final makalah pkp

Upload: achabane-djiban-sheriff

Post on 18-Jul-2015

183 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONVERSI GAS KONTRADIKSI TERHADAP KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN NILAI EFEKTIFITAS

Disusun oleh Achadiyah Andi Lukman H Exta Anniza D 0109002 D 0109006 D 0109030

Kartika Putri F Paskah Lestari S Yossy W

D 0109052 D 0109072 D 0109088

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan masyarakat dunia akan bahan bakar minyak (BBM) sangatlah besar begitupun juga bagi masyarakat di Indonesia. Namun demikian kebutuhan yang besar tersebut tidak diimbangi dengan jumlah sumber minyak mentah yang tersedia. Khusus bagi negara Indonesia hal ini diperparah dengan ketiadaan skill dan kemampuan SDM untuk mengolah minyak mentah sehingga ketergantungan akan negara-negara maju pun tidak dapat terelakkan lagi. Telah menjadi pengetahuan khalayak umum bahwa sumber minyak yang ada kian hari kian menipis hal ini dikarenakan sifat sumber daya alam tersebut yang tidak dapat diperbaharui. Hal tersebut membuat keberadaan minyak menjadi semakin langka dan berimbas pada naiknya harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia belakangan ini mencapai puncaknya pada seputar tahun 2005,2006, dan 2007. Dimana pada tahun 2005 harga minyak dunia melonjak hingga US $ 70 perbarel, tahun 2006 mencapai US $ 65 perbarel, dan pada tahun 2007 mencapai harga. Di Indonesia sendiri keadaan ini tentunya membuat resah dan membebani perekononomian masyarakat yang sebagian besar berada pada garis marginal. Karena kondisi pasar BBM domestik belum mampu menyerap BBM dengan harga pasar internasional yang begitu tinggi, maka berdasarkan Peraturan Presiden No 9 tahun 2006 pemerintah memberlakukan harga subsidi khususnya BBM jenis tertentu untuk membantu sektor rumah tangga dan usaha kecil berupa minyak tanah dan BBM jenis premium serta solar untuk sektor transportasi. Namun demikian pemerintah berasumsi bahwa alternatif tersebut dalam jangka waktu panjang ke depannya akan memberatkan APBN setiap tahunnya. Oleh karena itu pemerintah Indonesia mulai mencari alternatif dan terobosan baru dengan membuat kebijakan pengalihan penggunaan minyak tanah ke gas atau yang lebih akrab dikenal sebagai Kebijakan Konversi Gas dan mulai diberlakukan pada tahun 2007. Kebijakan ini diambil atas dasar pertimbangan Indonesia memiliki jumlah cadangan gas (LNG dan LPG) yang masih cukup banyak. Selain itu energi ini harganya lebih murah

