makalah final api kus

29
Evolusi Pengetahuan dan Perubahan Sosial Komunitas Pesisir di Kulon Progo: Perubahan Ekosistem dan Ketidakpastian Politik Kus Sri Antoro Institut Pertanian Bogor aku tresno marang bangsa lan negara iki kanthi nolak tambang besi (Tukijo, PPLP) A. Pendahuluan 1. Sejarah Masyarakat Pesisir Kulon Progo dalam Konteks Keistimewaan DIY Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas daerah 586,28 km 2 (12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedukuhan) dan posisi geografis 110 o 1’37” – 110 o 16’26” BT dan 7 o 38’42” – 7 o 59’3” LS. Batas wilayah, karakteristik topografi, dan kependudukan Kabupaten Kulon Progo, berturut-turut disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 1. Batas wilayah Kabupaten Kulon Progo Perbatasan Wilayah Bagian Barat Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Bagian Timur Kabupaten Sleman dan Bantul Provinsi DIY Bagian Utara Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah Bagian Selatan Samudera Hindia Sumber: www.kulonprogokab.go.id Tabel 2. Karakteristik topografi Kabupaten Kulon Progo Bagian Tinggi tempat (m dpl) Kecamatan Bagian Utara 500-1000 Girimulyo, 1

Upload: icha-setya

Post on 27-Jun-2015

527 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Final API Kus

Evolusi Pengetahuan dan Perubahan Sosial Komunitas Pesisir di Kulon Progo: Perubahan Ekosistem dan Ketidakpastian Politik

Kus Sri AntoroInstitut Pertanian Bogor

aku tresno marang bangsa lan negara iki kanthi nolak tambang besi(Tukijo, PPLP)

A. Pendahuluan1. Sejarah Masyarakat Pesisir Kulon Progo dalam Konteks Keistimewaan DIY

Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas daerah 586,28 km2 (12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedukuhan) dan posisi geografis 110o1’37” – 110o16’26” BT dan 7o38’42” – 7o59’3” LS. Batas wilayah, karakteristik topografi, dan kependudukan Kabupaten Kulon Progo, berturut-turut disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 1. Batas wilayah Kabupaten Kulon ProgoPerbatasan WilayahBagian Barat Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa

TengahBagian Timur Kabupaten Sleman dan Bantul

Provinsi DIYBagian Utara Kabupaten Magelang Provinsi Jawa

TengahBagian Selatan Samudera Hindia

Sumber: www.kulonprogokab.go.id

Tabel 2. Karakteristik topografi Kabupaten Kulon ProgoBagian Tinggi tempat

(m dpl)Kecamatan

Bagian Utara 500-1000 Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap

Bagian Tengah 100-500 Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah

Bagian Selatan 0-100 Temon, Wates, Panjatan Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah

Sumber: www.kulonprogokab.go.id

1

Page 2: Makalah Final API Kus

Tabel 3. Kependudukan Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon ProgoKecamatan Luas (ha) Jumlah Desa Jumlah penduduk

Temon 3.629,09 15 31.619

Wates 3.200,24 8 48.176

Panjatan 4.459,23 11 39.877

Galur 3.291,23 7 32.615

Jumlah 14.579,79 41 152.287Sumber: www.kulonprogokab.go.id

Pola kehidupan masyarakat pesisir di Kabupaten Kulon Progo terbentuk dari interaksi antara manusia dengan ekosistemnya. Ekosistem pesisir tersebut merupakan hamparan gumuk pasir seluas 44 km2 ; dengan dihimpit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Bogowonto dan Sungai Progo, ekosistem tersebut menyediakan potensi yang jarang ditemukan di ekosistem pesisir lain di Indonesia, yaitu air tawar di sepanjang pantai. Selain mengandung air tawar, hamparan gumuk pasir di kawasan tersebut mengandung mineral besi. Dua potensi ekonomi ini (air tawar dan pasir besi) menjadi unsur penting dalam keputusan-keputusan politik yang berdampak pada perubahan sosial dan budaya setempat.

Meskipun menempati kawasan yang dekat dengan aktivitas maritim pada umumnya, masyarakat pesisir Kulon Progo justru merupakan masyarakat agraris. Watak gelombang Samudera Hindia menjadi alasan bagi masyarakat untuk memilih strategi nafkah. Alasan lain yang melatarbelakangi pilihan masyarakat untuk hanya memanfaatkan potensi air tawar ialah bahwa akses ekonomi terhadap pasir besi memerlukan syarat teknologi tinggi yang jelas-jelas tidak mereka kuasai.

Sebagian besar masyarakat pesisir Kulon Progo tidak terikat secara hukum dengan lahan yang ditempatinya. Struktur penguasaan agraria di Propinsi D.I. Yogyakarta mempunyai karakteristik yang khas, yaitu penguasaan tanah oleh kekuatan feodal masih berlaku. Penguasaan tanah masih menjadi konflik laten baik antara kekuatan feodal (kasultanan dan pakualaman), negara, dan masyarakat, sehingga peralihan penguasaan tanah melalui jual beli oleh masyarakat sulit terjadi karena dua hal: 1) kesuburan lahan yang rendah dan 2) ketidakpastian status hukum.

Yogyakarta merupakan propinsi yang ditetapkan sebagai daerah istimewa menurut UU no 3 tahun 1950, kemudian dikuatkan dengan Peraturan Daerah No 5 tahun 1954. Hal penting yang tercantum dalam peraturan daerah itu adalah Propinsi Yogyakarta mempunyai kekuasaan untuk mengatur sumber-sumber agraria menurut domein verklaring tahun 19181 dan penyelenggaraan sistem pemerintahan secara otonom2.

1 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijsblad Pakualaman No 18/1918 menyatakan, ‘Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157)2 Dasar yuridis yang menjadi rujukan untuk mempertahankan argumen keistimewaan Yogyakarta antara lain adalah: a) kontrak politik Belanda dengan Kasultanan 1877, 1921, dan 1940 yang mengatur hubungan sultan dengan gubernemen dan tata pemerintahan kasultanan, b) penghapusan kepatihan sebagai wakil kekuasaan pemerintah Belanda oleh Sultan HB IX pada 1 Agustus 1945; c) UUD 1945 pasal 18 (1); d) Amanat 5 September

2

Page 3: Makalah Final API Kus

Sultan Ground (SG) dan Paku Alaman Ground (PAG) adalah istilah bagi semua tanah yang berada pada wilayah keraton Kasultanan dan Puro Paku Alaman kecuali tanah-tanah yang hak kepemilikannya telah jelas secara hukum. Kepastian hukum mengenai penguasaan sumber-sumber agraria di Propinsi Yogyakarta menjadi tidak jelas ketika UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) disahkan sebagai sumber hukum bagi masalah pertanahan pada khususnya3. Kawasan pesisir Kulon Progo diklaim termasuk dalam PAG4. Perubahan fungsi lahan pasir menjadi lahan pertanian merupakan satu-satunya aktivitas yang dapat memberikan manfaat secara ekonomi bagi komunitas pesisir Kulon Progo sekaligus sesuai dengan karakteristik ‘hukum’ setempat5. Bagaimana masyarakat mengatasi keterbatasan informasi dan teknologi sehingga tercipta variasi strategi nafkah dari masa ke masa akan diuraikan lebih rinci dalam uraian berikut.

