hipersensitivitas

21
1. Hipersensitivitas 1.1 Definisi Imunologi dasar: peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipanjankan sebelumnya. 1.2 Etiologi Hipersensitivitas terjadi karena adanya respon berlebihan dari sistem imun tubuh sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hospes. 1.3 Klasifikasi Klasifikasi hipersensitivitas dapat dibagi berdasarkan waktu timbulnya reaksi dan klasifikasi gell-combs Klasifikasi berdasarkan waktu timbulnya reaksi adalah sebagai berikut: 1. Reaksi cepat Reaksi yang terjadi dalam hitungan detik dan hilang dalam waktu 2 jam. Reaksi ini terjadi apabila terjadi ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan mast cell yang dapat menghasilkan mediator vasoaktif. Manifestasi: anafilaksis sistemik atau local 2. Reaksi Intermediet Reaksi yang terjadi setelah beberapa jam dan menghilang setelah 24 jam. Reaksi ini disebabkan karena adanya pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan/atau sel NK. Manifestasi: Reaksi transfuse darah, seperti eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun Reaksi arthrus lokal dan sistemik, seperti serum sickness, baskulitis nekrotis, glomerulonephritis, artritis rheumatoid, dan LES. 3. Reaksi Lambat Reaksi yang terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel T-Helper. Pada hipersentivitas tipe IV

Upload: dhilasafirina

Post on 23-Nov-2015

219 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

wrap up hipersensitivitas

TRANSCRIPT

1. Hipersensitivitas1.1 DefinisiImunologi dasar: peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipanjankan sebelumnya. 1.2 EtiologiHipersensitivitas terjadi karena adanya respon berlebihan dari sistem imun tubuh sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hospes. 1.3 KlasifikasiKlasifikasi hipersensitivitas dapat dibagi berdasarkan waktu timbulnya reaksi dan klasifikasi gell-combs

Klasifikasi berdasarkan waktu timbulnya reaksi adalah sebagai berikut:1. Reaksi cepatReaksi yang terjadi dalam hitungan detik dan hilang dalam waktu 2 jam. Reaksi ini terjadi apabila terjadi ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan mast cell yang dapat menghasilkan mediator vasoaktif. Manifestasi: anafilaksis sistemik atau local2. Reaksi IntermedietReaksi yang terjadi setelah beberapa jam dan menghilang setelah 24 jam. Reaksi ini disebabkan karena adanya pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan/atau sel NK. Manifestasi: Reaksi transfuse darah, seperti eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun Reaksi arthrus lokal dan sistemik, seperti serum sickness, baskulitis nekrotis, glomerulonephritis, artritis rheumatoid, dan LES.3. Reaksi LambatReaksi yang terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel T-Helper. Pada hipersentivitas tipe IV (DTH), sel T menghasilkan sitokin yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Contoh reaksi lambat: dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis, dan reaski penolakan tandur.

Klasifikasi menurut Gell & Combs:1. Tipe I/reaksi anafilaksis2. Tipe II/reaksi sitotoksik3. Tipe III/reaksi kompleks imun4. Tipe IV/Delayed Hypersensitivity

1. Hipersensitivitas tipe I1.1 DefinisiHipresensitivitas tipe I disebut juga dengan reaksi cepat atau reaksi anafilaksis, adalah hipersensitivitas yang terjadi akibat adanya ikatan silang antara IgE dan antigen di permukaan mast cell atau basophil sehingga menyebabkan sel tersebut mengalami degranulasi. Degranulasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan. 1.2 EtiologiPenyebab dari hipersensitivitas tipe I ini bisa berupa alergi terhadap makanan tertentu, serum, polen (hay fever), dan tungau debu rumah. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Ikatan silang antara IgE dan antigen mengaktifkan sel mast melalui reseptor IgE yaitu FceR1. Interaksi Fce-R1 dengan IgE memicu aktivasi Syk yang menghasilkan sinyal yang dapat menimbulkan degranulasi, produksi LT, dan transkripsi sitokin/kemokin. Degranulasi selanjutnya menimbulkan manifestasi terhadap tubuh kita.