dan juga lebih ramah lingkungan karena zat sisa yang dihasilkan lebih bersih diban8dingkan dengan batu bara atau bahan bakar lainnya. Dengan adanya kebijakan ini pemerintah berasumsi memiliki tujuan pokok untuk mengupayakan terwujudnya konsep kesejahteraan rakyat (Welfare State) sebagaimana yang telah tertuang dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945 yang mengamanatkan tanggung jawab pemerintah untuk mengupayakan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Namun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini masih jauh dari konsep welfare state. Hal ini dibuktikan lewat semakin banyaknya peristiwa ledakan gas tabung elpiji kemasan 3 kilogram (kg) yang menelan banyak korban. Selain itu kebijakan ini dianggap sarat dengan berbagai muatan kepentingan bisnis penguasa, pengusaha dan kelompok negara tertentu. Sehingga kebijakan tersebut bernuansa koruptif, memberi peluang bagi tumbuh suburnya tindak pidana korupsi, baik di kalangan pengusaha maupun instansi-instansi pemerintah yang terlibat dan tidak memihak rakyat. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) beranggapan bahwa kebijakan yang dibuatnya sudah benar dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Pemerintah berdalih bahwa banyaknya peristiwa ledakan gas tabung elpiji 3 kg diakibatkan karena masyarakat sendiri yang tidak mengetahui bagaimana cara memasang selang tabung gas dengan benar. Namun berdasarkan temuan di lapangan didapati bahwa ledakan juga diakibatkan karena buruknya kualitas tabung yang tidak memenuhi standar kelayakan dan karena adanya tindakan pengoplosan oleh oknumoknum tertentu demi tujuan mencari keuntungan pribadi. Justru dalam hal ini peran pemerintah sebagai penyedia (provider) diharapkan mampu menjamin bahwa semua produk yang disediakan aman dan memenuhi standar kelayakan. Jika mengacu pada teori kebijakan publik yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu dan praktik-praktik tertentu (Harold Laswell dan Abraham Kaplan) akan terlihat bahwa kebijakan konversi tersebut tentunya didasarkan atas rasionalitas kebijakan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam penyediaan keperluan hidup. Namun terlihat belum sepenuhnya didasarkan atas kelayakan studi kebijakan, kurangnya pemantauan hasil kebijakan dan lemahnya evaluasi kinerja kebijakan. Dari segi teori kebijakan, kebijakan konversi tersebut kurang didukung oleh pengetahuan, baik itu mengenai implikasi kebijakan oleh pemerintah, maupun pemahaman rakyat mengenai pemanfaatan kompor dan tabung gas. Hal itu diperparah dengan tidak adanya

pengawasan yang memadai terhadap standar mutu tabung gas maupun selang regulator sebagai sarana utama dalam pemanfaatan tabung gas. Dalam kasus konversi minah ke gas semakin terlihat adanya pertentangan nilai antara kebijakan yang diyakini baik oleh pemerintah dan derita korban. Alternatif yang dicoba dilakukan Pemerintah saat ini antara lain mengefektifkan penegakan hukum terhadap adanya unsur-unsur tindak pidana dalam tata kelola distribusi gas dan memperbaiki kualitas kebijakan dengan kebijakan standarisasi peralatan yang terkait dengan penyediaan gas. Efek yang diharapkan dari perbaikan kebijakan konversi tersebut adalah dapat diminimalisirnya Namun, hal itu tentunya memerlukan waktu dan dana tambahan. Jika dikaitkan dengan deskripsi implementasi kebijakan di atas, terlihat bahwa kebijakan konversi minyak tanah ke gas tersebut juga kurang berhasil dalam memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, penataan dan responsivitas. Dengan adanya realita tersebut maka dalam pembuatan makalah ini kelompok kami mengangkat judul IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONVERSI GAS KONTRADIKSI TERHADAP WELFARE STATE DAN NILAI EFEKTIFITAS. ledakan kompor gas.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana realitas dalam implementasi konversi kebijakan minyak tanah ke gas? 2. Apakah kebijakan konversi minyak tanah ke gas sudah berhasil mencapai kesejahteraan rakyat dan memenuhi nilai efektifitas? 3. Apa saja kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke gas? C. Tujuan 1. Untuk menggambarkan kontradiksi antara realitas implementasi kebijakan dengan tujuan awal serta harapan dibuatnya kebijakan tersebut. 2. Untuk mengetahui apakah kebijakan konversi minyak tanah ke gas sudah berhasil mencapai kesejahteraan rakyat dan memenuhi nilai efektifitas. 3. Menjabarkan berbagai kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan konversi minyak tanah ke gas.