a. Sebelum 1980Kemiskinan selalu melekat sebagai identitas masyarakat setempat. Mereka yang

hidup di kawasan ini disebut Cubung oleh orang di luar komunitasnya, sebuah istilah yang bermakna keterbelakangan, golongan rendah, dan berpenyakitan6. Sebelum dekade 1980an masyarakat setempat memanen kelapa di sepanjang pesisir sebagai komoditas ekonomi untuk melengkapi komoditas lain yaitu anyaman daun pandan, yang sumbernya merupakan spesies endemik yang tumbuh liar. Penghasilan lain diperoleh dari penambangan garam dari air laut yang dalam istilah setempat aktivitas itu disebut sirat7. Perjuangan untuk hidup dan tekanan alam mendorong generasi muda memilih jalan penghidupan lain melalui urbanisasi (Kompas, April 2008ab). Aktivitas ekonomi sebagai buruh di kota lambat laun mengendurkan ikatan sosial individu urban dengan lingkungan asalnya. Sistem sosial yang semula dibentuk oleh solidaritas mulai bersifat individualis8.

b. Tahun 1980-2001

1945 oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII yang menyatakan Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia yang bersifat istimewa; Sultan dan Paku Alam adalah pemegang kekuasaan di seluruh wilayah kekuasaan keraton, dan pertanggungjawaban langsung Sultan dan Paku Alam terhadap presiden Republik Indonesia; e) UU No 22/1948 yang memungkinkan daerah swapraja dijadikan daerah istimewa, UU No 22/1948 digantikan UU N0 3/1950 (Ibid: 38)3 Menurut dalil hukum lex posteriori derogate lex anteriori, dan lex superiori derogate lex inferiori, UU No 5/1960 menghapuskan Perda No 5/1954 yang merupakan turunan dari UU No 5/1950. Di dalam diktum ke-4 UUPA dinyatakan “ hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara”.4 Sebelum terbentuknya Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang meliputi Pengasih; Sentolo; Nanggulan; dan Kalibawang, dan Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman yang meliputi daerah Galur; Wates; Panjatan; dan Temon (www.kulonprogokab.go.id).5 Surat KGPAA Paku Alam IX No 10/PA/2003 tertanggal 7 Januari 2003 menegaskan bahwa kawasan pesisir sebagai sumber kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi dengan fungsi pertanian lahan pasir dan pariwisata, dan pelarangan terhadap pengubahan ekosistem yang merusak lingkungan. 6 Wawancara dengan Widodo (31) Desa Garongan, Panjatan, Juli 2008. 7 Wawancara dengan Sukarman (50) Kelompok Tani Gisik Pranaji, Bugel, Juli 2008.8 Masyarakat pesisir Kulon Progo mempunyai tradisi komunikasi yang mereka sebut endong-endongan, yaitu kunjungan antar keluarga di malam hari untuk membicarakan kehidupan sehari-hari dan bertukar informasi. Endong-endongan kelak menjadi salah satu unsur penting dalam penyebaran pengetahuan yang menjadi cikal bakal perubahan ekosistem dan social di tempat itu (Iman Rejo, 1996).

3

Page 4: Makalah Final API Kus

Pada tahun 1982, salah seorang penduduk9 terinspirasi untuk memulai bercocok tanam di lahan pasir pantai, ketika ia mendapati sebatang tanaman cabai liar yang mampu tumbuh dan berkembang di bentangan gumuk pasir itu (Kompas, April 2008b). Bersama beberapa warga lainnya, ia memanfaatkan sumberdaya air tawar yang tersimpan di kedalaman 3-6 m di bawah permukaan pasir pantai untuk menyuplai kebutuhan air bagi tanaman (Kompas, April 2008a). Air tawar di tepi pantai memberikan berkah bagi jenis pekerjaan baru, yaitu petani hortikultura terutama cabai dan semangka.

Pada tahun 1988-1995 budidaya tanaman hortikultura itu meluas di 4 kecamatan di kawasan pesisir (Temon, Wates, Panjatan, Galur), dengan didukung pengembangan teknologi dan informasi. Pada mulanya mereka hanya membangun sumur timba yang sangat sederhana pada galian pasir. Seiring dengan peningkatan pengetahuan10 dan pendapatan petani, sumur timba tersebut kemudian berkembang menjadi sumur berantai yang mampu menghemat waktu dan tenaga (Iman Rejo, 1999). Beberapa rumah tangga petani yang secara ekonomi lebih mapan kemudian mencukupi kebutuhan pengairan dengan menggunakan mesin.

Keberadaan jenis pekerjaan baru di desa lambat laun menggerakkan arus balik urbanisasi (Kompas, April 2008ab). Para pemuda yang dahulu bekerja di sektor industri di kota kembali ke desa untuk menekuni profesi sebagai petani yang lebih menjanjikan bagi penghidupan11. Matapencaharian mampu menyerap tenaga kerja dari luar kawasan, yaitu sebagai buruh petik12. Perkembangan informasi dan teknologi tidak hanya meningkatkan taraf hidup secara ekonomi tetapi juga membangun hubungan sosial dengan elemen pembangunan di luar komunitas pesisir, terutama akademisi.

Pada tahun 2001 Fakultas Pertanian UGM mengkaji pengembangan potensi lahan pasir pantai. Pertukaran informasi antara akademisi dan para petani lahan pasir membuahkan kelembagaan baru di sektor distribusi, yaitu 1) pengaturan sarana produksi dan 2) sistem lelang. Pengaturan sarana produksi meliputi kegiatan penyediaan pupuk dan benih, sedangkan sistem lelang untuk pengendalian harga panen. Kedua kelembagaan ini dijalankan oleh komunitas setempat melalui pengorganisasian diri. Posisi tawar petani terhadap pasar terbangun melalui proses interaktif yang panjang antara pengetahuan dan tindakan yang berubah dari waktu ke waktu.

2. Desentralisasi dan Perubahan Arena Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di

propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari permukaan dengan

9 Ada dua versi cerita mengenai kemunculan inspirasi ini, sumber lisan yaitu Widodo dan Sutar (keduanya warga Desa Garongan), menyatakan bahwa Sukarman adalah sang pemula (lihat juga, Kompas April 2008b), sumber tertulis setempat menyatakan Iman Rejo adalah yang mengawali (Iman Rejo, 1996). Kedua versi tersebut menguatkan bukti bahwa gagasan untuk mengubah bentang alam pesisir menjadi lahan hortikultura berasal dari masyarakat lokal.10 Kemunculan pengetahuan dan teknologi pengairan ini didorong oleh keinginan efisiensi dalam tenaga kerja.11 Dengan luas 1000 m2 atau 0,1 ha , hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai untuk komoditas cabai adalah Rp. 11.554.090,00 dengan indeks B/C ratio sebesar 4,54 dan rata-rata produktivitas 2.014 ton per satuan luas; artinya sangat layak diusahakan (sumber: Shiddieq et al., 2008, Anonim, 2007, dan Rismiyadi, 2003)12 Wawancara dengan Sutar (40), Garongan, Panjatan, Agustus 2008.

