hipersensitivitas

Upload: jmftaa

Post on 14-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ya

TRANSCRIPT

1. A. Reaksi HipersensitivitasHipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).Jenis HipersensitivitasMekanisme Imun PatologikMekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit

Tipe IHipersensitivitas cepatIgESel mast dan mediatornya (amin vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)

Tipe IIReaksi melalui antibodiIgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraselulerOpsonisasi & fagositosis selPengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas pengaruh komplemen dan FcRKelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone)

Tipe IIIKompleks imunKompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen dan Fc-R

Tipe IV (melalui sel T)Tipe IVaTipe IVb1. CD4+ : DTH2. CD8+ : CTL1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh sitokin2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin

(Baratawidjaja, 2006).

1. B. Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe IHipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.1. Mediator jenis pertamaMeliputi histamin dan faktor kemotaktik. histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos. Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.2. Mediator jenis keduaDihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase. Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah. Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.3. Mediator jenis ketigaDilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)

Medication SummaryThe primary drug treatments for acute anaphylactic reactions are epinephrine and H1 antihistamines. According to the 2011 World Allergy Association[51] , 2010 Joint Task Force anaphylaxis update,[50] and 2010 NIAID guidelines,[69] epinephrine is the drug of choice for life-threatening reactions. When the intravenous (IV) route is not indicated, the intramuscular (IM) route is preferable to the subcutaneous (SC) route due to more rapid and reliable absorption. The anterolateral thigh is the preferred site, in children and adults. There is evidence for better absorption at this site as compared to a deltoid IM injection or SC injection. A summary of pharmacological management recommendations is available in the Joint Task Force anaphylaxis update,[50] NIAID report,[69] or WAO report.[51] Epinephrine is clearly effective for the most serious effects, and H1 -blockers are also effective; do not delay or defer their use in favor of other treatments. Inhaled beta agonists lack some of the adverse effects of epinephrine and are useful for cases of bronchospasm, but they may not have additional effects when optimal doses of epinephrine are used. Corticosteroids are potentially effective in preventing biphasic (ie, recurrent) reactions. Due to their delayed effect, corticosteroids are not first-line treatments. H2 -blocking antihistamines theoretically are attractive agents for dermal and gastrointestinal (GI) manifestations, but evidence supporting their clinical effectiveness is less than that for H1 -blocking agents. Some evidence suggests that combining H1 and H2 blockers may be more effective than H1 blockers alone. Glucagon may be useful in treating refractory cardiovascular effects in patients taking beta-blockers. http://emedicine.medscape.com/article/135065-medication

Reaksi HipersensitivitasReaksi Hipersensitivitas

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity. Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya. Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan. Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga. Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen). Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I. Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang. Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain. Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil. Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder). Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). 1. HistaminHistamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.Mediator yang terbentuk kemudian Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).1. Produk siklooksigenasePertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.2. Produk lipoksigenaseLeukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.Slow reacting substance of anaphylaxis Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor) Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGISelain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0 Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III) Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III) Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.Sindrom klinik dan pengobatanBeberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringanPenyakitAntigen targetMekanismeManifestasi klinopatologi

Anemia hemolitik autoimunProtein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)Opsonisasi dan fagositosis eritrositHemolisis, anemia

Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)Opsonisasi dan fagositosis plateletPerdarahan

Pemfigus vulgarisProtein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin)Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interselulerVesikel kulit (bula)

Sindrom GoodpastureProtein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paruInflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akutAntigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardiumInflamasi, aktivasi makrofagArtritis, miokarditis

Miastenia gravisReseptor asetilkolinAntibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptorKelemahan otot, paralisis

Penyakit GravesReseptor hormon TSHStimulasi reseptor TSH diperantarai antibodiHipertiroidisme

Anemia pernisiosaFaktor intrinsik dari sel parietal gasterNetralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12Eritropoesis abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) Penyakit oleh kompleks imunPenyakitSpesifitas antibodiMekanismeManifestasi klinopatologi

Lupus eritematosus sistemikDNA, nukleoproteinInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosaAntigen permukaan virus hepatitis BInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcVaskulitis

