hiv

71
HIV/ AIDS LATAR BELAKANG Infeksi HIV pada bayi dan anak adalah masalah klinis dan epidemiologi yang mulai meningkat di Indonesia. Penting bagi kita memahami epidemi HIV untuk merencanakan, melaksanakan, dan memonitor program yang berupaya mengurangi dampak HIV/AIDS. Hal ini berlaku untuk epidemi HIV pada pediatri yang saat ini upaya pencegahan, perawatan, dan pengobatan masih tertinggal dibandingkan dengan yang telah diterapkan pada orang dewasa. Infeksi virus penyebab defisiensi imun pada anak pertama kali ditemukan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui penyebabnya yang pada tahun 1985 virus tersebut dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus Tipe-1 (HIV-1). Infeksi virus ini dapat timbul tanpa gejala bahkan sampai gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian. 5 HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk kedalam tubuh manusia. KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI SULIANTI SAROSO PERIODE 7 JULI – 13 SEPTEMBER 2014 Page 1

Upload: ayi-leen

Post on 26-Sep-2015

19 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

HIV

TRANSCRIPT

HIV/ AIDSLATAR BELAKANG

Infeksi HIV pada bayi dan anak adalah masalah klinis dan epidemiologi yang mulai meningkat di Indonesia. Penting bagi kita memahami epidemi HIV untuk merencanakan, melaksanakan, dan memonitor program yang berupaya mengurangi dampak HIV/AIDS. Hal ini berlaku untuk epidemi HIV pada pediatri yang saat ini upaya pencegahan, perawatan, dan pengobatan masih tertinggal dibandingkan dengan yang telah diterapkan pada orang dewasa.Infeksi virus penyebab defisiensi imun pada anak pertama kali ditemukan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui penyebabnya yang pada tahun 1985 virus tersebut dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus Tipe-1 (HIV-1). Infeksi virus ini dapat timbul tanpa gejala bahkan sampai gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian.5HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk kedalam tubuh manusia.Virus HIV diklasifikasikan kedalam golongan retroviridae. Virus ini secara material genetic adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 group, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.Bentuk klinis paling berat dikenal dengan nama Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Sebelum virus penyebab AIDS ini ditemukan, batasan yang berlaku adalah suatu sindrom penurunan sistem imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital.5Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Infeksi HIV pada anak dapat terjadi akibat infeksi perinatal (vertikal) sekitar 50%-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi postnatal yaitu melalui air susu ibu (ASI).5 Sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti transfuse darah atau komponen darah relative lebih jarang ditemukan. Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan menghidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis berulang.

EPIDEMIOLOGIDi Amerika Serikat, jumlah kasus baru AIDS pediatrik menurun, terutama karena inisiatif kesehatan publik mengenai tes HIV secara universal bagi ibu hamil dan penggunaan AZT dan terapi antiretroviral lain pada wanita hamil yang terinfeksi dan bayi baru lahir mereka. Padatahun 2007, 19 anak-anak Amerika berusia di bawah 15 tahun meninggal karena penyakit HIV.Jumlah ini kontras dengan apa yang terjadi secara internasional. Internasional statistic WHO memperkirakan bahwa lebih dari 33 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan 90% dari mereka berada di negara berkembang. HIV telah menginfeksi 4,4 juta anak-anak dan telah mengakibatkan kematian 3,2 juta. Setiap hari, 1800 anak-sebagian besar bayi baru lahir-terinfeksi HIV. Sekitar 7% dari populasi di sub-Sahara Afrika terinfeksi HIV, orang-orang ini mewakili 64% dari yang terinfeksi HIV populasi dunia.Pola penularan HIV/AIDS juga ditemukan pada ibu rumah tangga, yaitu seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil diketahui terinfeksi HIV karena tertular dari pasangannya. Bayi yang dilahirkan juga positif terinfeksi HIV. Inilah awal kasus penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi. Pada tahun 1997, jumlah kumulatif HIV karena transmisi perinatal sebanyak 3 kasus dan AIDS sebanyak 1 kasus. Di kelompok ibu hamil, di Propinsi Riau dan Papua, angka kejadian infeksi HIV sebesar 0,35% dan 0,25% sedangkan di DKI Jakarta sebesar 2,86%

ETIOLOGIVirus penyebab defisiensi imun yang dengan namaHuman Immunodeficiency Virus(HIV) adalah suatu virus RNA dari familiRetrovirusdan subfamiliLentiviridae.Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebutlymphadenopathy associated virus type-2(LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagaihuman T cell-lymphotropic virus type III(HTLV-III),lymphadenipathy-associated virus(LAV) danAIDS-associated virus.Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin).Sedangkangp 41atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium.Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.