4

Page 5: Makalah Final API Kus

total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe (mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)13. Impor pig iron untuk bahan baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun14. Potensi pasir besi di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi ketergantungan bahan baku baja nasional (JMI, 2008). Pertambangan ini akan dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan investasi US $ 600 juta15.

Pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan strategi untuk mengubah hubungan manusia dengan lingkungan. Wacana yang dijadikan simbol oleh pembangunan berkelanjutan ialah pertumbuhan yang lestari. Kelestarian pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan jalan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan pemerataan kesejahteraan. Kedua cara ini diharapkan dapat berjalan secara efektif dan efisien melalui otonomi daerah. Otonomi daerah mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi daerahnya, baik yang berupa SDA maupun sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian, otonomi daerah secara teoritis merupakan sistem politik yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Di dalam sistem desentralistik, daerah dikondisikan untuk dapat menggali potensi lokalnya agar tercipta pertumbuhan. SDA menjadi komoditas yang diperebutkan antaragen pembangunan. Bentang alam menjadi ruang di mana berbagai kepentingan bertemu, dan kepentingan tersebut mewujud sebagai keputusan-keputusan politik di setiap aras (pemerintah, pasar, dan publik).

Pada aras pelaksanaan, visi dan misi pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya dipahami dan diwujudkan oleh para aktor pembangunan dalam sistem otonomi daerah. Sumantri (2009a), Isworo (2009b), dan Kristanto (2009c) melaporkan bahwa 1) pertentangan antara pusat dan daerah; 2) kewenangan yang tumpang tindih; 3) kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan 4) penurunan kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan otonomi daerah adalah:1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak atas tanah

dan SDA lain.2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif terhadap

SDA.3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran bagi

pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA yang dimaksud.4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah,

cenderung mengarah pada eksploitasi SDA.13 Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta. 14 Proyek Penambangan Pasir Besi, Jogja Magasa Mining, 200815 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10 tahun pertama, dan sebesar 2 % pada periode selanjutnya diberikan untuk Regional Development dan Community Development senilai US $9.6 juta/tahun (dengan asumsi harga pig iron tahun 2007, yaitu US $320/ton). Pembagian keuntungan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Indomines Australia (investor) ialah 30 % : 70 % (Sumber: Application for Contract of Works from The Government of the Republic of Indonesia by PT Jogja Magasa Mining and Indo Mines Limited).

5

Page 6: Makalah Final API Kus

Kebijakan mengenai pengelolaan SDA yang rawan konflik merupakan bukti empiris mengenai kerendahan pemahaman para aktor pembangunan tentang visi dan misi pembangunan berkelanjutan. Dalam perspektif administrasi pemerintahan, konflik merupakan bukti empiris mengenai kegagalan kelembagaan pengelolaan SDA. Pada perspektif perubahan sosial, kelembagaan pengelolaan SDA merupakan salah satu ruang di mana kekuasaan para pihak dimainkan untuk menentukan arah perubahan lingkungan yang selanjutnya berpengaruh pada sistem sosial, sumber konflik adalah ketimpangan kekuasaan terhadap SDA.

3. Keputusan Politik: Masyarakat, Negara, PasarKeputusan-keputusan politik merupakan penyebab utama bagi perubahan struktur

dan fungsi ekosistem dalam konteks ekologi manusia. Pemerintah daerah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo menggulirkan kebijakan penambangan pasir besi di kawasan pesisir itu untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD)16.

Rencana pemerintah daerah tersebut didorong oleh kepentingan swasta, yaitu PT. Jogja Magasa Mining (PT. JMM) yang merupakan perusahaan keluarga kasultanan Yogyakarta. Perusahaan tersebut menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan di Australia (Indo Mines Limited) untuk permodalan. Dualisme kedudukan Sultan HB X sebagai pemimpin politik dan budaya menjadikan tekanan-tekanan kepentingan swasta ini semakin memperoleh legitimasi politik, sehingga pada akhirnya memicu konflik di daerah, terutama antara pemerintah daerah kabupaten dengan penduduk di kawasan pesisir (Kompas, April 2008c). Butir-butir yang menjadi isu dalam konflik tersebut antara lain:

a. Kerusakan ekosistem gumuk pasirKawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai gumuk

pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, yang merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami17. Rencana penambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2) erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka (Kompas, April 2008d).

b. Penggusuran lahan hortikultura dan pemukimanSebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi lahan

hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan, dan jaringan). Rencana penambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan pemukiman (Mulyono, 2008).

c. Penghapusan lapangan kerja

16 Surat dari Pemkab No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 tertanggal 12 Oktober 2005 mengenai Pemberian ijin Eksplorasi Bahan Galian Pasir Besi dan mineral pengikutnya kepada PT Jogja Magasa Mining (JMM), sebagai tangapan atas surat permohonan eksplorasi oleh PT. JMM pada 6 Oktober 2005. PT JMM kemudian bersama Indo Mines ltd. (Australia) membentuk anak perusahaan PT JMI (Jogja Magasa Iron) sebagai pelaksana proyek.17 Wawancara dengan Dr.Ir.Dja’far Shiddieq, MSc., Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Agustus 2008.

6

Page 7: Makalah Final API Kus

Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana penambangan pasir besi yang akan menggusur lahan akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008c).

d. Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokokLahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara 17.548 ton/

bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana penambangan pasir besi dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok harian, yaitu cabai.

e. Pemiskinan Struktural secara sistematisRencana penambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa

remarginalisasi kawasan yang mana komunitasnya telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA. Kebijakan Pemkab tersebut tak hanya menimbulkan konflik SDA antara komunitas lokal; pemerintah daerah; dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi komunitas lokal (Kompas, April 2008c).

B. Kerangka TeoritisEkologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan (Odum,

1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi komponen-komponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya sumberdaya alam, biologi menyebutnya lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Ekologi manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik18.

Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi panjang manusia dengan lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam dalam mengubah karakteristik suatu lingkungan (Moran, 2006)19. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas, teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria, konflik pemanfaatan sumberdaya alam,

18 Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis lingkungan yang penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetic, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia.19 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia karya Clifford Geertz (1983) merupakan karya klasik mengenai antropologi ekologi yang banyak dikenal di Indonesia.

7

Page 8: Makalah Final API Kus

gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007). Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan (Dharmawan, 2007). Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan metodologi20. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi kepastian hukum (Garner, 1999).

Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitik beratkan pada interaksi antara ekologi dan ekonomi politik21, Russet (1967) memberi batasan ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan lingkungan fisik22, Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan menilik pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya23. Penelitian ini merujuk pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu ekologi politik sebagai disiplin untuk memahami hubungan-hubungan yang kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan matapencaharian24.

Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi sehingga melahirkan rantai penjelasan25, 2) fase kedua, yaitu pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan26

sehingga melahirkan jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas sumberdaya alam, 3) fase ketiga ialah pendekatan post-strukturalis yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan27. Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis. Lebih lanjut, Bryant

20 Environmental politics is a research field within political science that applies traditional political question to environmental matters…political ecology encompasses a wider understanding of politics than is traditionally found in environmental politics. Political ecology assesses the implications of a politicised environment (Bryant and Bailey, 2000:17)21 The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ).22 As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3).23 Political ecology, like the Marxist-inspired workers’ movement, is based on a critique—and thus an analysis, a theorized understanding, of the “order of things”. More specifically, Marx and the greens focus on a very precise sector of the real world: the humanity-nature relationship, and even more precisely, relations among people that pertain to nature (or what Marxists call the productive forces)(Ibid: 4 ).24 Robbins (2004:6)25 Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Piers Blaikie (1985)26 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Nancy Lee Peluso (2006).

8

Page 9: Makalah Final API Kus

menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial.

C. Tujuan penelitian

Tulisan ini merupakan hasil dari sebuah penelitian yang bertujuan untuk:

1) Memetakan konflik sumberdaya alam;

2) Menganalisis konflik sumberdaya alam dalam perspektif ekologi politik; dan

3) Menilai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dari proses politisasi lingkungan

yang telah berlangsung bagi keberlanjutan ekosistem, komunitas, dan demokratisasi.

D. MetodologiWhat difference does nature make ?28 merupakan pertanyaan mendasar dalam

ekologi politik untuk mengungkap perbedaan-perbedaan dampak sosial dan politik menurut perbedaan ekosistem yang diurus. Tentunya pertanyaan itu dapat lebih lanjut dikembangkan sebagai pertanyaan umpan balik, bagaimana proses-proses politik dan sosial berdampak terhadap sumber-sumber agraria? Dan, bagaimana perubahan ekosistem turut berperan dalam perubahan sosial? Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut akan didekati dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu seperti 1) Bagaimana kontestasi aktor terbentuk dan berlangsung?, 2) Bagaimana setiap pihak "membingkai" kepentingan masing-masing untuk memenangkan pertarungan?, 3) Apa konsekuensi ekonomi-politik atas kemenangan/kekalahan itu?

Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan sebagai penentu kelas sosial29. Konflik sebagai objek material berada pada arena konflik yang beragam. Narasi kebijakan sebagai materi kajian berada pada situasi-situasi seperti struktur penguasaan agraria, sistem politik yang berlaku, rule of the game akses sumber daya, kultur politik, dan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk. Li (2003) memperkenalkan kerangka konseptual untuk membedah situasi konflik melalui pendekatan kekuasaan (a conceptualization of power) dan penelusuran narasi (a repertoire of terms) proyek; posisi; praktik; dan proses. Konflik sumberdaya alam bekerja pada dua situasi yaitu logika kapitalisme dan kekuasaan (yang oleh Foucault dilabeli sebagai governmental)30.

27 Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and The Political Ecology of Social Movements karya Arturo Escobar (1998) adalah contoh dari tradisi ini.28 Peluso (2006)29 Lihat Vago (1989:39)30 Conflict over natural resources are situated rather obviously within the logic of capitalism, …but they are also situated within the field of power Foucault labelled governmental, in which experts in and out of the state machinery attempt to enhance the quality of population, rearranging landscapes, livelihood, and identities according to techno-scientific criteria (Li, 2003:5120).

9

Page 10: Makalah Final API Kus

Proyek adalah istilah yang mengacu pada jenis kegiatan baik yang berupa proyek pemerintah, proyek ekonomi (Swasta), maupun proyek politis (LSM). Posisi mengacu pada daya tawar masing-masing aktor dalam suatu proyek, ini terkait dengan bagaimana setiap aktor memosisikan dirinya di dalam arena konflik terhadap aktor lainnya. Praktik mengacu pada bentuk konkret bagaimana suatu proyek dijalankan dan posisi itu bekerja. Proses menekankan pada dampak-dampak tak terencana dari proyek dan praktik melintasi ruang dan waktu.

E. Hasil1. Kontestasi Aktor

Ada tiga aktor lokal utama yang terlibat dalam konflik SDA di pesisir Kulon Progo, 1) pemerintah daerah kabupaten Kulon Progo yang menginginkan PAD dari penambangan, 2) swasta yang menginginkan keuntungan dari penambangan, dan 3) masyarakat korban yang ingin mempertahankan ekosistem dan matapencaharian.

Pemerintah menggunakan wacana desentralisasi wewenang pengelolaan SDA sebagai bentuk demokratisasi. Secara struktural Pemkab Kulon Progo didukung oleh struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Peran pemkab adalah sebagai legislator proyek melalui seperangkat prosedur yang diatur dalam perundang-undangan. PAD tentu saja menjadi konsekuensi bagi keberadaan kegiatan ekonomi. Wewenang pemkab untuk membuat keputusan investasi dijamin oleh UU 32/2004 yang mengatur desentralisasi. Kekuatan pemerintah daerah adalah mengendalikan arena di mana kebijakan digulirkan31, hal ini dimungkinkan karena hukum adalah produk politik. Pada tanggal 4 November 2008, melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah pusat dan korporasi menyepakati kontrak karya pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo32.

Korporasi menggunakan wacana kemandirian investasi sebagai bagian dari agenda industri nasional. Investasi dan lingkungan hidup menjadi isu pembangunan yang semakin menguat di era pascareformasi. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan serangkaian prosedur untuk studi kelayakan suatu proyek yang juga berfungsi sebagai dokumen hukum, dokumen ilmiah, dan dokumen publik. AMDAL disusun oleh inisiator proyek dengan bantuan para pakar yang berkepentingan pada proyek tersebut untuk memudahkan investasi. AMDAL secara politik merupakan bentuk legitimasi dan otoritas korporasi terhadap negara dan masyarakat. Dengan demikian, korporasi didukung oleh lembaga-lembaga otoritas penentu kebenaran ilmiah positivistik pada berbagai bidang. Kekuatan korporasi terletak pada modal yang dapat menggerakkan kemauan politik pemerintah. Pada konteks kasus ini, korporasi turut memengaruhi iklim pengambilan keputusan pemerintah dalam kultur politik setempat. Salah satu unjuk kekuatan yang tampak adalah pelibatan lembaga pendidikan tinggi di sektor kehutanan di Yogyakarta sebagai mitra kerja untuk reklamasi lahan pascapenambangan, kontrak ini terjadi sebelum persetujuan kontrak karya dan

31 Rencana Tata Ruang Wilayah adalah acuan bagi zonasi. Rencana Tata Ruang di tingkat daerah menyesuaikan Rencana Tata Ruang Nasional. Menurut UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang nasional, propinsi, dan kabupaten berlaku untuk 20 tahun dengan peninjauan kembali setiap lima tahun. 32 Kontrak karya mengacu pada pasal 10 UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan –ketentuan pokok pertambangan, kontrak karya bukan bagian dari Studi Kelayakan Lingkungan namun sering digunakan sebagai alat legitimasi.

