengan parpol peserta pemilu lain..

Sri Mulyati *

* Peneliti KPPOD

Mengambil momentum masa kampanye pelaksanakan pemilu legislatif (Pileg) 2014 yang dilaksanakan pada 9 April 2014, KPPOD bekerjasama dengan Chemonic menyelenggarakan diskusi media dengan tema “Platform Politik Desentralisasi Parpol Peserta Pemilu 2014”. Diskusi media ini ditujukan untuk mengingatkan kembali pentingnya penjabaran isu desentralisasi dalam suatu program kebijakan dan platform dari partai politik. Partai politik yang nantinya akan menempatkan kader-kadernya di parlemen harus memiliki kapasitas yang baik dan fokus kebijakan tertentu yang nantinya menjadi arah pnyelenggaraan pemerintahan ke depannya. Pelaksanaan diskusi media dimoderatori oleh Deputi Direktur Eksekutif KPPOD, Ig. Sigit Murwito, sedangkan penyampaian materi diskusi disampaikan oleh Robert Endi Jaweng selaku Direktur Eksekutif KPPOD, dan Muhammad Iqbal Damanik sebagai peneliti KPPOD. Sebagai pengantar diskusi, KPPOD menyampaikan pandangan terkait praktik penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia selama

ini dan pentingnya isu desentralisasi untuk diadopsi sebagai platform parpol. Penyelenggaraan otonomi daerah selama ini masih menyisakan problem kebijakan dan problem implementasi yang masih belum terselesaikan. Banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi (318 Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah), masih tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat (80% daerah memiliki rasio PAD atas APBD kurang dari 10%), isu pemekaran daerah dan tata kelola pemerintahan yang tidak terarah merupakan sebagian penting isu desentralisasi yang menyebabkan

Berbagai permasalahan tersebut coba diakomodir oleh pemerintah pusat melalui revisi UU Pemerintah Daerah yang saat ini sedang dibahas di DPR. Arah perubahan tersebut menjadikan UU Pemda sebagai UU pokok pemerintahan daerah sedangkan isu pemilu dan desa diatur dalam UU sendiri yaitu UU Pemilu dan UU Desa. Banyaknya isu-isu krusial seputar perubahan kebijakan dan penyelenggaraan

Bersambung ke Halaman 16

Page 13: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

13

Seputar Otonomi

Seputar Otonomi Daerah

Winantyo *

* IT & Dokumentasi KPPOD

1. Isu Otda Kurang Dilirik Parpol

Kompetisi partai politik dalam pemilu tahun ini masih terjebak pada pola lama, yakni jualan popularitas tokoh dan kurang mengangkat isu pembangunan seperti otonomi daerah (otda). Hanya ada 4 (empat) partai politik yang fokus mengangkat isu kebijakan otda dalam platform partai yakni Nasdem, PKS, Gerindra dan Golkar. Beberapa partai lain punya platform yang sama namun belum optimal. PDIP yang sebenarnya memiliki susunan kepengurusan bidang pemerintahan dan otda tetapi tidak ditemukan program secara eksplisit. PKB justru sama sekali tidak memiliki platform pembangunan daerah.

Beberapa indikator kegagalan otda selama ini antara lain sebanyak 318 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Penggunaan anggaran di 276 Kabupaten/Kota menghabiskan 50%-75% dari APBD untuk belanja pegawai. Selain

pusat sangat tinggi karena rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan APBD kurang dari 10%. Kondisi

dipengaruhi oleh pemerintah pusat.

Keberhasilan otda sebenarnya membutuhkan kepemimpinan yang punya arah. Hal ini sebenarnya menjadi point penting dalam kampanye mendatang. Pertimbangan lain, sekitar 60% APBN (Rp1.800 triliun) akan dikelola pemda untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik maupun optimalisasi kesejahteraan rakyat.