BAB II PEMBAHASAN

A. Kajian Teori

1. Implementasi Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan implementasi sebagai pelaksanaan penerapan. Pelaksanaan sendiri mempunyai arti proses, cara perbuatan pelaksanaan melaksanakan, biasanya berupa rancangan atau keputusan. Dalam studi implementasi banyak defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, misalnya Van Meter dan Van Horn (dalam Samodra Wibawa, 1994 15) merumuskan implementasi sebagai tindakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam Solichin A. Wahab, 2001:65) menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa: Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan focus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul setelah dilaksanakannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik sebuah disimpulkan bahwa studi

implementasi adalah suatu tindakan atau perbuatan untuk melaksanakan rancangan keputusan atau program-program yang sudah disahkan, baik yang dilakukan individu-individu, pejabatpejabat, kelompok-kelompok, pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan. Adapun tujuan implementasi menurut Dunn adalah untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang sebaiknya dilakukan untuk mengefektifkan kebijakan, menjelaskan penyebab keberhasilan atau kegagalan program.

Kelancaran Implementasi menurut Sabatier dan Mazmanian dalam Solichin A. Wahab (1990:67-68) sangat ditentukan: 1. Rendah tidaknya masalah yang akan digarap atau dikendalikan 2. kemampuan keputusan kebijakan untuk menstruktur secara tepat proses implementasi 3. Pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. 2. Efektifitas Efektivitas adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu sserta tanpa memberi tekanan yang tidak wajar terhadap pelaksanaannya (Steers, 1985:87). Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian unjuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Efektivitas dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan (Martoyo, 1998:4). Dari beberapa pendapat di atas mengenai efektivitas, dipahami bahwa efektivitas dalam proses suatu program yang tidak dapat mengabaikan target sasaran yang telah ditetapkan agar operasionalisasi untuk mencapai keberhasilan dari program yang dilaksaksanakan dapat tercapai dengan tetap memperhatikan segi kualitas yang diinginkan oleh program. 3. Kebijakan Menurut Charles O Jones, istilah kebijkan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design.

Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian ini dapat digunakan dan relative memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. James Anderson berpendapat bahwa kebijakan sebagai arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seseorang actor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Henry,Brian, dan White (dalam Samodra,W;1994:65).Kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur efektifitas program / kebijakan: a) Waktu pencapaian b) Tingkat pengaruh yang diinginkan c) Perubahan perilaku masyarakat d) Pelajaran yang diperoleh para pelaksana proyek e) Tingkat kesadaran masyarakat akan kemampuan dirinya.

4.

Konversi Dalam kamus Bahasa Indonesia, konversi adalah (1) perubahan di satu sistem

pengetahuan ke sistem yang lain; (2) perubahan pemilikan atas suatu benda, tanah, dan sebagainya; (3) perubahan suatu bentuk (rupa, dsb) kebentuk (rupa, dsb) yang lain. Berdasarkan pengertian di atas, penulis berpendapat bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji berarti pengalihan pemakaian bahan bakar minyak tanah ke gas elpiji. 5. Kesejahteraan Konsep kesejahteraan (welfare) sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000), Thompson (2005), Suharto, (2005a), dan Suharto (2006), pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna:

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Midgley, et al (2000: xi) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai a condition or state of human well-being. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resikoresiko utama yang mengancam kehidupannya. 2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services). 3. Sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut social illfare daripada socialwelfare 4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga). Pengertian tentang kesejahteraan negara tidak dapat dilepaskan dari empat definisi kesejahteraan di atas. Secara substansial, kesejahteraan negara mencakup pengertian kesejahteraan yang pertama, kedua, dan keempat, dan ingin menghapus citra negatif pada pengertian yang ketiga. Dalam garis besar, kesejahteraan negara menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa kesejahteraan negara stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards. Menurut DR Goran Adamson yang merupakan dosen di Lund University, Sweden ada empat hal yang disediakan oleh Negara kesejahteraan kepada rakyatnya antara lain: 1. Menciptakan keamanan 2. Mensuplai pelayanan sosial