10

Page 11: Makalah Final API Kus

penyusunan dokumen AMDAL33. Pewacanaan kembali PAG sebagai legitimasi proyek merupakan bukti bahwa korporasi mempunyai kekuatan politik yang signifikan.

Masyarakat korban menggunakan wacana ekologi dan distribusi akses sumber-sumber agraria sebagai bagian dari demokratisasi. Karakteristik ekosistem dan cerita sukses dalam memproduksi nilai tambah pada bentang lahan pesisir dijadikan kekuatan pewacanaan oleh masyarakat korban. Jaringan kerja masyarakat korban meliputi LSM (terutama LAKPESDAM NU, AGRA, WALHI, dan LBH34), perguruan tinggi (Fak Pertanian UGM, IPB), Media massa (KOMPAS, AFINITAS, AMORFATI), dan aktivis kampus. Kecurigaan-kecurigaan terhadap politisasi proses AMDAL muncul di tingkat masyarakat korban (Kompas, Agustus 2009d).

Konflik ditanggapi dengan berbagai cara oleh pihak-pihak yang terlibat. Di aras pemerintah dan swasta, konflik berdampak pada munculnya upaya-upaya untuk mewujudkan rencana penambangan dengan memanfaatkan arena kekuasaan, situasi kultur politik di DIY, dan pembentukan opini publik melalui media. Di aras masyarakat setempat konflik berdampak pada munculnya gerakan perlawanan oleh masyarakat korban yang bertujuan menolak rencana penambangan pasir besi, dengan dua bentuk yaitu (1) membangun aliansi internal yang secara struktural terpisah dengan kelembagaan ekonomi dan sosial setempat yang telah mapan lebih dahulu35, dan (2) membangun aliansi eksternal seperti dengan pihak akademisi, organisasi non pemerintah, dan masyarakat senasib di kawasan lain36. Konflik tidak hanya mendorong lembaga setempat mengarah ke gerakan sosial37, melainkan juga mendorong perkembangan pengetahuan masyarakat mengenai legal drafting dan ekonomi politik sumberdaya alam.

2. Politisasi LingkunganPerubahan ekosistem pesisir Kulon Progo tidak lepas dari keputusan-keputusan

politik, baik di tingkat masyarakat; pemerintah; dan swasta. Politisasi lingkungan di tingkat masyarakat sesungguhnya telah terjadi sejak dimulainya budidaya tanaman hortikultura. Masyarakat menumbuhkan inovasi-inovasi untuk terus menggali manfaat yang tersimpan pada situs tersebut, dari teknologi pengairan hingga strategi mempertahankan jumlah dan mutu panen. Sumber lisan dan tertulis setempat menyatakan bahwa perhatian dari pihak-pihak di luar komunitas datang baru-baru saja, ketika mereka telah menunjukkan prestasi pada dunia luar. Kerjasama penelitian dengan Fakultas Pertanian UGM, misalnya, baru terjalin pada tahun 2001. Cerita keberhasilan itu kemudian menjadi alat politik bagi komunitas untuk kembali memolitisasi lingkungan pascakebijakan penambangan pasir besi digulirkan. Pergeseran cara pandang komunitas terhadap lingkungan, dari fungsi ekonomi menjadi fungsi sistem-sistem

33 Pada tanggal 21 Juli 2008 aksi di UGM oleh 1.500 massa yang mengatasnamakan PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pasir) menuntut penghentian kerjasama penelitian reklamasi pantai antara Fakultas Kehutanan UGM dengan P.T. JMI dan tuntutan ini disetujui oleh Rektor UGM dan Dekan Fakultas Kehutanan UGM dengan penandatangan surat pernyataan.34 WALHI melayangkan mosi tidak percaya kepada Menteri ESDM (no 34/SP-1/WY-DE/XI/2008) pascakontrak karya, LBH melayangkan surat kepada KOMNAS HAM terkait potensi pelanggaran HAM dan ditanggapi KOMNAS HAM dengan menyurati Gubernur pada 26 Juni 2007 (No 215/Rek/Ekosob/VI/07).35 Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) merupakan lembaga respons atas kebijakan pertambangan. 36 Masyarakat korban PLTN Balong Jepara37 Aksi menolak kebijakan pertambangan disertai isu penataan sumber-sumber agraria dilakukan oleh PPLP antara lain pada tangga 27 Agustus 2007, 1 Maret 2008, 21 Juli 2008, dan 23-25 Oktober 2008.

11

Page 12: Makalah Final API Kus

ekologi, dipicu oleh kebijakan tersebut. Hal ini tampak sekali dalam surat pengaduan mereka kepada Menteri Lingkungan Hidup38 yang menekankan arti penting keberlanjutan fungsi kawasan itu. Masyarakat pun bahkan mampu menuansakannya secara ideologis39. Dengan kata lain, konflik membuka ruang belajar yang baru.

Praktik politisasi lingkungan di tingkat pemerintah tampak sebagai kebijakan pertambangan dan proses-proses politik yang menyertainya. Perijinan, kontrak karya, AMDAL, dan sosialisasi merupakan seperangkat alat yang digunakan pemerintah untuk menempatkan dirinya sebagai bagian dari agenda investasi. Kepastian hukum mengenai hak kepemilikan tanah menjadi faktor penting bagi pengambilan keputusan, pemerintah daerah mengupayakan ini dengan praktik-praktik yang sejalan dengan pengukuhan status keistimewaan40. Argumentasi hukum menjadi jawaban pemerintah bagi setiap pertanyaan yang mengungkit kejelasan situs tersebut secara historis, ekologis, dan sosial.

Peran swasta sebagai investor dan aktor reproduksi kapital sejalan dengan arus utama kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah. Praktik politisasi lingkungan di tingkat swasta tampak sebagai birokrasi hukum yang ditempuhnya bersama pemerintah. Salah satu bentuk nyata politisasi itu adalah pendirian pilot project sebagai model operasional pertambangan di Gupit, Desa Karangsewu jauh sebelum kontrak karya dan AMDAL dilakukan. Kelompok masyarakat sekitar yang tidak terkena dampak proyek dilibatkan sebagai pekerja.

3. Ruang-ruang Kekuasaan dan Ketidakpastian PolitikRuang-ruang kekuasaan merujuk pada isu-isu yang membuka kemungkinan bagi

masing-masing pihak untuk mewujudkan kepentingannya. Pemerintah menggunakan peraturan perundangan, otonomi daerah, dan status keistimewaan sebagai ruang kekuasaan. Hukum positif memandang aspek legal merupakan kekuatan tertinggi dalam sistem sosial, sehingga wajar apabila argumentasi hukum dijadikan jawaban bagi setiap pertanyaan mengenai hak swasta; hak publik, dan hak lingkungan. Suhu politik karena kebijakan ini memanas kembali menjelang pemilu 2009, posisi strategis di lembaga legislatif turut menjadi penentu nasib kebijakan itu. Kepentingan partai politik pemenang pemilu menjadi kekuatan yang signifikan bagi corak, arah kepentingan, dan relasi-relasi kekuasaan dalam produk politik yang dihasilkan.

