hipersensitivitas new

8
Reaksi Hipersensitivitas HIPERSENSITIVITAS I. PENDAHULUAN Reaksi hipersensitivitas adalah suatu respon tubuh yang patologis, t akibat respon imun yang berlebihan terhadap benda atau konfigurasi asing menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Subowo, 1993; aratawidjaja, ! %ika seseorang pernah terpapar pada suatu antigen tertentu, maka pema berikutnya dengan antigen yang sama dapat menyebabkan respons imu sekunder yang memiliki tujuan guna menyingkirkan antigen tersebut$ &al te merupakan reaksi alami tubuh guna mempertahankan diri, namun pada keadaan tertentu reaksi imunologik ini berlangsung berlebihan atau tidak wajar se menimbulkankerusakan jaringan$ Reaksihipersensitivitas dapatterjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik sese baik selular maupun humoral meningkat$ Reaksi ini tidak pernah t pemaparan pertama dan merupakan 'iri khas individu yang bersangkutan$ ada makalah ini akan dibi'arakan mengenai pengertian hipersensitivi yang dikaitkan dengan fenomena klinik yang dijumpai$ II. TINJAUAN PUSTAKA erdasarkan mekanisme dan ke'epatan reaksi imunologik yang te )oombs dan *ell membagi reaksi hipersensitivitas menjadi + tipe yaitu 1$ &ipersensitivitas tipe - atau tipe 'epat atau anafilaktik !$ &ipersensitivitas tipe -- atau tipe sitotoksik 3$ &ipersensitivitas tipe --- atau reaksi kompleks imun +$ &ipersensitivitas tipe -. atau reaksi tipe lambat /an dikenal satu golongan lain yang disebut 0ipe . atau Stimul hypersensitivity$ Reaksi 0ipe -, --, --- dan . terjadi karena interaksi a dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi terjadi karenainteraksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada 1

Upload: dwi-sastrawan

Post on 04-Nov-2015

73 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hipersensitivitas

TRANSCRIPT

PAGE 1 Reaksi Hipersensitivitas

HIPERSENSITIVITASI. PENDAHULUAN

Reaksi hipersensitivitas adalah suatu respon tubuh yang patologis, terjadi akibat respon imun yang berlebihan terhadap benda atau konfigurasi asing yang menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Subowo, 1993; Baratawidjaja, 2000). Jika seseorang pernah terpapar pada suatu antigen tertentu, maka pemaparan berikutnya dengan antigen yang sama dapat menyebabkan respons imunologik sekunder yang memiliki tujuan guna menyingkirkan antigen tersebut. Hal tersebut merupakan reaksi alami tubuh guna mempertahankan diri, namun pada keadaan tertentu reaksi imunologik ini berlangsung berlebihan atau tidak wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang, baik selular maupun humoral meningkat. Reaksi ini tidak pernah timbul pada pemaparan pertama dan merupakan ciri khas individu yang bersangkutan.

Pada makalah ini akan dibicarakan mengenai pengertian hipersensitivitas yang dikaitkan dengan fenomena klinik yang dijumpai. II. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan mekanisme dan kecepatan reaksi imunologik yang terjadi Coombs dan Gell membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe yaitu :

1. Hipersensitivitas tipe I atau tipe cepat atau anafilaktik

2. Hipersensitivitas tipe II atau tipe sitotoksik

3. Hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun

4. Hipersensitivitas tipe IV atau reaksi tipe lambat

Dan dikenal satu golongan lain yang disebut Tipe V atau Stimulatory hypersensitivity. Reaksi Tipe I, II, III dan V terjadi karena interaksi antara antigen dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi Tipe IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit sehingga termasuk reaksi seluler. Sesuai waktu yang diperlukan guna timbulnya suatu reaksi, reaksi tipe I, II, III, dan V disebut reaksi tipe segera (Immediate), dimana reaksi Tipe I berlangsung lebih cepat dari yang lain antara beberapa detik hingga menit, sedangkan Tipe II dan III antara beberapa jam. Sedangkan Tipe IV disebut reaksi tipe lambat (Delayed Tipe Hypersensitivity Reaction) karena reaksi berlangsung lebih lambat dibanding tipe lain, pada umumnya lebih dari 12 jam.

Walaupun pembagian reaksi itu bukan merupakan satu-satunya klasifikasi reaksi hipersensitivitas, namun demikian pembagian ini masih paling banyak dipakai dalam berbagai buku ajaran inumologi di dunia. Secara garis besar pembagian ini masih memadai, umumnya dan khususnya penyakit kulit sering dihadapi secara klinis.Berikut gambar mengenai reaksi hipersensitivitas tipe I IV.