2. Babak Baru UU Desa

UU No.6/2014 tentang Desa memasuki babak baru setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Tahun 2014 pada Tanggal 30 Mei 2014 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa. Selanjutnya RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang RPP tentang Dana Desa. PP dan RPP ini harus dibahas secara matang karena terkait langsung dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

RPP ini membahas pelaksanaan seperti: aspek pengawasan, perencanaan, hingga sumber dana yang akan digunakan untuk dana desa. Masalah lain yang perlu dicermati antara lain, kapasitas administrasi dan tata kelola aparat pemerintah desa yang masih minim. Kemudian sistem akuntabilitas dan pranata pengawasan yang masih lemah, termasuk belum kritisnya masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa.

Pembentukan atau pemekaran desa yang kemungkinan besar juga akan bertambah banyak dengan dikucurkannya dana desa maka, salah satu syarat pemekaran desa ini harus benar-benar diperketat, agar jumlah desa dan anggaran tidak membengkak. Karena saat ini jumlah desa di Indonesia sebanyak 72.944.

3. Perubahan Otda & Desentralisasi Fiskal

Revisi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Kedua UU itu adalah tiang penyangga utama rezim otonomi daerah yang mengubah rezim sentralistik bentukan UU No.5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No.32/2004 adalah hasil revisi UU No.22/1999, sementara UU No.33/2004 adalah revisi dari UU No.25/1999.

Beberapa arah revisi ini adalah untuk mengerem laju pemekaran daerah yang melesat tak terkendali. Seperti pada akhir tahun 2013, DPR

Bersambung ke Halaman 17

Page 14: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

14

Agenda KPPOD

Kegiatan KPPOD Terkini

M elalui pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan

mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. KPPOD bekerjasama dengan beberapa lembaga donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut:

Winantyo *

* IT & Dokumentasi KPPOD

1. Diskusi Media Membahas Platform Desentralisasi Partai Politik

Menanggapi isu yang berkembang pada pemilihan legislatif 2014, KPPOD menyelenggarakan diskusi media dengan tema “Platform Politik Desentralisasi Parpol Peserta Pemilu 2014”. Diskusi ini menyampaikan pandangan KPPOD terkait isu otonomi yang muncul pada masa kampanye dan bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya penjabaran isu desentralisasi dalam suatu program kebijakan dan platform parpol. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 4 April 2014 lalu di Hotel Grand Cemara Jakarta Pusat.

Studi yang dilakukan oleh peneliti KPPOD, Iqbal Damanik mengungkapkan bahwa, permasalahan penyelenggaraan pemerintahan khususnya otonomi

seakan terlupakan oleh partai politik. Melalui hasil analisis pemberitaan kampanye parpol di media masa, terindikasi hanya Hanura dan Golkar yang mengemukakan isu terkait desentralisasi. Kedua partai ini mengangkat isu pembangunan desa, infrastruktur dan investasi daerah. Temuan lain menunjukkan adanya kesenjangan antara platform partai dengan materi kampanye yang disampaikan kepada masyarakat, contohnya topik desentralisasi yang tertulis dalam platform tidak tersampaikan pada saat kampanye.

2.

RTI (Research Triangle Institute) Menunjuk KPPOD untuk melaksanakan program Knowledge Sektor

Lokakarya Menulis - KSI (Yogyakarta, 5 Mei 2014)

Page 15: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

15

Tak heran, material otonomi yang kemudian diperkuat, termasuk menarik ke atas (Propinsi) sebagian urusan Kabupaten/Kota. Ini jelas sentralisasi baru pada level mikro; menabrak konsensus otonomi yang berbasis keberdayaan lokal dan menganut prinsip subsidiaritas dalam pola pembagian urusan pemerintahan dan tata kelola sektor publik.