Swasta menggunakan kontrak karya, AMDAL, PAG, dan janji kompensasi sebagai ruang kekuasaan. Tiga hal pertama merupakan pendekatan legal formal, sedangkan yang terakhir merupakan pendekatan ekonomi sekaligus psikologi. Kekuatan swasta untuk

38 Surat PPLP No 079/PPLP-KP/III/200939 Wawancara dengan Tukijo (50) penduduk Karangsewu menyatakan “aku tresno marang bangsa lan negara iki kanthi nolak tambang besi” , (saya mencintai bangsa dan negara ini dengan cara menolak tambang pasir besi), Juni 2008.40 Surat Tim Pertanahan Puro Pakualaman tertanggal 16 Juli 2008 tentang pemberitahuan proses pelaksanaan pengukuran tanah PAG dalam kaitannya dengan luas konsesi PT Jogja Magasa Mining. Terkait dengan pengukuhan status ini, baru-baru ini ramai dibicarakan mengenai Rencana Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK DIY), perjuangan pemerintah daerah propinsi untuk menyukseskan agenda itu dilakukan baik secara politik (lobi kepada pemerintah pusat) dan budaya (Pisowanan Agung yang dipimpin oleh Sultan HB X) Kerabat keraton mengharapkan pengesahan RUUK DIY mengakhiri ketidakpastian hukum pemilikan aset agraria di Yogyakarta, sehingga menjadi landasan yang legal bagi pemanfaatan SAG dan PAG (Kompas, Mei 2007, GudegNet, September 2009, Solopos, Oktober 2009)

12

Page 13: Makalah Final API Kus

membentuk kekuatan tandingan bagi penentang kebijakan cukup signifikan, benih-benih konflik horizontal muncul ke permukaan41.

Posisi Sultan HB X di dalam peta kepentingan pemerintah dan swasta tidak jelas, beliau sebagai pelayan publik (gubernur) atau bagian dari korporasi. Dualisme posisi yang diduduki oleh Sultan HB X di ranah politik (sebagai Gubernur) dan budaya (sebagai Raja) di satu sisi dapat berguna bagi proses-proses demokratisasi yang sesungguhnya42, namun juga berpotensi sebaliknya.

Masyarakat korban menggunakan isu keberlanjutan ekosistem, komunitas dan identitas, hak asasi manusia, dan bursa pencalonan anggota legislatif sebagai ruang kekuasaan guna mengagalkan kebijakan pemerintah. Tiga hal pertama selalu dimunculkan dalam setiap aksi dan surat-surat kepada instansi terkait, sedangkan hal yang terakhir ditempuh sebagai perjuangan politik praktis43.

4. Upaya-upaya ResolusiSejauh ini, pihak yang mendukung kebijakan pertambangan dan pihak yang menolak

kebijakan tersebut berada pada dua kutub yang berlawanan. Upaya-upaya mempertemukan kepentingan keduanya selalu gagal, karena perubahan fungsi ekosistem berarti lonceng kematian bagi lainnya. Masyarakat korban mencurigai keberlangsungan politisasi ruang-ruang kekuasaan yang oleh logika umum dianggap netral, seperti AMDAL, sosialisasi, dan reklamasi lahan. Korporasi dan pemerintah daerah melakukan sosialisasi rencana penambangan di luar area konflik. Namun demikian, pemerintah dan korporasi tak henti-henti menciptakan ruang kompromi melalui janji kompensasi dan sosialisasi.

5. Proyek, Posisi, Praktik, dan ProsesProyek penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo sulit untuk dikatakan sebagai

proyek pemerintah karena inisiasi proyek berasal dari swasta namun proyek tersebut menjadi kebijakan daerah. Secara de facto proyek ini merupakan proyek ekonomi sedangkan secara de jure merupakan proyek pemerintah. Keunikan dari kasus ini adalah kepentingan proyek politis dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat tidak begitu menonjol karena kawasan tersebut bukan daerah program lembaga-lembaga tersebut.

Posisi pemkab dan korporasi terhadap masyarakat korban jelas pada posisi yang saling menegasikan. Masyarakat korban memosisikan pemerintah sebagai bagian dari kepentingan korporasi. Siapapun aktor swasta yang bermain dan kapan pun itu, kebijakan untuk mengubah fungsi ekosistem berarti melempar mereka kepada

41 Pada tanggal 27 Oktober 2008 sekitar pukul 13.30 terjadi penyerangan yang dilakukan oleh massa di luar komunitas itu kepada posko-posko PPLP dan pemukiman warga, pembakaran simbol-simbol perlawanan dan perusakan beberapa rumah warga, hingga kini pihak yang berwajib belum menindaklanjuti aduan warga yang menjadi korban. 42 Salah satu contoh yang baik adalah keputusan politik Sultan HB IX yang menginisiasi reforma agraria di Propinsi Yogyakarta pada 24 September 1973 melalui surat kepada Menteri Dalam Negeri, dan ditanggapi dengan Keputusan Presiden nomor 33 tahun 1984 yang isinya pemberlakuan sepenuhnya UU No 5 tahun 1960 di propinsi DIY (Luthfi et al., 2009: 196-201).43 Ketua PPLP, Supriyadi saat itu mencalonkan diri sebagai anggota legislatif daerah dari Partai Persatuan Daerah. Perjuangan politik ini gagal. Kegagalan perjuangan politik ini menambah ketegangan di tingkat masyarakat. Ketidakpastian politik meningkatkan derajat konflik. Proses-proses politik di lembaga legislatif menjadi salah satu kekuatan pengendali bagi perubahan ekosistem dan perubahan sosial di pesisir Kulon Progo.

13

Page 14: Makalah Final API Kus

ketidakpastian nasib. Kelas yang terbentuk ialah kelas pemegang otoritas di hadapan kebenaran positif, dalam hal ini diwakili oleh negara dan swasta, dan kelas yang tidak memegang otoritas di hadapan kebenaran positif yang diwakili oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai. Distribusi kekuasaan yang timpang menjadi faktor bagi kemacetan dialog karena dialog memerlukan prasyarat berupa 1) kesetaraan posisi tawar masing-masing pihak dan 2) kepercayaan interpihak dan kepercayaan bahwa perundingan dapat menyelesaikan masalah setiap pihak.

Praktik politisasi lingkungan berada pada arus utama pemikiran bahwa AMDAL adalah wilayah netral, meskipun netralitas ini perlu ditelaah ulang. Pemerintah dan swasta beranggapan penyelesaian yang paling benar adalah dengan mengikuti prosedur yang ditentukan oleh perundang-undangan, sekaligus memberi keterbukaan pada setiap pihak untuk melakukan studi kelayakan proyek terhadap ekosistem itu. Sedangkan menurut masyarakat korban, AMDAL bertujuan menyelamatkan investasi bukan menyelamatkan lingkungan karena AMDAL hakikatnya studi kelayakan proyek dan tak ada pelaku usaha yang berharap AMDALnya gagal.

