evaluasi fungsi hati dan ginjal tikus betina...
TRANSCRIPT
EVALUASI FUNGSI HATI DAN GINJAL TIKUS
BETINA (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE-
DAWLEY PADA PEMBERIAN JAMU GALOHGOR
DENGAN DOSIS BERTINGKAT
MADYA ARDI WICAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Evaluasi Fungsi Hati dan Ginjal
Tikus Betina (Rattus norvegicus) Galur Sprague-Dawley Pada Pemberian Jamu
Galohgor Dengan Dosis Bertingkat” adalah benar-benar karya saya sendiri
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Bogor, Agustus 2010
Madya Ardi Wicaksono
NRP. I151080061
ABSTRACT
MADYA ARDI WICAKSONO. Evaluation of Renal and Liver Function on Female Rats (Rattus norvegicus) Strain Sprague-Dawley Administered with Gradual Dosages of Galohgor Herbal Medicine. Under direction of Dr. Rimbawan and Katrin Roosita, S.P., M.Si.
Galohgor is a traditional Sundanese herbal medicine containing of 56 plants. It is consumed by postpartum women in Bogor to increase milk production for breastfeeding and fastened the uterine involution after giving birth. The aim of the study was to determine the toxic effect of Galohgor on liver and renal functions in rats. Twenty female rats were divided into four groups, one control group, and the other groups were given three different dosages (0.74 g/kgBW; 1.48 g/kgBW; and 2.22 g/kgBW) for 14 days continuously. The rats were fed and given water ad libitum. Liver and renal function tests were conducted by measuring SGPT, SGOT, total of protein serum, urea and creatinin from blood sample, and protein from urine sample as well. The renal function tests showed that Galohgor increased blood urea and creatinine (p<0.05), but still within normal range. There was no protein detected in the urine, indicating that there was a normal renal function without renal leakage. The liver function tests showed that Galohgor increased SGPT and SGOT (p<0.05) and decreased total protein serum (p<0.05), but the values were still within normal limits. It is concluded that in the dossages tested, Galohgor herbs did not have toxic effect to renal and liver functions.
Keywords: Galohgor, toxicity test, liver, renal function
RINGKASAN MADYA ARDI WICAKSONO. Evaluasi Fungsi Hati dan Ginjal Tikus Betina (Rattus norvegicus) Galur Sprague-Dawley pada Pemberian Jamu Galohgor dengan Dosis Bertingkat. Dibawah bimbingan Dr. Rimbawan dan Katrin Roosita, S.P., M.Si.
Galohgor merupakan jamu yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Sunda selama masa nifas (dua hingga 40 hari setelah melahirkan). Manfaat jamu Galohgor yang dirasakan oleh ibu yang mengkonsumsi jamu ini antara lain peningkatan produksi air susu ibu (ASI). Jamu ini terbuat dari 56 jenis tanaman, terdiri atas 38 jenis daun, akar, atau batang, 5 jenis rempah-rempah, 6 jenis temu-temuan, dan 7 jenis biji-bijian (Pajar 2001 dan Roosita 2003). Penelitian di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa secara empirik jamu Galohgor memiliki manfaat untuk meningkatkan produksi susu, mempercepat penyembuhan rahim dan meningkatkan stamina pada ibu selama masa nifas (Roosita et al. 2008; Dahlianti, Nasoetion dan Roosita 2005). Penggunaan obat tradisional yang berasal dari tanaman seperti jamu Galohgor, menurut keputusan Menteri Kesehatan RI harus memiliki syarat-syarat tertentu antara lain dapat dibuktikan khasiat dan keamanannya (DEPKES 2000). Uji toksisitas pada hewan coba digunakan untuk menilai bahan-bahan kimia, termasuk obat, bahan pangan tambahan, dan bahan-bahan lainnya yang dikonsumsi manusia karena bahan-bahan tersebut berpotensi menyebabkan kelainan fisiologis, kanker, kelainan pada janin, dan dampak buruk lainnya bagi kesehatan. (The National Academy of Sciences 2007).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efek pemberian Jamu Galohgor terhadap fungsi hati dan ginjal, dan menentukan dosis yang aman dikonsumsi. Tujuan khususnya adalah: (1) mempelajari efek pemberian jamu Galohgor terhadap fungsi hati tikus dengan biomarker SGPT, SGOT, dan total protein serum; (2) mengetahui efek pemberian jamu Galohgor terhadap fungsi ginjal tikus dengan biomarker ureum, kreatinin, dan protein urin; dan (3) memperkirakakan dosis jamu yang memberikan efek toksik akut pada fungsi hati dan ginjal tikus.