Berlindung dibalik alasan yang seolah “logis”, Pusat memilih jalan resentralisasi-parsial itu pada sektor-sektor berbasis lahan luas dan bereksternalitas tinggi: kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertambangan. Dari sisi skala keekonomian, mungkin saja operasionalisasi usaha pada ruang spasial yang lebih

dan ouput. Jangkauan dampaknya, terutama berupa eksternalitas negatif usaha, akan lebih terkelola jika unit pengelola (propinsi) memiliki ruang gerak (domain kewenangan) lintas wilayah.

Namun, tata kelola pasti rumit dan problematik. Untuk mengurus ijin, pelaku usaha harus ke ibukota Propinsi, padahal banyak luasan lahan tambang, hutan atau perkebunan itu hanya sebatas wilayah desa/kecamatan. Rentang kendali menjadi terlalu panjang: jika terjadi

deforestasi, misalnya, pemda Kabupaten/Kota bisa saja hanya menonton meski itu terjadi di depan mata lantaran otoritas dan perangkat pengendalian bencana ada di propinsi. Akses partisipasi, aspirasi lokal, dan kontrol publik juga sulit efektif lantaran berjaraknya ruang hidup masyarakat dengan pusat-pusat kekuasaan di ibukota propinsi.

Ke depan, haluan kebijakan desentralisasi kita jangan selalu bergeser secara ekstrim: dari satu bandul ke bandul lainnya. Pada fase pelembagaan desentralisasi saat ini, yang lebih dibutuhkan adalah penataan sistematis, bukan gonta-ganti kebijakan tak tentu arah. Kata kuncinya: memperkuat otoritas kontrol propinsi dan kapasitas berotonomi pemda kabupaten/kota. Bukan berarti propinsi tak berwenang atas sejumlah urusan otonomi, tetapi skalanya itu hanya berkenan urusan yang memang lintas wilayah. Dosis otonomi propinis mesti tetaplah terbatas.

Penyakit selama ini --inkonsistensi pusat, inkompetensi daerah-- meskipun disembuhkan dengan diagnosa dan opsi kebijakan yang relevan. Bukan blunder, sekedar uji coba (trial and error), yang tak ada faedahnyaa bagi nasib rakyat.

Resentralisasi Parsial...... (Sambungan dari halaman 11)

Initiative (KSI). Kegiatan ini dimulai sejak April 2014 hingga Maret 2015 dan bertujuan untuk menguatkan kapasitas kelembagaan KPPOD sebagai salah satu lembaga knowledge sector di Indonesia yang memiliki pengaruh kuat dalam advokasi kebijakan, mengawasi pelaksanaan desentralisasi ekonomi, khususnya tata kelola ekonomi daerah. Penguatan kelembagaan ini dilakukan melalui beberapa kegiatan: Pertama, membangun Rencana Strategis (Renstra) jangka menengah dan panjang serta sistem Monitoring dan Evaluasi (Monev/M&E). Kedua, melakukan pemetaan kebutuhan research dan menyusun suatu rencana research ke depan yang

Ketiga, membangun sistem keuangan yang dapat dijadikan basis perencanaan keuangan lembaga yang mandiri, accountable dan credible. Keempat, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seperti mengikuti pelatihan metodologi RIA, pelatihan legal drafting

dan review regulasi dalam perspektif hukum, dan pelatihan sistem keuangan daerah & manajemen keuangan daerah. Kelima, meningkatkan kemampuan dalam mengkomunikasikan hasil penelitian/menyebarluaskan pemikiran dalam berbagai hasil analisa, penelitian, dan sebagainya kepada publik dan stakeholder. Keenam, meningkatkan kemampuan dalam mengkomunikasikan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini mengikuti pelatihan berbahasa Inggris, menulis dan berbicara/presentasi dalam bahasa Inggris agar pesan dapat tersampaikan dengan baik, sehingga tujuan dapat tercapai. Ketujuh, meningkatkan kemampuan dan kualitas website dan sistem database lembaga agar lebih baik dan efektif dalam mengkomunikasikan hasil-hasil pemikiran organisasi kepada stakeholder. Dalam hal ini mengikuti pelatihan pengembangan website.