3. Mengurangi biaya sosial masyarakat 4. Mengontrol angka reproduksi B. Realitas Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke Gas Kebijakan konversi gas yang dikeluarkan pemerintah dan telah diimplementasikan mulai dari tahun 2007 hingga sekarang ini, tentunya tidak luput dari berbagai masalah dan realitas / fakta dalam mengimplementasikan yang terjadi di lapangan. Berbagai fakta yang terjadi di lapangan , menunjukan bahwa pemerintah belum mampu mengimplementasikan kebijakan publik yang menyangkut hidup banyak rakyatnya. Realitas yang terjadi dalam mengimplementasikan di lapangan , justru terjadi lebih banyak realitas negatif daripada realitas positif yang diharapakan pemerintah dan rakyatnya. Realitas negatif yang terjadi, memperlihatkan betapa masyarakat menjadi korban ketidakmampuan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang dirancangnya sendiri dan yang dibuatnya sendiri. Pada dasarnya apabila pemerintah mampu merencanakan mengimplementasikan kebijakan. Realitas yang dan mempersiapkan dengan baik terjadi di lapangan dalam kebijakan yang akan dimplementasikan, maka pemerintah dapat mencapai efektivitas dalam mengimplementasikan kebijakan konversi minyak ke gas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya tujuan program konversi minyak tanah ke LPG sangatlah baik. Tetapi pada kenyataannya sejak digulirkannya program ini hingga kini terjadi berbagai ledakan gas LPG dan yang menjadi korbannya masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Menurut data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN ), kasus kecelakaan LPG hingga juni 2010, tercatat telah ada 33 kasus kecelakaan LPG yang menewaskan delapan orang, dan mengakibatkan 44 orang luka-luka. Padahal tahun 2009, jumlah kasus kecelakaan LPG berjumlah 30 dalam setahun, dengan jumlah korban tewas 12 orang, dan luka-luka 48 orang. Tahun 2008, jumlah kasus kecelakaan gas LPG tercatat sebanyak 27, dengan korban tewas dua orang dan luka-luka 35 orang. Tahun 2007, saat program konversi LPG mulai dilakukan, terjadi lima kasus kecelakaan, dengan empat korban luka.Ledakan gas disebabakan karena kebocoran gas karena kerusakan pada selang ,regulator dan tabung gas yang rusak. Ledakan itu juga diduga akibat kurangnya pemahamahan cara pemakaian tabung gas dan aksesorisnya. Selain itu, ledakan diduga akibat praktik ilegal, terutama produksi tabung yang tidak sesuai standar dan praktik penyuntikan gas yang berakibat pada kerusakan tabung. Jika demikian faktanya, maka

program konversi minyak tanah ke LPG yang dibuat pemerintah saat ini sudah tidak lagi menyejahterakan rakyat, justru sebaliknya menyengsarakan rakyat. Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi secara komprehesif, dikuatirkan kedepannya akan semakin banyak rakyat kecil menjadi korban. Akibatnya, masyarakat menjadi trauma dan ini bisa menghambat program konversi minyak tanah ke LPG itu sendiri. 2. Pembagian peralatan penunjang gas seperi selang, regulator, kompor dan kondisi tabung gas yang kualitasnya tidak memenuhi standard keamanan. Pertamina menyatakan bahwa tabung LPG 3kg yang didistribusikan dalam program ini telah memenuhi standar Safety SNI 19-1452-2001 dan harapan umurnya adalah 5 tahun. Faktanya yang terjadi saat ini adalah belum sempat tabung-tabung itu diperiksa ulang pada tahun kelima, sudah banyak tabung yang meledak dalam tugas. Kecuali dipalsukan, tabung gas LPG 3kg tersebut seharusnya cukup tahan untuk pemakaian selama 5 tahun, dimana tabung tersebut didesain untuk mampu menahan tekanan gas sebesar 110kg/cm2 padahal tekanan gas dalam tabung hanya berkisar 5-6kg/cm2. Selain itu, setiap kali tabung diisi kembali di stasiun pengisian LPG, seharusnya tabung tersebut diperiksa kelayakannya oleh Pertamina. BSN telah melakukan uji terhadap peralatan program konversi yang dilakukan Pertamina. Hasilnya adalah 100 persen selang tabung gas tidak layak. Sebanyak 66 persen tabung gas yang diuji tidak layak pakai. Sementara untuk kompor, hasil uji menunjukkan sebanyak 50 persen tidak layak. Adapun untuk regulator, BSN menyatakan 20 persen dari sampel uji tidak layak. 3. Adanya Indikasi terjadinya korupsi dalam pengadaan tabung gas, regulator,dan kompor yang kualitasnya buruk dan tidak sesuai standar kelayakan dan keamanan. 4. Proses perencanaan yang tidak matang. Pemerintah terlalu terbebani oleh target waktu yang telah ditetapkan sehingga pelaksanaannya terkesan dipaksakan. Konversi minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. 5. Distrribusi tabung gas tidak efektif dan tidak merata karena pada realita nya dibeberapa daerah ada yang tidak dapat tabung gas. Sampai akhir tahun ini, Pertamina hanya mampu menyasar 15 juta rumah tangga dan industri kecil di Jawa, Bali, dan Sumatera Selatan. Padahal, sebelumnya pemerintah dan Pertamina menyepakati target program konversi elpiji di tahun ini bisa menyasar 20 juta rumah tangga dan industri kecil. Namun, melihat situasi