Penelitian berlangsung mulai bulan Maret hingga April 2010 dan dilaksanakan di Laboratorium Hewan Pusat Studi Biofarmaka IPB. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus (Rattus sp) betina dewasa galur Sprague-Dawley berumur 3 bulan dengan berat badan berkisar antara 180-189 gram (184,65±2,92). Tikus dibagi secara acak ke dalam empat kelompok percobaan, yaitu kontrol dan perlakuan jamu dalam 3 dosis, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Dosis jamu Galohgor yang diberikan berturut-turut adalah 0,74 g/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia); 1,48 g/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia); dan 2,22 g/kgBB (6 kali dosis normal pada manusia). Besarnya dosis yang diperoleh merupakan kelipatan dari dosis rata-rata yang dikonsumsi oleh ibu menyusui, yaitu 0,37 g/kgBB, seperti yang dinyatakan oleh Roosita (2003). Selama perlakuan, tikus diberi minum dan pakan komersial standar sesuai dengan kebutuhan tikus dewasa, secara ad libitum (Kusumawati 2004). Penelitian diawali dengan pembuatan jamu dengan metode drum dryer. Pemberian jamu pada tikus dilakukan dengan cara
melarutkan jamu dalam air dan dicekokkan dengan menggunakan sonde. Pencekokan jamu dilakukan satu kali sehari, yaitu pada pagi hari (jam 9-10 pagi) selama 14 hari berturut-turut (Roosita 2003). Berat badan tikus ditimbang setiap 2 hari sekali. Pada hari ke-14 sampel darah diambil untuk dianalisis fungsi ginjal (kadar ureum, kreatinin dan protein urin), dan fungsi hatinya (kadar SGPT, SGOT, dan total protein serum).
Setelah 14 hari pengamatan, tikus yang mendapat jamu dengan dosis yang lebih besar tampak cenderung mengalami peningkatan berat badan yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Kadar ureum serum pada tikus meningkat nyata, akibat peningkatan dosis jamu yang diberikan (p<0,01), namun nilainya masih berada dalam nilai yang normal, yaitu berkisar antara 5,0 hingga 59,0 mg/dl (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989). Regresi linier menunjukkan bahwa kadar ureum serum tertinggi yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,69 g/kgBB atau 9,98 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Kreatinin serum tikus juga meningkat secara nyata (p<0,01) setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari, dan masih berada dalam rentang normal yang berkisar antara 0,22 hingga 1,00 mg/dl (Darling and Morris 1991, Baker and Miller 1939). Kadar kreatinin serum tertinggi yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,22 g/kgBB atau 8,71 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui, sesuai hasil regresi linier. Pemberian jamu Galohgor hingga dosis 2,22 gram/kgBB pada tikus selama 14 hari tidak menyebabkan adanya proteinuria. Bila dosis jamu Galohgor terus ditingkatkan, maka akan terjadi perburukan fungsi ginjal dan kerusakan ginjal itu sendiri, mengingat tingginya kadar ureum dan kreatinin yang melebihi batas normal merupakan penanda adanya gangguan fungsi ginjal (Lu 1995, Brady and Brenner 2001, Denker and Brenner 2001).
Peningkatan kadar SGPT dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan dosis jamu Galohgor (p<0,01), yang hampir mencapai ambang batas nilai normalnya pada tikus, yaitu antara 35,9 hingga 81,6 IU/l (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989). Berdasarkan pendekatan menggunakan regresi linier, kadar SGPT tertinggi yang masih berada dalam rentang normal diperkirakan dapat tercapai bila jamu Galohgor diberikan dengan dosis 3,58 g/kgBB atau 9,67 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Kadar SGOT meningkat secara nyata (p<0,01) sebagai akibat peningkatan dosis jamu Galohgor, namun masih berada dalam rentang nilai normal pada tikus, yaitu berkisar antara 35,7 hingga 168 IU/l (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989). Kadar SGOT tertinggi yang masih berada dalam rentang normal diperkirakan dapat tercapai bila diberikan jamu Galohgor dengan dosis 9,37 g/kgBB atau 25,32 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui, sesuai hasil regresi linier. Kadar total protein serum menurun secara nyata (p<0,01) sebagai akibat dari peningkatan dosis jamu Galohgor, namun masih berada dalam rentang nilai normalnya, yaitu 4,3 hingga 10,7 g/dl. Apabila menggunakan pendekatan menggunakan regresi linier, kadar total protein serum terendah yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,70 g/kgBB atau 10 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui, yang ditunjukkan oleh hasil analisis regresi linier. Kerusakan hati akibat bahan herbal umumnya ditandai dengan
peningkatan enzim-enzim hati, seperti SGPT dan SGOT sampai di atas batas normalnya. Pada beberapa bahan herbal, kerusakan hati juga diikuti oleh gangguan sistem bilier dan metabolisme kolesterol (Shad and Brann 1999).
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: (1) fungsi hati dan ginjal tikus betina masih berada dalam rentang normal pada pemberian jamu Galohgor enam kali dosis normal pada ibu menyusui selama 14 hari perlakuan, atau setara dua kali masa nifas pada manusia, sehingga pada taraf ini jamu Galohgor relatif aman; (2) Peningkatan dosis jamu Galohgor yang diberikan pada tikus percobaan meningkatkan parameter biokimiawi dari fungsi hati dan ginjal secara nyata, sehingga dimungkinkan dengan pemberian jamu Galohgor dengan dosis yang lebih tinggi dapat terjadi gangguan pada hati dan ginjal; (3) Berdasarkan perhitungan matematis menggunakan análisis regresi linier, diperkirakan pada dosis 3,22 g/kgBB atau 8,71 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi oleh ibu menyusui, penggunaan jamu Galohgor dapat mengganggu fungsi ginjal; dan (4) Berdasarkan perhitungan matematis menggunakan análisis regresi linier, diperkirakan pada dosis 3,58 g/kgBB atau 9,67 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi oleh ibu menyusui, penggunaan jamu Galohgor dapat mengganggu fungsi ginjal.