Glomreulonefirtis post-streptokokusAntigen dinding sel streptokokusInflamasi diperantarai komplemen dan reseptor FcNefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) Point of interest Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut. Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T. Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar. Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.Sindrom klinik dan pengobatanBanyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .Penyakit yang diperantarai sel TPenyakitSpesifitas sel T patogenikPenyakit pada manusiaContoh pada hewan

Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I)Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)Spesifisitas sel T belum ditegakkanTikus NOD, tikus BB, tikus transgenik

Artritis reumatoidAntigen yang tidak diketahui di sinovium sendiSpesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkanArtritis diinduksi kolagen

Ensefalomielitis alergi eksperimentalProtein mielin dasar, protein proteolipidPostulat : sklerosis multipleInduksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik

Penyakit inflamasi ususTidak diketahui, peran mikroba intestinalSpesifisitas sel T belum ditegakkanInduksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)DAFTAR PUSTAKA1. Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.2. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.3. Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.4. Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific, 1988; 233-67.5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.

AnafilaksisAnafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediatorRangsangan sel mast yang menyebabkan pelepasan mediator.

SEL MAST DAN BASOFILREAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPATSensitisasi dan reaksi atopik Hipersensitivitas tipe cepat terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE (lihat juga bab tentang reaksi hipersensitivitas). Secara ringkas reaksi berantai tersebut terdiri dari sensitisasi atopik (Gambar 18-2) dan reaksi atopikAlergen Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respons imun spesifik berupa pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat yang mampu bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen selalu bersifat antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten, kecuali kalau bergabung dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan sel molekul rendah (hapten).Rangkaian reaksi hipersensitivitas tipe cepatSensitisasi atopik1. Pajanan antigen (alergen)2. Respons pembentukan IgE3. Terikatnya IgE pada sel mastReaksi atopic1. Terpapar ulang dengan antigen yang sama2. Interaksi antigen-IgE spesifik di sel mast3. Pelepasan mediator oleh sel mast4. Efek mediator pada berbagai organ

Alergen protein lengkapAlergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B (lihat Gambar 18-4). Yang termasuk kelompok ini misalnya serbuk sari, bulu binatang, ATS (serum antitetanus) dan ADS (serum antidifteri).Alergen dengan berat molekul rendah Kelompok ini tidak dapat menimbulkan respons antibodi berupa IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten harus berikatan dengan protein jaringan atau protein serum in vivo membentuk kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons antibodi IgE. Yang termasuk kelompok ini misalnya adalah obat-obatan.Antibodi Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif antara makrofag, sel T dan sel B. Alergen yang masuk melalui traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis atau kulit akan difagosit oleh makrofag untuk diproses dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang tersensitisasi akan merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang mensintesis dan mensekresi IgE spesifik.Sel plasma yang memproduksi IgE terutama terdapat dalam lamina propria traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta jaringan limfoid bersangkutan. Kadar total IgE serum adalah jumlah IgE yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut, yang secara pasif berdiusi ke dalam kompartemen vaskular. IgE mempunyai sifat biologik unik, yaitu dapat terikat pada sel mast untuk jangka waktu yang panjang (6 minggu).Pengikatan IgE oleh sel mast mempunyai konsekuensi penting. Karena IgE serum terikat pada sel mast di seluruh tubuh maka sel mast di bawah kulit lengan bawah juga sensitif terhadap alergen yang masuk melalui traktus gastrointestinalis atau traktus respiratorius. Di samping itu mungkin sebagian besar sel mast telah sensitif terhadap alergen tertentu, sehingga pajanan terhadap alergen tersebut dapat memacu sel mast secara sistemik yang akan melibatkan banyak sistem dan akan menimbulkan syok anafilaktik. Pengikatan oleh sel mast menyebabkan IgE merupakan suatu fraksi dengan waktu paruh yang lebih panjang. Diperkirakan waktu paruh IgE adalah 2-3 hari. Walaupun mempunyai waktu paruh yang lama, IgE tidak dapat melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat ditransfer secara pasif kepada fetus.Aktivasi penting lainnya adalah bila IgE berikatan dengan alergen. Hal ini dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif sehingga dihasilkan anafilaktoksin (C3 dan C5a) dan zat kemotaktik lain yang penting pada respons inflamasi.Sel mast Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil dan trombosit. Sel mast diselimuti oleh IgE yang terikat pada reseptor spesifik untuk bagian Fc rantai epsilon. Setiap sel mast dapat mengikat bermacam IgE spesifik sehingga sel mast dapat bereaksi dengan berbagai macam antigen. Jumlah IgE pada satu sel basofil sangat bervariasi, dan diperkirakan berkisar di antara 5.000-500.000 molekul per sel basofil.Walaupun penderita alergi mempunyai molekul IgE yang tinggi pada basofilnya bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak alergi, terdapat suatu overlapping yang luas dalam jumlah IgE yang terdapat pada kedua goIongan tersebut. Jumlah IgE yang terikat pada sel merupakan refleksi kadar IgE dalam serum, akan tetapi banyaknya molekul IgE pada satu sel tidak berhubungan dengan derajat sensitivitas. Faktor yang menentukan perbedaan besar sensitivitas seseorang sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Activation of Mast Cell. This figure illustrates how activation of a mast cell leads to degranulation.Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, SRS-A, ECF-A, PAF, dan heparin. Beberapa mediator disimpan dalam lisosom (heparin, histamin) yang berada dalam sitoplasma sel mast, dan dilepaskan bila terdapat rangsangan yang cukup. Rangsangan alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen (lihat Gambar 18-5). Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.Degranulasi sel mast dapat diatur oleh sejumlah zat. Zat yang menurunkan cAMP atau menaikkan cGMP seperti adrenergik , zat kolinergik atau prostagladin F2a, memperhebat degranulasi sel mast. Sebaliknya zat yang meningkatkan cAMP, seperti epinefrin, teofilin dan prostaglandin E1 dan E2 menghalangi degranulasi sel.ETIOLOGIPenyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.

Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.PATOFISIOLOGIPatofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.Mediator anafilaksis Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu sel peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).HistaminAksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsang yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama l0 menit dan inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat.Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2. Reseptor H1 terdapat terutama pada sel otot polos bronkioli dan vaskular, sedangkan reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa tipe antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat pada beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil.Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sel dangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respons wheal-flare (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi sel sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.SRS-A Berbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Rangsangan degranulasi sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian muncul dalam lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi kontraksi otot bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak dijalankan melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh histamin. Epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang disebabkan oleh SRS-A.ECF-A ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi SRS-A dan histamin.PAF PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi pembuatan bradikinin.Bradikinin Bradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular sel lambat, lama dan hebat. Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-ASerotonin Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar. Serotonin tidak begitu penting pada anafilaksis.Prostaglandin Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.Kalikrein Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.KLASIFIKASISecara imunopatologik reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid dibagi menjadi 1) reaksi anafilaksis yang diperankan oleh IgE atau IgG, 2) reaksi anafilaktoid karena lepasnya mediator secara langsung misalnya oleh obat, makanan, agregasi kompleks imun seperti reaksi terhadap globulin , IgG antiIgA, 3) reaksi transfusi karena pembentukan antibodi terhadap eritrosit atau leukosit, dan 4) reaksi yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau obat lain.GAMBARAN KLINISSecara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.

Reaksi sistemik Reaksi sistemik ringan Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.Gambaran klinis anafilaksisSistemGejala dan tandaMediator

Umum (prodromal)KulitMukosaPernapasan Jalan napas atas Jalan napas bawahGastrointestinalSusunan saraf pusatMalaise, lemah, rasa sakitUrtikaria, eritemaEdema periorbita, hidung tersumbat dan gatal, angioedema, pucat, sianosisBersin, pilek, dispnu, edema laring, serak, edema lidah dan faring, stridorDispnu, emfisema akut, asma, bronkospasme, bronkoreaPeningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diareGelisah, kejang-HistaminHistaminHistaminSRS-A, histamin, lain-lain?Tidak diketahuiTidak diketahui

Reaksi sistemik sedang Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.