Gambar 1. Tipe Hipersensitivitas (Janeway, 1997)

Ada empat jenis bentuk reaksi hipersensitivas diantaranya mekanisme imunologi kerusakan jaringan. Tipe I - III antibody-mediated yang membedakan dengan jenis yang lain dalam mengenali antigen dan kelas yang berbeda dari antibodi yang dilibatkan. Tipe-I Respon-respon dengan media lgE, yang mempengaruhi aktivitas mast-cell, Tipe-II dan III dengan media IgG, Yang melibatkan mekanisme effector phagocytic dan complement-mediated untuk berbagai tingkat, tergantung pada subklas lgG dan sifat alami antigen yang dilibatkan. Tipe-II respon perlawanan diarahkan pada permukaan sel atau matrik antigen, sedangkan Tipe-III diarahkan melawan pelarut antigen, dan melibatkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh faktor pencetus dari kompleks immun. Suatu kategori khusus Tipe-II melibatkan respon antibodi lgG melawan permukaan sel reseptor yang mengganggu fungsi normal reseptor, yang menyebabkan pengaktifan tak terkontrol atau pemblokiran oleh reseptor. Tipe-IV reaksi hipersensitivas diperantarai sel T dan dapat dibagi lagi dalam tiga kelompok. kelompok yang pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh pengaktifan makrofag oleh Sel TH 1, yang menyebabkan respon inflamasi. yang kedua, kerusakan disebabkan oleh pengaktifan eosinophilic inflamatory respons oleh sel TH2, yang ketiga kerusakan disebabkan secara langsung oleh cytotoxic T sel (CTL) di dalam reaksi hipersensitivas. 1. Hipersensitivitas tipe I dan respon fase lambat

Hipersensitivitas tipe I merupakan hasil reaksi antara imunoglobulin E (igE) yang terdapat pada membran sel bergranula sel mastosit dan menimbulkan reaksi yang sangat cepat sebagai akibat sekresi mediator reaksi hipersensitivitas tipe cepat adalah histamin, serotonim, bradikinin dan ECFA (Eosinophilic Chematotactic Factor A). Pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat ini waktu timbulnya kerusakan jaringan (tisue injury) dapat timbul sangat segera setelah paparan antigen yaitu berkisar antara 5 15 menit. Contoh yang sering dipakai sebagai suatu model peranan hipersensitivitas tipe I adalah reaksi anafilaktik, urtikaria terutama jenis urtikaria akut dan penyakit yang dihubungkan dengan fenomena atropi.

Pada skema respon reaksi tipe I tampak adanya reaksi ECFA, yang simtomnya akan dapat dikendali secara klinik periode waktu kurang lebih 6-8 jam kemudian. Hal ini disebabkan oleh adanya ECFA tersebut, maka terjadilah suatu pemanggilan sel radang akut di dalam hal ini jenis eosinofil yang berkumpul paparan antigen yang terjadi. Sebagai akibat pengumpulan eosinofil itu akan terjadi aktivasi eosinofil yang diikuti pula dengan peningkatan sekret eosinofil didaerah radang yang bersangkutan. Respon yang ditimbulkan oleh sekret eosinofil itu timbul 6-8 jam setelah paparan antigen dan dikenal sebagai respon fase lambat atau Late Phase Response (LPR).

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2000)1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sanpai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basifil.2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitifitas ini merupakan respon terhadap antigen jaringan atau antigen sel. Dikenal pula dengan nama reaksi sitotoksik. Ada dua macam mekanisme yang dikenali di dalam reaksi hipersensitifitas tipe ini. Yaitu:

1. Antibodi akan segera merusak sel yang mengandung antigen dengan bantuan komplen.

2. Perusakan sel dengan bantuan sel makrofag atau netrofil.

Gambar 2. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Janeway, 1997)Penghancuran Antibodi-mediated oleh sel darah merah pada anemia hemolitik atau platelet (thrombocytopenia) adalah suatu akibat lain dari masuknya obat tertentu seperti penisilin, zat pembunuh kuman, anti-cardiac arrhythmia, obat quinidine, atau anti hipertensi agen methildopa. Ini adalah contoh jenis reaksi hipersensitivas Tipe II di mana obat mengikat pada permukaan sel dan bertindak sebagai suatu target untuk Anti-Drug IgG zat darah dalam menyerang obat.