KARAKTERISASI VIRUS HIV Gambar 1. Struktur anatomi HIVPartikel HIV terdiri atasinner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genom HIV mengandung genenvyang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi. Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaituvpr, vif, rev, tat, nefdanvpuyang mengatur proses reproduksi virus. Protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein structural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nucleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan virus HIV dengan sel hospespada proses infeksi.HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.

Tabel 1. Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1

SIKLUS HIDUPSiklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion) untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu, (karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.2Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun tanpa adanya protein baru atau virion.2Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh: LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk memperkuat transkripsi.LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1, IL-3, IL-6, TNF, limfotoksin, IFN- dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya.2Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.2Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang fungsional.2mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat.2Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel.2Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus dan diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel.2Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang diperlukan untuk integrase siklus berikutnya.2Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses budding dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.2

PATOGENESISUntuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimula dengan penempelan virus pada limfosit-T. setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-aseH, RNA yang asli dihancurkan sedangkan seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung kepada aktivitas dan deferensiasi sel pejmu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan yang sangat tinggi.Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin dapat memacu replikasi virus, karena sebagian sitokin malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor dan , interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor , dan interferon dan .Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah ko-faktor yang terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus Hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja local di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. Pada penelitian dengan hibridasi in situ dan polymerase chain reaction (PCR), organ limfoid (kelenjar limfe, adenoid, dan tonsil), tampaknya memang merupakan tempat hidup dan berkembang HIV yang terpenting, baik pada periode akut maupun periode laten yang panjang.Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan peran organ limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Disini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multiple) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.

Sementara itu, sel Limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan limfoid juga memberikan respons imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya limfadenopati yang nyata akibat hyperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel Limfosit T-CD4. Akumulasi sel Limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi Limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel Limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4.Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai stimulasi.Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel Limfosit T-CD4 tidak saja berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah) sel Limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut. Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing) Pembentukan sinsitium Respons imun spesifik Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi Sel killer alami Apoptosis (kematian yang terprogram) Mekanisme autoimun Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang diakibatkan oleh interaksi molekul gp120-CD4 Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super antigen

1. Pengaruh sitopatik langsungKematian sel inang dapat disebabkan oleh karena terjadinya akumulasi DNA virus yang tidak mengalami integrasi, atau oleh karena sintesis protein inang mengalami hambatan. Virus HIV, dengan cara yang sama, tidak saja dapat melisiskan sel Limfosit T-CD4 yang matang, tetapi juga sel-sel yang merupakan T-CD4 cadangan. Virus HIV juga dapat menginduksi sel CD4 tertentu hingga menghasilkan bahan yang bersifat toksik untuk sel Limfosit T-CD4.2. Pembentukan sinsitiumAdanya molekul gp120 virus pada permukaan sel T-CD4 dapat menyebabkan sel tersebut dapat menyatu dengan sel T-CD4 yang sehat dengan membentuk sinsitium sehingga terbentuk sel datia dan kemudian menyebabkan kematian sel. Keadaan ini jarang dijumpai in vivo. Keadaan ini mungkin terjadi akibat pengaruh molekul LFA-1 (lymphocyte-function-associated antigen-1), yang mempengaruhi adesi leukosit, yang dihasilkan oleh Limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV.3. Respons imun spesifikPenurunan populasi sel T-CD4 dapat pula terjadi akibat respons imun yang spesifik terhadap bagian tertentu dari selubung virus. Molekul gp120 dari selubung virus yang bebas misalnya, dapat terikat pada sel T-CD4, dan menimbulkan zat imun yang dapat menyebabkan sitotoksisitas atau kematian sel T-CD4 setelah berikatan dengan sel pembunuh alami (natural killer cells). Pada fase awal, proses ini tampaknya dapat membantu mengatasi bahkan mengeliminasi infeksi HIV (protektif), akan tetapi pada fase yang lanjut eliminasi sel yang terinfeksi HIV ini (sel T-CD4, sel dendritik folikular dan sel makrofag) malah dapat menyebabkan gangguan sistem imun yang makin berat.4. ApoptosisYang dimaksud apoptosis adalah terjadinya kematian sel T-CD4, sebagai reaksi terhadap adanya aktivitas sel T-CD4 oleh suatu antigen atau superantigen.5. Mekanisme autoimunMolekul klas-II dari MHC (major-histocompatibility-complex) dari sel penyaji antigen ternyata memiliki struktur yang homolog dengan protein selubung HIV (gp120 dan gp41) hingga zat imun terhadap protein selubung HIV ini dapat berikatan dengan molekul klas-II dari MHC hingga menghalangi fungsi dari sel penyaji antigen maupun sel T-CD4.