1.3 MekanismePertama, antigen masuk ke dalam tubuh. Lalu antigen tersebut terpajan ke sel Th2 sehingga sel tersebut aktif. Sel Th2 yang aktif akan merangsang sel B untuk berkembang menjadi sel plasma. Sel plasma lalu menghasilkan antibody IgE yang spesifik terhadap antigen tersebut. IgE selanjutnya menempel pada reseptor FceR1 yang terdapat pada permukaan sel mast atau basophil.

Setelah IgE menempel di permukaan sel, terjadi pajanan kembali terhadap antigen. IgE yang terpajan membuat ikatan silang dengan antigen sehingga merangsang degranulasi sel mast/basophil.

Degranulasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan anafilaksis karena granul-granul yang pecah tersebut berisi mediator farmakologis aktif seperti histamine, LT, Sitokin, dan kemokin.

Mekanisme kejadian hipersensitivitas tipe I dibagi menjadi 3 fase, yaitu: Fase sensitisasiWaktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai terjadinya ikatan silang antara IgE sampai IgE terikat ke reseptor spesifik pada sel mast atau basophil Fase aktivasiWaktu yang dibutuhkan antara pajanan ulang dengan antigen dan sel mast/basophil mengalami degranulasi karena ikatan silang antigen dan IgE Fase efektorWaktu terjadinya respon-respon kompleks akibat dari mediator yang dikepaskan sel mast atau basophil saat mengalami degranulasi.

Ikatan silang antara IgE dan antigen mengaktifkan sel mast melalui reseptor IgE yaitu FceR1. Interaksi Fce-R1 dengan IgE memicu aktivasi Syk yang menghasilkan sinyal yang dapay menimbulkan degranulasi, produksi LT, dan transkripsi sitokin/kemokin.1.4 ManifestasiManifestasi klinis hipersensitivitas tipe I dibagi menjadi 3 macam, yaitu:1. Reaksi LokalReaksi hipersensitivitas tipe I local terbatas pada organ atau jaringan spesifik, biasanya melibatkan permukaan epitel tempat allergen masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi tipe I karena keturunan disebut atopi. IgE dapat terbentuk karena adanya antigen yang masuk melalui mukosa seperti selaput lender hidung, paru, dan konjungtiva. Namun hanya 10-20% yang sampai menyebabkan rhinitis alergi dan asma bronkial.2. Reaksi sistemik anafilaksisAnafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe I yang cepat, ditimbulkan oleh IgE dan dapat mengancam nyawa. Gambaran yang terjadi pada reaksi anafilaksis adalah adanya edema dengan peningkatan permeabilitas vascular, berkembang menjadi oklusi takeam kolaps sirkulasi, dan kemungkinan meninggal. Reaksi ini dapat dipicu berbagai allergen mulai dari makanan, obat, hingga sengatan serangga. 3. Reaksi Pseudoalergi/anafilaktoidReaksi pseudoalergi adalah reaksi sistemik imim yang melibatkan penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanismenya merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Manifestasi klinisnya sering serupa dengan anafilaksis tapi penyebabnya bukan reaksi sistem imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi.

2. Hipersensitivitas tipe II2.1 DefinisiDisebut juga dengan hipersemsitivitas tipe sitotoksik, adalah hipersensitivitas yang terjadi karena terbentuknya antibody IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu. 2.2 EtiologiPenyebabnya adalah adanya sel klon yang terbentuk karena tumor, infeksi virus, atau terinduksi mutagen. Sel klon tersebut memiliki kecacatan DNA sehingga harus dimusnahkan. Jika tidak dimusnahkan, sel target tersebut dapat membentuk klon baru yang lebih banyak dan menyebabkan kerusakan jaringan. Tubuh merespon terhadap sel klon ini dengan cara membentuk IgG atau IgM yang selanjutnya menyebabkan lisis sel target. Contoh kasus yang menyebabkan hipersensitivitas tipe II adalah reaksi transfuse darah yang tidak cocok, inkompabilitas Rh dalam kehamilan yang menyebabkan erystoblastosis fetalis, dan penyakit anemia hemolitik karena alergi antibiotic.