Contoh yang lain adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, antigen Rhesus, sindrom Goodpasture, myasthenia gravis, dan pempigus (Baratawidjaja, 2000).3. Hipersensitifitas tipe III

Pada reaksi jenis ini, antigen yang berasal dari manapun berkaitan dengan antibodi yang sudah ada di dalam sirkulasi dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini dapat merangsang berbagai reaksi kerusakan jaringan melalui peranan berbagai sel radang akut dan sel radang kronik serta sel fagosit. Berat dan ringannya kerusakan jaringan yang ditimbulkan tergantung pada :

1. Jenis kompleks imun yang terbentuk apakah larut atau mengendap

2. Lokalisasi kompleks imun didalam berbagai organ tubuh.

3. Bagaimana kompleks imun merangsang reaksi lanjutan bersama dengan berbagai sel imunokompeten yang lain.

4. Luasnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan.

Sebagai contoh antigen yang berasal dari luar adalah derbis dari Mycobacterium lepare yang dapat menimbulkan fenomena Erytema Nodusum leprosum (ENL). Sedang contoh adanya antigen diri (antigen self) terjadi pada penyakit vesiko-bulosa kronik di bidang dermatologi.

Konsep dari autoimun adalah tubuh oleh karena sesuatu hal tidak dapat mengenali konfigurasi diri atau self. Keadaan ini dapat merupakan respon hipersensitivitas tubuh terhadap autoantigen, dapat bersifat humoral artinya melalui mekanisme autoantibodi. Reaksi autoantigen dengan autoantibodi membentuk kompelks imun yang secara imunologik dimasukan di dalam katagori reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks imun seperti tertera pada gambar di atas. Apabila keadaan ini menimbulkan penyakit, maka penyakitnya disebut sebagai penyakit autoimun. Walaupun banyak penyakit kulit yang mekanisme dasarnya adalah peristiwa autoimunitas, namun sekarang ini juga diketahui bahwa fenomena autoimun tidak selalu menjadikan sebab terjadinya suatu penyakit.Berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas dibentuk Ig yang memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal (Baratawidjaja, 2000).1. Demam reuma, infeksi streptococcus golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococus bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung tulang rawan dan membran glomelurus. Antibodi terhadap streptococcus diduga mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan reaksi inflamasi.

2. Artritis reumatoid (FR) adalah anti IgG yang berupa IgM yang dapat mengikat fraksi Fc dari IgG (FC). Kompleks tersebut menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.

3. Infeksi lain, pada beberapa penyakit infeksi seperti malaria, virus, lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang diendapkan di beberapa tempat.

4. Penyakit akibat kerja, farmers lung adalah contoh reaksi Tipe III. Pada orang yang rentan, pemaparan dengan jerami yang mengandung actinomycete termofilik yang melepas spora-spora, menimbulkan gangguan napas yaitu pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah pajanan. Orang tersebut memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru.

REAKSI Tipe III pulmoner yang sejenis adalah: Pigeon breeders, Cheese washers disease, Bagassosis, Maple bark strippers disease, Paprika workers disease dan Thatched roof workers disease.5. Lupus eritematosus sistemik (LES), merupakan penyakit autoimun yang merupakan penyakit hipersensitivitas Tipe III yang sistemik. Tubuh membentuk antibodi autoimun terhadap berbagai komponen tubuh dan menimbulkan manifestasi penyakit sistemik.

4. Hipersensitivitas tipe IVHipersensitivitas tipe ini tidak melalui mekanisme humoral atau keterlibatan antibodi, tetapi melibatkan peranan sel limfosit T. terjadinya respon hipersensitivitas tipe ini memerlukan sel pembantu yang dapat menyajikan antigen kepada limfosit perawan. Di kulit yang terkenal sebagai penyaji antigen kepada limfosit itu adalah sel Langerhans epidernal. Didalam proses penyajian antigen kepada limfosit inilah terjadinya awal bentuk subpopulasi limfosit T helper.

Dikatakan apabila antigen itu bersifat intra seluler akan lebih merangsang tumbuhnya sel T helper 1 (Th-1) dan apabila antigen itu bersifat ekstra seluler maka yang menonjol adalah respon dari T helper 2 (Th-2).

Gambar 3. Hipersensitif Tipe IV dalam respon allergy (Janeway, 1997)

Gamabar 4. Rangkaian waktu hipersensitif Tipe IV (Janeway, 1997)III. KESIMPULANReaksi hipersensitivitas terjadi jika tubuh kita melakukan suatu reaksi alami guna mempertahankan diri, jika keadaan tertentu reaksi imunologik berlangsung berlebihan atau tidak wajar dapat menimbulkan kerusakan jaringan.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG. 2000. Imunologi Dasar. 5thed. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 135 - 67Bellanti JA. 1993. Imunologi. Universitas Gadjah Mada Press. YogyakartaJaneway CA., Travers P. 1997. Immunobiology: The Immune System in Health and Disease. 3rded. Garland Publishing Inc. New York. p. 11:1 11:23

Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Pemeriksaan Labobatorium. 3rded. Jakarta. Fak. Kedokteran UI. p. 80 - 93 Subowo. 1993. Imunobiologi. Bandung. Angkasa. p. 219 - 32PAGE