6. AnergiMolekul CD4 dari sel T-CD4, apabila telah berikatan dengan molekul protein gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120 anti gp120, akan menyebabkan sel T-CD4 tidak dapat diaktifkan atau tidak dapat melaksanakan fungsinya lagi (menjadi refrakter) melalui molekul CD3 dengan anti CD3. Keadaan refrakter atau anergi ini juga dapat terjadi pada sel mononuclear yang terdapat dalam darah perifer yang terinfeksi HIV. Keadaan ini diduga terjadi sebagai akibat adanya signal negatif yang diberikan pada sel T-CD4 setelah molekul CD-4 nya terikat. 7. SuperantigenSuperantigen yang berasal dari kuman atau virus (baik dari golongan retrovirus atau bukan) yang hanya berikatan dengan rantai beta dari reseptor antigen sel Limfosit-T. ikatan ini akan mengakibatkan stimulasi yang berlebihan (massif) yang diikuti oleh anergi dari sel-sel yang memiliki rantai beta, termasuk sel Limfosit T-CD4. Oleh karena itu, bila terdapat superantigen, infeksi HIV dapat terjadi lebih mudah. Aktivasi pertama sel T-CD4 terjadi sebagai akibat terjadinya ikatan molekul CD4 dengan gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120-anti gp120. Aktivasi kedua yang akhirnya menyebabkan kematian sel T-CD4 adalah sebagai akibat reseptor antigen sel T-CD4 berikatan dengan klas-II MHC dari sel penyaji antigen yang telah mengikat antigen atau superantigen.

PERJALANAN PENYAKITI. Perjalanan PenyakitPerkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV.2 Tahap-tahap dan patogenesis infeksi HIVPenyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.2Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.2Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.2Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.2Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.2Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).2

CARA PENULARANCara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfusi produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sedikit.Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap, seperti air ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.

Ibu Hamil dengan HIV (+)Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertical. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterine) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau secret genitalia yang mengandung HIV selama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus.Faktor predictor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit T-CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV, atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti, tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan. TransfusiPenularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini menjadi jauh berkurang. Jarum suntik yang tercemar HIVPenularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak Negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai. Hubungan seksual dengan pengidap HIVPenularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Pendeita AIDS yang berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.Risiko penularan HIV dari cairan tubuh. Risiko tinggi Risiko masih sulit ditentukan Risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah

Darah, serum SemenSputumSekresi vaginaCairan amnionCairan serebrospinalCairan pleuraCairan peritonealCairan perikardialCairan synovialMukosa seriksMuntahFesesSalivaKeringatAir mataUrin

Sumber : Djauzi S, 2002

FAKTOR RESIKODari cara penularan tersebut di atas maka faktor resiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.2

MASA INKUBASIMasa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunisik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan.2

MANIFESTASI KLINISStadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang terinfeksi HIVDigunakan untuk anak berumur 18 bulan, tes virology DNA atu RNA untuk umur < 18 bulan)Stadium klinis 1

AsimtomatikLimfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskanErupsi pruritik popularDermatitis SeboroikInfeksi virus wart (HPV) luasAngular cheilitisMoluskum kontagiosum luas (>5% area tubuh)Ulserasi oral berulangPembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskanLineal Ginggival Erythema (LGE)Herpes zoster Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis 2 atau lebih episode dalam periode 6 bulan)Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standarDiare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) Kandidosis oral persisten (di luar masa 6- 8 minggu pertama kehidupan)Oral hairy leukoplakiaStomatitis/ ginggivitis ulseratif nekrotikans akut TB ParuPneumonia bakterial yang berat dan berulang (2 atau lebih episode dalam 6 bulan)Pneumonistis interstitial limfoid (LIP) simtomatikAnemia yang tidak dapat dijelaskan ( 18 bulan.