2.3 MekanismeAda 2 macam mekanisme hipersensitivitas tipe II, yaitu dengan mekanisme ADCC dan mekanisme komplemen. Mekanisme ADCCPertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma. Lalu sel plasma menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang memiliki reseptor antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di permukaannya selanjutnya menyerang sel target yang memasang antigennya di permukaannya. Antibody berikatan dengan antigen di permukaan dan selanjutnya menyebabkan sel target tersebut lisis

Mekanisme KomplemenPertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma. Lalu sel plasma menghasilkan antibody. Antibody tidak berikatan dengan sel killer, melainkan langsung menempel pada antigen yang ada di permukaan sel target bersama dengan komplemen. Akhirnya sel target pun lisis.

2.4 Manifestasi

3. Hipersensitivitas tipe III3.1 DefinisiDisebut juga reaksi kompleks imun, adalah reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh kompleks imun yang menetap di dalam sirkulasi sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. 3.2 EtiologiDisebabkan oleh adanya kompleks imun ukuran kecil yang susah untuk dimusnahkan dan malah mengendap di dinding pembuluh darah. Kompleks antibody berikatan dengan komplemen dan memivu neutrophil untuk berdegranulasi. Degranulasi neutrophil menyebabkan kerusakan jaringan. 3.3 Mekanisme

3.4 ManifestasiAda dua bentuk reaksi yang terjadi dalam hipersensitivitas tipe III, yaitu reaksi local atau fenomena arthrus dan sistemik atau serum sickness

Reaksi Lokal atau Fenomena ArthrusKerusakan jaringan local dan vascular akibat adanya akumulasi cairan (edem) dan eritrosit (eritema) sampai nekrosis. Reaksi ini dapat menimbulkan pneumonitis.C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga menimbulkan edem. Neutrifil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang aktif memakan kompleks imun dan bersama tromobosit yang digumpalkan, melepas berbagai bahan sehingga menimbulkan perdarahan dan nekrosis jaringan setempat.

Reaksi Sistemik (Serum Sickness)Terjadi apabila serum asing dimasukkan ke dalam tubuh kita. Antibodi yang berepran biasanya IgG atau IgM. Saat serum asing dimasukkan, antibody dan antigen (serum asing) akan membentuk kompleks imun. Lalu akan terjadi aktivasi komplemen. Komplemen yang diaktifkan akan melepas anafilatoksin yang memicu sel mast dan basophil untuk melepas histamine dan mediator lainnya. Histamin akan melekat pada endotel pembuluh darah sehingga meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga neutrifil dapat keluar untuk menyingkirkan kompleks imun. Tapi neutrophil terkepung oleh anafilatoksin yang dihasilkan kompleme tadi sehingga bukannya memakan kompleks imun, neutrophil malah melepas granulnya dan menyebabkan kerusakan jaringan. Permeabilitas juga meningkat karena komplemen menimbulkan agregasi trombosiT. Agregasi trombosit membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif yang dapat menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan inflamasi. Manifestasi tumbul dalam beberapa hari/minggu setelah masuknya serum asing. Manifestasi yang timbul berupa panas dan gatalm bengkak-bengkak, kmerahan, dan tasa sakit di beberapa bagian tubuh, arteritis, slomerulonefritis, dan artritis. Reaksi ini disebut reaksi Pirquet dan Schick. Bila terjadi reaksi serupa setelah pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis, reaksi tersebut disebut reaksi Herxheimer. Reaksi tersebut terjadi karena mikroorganisme dihancurkan dalam jumah besar di dalam tubuh dan mengeluarkan antigen yang cenderung bereaksi dengan antibody dalam sirkulasi.