Proses politisasi lingkungan di kawasan itu menggambarkan pembentukan jaringan-jaringan kekuasaan atas sumberdaya alam. Konsep demokratisasi dicerna oleh pemerintah daerah sebagai kewenangan dalam mengatur rumah tangganya, termasuk membuka investasi. Di dalam benak swasta, konsep demokratisasi diturunkan sebagai kebebasan investasi. Sedangkan menurut masyarakat korban, demokratisasi dimaknai sebagai keberpihakan pemerintah kepada kepentingan jangka panjang rakyatnya. Ketiga aktor memproses isu, posisi, dan ruang-ruang kekuasaan menjadi strategi politisasi lingkungan yang berbeda-beda.

F. Analisis1. Lingkungan siapa? Keuntungan siapa?

Kelembagaan sumberdaya alam merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum mengenai hak-hak atas sumberdaya alam. Hak atas sumberdaya alam di Indonesia mengacu pada teori kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan permasalahan utama konflik sumber daya bukanlah hak, melainkan akses yang menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuatan (a bundle of powers)44. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi.

Hak kepemilikan atas suatu SDA tidak selalu jelas45. Proses politisasi lingkungan yang ditempuh negara, swasta, dan masyarakat pun mengandung ambiguitas, ketiganya sesungguhnya memainkan akses dengan mekanisme-mekanisme pengukuhan hak. Di dalam logika hukum positif, subyek yang terjamin kepastian haknya adalah pihak yang diuntungkan, sehingga akses dapat dijalankan dengan keberadaan hak itu.

44 Lihat Peluso dan Ribot (2003:153).45 Hak kepemilikan berkaitan dengan kemampuan subyek untuk memiliki, mewariskan, menggunakan dan mengalihkan kekuasaan terhadap sesuatu (Ibid: 158).

14

Page 15: Makalah Final API Kus

2. Desentralisasi Tanpa DemokratisasiOtonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan pemerintahan di

Indonesia secara mendasar. UU 32/2004 merupakan produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal, keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan.

Ada dua pengertian desentralisasi, Pertama, desentralisasi sebagai pengalihan tugas operasional ke pemerintahan lokal. Kedua, desentralisasi sebagai pendelegasian kepada pemerintah yang tingkatannya lebih rendah dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, semangat yang hendak dibangun adalah pemberdayaan masyarakat daerah/lokal. Dimensi ekonomi, dimensi politik, dan dimensi psikologi pemberdayaan masing-masing diwujudkan sebagai 1) kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, 2) ketergantungan yang semakin berkurang terhadap pusat, dan 3) kesadaran identitas yang semakin menguat. Secara ideologis, desentralisasi merupakan liberalisasi yang direspons sebagai struktur pemerintahan (otonomi daerah) dan tata pemerintahan yang memungkinkan pertemuan kepentingan agen lokal dengan agen ekonomi global. Syarat utama desentralisasi adalah pengalihan kekuasaan (power transfers) dan perwakilan yang bertanggungjawab (accountable representation), pengalihan kekuasaan tanpa perwakilan yang bertanggungjawab berbahaya dan membangun perwakilan yang bertanggungjawab tanpa kekuasaan adalah mustahil (Ribot, 2002).

Praktik-praktik ketiga aktor yang terlibat dalam konflik SDA di pesisir Kulon Progo sesungguhnya mewakili dimensi-dimensi pemberdayaan dan bekerja dalam situasi yang digambarkan oleh sifat struktur dan tata pemerintahan tersebut di atas. Pendapat Ribot mengenai dilema desentralisasi tampak sebagai pola distribusi kekuasaan yang terjadi di aras lokal. Pola yang terjadi di Propinsi Yogyakarta ini dapat terulang di lain tempat dan waktu, selama arena kebijakan masih sama. Kultur politik dan relasi-relasi kekuasaan antara negara dan pasar di aras lokal cenderung menunjukkan ketidakseimbangan antara kekuasaan dan tanggungjawab. Kesadaran jatidiri, semangat kemandirian, dan kesempatan ekonomi rakyat membentuk kekuatan tandingan bagi negara-korporasi. Pada akhirnya, nasib lingkungan hidup diabaikan oleh manusia dalam pertarungan-pertarungan inter-antroposentrisme. Demokratisasi lingkungan dalam desentralisasi SDA masih harus diperjuangkan.

3. Ketergantungan SDA dan KonflikTadjoeddin (2007: 9) melaporkan bahwa ketergantungan terhadap SDA dan konflik

dijembatani oleh kegagalan kelembagaan, gangguan ekonomi, kegagalan pertumbuhan, dan ‘sisi gelap’ dari pembangunan. Tidak dapat disangkal bahwa pembangunan merupakan pengambilan manfaat SDA (materi dan jasa), produksi komoditas, dan transformasi bentang alam, sehingga tak ada pembangunan tanpa ketergantungan SDA. Kegagalan kelembagaan merupakan fenomena multisebab, antaralain adalah kerendahan pertanggungjawaban; demokrasi; patronase politik, dan perilaku-perilaku rent-seizing46.

46 Rent seizing is more damaging than, and different from, rent seeking. Rent seekers seek rents, while rent-seizers seek rights to allocate rents to others. Compared to rent seeking, rent seizing damages institutions more and is socially much more unproductive (Ross, 2001b cit. Tadjoeddin, 2007: 9).

15

Page 16: Makalah Final API Kus

Perwakilan, proses-proses demokratis, dan pemerintahan yang bertanggungjawab menjadi kunci bagi keberhasilan kelembagaan SDA. Gangguan ekonomi dapat muncul dari penyewaan sumber daya. Kegagalan pertumbuhan muncul dari struktur ekonomi, pendapatan yang rendah, dan keserakahan. Dan, ‘sisi gelap’ dari pembangunan muncul sebagai ketidaksetaraan horizontal. Adalah sebuah ironi bahwa kemauan politik dari pemenang kontestasi kekuasaan menjadi kunci bagi penyelenggaraan demokratisasi lingkungan di Indonesia. Seperangkat alat legitimasi merupakan produk politik yang konsistensinya rendah, prosedur hukum mudah disiasati agar sesuai dengan kepentingan arus utama. Arah perubahan struktur dan fungsi ekosistem serta keberlanjutan manfaatnya bagi kehidupan bernegara turut ditentukan oleh konfigurasi politik yang berlangsung.