pasokan elpiji belakangan ini, pemerintah dan Pertamina akhirnya merevisi target dengan memangkas target ini karena alasan adanya kendala infrastruktur. 6. Pemerintah tidak berhasil mengadakan sosialisasi dengan baik , sehingga masyarakat tidak paham terkait penggunaan perangkat kompor gas , tabung dan selang regulatornya , sehingga menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan. Masyarakat tidak mengerti cara menggunakan, memasang dan mengatasi tindakan darurat apabia terjadi kebocoran gas. Sosialisasi yang kurang terhadap masyarakat yang belum terbiasa menggunakan elpiji, menyebabkan ketidaktahuan. Dari ketidaktahuan tersebut muncul kelalaian, dan kelalaian tersebut akibat ketidak sesuaian informasi. DPR sebenarnya telah menyarankan kepada pemerintah agar sosialisasi penggunaan tabung gas LPG 3 kg dilakukan secara simultan. Hal ini dikarenakan pola perilaku masyarakat tidak bisa dibentuk hanay dalam waktu hanya satu-dua tahun saja. Seharusnya pemerintah mensosialisasikan tindakan pengamanan jauh sebelum program konversi minyak tanah digulirkan. 7. Program konversi minyak tanah ke elpiji tidak disertai dengan pembangunan fasilitas infrastuktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji (SPBBE). Akibat minimnya SPBBE ini, pasokan elpiji di berbagai daerah yang telah menjalani program konversi sempat tersendat dan langka. Masyarakat harus bersusah payah mencari elpiji. Pertamina setidaknya membutuhkan sekitar 200 unit SPBBE dan tangki penyimpanan elpiji sebesar 100.000 metrik ton untuk melaksanakan program konversi tersebut. Adapun pada saat ini jumlah SPBBE hanya 53 unit dan kapasitas tangki elpiji cuma sebesar 35.000 metrik ton. Keberadaan SPBBE (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji) selama ini juga dirasakan masih belum efektif. SPBBE yang harusnya menjadi ujung tombak PT Pertamina dalam mendistribusikan tabung gas LPG ke masyarakat melalui agen-agen, pada kenyataannya tidak mampu menjadi pintu akses bagi rakyat untuk mendapatkan informasi. Jika terjadi banyak kasus kebocoran tabung gas LPG 3 kg, masyarakat sampai saat ini masih bingung, kemana hendak mengadu. Karena masyarakat tahunya hanya kepada agen saja berkomunikasinya. 8. Kebijakan konversi gas memunculkan kesan bahwa kebijakan ini menjadi bisnis pemerintah. Selain itu dalam pembuatan kebijakan konversi gas tersebut, terselip unsur kepentingan politis dan kepentingan pribadi. Kesan itu berawal dari sikap Jusuf Kalla yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden. Jusuf Kalla mendorong pemerintah untuk merubah kebijakan dari konversi batubara menjadi konversi gas. Hal ini disinyalir