Berikut ini adalah penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan kompleks imun

4. Hipersensitivitas tipe IV4.1 DefinisiReaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh sel T CD4+ dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi Tuberkulin, reaksi Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant.Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi 2 macam: DTH (terjadi melalui sel CD4+) dan T-Cell mediated cytolysis (melalui sel CD8+). 4.2 EtiologiReaksi ini terjadi karena sel T melepas sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya yang menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. 4.3 MekanismeMekanisme DTH dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase sensitasi dan fase efektor. Fase sensitasi membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah terjadi sentuhan primer dengan antigen. Pada fase ini, antigen akan dipresentasikan oleh APC. Lalu APC akan membawanya ke sel T dan mengaktifkan sel Th melalui MHC-II. Fase efektor terjadi apabila terjadi pajanan kedua terhadap antigen tersebut. Pada fase efektor, sel Th1 akan melepas berbagai sitokin yang mengaktifkan makrofag sebagai efektor utama dan sel inflamasi nonspesifik lain. Gejala akan nampak 24 jam setelah kontak kedua. Sel APC biasanya berupa sel Langerhans dan makrofag. Makrofag yang diaktifkan tadi dapat mengeluarkan enzim litik yang dapat mendestruksi pathogen intraseluler. Jika antigen ini tidak mudah dibersihkan, respon DTH akan memanjang dan dapat merusak jaringan penjamu dan menimbulkan reaksi granuloma karena makrofag terus menerus diaktifkan dan kadang berfusi dengan sel makrofag lainnya membentuk sel datia. Sel datia mendorong jaringan normal dari tempatnya, membentuk nodul yang teraba, dan melepas enzim litik yang dapat merusak jaringan sekitarGranuloma terbentuk pada tuberculosis, lepra, skistosomiasis, lesmaniasis, dan sarkaidosis

4.4 Manifestasi1. Dermatitis kontakPenyakit akibat sel CD4+ akibat kontak dengan suatu antigen tidak berbahaya. Contohnya seperti formaldehid, nikel, bahan dalam cat rambut, atau poison ivy. Mekanisme terjadinya dermatitis kontak adalah sebagai berikut:Antigen masuk ke tubuh melalui kulit. Lalu antigen tersebut akan bergabung dengan protein self dan membentuk hapten. Lalu hapten akan ditangkap oleh APC yang selanjutnya akan mempresentasikan hapten tersebut ke sel T tersensitasi. Lalu sel T akan mengeluarkan berbagai sitokin yang memicu makrofag untuk berkumpul di tempat terjadinya kontak dan mengeluarkan enzim litik. Dalam jangka lama, enzim litik tersebut dapat menimbulkan ruam dan pustule spesifik.

2. Hipersensitivitas tuberculinBentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk biakan M. tuberculosis yanag bila disuntikkan ke kulit akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Yang berperan adalah sel CD4+. Setelah dilakukan suntikan, akan timbul kemerahan dan indurasi 12-24 jam setelah suntikan. Pada orang yang sudah pernah kontak dengan M. tuberculosis, akan timbul bengkak pada kulit 7-10 hari setelah suntikan.3. T-Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8+)Kerusakan terjadi melalui sel CD8+ yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan terbatas pada beberapa organ saja dan tidak sistemik.

5. Antihistamin dan KortikosteroidAntihistaminAntihistamin dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaituA. Generasi pertama atau antihistamin tradisionalObat generasi pertama merupakan obat yang dapat bekerja secara perifer maupun sentral. Efek antikolinergiknya lebih besar dibandingkan dengan agen non sedative. Penghambat SSP akibat AH1 dapat bermanifestasi sebagai gejala mengantuk, maupun kewaspadaan turun.Contohnya adalah ;Difenhidramin (Benadryl), Dimenhidrat (Vormex A), Doksilamin (Mereprine), Klemastin (Tavegyl), Dimentiden (Fenistil), Kloramfeniksamin (Systral), Feniramin (Avil), Bamipin (Soventol), Meklozin (Bonamine), (Peremesin),Chlorpheniramine Maleate(Orphen), Ethylenediamines, Piperazin, Phenothiazine, Piperadines.