4. Meraba Masa DepanDi dalam konteks kasus ini, desentralisasi SDA yang tidak disertai dengan proses-

proses demokratis justru merugikan setiap pihak. Tantangan kelembagan lokal menempati porsi yang penting bagi keputusan-keputusan pro publik yang berkelanjutan, partisipatif, desentralistik, dan menjunjung kemitraan. Pertautan Negara—Pasar—Masyarakat dalam ekonomi politik tak dapat dihindari, sehingga dibutuhkan prasyarat-prasyarat nilai dalam bangunan relasi kekuasaan agar kegagalan kelembagaan tidak terjadi. Ketimpangan kekuasaan untuk mengakses SDA berikut menentukan klaim atas hak kepemilikan SDA dapat menciderai asas demokrasi dalam desentralisasi, ketika proses-proses politik lingkungan mengabaikan kepentingan publik. Konflik sebagai buah dari ketimpangan tersebut dapat mengarah pada ketidakpercayaan rakyat kepada sistem bernama negara, ketika konflik tidak selesai atau selesai dengan meniadakan eksistensi rakyat sebagai aktor penting dalam trio ekonomi politik (Negara—Pasar—Masyarakat). Alternatif model kelembagaan yang dapat mewadahi kepentingan masing-masing pihak secara proporsional dibutuhkan agar keberlanjutan, partisipasi, desentralisasi, dan kemitraan tercapai47. Pengelolaan kolaboratif SDA memerlukan prasyarat berupa 1) pembagian keuntungan, 2) pembagian tanggungjawab, dan 3) pembagian kekuasaan.

G. Simpulan

1. Perubahan ekosistem dapat menjadi faktor penggerak bagi perubahan sosial, dan sebaliknya. Pemaknaan suatu kelompok sosial terhadap lingkungannya dimanifestasikan dalam politisasi lingkungan.

2. Proses-proses politisasi lingkungan di era desentralisasi yang tidak mengedepankan semangat dan nilai demokrasi tidak menguntungkan bagi setiap pihak yang terlibat. Pemaknaan ulang atas narasi desentralisasi penting dilakukan.

47 Pengalihan investasi dari pertambagan ke pendukung agroindustri dapat menjadi alternatif penyelesaian bagi konflik SDA di pesisir Kulon Progo.

16

Page 17: Makalah Final API Kus

Daftar Pustaka

Anonim, 2007. Laporan Baseline Survey: Optimalisasi Lahan Pasir Pantai Bugel Kulon Progo untuk Pengembagan Tanaman Hortikultura dengan Teknologi Inovatif Berwawasan Agribisnis. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

_______.2008. Profil Daerah Kabupaten Kulon Progo.www.kulonrpogo.go.id_______.2008. Application for Contract of Works from The Government of the Republic of

Indonesia by PT Jogja Magasa Mining and Indo Mines Limited.Blaikie, P. 1985. The Polical Economy of Soil Erosion. Longman. New YorkBryant, R.L. 1998. Power, knowledge, and political ecology in the third world : a review.

Progress in Physical Geography 22, 1, pp 79-94Bryant, R.L. and S. Bailey. 2000. Third World Political Ecology. Routledge, London and New

YorkDharmawan, A.H. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan keilmuan

ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik, Sodality 1 (01), pp 1-40Escobar, Arturo. Whose knowledge, whose nature? Biodiversity, Conservation, and the

political ecology of social movements. Journal of Political Ecology 5, p 53-82. jpe.library.arizona.edu

Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology The Politics of Environmental Science. Routledge, London and New York

________ 2008. Political ecology and the epistemology of social justice. Geoforum 39, pp 756-764

Garner, R. 1999. Environmental Politics. MacMillan. LondonGeertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Yayasan

Obor. JakartaGudegNet (2009)"Sultan: RUUK DIY Prioritas DPR Selanjutnya" Rabu, 30 September 2009Iman Rejo, 1996. Laporan Perintis Lingkungan Hidup Gisik Wana Tara Dusun Bugel

Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo Propinsi DI Yogyakarta. Tanpa Penerbit._________1999.Teknologi Pertanian dan Agroindustri: Sumur Renteng. tanpa penerbit,

Yogyakarta.JMI. 2008. Industri Baja Terpadu Kulon Progo Jogyakarta: Aktivitas Penambangan

Berwawasan Lingkungan, dari Pasir Besi ke Pig Iron. Materi presentasiJMM. 2008. Proyek Penambangan Pasir Besi Jogja Magasa Mining, tanpa penerbit.Kartodiharjo, H. Politik Lingkungan dan Kekuasaan. Equinox. JakartaKompas (2007). “Keraton Ingin SG jadi Hak Milik, Pemerintah Sampai Saat ini Dinilai Masih

Bersikap Mendua”, Rabu 30 Mei 2007Kompas (2008a). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Yang Muda, Yang

Bertani” Jumat, 11 April 2008Kompas (2008b). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Berguru Hidup pada

Gumuk Pasir”. Jumat, 11 April 2008 Kompas (2008c). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan

Kekuasaan” Jumat, 11 April 2008

17

Page 18: Makalah Final API Kus

Kompas (2008d). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo” Jumat, 11 April 2008

Kompas (2009a). Kristanto, T.A. “Sejarah Panjang Pengaturan Otonomi” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 43 (kolom 1-7)

Kompas(2009b). Isworo, B. “Kacamata Kuda dan Hancurnya SDA” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 42 (kolom 1-7)

Kompas (2009c). Sumantri,B.S. “Hubungan Pusat-Daerah: Kewenangan Tumpang Tindih Menjadi Tidak Produktif”. Jumat, 22 Mei 2009 hal 41:(kolom 1-5)

Kompas (2009d). Yoga Putra. “Petani Pasang Pengumuman Tolak Amdal” Kamis, 20 Agustus 2009

Li, Tania. 2003. Situating resource struggles concepts for empirical analysis. Economic and Political Weekly, November 29, 2003. Pp 5120-5128

Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar Candra T. 2009. Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan. STPN. Yogyakarta

Moran, E.F. 2006. People and Nature an Introduction to Human Ecological Relations. Blackwell Publishing, Oxford

Mulyono, 2008. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di UMY Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta

Odum, E. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders. PhiladelphiaPeluso, N.L. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di

Jawa (Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java, alih bahasa: Landung Simatupang). KONPHALINDO, Jakarta

________, and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) , pp 153-181Ribot, J.C. 2002. Democratic Decentralization of Natural Resources, Institutionalizing popular

participation. World Resources Institute.Rismiyadi. 2003. Efisiensi Pemasaran Komoditas Pertanian Lahan Pasir di Kabupaten Kulon

Progo. Thesis S2, Program Pascasarjana, UGM.Robbins, P. (2004). Political Ecology A Critical Introduction. Blacwell. MaldenShiddieq, D., Tohari, B. Djadmo, D. Kastono, Saparso, Sulakhudin, dan Y.G. Bulu. 2008.

Pertanian Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai Selatan DIY. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

Sumarti, T. 2007. Sosiologi Lingkungan Dalam Ekologi Manusia (Soeryo Adiwibowo Ed.) Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor

Solopos (2009)"Soal RUUK DIY Warga Yogya Desak Pisowanan Agung" Minggu 11 Oktober 2009

Tadjoeddin, M.Z. 2007. A Future resource curse in Indonesia: The Political Economy of Natural Resources, Conflict and Development. CRISE Working Paper No 35, October 2007, www.crise.ox.uk

Vago, S. 1989. Social Change, Prentice Hall

18