Reaksi sistemik berat Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.The Effect of Various Molecules Released by Mast Cells During Activation

The Effect of Various Molecules Released by Mast Cells During Activation. This figure shows the effect of various molecules released by mast cells on activation. Janeway(2005).

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan kasus yang luar biasa atau menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan. Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan hematokrit yang meningkat akibat hemokonsentrasi. Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan peninggian enzim SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH (dehidrogenase laktat).Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan atau tanpa atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard maka perubahan EKG biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T, bundle branch block, fibrilasi atrium dan berbagai aritmia ventrikular.DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedemaBila ditemukan reaksi sistemik berat harus dipertimbangkan semua penyebab distres pernapasan, kolaps kardiovaskular dan hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi vasovagal dan serangan sinkop, infark miokard, reaksi insulin, atau reaksi histeris.Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah penyuntikan. Pada keadaan ini nadi teraba lambat dan biasanya tidak terjadi sianosis. Walau tekanan darah menurun biasanya masih dapat diukur. Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering ditemukan.Infark miokard disertai gejala yang menonjol seperti sakit dada dengan atau tanpa penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih lambat dan tanpa emfisema atau sumbatan bronkial. Tidak terdapat edema atau sumbatan jalan napas atas.Reaksi insulin yang karakteristik adalah lemah, pucat, diaforesis dan tidak sadar. Tidak terjadi sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan. Tekanan darah biasanya sedikit menurun. Reaksi histeris tidak disertai bukti distres pernapasan, hipotensi atau sianosis. Parestesia lebih sering dari pada pruritus. Sinkop dapat terjadi tetapi kesadaran cepat kembali.

PENATALAKSANAANYang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serta pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana anafilaksis secara umum

Evaluasi segera Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmonerAdrenalinLarutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.Intubasi dan trakeostomi Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.Turniket Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.Oksigen Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung.Difenhidramin Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema.Kalau penderita tidak memberikan respons dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.Cairan intravena Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak.Aminofilin Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.Vasopresor Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.Kortikosteroid Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan Kortikosteroid bergunan untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.Pengobatan suportif Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.PENCEGAHANPencegahan merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis.Anamnesis teliti Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum kita memberikan setiap obat, terutama obat suntikan. Edukasi juga dapat diberikan pada pasien, antara lain membaca label obat dengan teliti dan mempunyai catatan mengenai jenis obat yang dicurigai menimbulkan gejala alergi.Penggunaan antibiotik Penggunaan antibiotik atau obat lainnya harus dengan indikasi khusus, dan pemberian per oral lebih baik, bila hal ini memungkinkan.Uji kulit dan konjungtiva Uji kulit dan konjungtiva terhadap beberapa antitoksin yang berasal dari serum hewan, dianjurkan untuk dikerjakan sebelum diberikan. Jika diperlukan anti serum, sebisa mungkin diberikan preparat serum manusia. Di negara maju, setiap saat dapat diperoleh informasi dari badan tertentu yang mempunyai catatan lengkap mengenai penderita yang telah pemah mengalami reaksi anafilaksis.Rujukan Krause, Richard. 29 April 2005. Anaphylaxis. eMedicine. Accessed 24 April 2006 Lieberman P et al. The Diagnosis and Management of Anaphylaxis:An Updated Practice Parameter. The Journal of Allergy and Clinical Immunology 115 (2005)483-523. Rusznak, Csaba. Anaphylaxis and Anaphylactoid Reactions: A Guide to Prevention, Recognition, and Emergent Treatment. Postgraduate Medicine 111 (2002): 1-4. Ellis, Anne and James Day. Diagnosis and Management of Anaphylaxis Canadian Medical Association Journal 169(2003): 1-4. Ewan,Pamela. ABC of Allergies:Anaphylaxis British Medical Journal 316 (1998): 1442-1445. Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. Immunobiology 6th Ed: The Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing, 2005. Sampson, Hugh. Anaphylaxis and Emergency Treatment. Pediatrics 111 (2003): 1601-1608. Stern, David. 6 November 1997. Anaphylaxis:Life-Threatening Allergy. Asthma and Allergy Information and Research. Accessed 24 April 2006 < http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/index.htm