B. Generasi kedua atau antihistamin non sedative5.1 FarmakodinamikAntihistaminAH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus, bermacam-macam otot polos. Sleain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaski hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamine endogen berlebihanKortikosteroid

5.2 FarmakokinetikAntihistaminAH-1 dapat diabsorbsi dengan baik secara parenteral maupun oral. Efek timbul dalam 15-30 menit setelah pemberian oran dan maksimal 1-2 jam. Lama kerja antihistamin generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan beberapa derivate piperazin seperti meklizin dan hidroksizin memiliki masa kerja yang lebih panjang seperti juga umumnya antihistamin generasi II.Kortikosteroid

5.3 Indikasi dan KontraindikasiAntihistamin Generasi I:

Difenhidramin (Benadryl, Valdres)INDIKASIAntialergi, Obat Tidur, Antiemetik (seperti Dimenhidrat pada Vornex), Anestetik Lokal (dalam gel pelumas Cathejeli).Imsomnia smentara & jangka pendek. Semua manifestasi alergi.

KONTRAINDIKASILaktasi

Chlorpheniramine Maleate (Orphen)

INDIKASIHay Fever, Urtikaria, Asma Brokial, Rinitis Alrgi & Reaksi Alergi Lain.

KONTRAINDIKASIInfeksi sal. Napas bawah. Bayi premature atau baru lahir.

Generasi II:Fexofenadine (Telfast), Loratadine (Lisino), Setrizin (Zyrtec)

INDIKASIFexofenadine (Telfast), Loratadine (Lisino) :hay fever, penyakit alergi kulit (biduran, alergi matahari).Setrizin (Zyrtec) :pengobatan simtomatik penyakit alergi (urtikaria, hey fever).

KONTRAINDIKASIFeksofenadin : Kehamilan, masa menyusui.Loratadin : anak-anak dibawah umur 12 thn.Setrizin : Penyakit ginjal berat, hipersensitivitas, Kehamilan, masa menyusui, anak-anak dibawah umur 12 thn.

AllohexINDIKASI- Mengurangi gejala-gejala yang berkaitan dengan rhinitis alergik, seperti bersin-bersin, pilek, rasa gatal pada hidung serta rasa gatal dan terbakar pada mata.- Mengurangi gejala-gejala dengan tanda-tanda urtikaria kronik serta penyakit dermatologik alergi lain.

KONTRAINDIKASIPasien yang menunjukkan hipersensitif atau idiosinkrasi terhadap komponen-komponennya

CETIRIZINE10 mg Tablet Salut SelaputINDIKASIPengobatan perennial rinitis, alergi rinitis musiman dan kronik idiopatik urtikaria

KONTRA INDIKASIPenderita dengan pengalaman hipersensitif pada Cetirizine. Cetirizine kontraindikasi pada ibu menyusui karena diekskres

KortikosteroidIndikasi

Kontraindikasi

5.4 Efek sampingAntihistaminEfek samping yang disebabkan oleh penggunaan AH1 dapat muncul pada dosis terapi meskipun jarang yang bersifat serius dan bisa hilang bila pengobatan diteruskan. Toleransi individu juga bisa berbeda-beda terhadap munculnya efek samping. Efek tersering adalah sedasi, yang kadang justru berguna supaya pasien dapat beristirahat. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain ternyata dapat mengurangi efek sedasi iniEfek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, dan tremor. Efek samping lain yang sering muncul adalah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping tersebut dapat berkurang apabila diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu antihistamin non sedatif, lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan.Efek samping lain yang mungkin muncul oleh AH1 adalah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan. Insiden efek samping karena efek antikolinergik lebih sedikit pada pasien yang mendapatkan antihistamin nonsedatif.Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazol, itrakonazol atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dapat mengakibatkan perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes). Keadaan tersebut disebabkan karena antimikroba tersebut menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh enzim CYP3A4 sehingga kadar antihistamin dalam darah naik.KortikosteroidSelain memberikan efek samping, terdapat juga laporan mengenai kasus keracunan AH1. Efek sentral AH1 pada anak dapat berupa perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis, dan kejang.

6. Pandangan islam tentang batasan untuk memilih obat. (Kalo alergi)