menguntungkan Jusuf Kalla memiliki perusahaan yang bergerak di bidang energi gas. Sebelum kebijakan konversi gas dibuat, sebenarnya pemerintah telah terlebih dahulu menggerakkan rencana program kon versi dari minyak beralih ke batu bara yang harganya jauh lebih murah terjangkau bagi masyarakat kecil dan lebih mudah penggunaanya serta jauh lebih aman daripada penggunaan gas elpiji. Namun tiba tiba pemerintah melakukan manuver merubah arah program menjadi konversi gas , Padahal telah diteliti bahwa energi biogas lebih murah , lebih mudah didapat berasal dari lingkungan sekitar dan lebih mudah penggunaanya.Hal tersebut memunculkan kesan bahwa terjadi praktek bisnis pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan konversi gas, karena kebijakan konversi dirasa terlalu dipaksakan, dan sangat terburu buru/ mendadak. C. Kendala Pemerintah dalam Mengimplementasi Kebijakan Konversi Gas Pada dasarnya kebijakan ini seharusnya bisa terimplementasi dengan baik, tetapi masih banyak kendala yang terjadi. Adapun beberapa faktor yang menjadi kendala bagi pengimplentasian kebijakan ini, antara lain; 1. Ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi keterkejutan masyarakat karena minyak tanah yang telah membudaya sejak lama menjadi bahan bakar andalan akan tergantikan oleh gas. Merupakan hal yang tidak mudah dan butuh waktu yang cukup lama untuk merubah culture masyarakat yang sejak lama sudah terbiasa menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. 2. Sosialisasi kepada masyarakat mengalami kendala sehingga masih banyak masyarakat yang tidak memahami bagaimana standart kualitas tabung gas yang memenuhi unsur keamanan (safety), tata cara pemasangan perangkat tabung gas, dan cara menanggulangi kebocoran gas. 3. Infrastruktur yang buruk menjadi kendala pelaksanaan konversi gas karena secara geografis terdapat wilayah yang sangat luas di Indonesia. Wilayah yang luas dan kondisi jalan yang masih belum baik tentunya akan mengganjal pelaksanaan konversi minyak tanah ke gas. Selain itu keberadaan stasiun pengisian bahan bakar elpiji sesuai Keputusan Menteri ESDM masih belum dimiliki Sintang. Jadi tidak semudah yang dibayangkan untuk pelaksanaan konversi gas karena daerah harus memiliki SPBE yang jaraknya dihitung pada radius 60 kilometer sehingga bisa diberlakukan HET dan diperlukan banyak pembangunan SPBE.