PEMERIKSAAN FISIK1Pemeriksaan fisik dilakukan head-to-toe untuk memastikan tanda dan gejala spesifik (gangguan tumbuh kembang, deficit motoris, LIP, keganasan sekunder, kelainan kulit, dll.) maupun non spesifik (demam, kehilangan berat badan, hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, parotitis, diare, dll.) infeksi HIV, mencari tahu apakah ada infeksi oportunistik (PCP, sepsis, meningitis, herpes zoster multidermatomal yang luas, dll.), juga menilai perjalanan penyakit. Pemeriksaan fisik dilakukan seteliti mungkin agar kelainan yang ada dapat diatasi dengan cepat dan tepat agar tidak memperburuk kondisi pasien yang dapat berakibat fatal.PEMERIKSAAN LABORATORIUM5Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil sangat sulit, karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih ada pada darah anak sampai umur 18 bulan. Tantangan diagnostik bertambah meningkat bila anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai 18 bulan pada beberapa anak, sebagian besar anak akan kehilangan antibodi HIV pada umur 9-18 bulan. Tes HIV harus secara sukarela dan bebas dari paksaan, dan persetujuan harus diperoleh sebelum melakukan tes HIV. Semua tes diagnostik HIV harus : RAHASIA, diikuti dengan KONSELING, dilakukan hanya dengan INFORMED CONSENT di mana mencakup telah diinformasikan dan SUKARELA.Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak yang lebih tua, biasanya tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk tes/pengobatan, akan tetapi untuk remaja lebih baik jika mendapat dukungan orang tua dan mungkin persetujuan akan diperlukan secara hukum. Menerima atau menolak tes HIV tidak boleh mengakibatkan konsekuensi yang merugikan terhadap kualitas perawatan yang diberikan. Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)Tes cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, tes cepat antibodi HIV merupakan cara yang sensitif, dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak mendapat ASI. Diagnosis HIV dilaksanakan dengan merujuk pada pedoman nasional yang berlaku di Indonesia yaitu dengan strategi III tes HIV yang menggunakan 3 jenis tes yang berbeda dengan urutan tertentu sesuai yang direkomendasikan dalam pedoman atau dengan pemeriksaan virus (metode PCR). Tes cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak dengan malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalensi tinggi HIV. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua tes antibodi HIV yang positif harus dipastikan dengan tes virologis sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia, ulangi tes antibodi pada umur 18 bulan. Tes virologis Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Sampel darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang dapat melakukan tes ini (dirujuk ke RS daerah yang menjadi rujukan untuk program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV).Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir, karena ZDV mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. Satu tes virologis yang positif pada 4-8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.

DIAGNOSIS Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.2Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.2Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.2Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.2 Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASIBila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.2

Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.2 Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.2 Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral (ARV) untuk program pencegahan (PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission)Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya.DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.2Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV.2 Diagnosis infeksi bila ibu minum ARVBelum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.2

Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.2 Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV.2 Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera.2 Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi HIV, dapat digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis presumtif pada kondisi ini tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Beberapa kondisi seperti pneumonia pneumositis, kandidiasis esofagus, meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.2Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anakMetodeRekomendasiTingkat rekomendasi/bukti

Uji virologik( DNA, RNA, ICD)Untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < 18 bulan; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8 mingguA(I)

Uji antibodi anti HIVUntuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu atau identifikasi paparan pada bayiA(I)A(IV)

Untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18 bulan

Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif*

* Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal.

PENGOBATANTatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa, tatalaksana psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah, selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.2Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak.2Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada penderita. Untuk ini banyak panduan yang cukup baik dijadikan bahan bacaan.2Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.2Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas hidupnya.2Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside ReverseTranscriptase Inhibitor), PI (protease Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan Anti-Integrase. Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Penamaan ini didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fugnsi neurokognitif dan peningkatan kualitas hidup penderita HIV.2Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+ yang terinfeksi dan sebagian kecil oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi untuk beberapa tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase. Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T CD4+ yang merupakan reservoir utama (93 97% dari seluruh sel T) dan sumber virus.2Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu menyebabkan jumlah virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir virus dalam makrofag.2Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.2 Prinsip ARVARV adalah bagian dari pelayanan HIV komprehensif. Sebelum memutuskan untuk memberi ARV perlu diperhatikan bahwa: Jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika hitung CD4 masih normal, atau terlambat ketika sistim imun sudah terlanjur rusak Pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti efikasi, sedikit efek samping dan kemudahan pemberian Pertimbangkan kemampuan daya beli dan ketersediaan obat Harus ada pemantauan dan dukungan pada pasien dan keluarganya untuk meningkatkan kepatuhan berobat (adherence)Kelemahan dari ARV adalah karena digunakan obat multipel, juga dengan obat bukan ARV, maka bahaya interaksi obat dan resistensi akan menurunkan potensi ARV. Selain itu mungkin timbul reaksi simpang serius. Karena dirancang untuk digunakan seumur hidup, maka kepatuhan berobat (95% jumlah obat yang diminum) akan menghalangi timbulnya resistensi, dan ini penting ditekankan pada keluarga pasien.2 Kapan mulai pengobatan ARVKeputusan untuk memulai terapi ARV pada bayi dan anak bergantung pada penilaian klinis dan imunologis, serta penilaian situasi sosial seperti siapa yang akan menjadi pemberi obat, asupan nutrisi, dan kelompok pendukung keluarga, bila seandainya si pemberi obat yang bertanggung jawab lalai. Dalam hal penilaian klinis memungkinkan ARV diberikan pada anak yang didiagnosis secara presumtif melalui gejala klinis. Bila mungkin digunakan parameter nilai hitung CD4 sebelum mempertimbangkan pengobatan, terutama pada anak yang sakitnya lebih ringan. Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah pengobatan ARV diperlukan: Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/mL Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang defisiensi imun berat Munculnya gejala klinis Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian ARV

Berdasarkan penilaian klinis Klasifikasi klinis HIV Pediatrik WHO yang diluncurkan tahun 2006 adalah sebagai berikut: Asimtomatik = Stadium klinis 1 Ringan = Stadium klinis 2 Sedang = Stadium klinis 3 Berat = Stadium klinis 4Stadium klinis ditetapkan setelah infeksi ditegakkan melalui bukti serologis atau virologis. Penggunaan stadium ini berguna sebagai data dasar dan untuk digunakan sebagai penuntun apakah obat profilaksis infeksi oportunistik perlu diberikan pada anak yang berumur lebih dari 1 tahun. Sedangkan pada anak kurang dari 1 tahun yang terinfeksi atau terpapar HIV harus mendapatkan profilaksis ini.2Bila digunakan sebagai dasar untuk memulai pengobatan ARV, prinsip umum yang bisa digunakan sebagai patokan adalah:1. Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang memiliki gejala infeksi HIV(klasifikasi A, B, C menurut CDC atau II, III dan IV menurut WHO), tanpa melihat stadium klinis, jumlah virus maupun nilai CD42. Terapi ARV juga direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang tergolong stadium klinis N atau I yang memiliki kadar CD4 < 25%. Terapi ARV dipertimbangkan untuk bayi < 12 bulan yang asimtomatik dan memiliki kadar CD4 > 25%.

Berdasarkan penilaian imunologis anak yang terinfeksi HIV Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, untuk memulai pemberian ARV, dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian klinis. Hitung absolut CD4 dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dan menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun. Tetapi persentase CD4 hampir tidak berubah pada usia berapapun, dan hal ini digunakan sebagai dasar penilaian imunologis pada anak yang kurang dari 5 tahun (lihat tabel).2Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+ImunodefisiensiNilai CD4+ menurut umur

< 11 bulan(%)12-35 bulan(%)36-59 bulan(%)> 5 tahun(sel/mm3)

Tidak ada> 35> 30> 25> 500

Ringan30 3525 3020 25350499

Sedang25 3020251520200349

Berat