Page 16: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

16

Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll).

Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada

menu layanan submenu pemesanan perda.

Terima kasih(Bagian Dokumentasi)

praktik desentralisasi seharusnya menjadi perhatian utama dari partai politik peserta pemilu yang akan menempatkan perwakilannya di lembaga parlemen. Dari studi KPPOD terkait platform parpol peserta pemilu 2014, Peneliti KPPOD, Iqbal Damanik mengungkapkan bahwa berbagai permasalahan penyelenggaraan pemerintahan baik dalam hal kebijakan maupun dalam tataran implementasi seakan terlupakan oleh parpol politik. Melalui hasil analisis masing-masing platform parpol peserta pemilu 2014, dan pemberitaan di media, terindikasi bahwa hanya Hanura dan Golkar yang secara tegas mengemukakan isu terkait desentralisasi. Isu yang diangkat sedikitnya mengenai pembangunan desa, pembangunan infrastruktur dan investasi daerah. Hal tersebut menunjukkan masih sedikit parpol yang mencantumkan isu desentralisasi pada platform partainya. Temuan lain menunjukkan ada beberapa partai yang sudah mencantumkan isu desentralisasi dalam platform partainya, namun gagasan tersebut hanya tersimpan dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) partai dan tidak tersampaikan kepada masyarakat luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada gap antara platform partai dengan materi kampanye yang disampaikan kepada masyarakat. Parpol lebih memilih menjual

massa lebih banyak dibandingkan menjabarkan program-program kebijakan yang menjadi andalannya.

partai politik tidak melakukan pencerdasan politik kepada masyarakat. Sebagai calon anggota legislatif yang bertujuan merepresentasikan kehendak rakyat, seharusnya parpol dapat menawarkan pilihan ide/gagasan mana yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat dapat mendukung ide yang ditawarkan oleh calon legislatif terkait. Dengan begitu, parpol ikut mencerdaskan masyarakat untuk memilih wakilnya berdasarkan program kebijakan yang akan dijalankan. Dalam hal ini, parpol memegang peran penting dalam mempengaruhi kebijakan otonomi ke depan, dengan tidak adanya gagasan program yang ditawarkan oleh parpol, publik akan sulit menagih janji di belakang hari karena parpol beranggapan tidak ada “utang” program yang disampaikan saat kampanye. Termasuk didalamnya ketiadaan program terkait isu desentralisasi dikhawatirkan akan menyebabkan arah kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah ke depan menjadi semakin tidak terarah dan tanpa panduan yang jelas. Oleh karena itu, baik ke depannya jika parpol peserta pemilu menjabarkan platform isu desentralisasi tidak hanya dalam AD/ART partai namun menjabarkan secara aplikatif dalam bentuk materi kampanye yang wajib disampaikan oleh calon anggota legislatif kepada masyarakat pemilih. Hal tersebut diupayakan sebagai pendidikan politik dari parpol kepada calon anggota legislatif pendidikan politik kepada kader-kadernya yang menjadi calon legislatif dan menjadi penyelenggara pemerintahan.

Platform Desentralisasi...... (Sambungan dari halaman 12)

Page 17: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

17

Seputar Otonomi...... (Sambungan dari halaman 13)

telah mengesahkan 87 RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru (65 daerah di bulan Oktober dan 22 daerah di bulan Desember 2013). Untuk itu perlu ditinjau pelaksanaannya dalam Pasal 5 UU No.32/2004 yang menyebut pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis dan

potensi, sosial budaya politik, kependudukan, luas wilayah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun tata cara pembentukan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.78/2007.