4. Kebijakan pemerintah pusat terkait konversi minyak tanah ke Elpiji (Liquified Petroleum Gas / LPG) 3 kilogram dinilai hanya didasarkan pada kondisi pulau Jawa. Seharusnya sebelum penerapan konversi secara menyeluruh di Indonesia, pemerintah pusat harus mempunyai data mengenai daerah mana saja yang layak menerapkannya dengan mempertimbangkan kondisi geografis, sosial ekonomi suatu daerah. Akibat kebijakan yang lahir hanya didasarkan kondisi Pulau Jawa tersebut, ketika diterapkan di pulau-pulau lainnya mendapatkan penolakan-penolakan dari masyarakat. 5. Pemerintah juga mengalami kendala dalam hal pengawasan (monitoring dan controlling) terhadap jalannya kegiatan implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke gas. Hal ini terbukti dengan sering didapatinya ulah para oknum tertentu yang memanfaatkan kebijakan ini untuk kepentingan pribadinya. Para oknum ini dapat dengan mudah mempermainkan harga tabung gas elpiji, menurunkan standart kualitas tabung gas, bahkan sampai menimbun tabung gas yang dapat memicu kelangkaan dan ketidakmerataan distribusi tabung gas. 6. Lemahnya supremasi hukum di Indonesia juga merupakan kendala yang tidak dapat diremehkan begitu saja oleh pemerintah. Dalam kenyataannya meskipun pemerintah sudah membuat berbagai macam peraturan dan perangkat hukum lainnya untuk melindungi jalannya sebuah proses implementasi kebijakan, namun peraturan dan perangkat hukum tersebut belum mampu ditegakkan dan mengikat. Hal tersebut terlihat manakala banyak oknum yang menyalahgunakan kebijakan ini luput begitu saja dari keterikatan hukum.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Pembuatan kebijakan konversi minyak tanah ke gas sebenarnya sarat akan nilai dan tujuan yang baik yakni untuk meringankan APBN akibat pengeluaran subsidi minyak tanah serta untuk mencapai kesejahteraan rakyat atas dasar asumsi bahwa harga LPG lebih ekonomis sehingga dapat membantu perekonomian rakyat. Namun demikian ketika kebijakan tersebut diimplementasikan, hasil nya cukup jauh menyimpang dari apa yang diharapkan diawal. Implementasi kebijakan ini sendiri diindikasikan begitu kontras dengan kesejahteraan rakyat dan nilai efektifitas. Hal ini diperkuat dengan semakin bertambahnya kasus peledakan tabung gas elpiji ukuran 3kg yang kian hari kian menyengsarakan rakyat, adanya kelangkaan tabung gas di daerah-daerah tertentu yang merupakan ulah dari oknum tidak bertanggung jawab, ketidakmerataan pendistribusian tabung gas, dan lain sebagainya. Tidak hanya berhenti sampai disitu saja, masyarakat juga merefleksikan kebijakan ini sebagai ajang bisnis pemerintah yang begitu diwarnai oleh kepentingan politik serta tindakan koruptif. Di sisi lain pemerintah berasumsi bahwa kebijakan yang dibuat sudah benar dan memihak kesejahteraan rakyat, hanya saja memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai sbuah efektifitas. Selain itu pemerintah juga mengalami berbagai macam kendala untuk dapat mengimplementasikan kebijakan ini dengan baik seperti susahnya merubah culture masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah, kendala dalam hal infarstruktur, sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum. Perbedaan cara pandang tersebut yang akhirnya menimbulkan pertentangan nilai kebijakan antara pemerintah dan masyarakat. Kesinergisan peran antara masyarakat dan pemerintah merupakan kunci untuk mencapai efektifas kebijakan sehingga ikut berdampak pada terwujudnya suatu kesejahteraan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA Budi, Winarno. 2008. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo Samodra ,Wibawa. 1994. Evaluasi Kebijakan publik. Jakarta : PT Raja Grafindo Pustaka Solichin A. Wahab. 1991. Analisis kebijaksanaan dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan negara. Jakarta : PT Bumi Aksara Solichin A. Wahab. 2001. Analisis kebijaksanaan dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan negara. Jakarta : PT Bumi Aksara http://aryabudiugm.wordpress.com/category/karya/welfare-state-dan-realitas-indonesia/ Diakses pada 15 April 2011 jam 14.56 http://www.equator-news.com/utama/box/kendala-penerapan-konversi-mita-ke-gas-di-kalbar Diakses pada 18 April 2011 jam 09.22 www.kompas.com Diakses pada 18 April 2011 jam 09.45 www.majalah.tempointeraktif.com Diakses pada 18 April 2011 jam 10.02 www.mediaindonesia.com Diakses pada 21 April 2011 jam 10.30