Selain itu, revisi juga akan diterapkan dalam hal aturan dana transfer daerah, misalnya terhadap pembatasan besaran dana pemerintah daerah yang boleh didepositokan. Hal ini guna mendorong pertumbuhan daerah dan mengentaskan kemiskinan. Dan yang tidak kalah penting dari revisi paket UU otonomi daerah ini, bahwa pemerintah provinsi juga diberi kewenangan untuk menarik pengelolaan 4 (empat) sektor usaha bidang ekonomi, dimana sebelumnya dilakukan oleh kabupaten/kota, yaitu sektor pertambangan, sektor perkebunan, sektor kehutanan, dan sektor perikanan.

WILAYAH ISU KPPOD

1. Reformasi Regulasi Usaha:

2.

3.

4. Isu-isu Strategis Otda lainnya:

Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan (pajak/retribusi) di daerah.

Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.

Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikan kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.

Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.

PEMBANGUNAN EKONOMI

TATA KELOLAEKONOMI DAERAH

TATA KELOLAKEUANGAN DAERAH

Page 18: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

18

SEKILAS KPPOD

S ebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada

tanggal 7 Desember 2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).

Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui

Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini.

Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya, KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebijakan yang bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka pada setiap kebijakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah.

Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah.

ISI & MISI KPPOD

V I S I

KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.

M I S I

Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi Nasional.

Page 19: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah

19

KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori, Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya.

Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut:Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi

Daerah (Rubrik dari Daerah).Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar.Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi.Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian).Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi.Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi.Tulisan dikirim ke redaksi KPPOD Brief, email: [email protected] dan cc ke: [email protected]

Menerima Sumbangan Tulisan

KPPPPOP D D memenenerir mam ssumumbabangngan tullisissanan dalamam bbenenntutuk k kaateteggori, OOpOpinni,i, ArArtikekek l, Esasai i mamaupuppuun FFeeature. TuTullilisasann yang ddikikkiririmm mmereruupakkanan hhasasiill karyya a sees ndn iri dan dapat diipepertrtanangggungjawwababbkkan n oolleheh ppenulullisis, daan nn tidak k mererendndndahahkakann ipipihhahakk k ttertentutu.. TuT liisasan nn yanng ddimimmuuat akakkanan mmeenendadadapat imbalan n secuc kukupnp yay .

SySyara at dan ketentuan ttullisisanann aaddalaahh sebagagaii beeriririkukut:t:TuTulilisasann sesesusuaiai dddeenengagan tetemama-tema a KKPPOODD,D, ssepepererttiti DDesesesentralisasi

DaDaeerahah ((RuRubrik dari DaDaereraah).)MeMengnggugunanakakan bbahasasa yyananangg mumudadah h didippapahahaammmi, baik dan benararr.UnUntuutukk k kakakatetetegogoriri FFeaeatuturere ((dadarir DDaaeaerrah)h)), ppanjang tulisan mamaakksksimmaalal 10000 karakter tannpapa sspapasisi.UnUntutuk kakatetegogoriri EEEssasaii, OOpipip ninini, AArtikel, panjang tulisissaanan mmakakksisimammmall 5500-60600000 kkkarar kakakteter tanpnppaaa spspasi (disertai dengan fotottooo kkejajaddidianann).)).).MMeMenynyerertatakkan identitas penulis secara ssininingkgkatt dddanan jjjjelelelelaas disertaidengan foto, dan menyertakan nnomommoor tellepepponon yyyyaanang dapat dihubungi.Isi tulisan menjadi tangngggugugungng jjawabab pppenenulululisiisis.TuTulilisasaannn yayayanngng dddikikiirim akakann dididiededitit ssseepepepeeerlunya tanpa merubah substansi.TuTulilisasan n didikikiririmmm kekekee rrredededaksi KPPOD Brief, email: kppod@kpppododod o.oorrg ddadaan nn cccccc kkkee:e: [email protected]

MMMMeeennerimmaa Summbbaaannnggaaaann Tuulliisssaaaannnn

Page 20: Reposisi Peran Gubernur dalam Hubungan Pusat dengan Daerah