Kata kunci : jamu Galohgor, uji toksisitas akut, fungsi hati dan ginjal
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI FUNGSI HATI DAN GINJAL TIKUS BETINA (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE-
DAWLEY PADA PEMBERIAN JAMU GALOHGOR DOSIS BERTINGKAT
MADYA ARDI WICAKSONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R 2010
Judul Tesis : Evaluasi Fungsi Hati dan Ginjal Tikus Betina (Rattus
norvegicus) Galur Sprague-Dawley pada Pemberian
Jamu Galohgor dengan Dosis Bertingkat
Nama Mahasiswa : Madya Ardi Wicaksono
NRP : I151080061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Rimbawan Ketua Anggota
Katrin Roosita, S.P., M.Si.
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat
drh. M.Rizal M.Damanik, MRepSc, PhD
Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 10 Agustus 2010 Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc.
PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkatNya karya
ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Rimbawan dan Ibu Katrin Roosita, SP, M.Si. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, arahan, serta saran kepada penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis dan berbagai masukannya untuk perbaikan pada tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD selaku Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan moderator dalam ujian tesis atas saran-saran bagi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S., drh. Aulia Andi, beserta staf Pusat Studi Biofarmaka IPB, staf SEAFAST Center IPB, Ibu Ratna Manurung dari Laboratorium Klinik Yasa, dan drh. Iswan Haryanto, M.Si yang telah memberi kesempatan dan membantu penulis untuk melakukan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Sari dari Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, yang telah menyediakan bahan-bahan pembuatan jamu Galohgor.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada istri, Yustina Meilian Sukmawati; anak, Alena Saraswati Wicaksono; kedua orangtua, Bapak Trisno Widodo dan Mama Enggar Retnowati; kedua mertua, Papa Pinanggyo Sanyoto Hadi dan Mama Lilik Hartini; dan segenap keluarga atas segala doa, dukungan, pengorbanan, dan limpahan kasih sayangnya. Kepada rekan-rekan sesama peneliti, Rosalin Ravensca Leatemia, Yara Yulistia Permana, dan Agnes Pratiwi, penulis menyampaikan terima kasih atas kerjasama dan dorongan semangatnya selama melaksanakan penelitian. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB angkatan tahun 2008 atas persahabatan dan kebersamaannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010
Madya Ardi Wicaksono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 11 Mei 1981 sebagai
putra bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Trisno Widodo dan Enggar
Retnowati. Pendidikan sarjana ditempuh sejak tahun 1999 di Program Studi
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya dan meraih gelar
Dokter pada tahun 2006. Pada tahun 2006 hingga 2008 penulis bekerja sebagai
staf dokter di RS Kepolisian Bhayangkara Tulungagung. Pada tahun 2008 penulis
melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman
ABSTRACT ………………………………………………………........... ii
RINGKASAN …………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. xiv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xvi
PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
Latar Belakang …………………………………………………… 1
Masalah Penelitian ……………………………………………….. 3
Tujuan Penelitian …………………………………………………. 3
Tujuan Umum ……………………………………………. 3
Tujuan Khusus ……………………………………………. 3
Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 5
Jamu Galohgor …………………………………………………… 5
Uji Toksisitas Akut ………………………………………………. 7
Absorbsi, Distribusi, dan Ekskresi Toksikan …………………….. 8
Efek Toksikan pada Tubuh ………………………………………. 9
Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal ……………………………….. 10
Efek Toksikan pada Fungsi Hati …………………………………. 11
Efek Toksikan terhadap Berat Badan dan Tingkat Konsumsi
Makanan ………………………………………………….. 13
Penggunaan Hewan Coba pada Uji Toksisitas …………………… 13
METODE PENELITIAN ………………………………………………… 15
Waktu dan Tempat … …………………………………………….. 15
Bahan Penelitian ………………………………………………...... 15
Rancangan Percobaan …………………………………………….. 16
Persiapan Percobaan ……………………………………………… 16
Pengamatan ………………………………………………………. 17
Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………. 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… 19
Karakteristik Sampel selama Penelitian …………………………. 19
Efek Jamu Galkohgor terhadap Fungsi Ginjal ………………….. 20
Efek Jamu Galohgor terhadap Fungsi Hati ……………………… 27
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………. 34
Kesimpulan ………………………………………………………. 34
Saran ……………………………………………………………… 34
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 35
LAMPIRAN ……………………………………………………………… 40
DAFTAR TABEL Halaman
1. Komposisi jamu Galohgor … ............................................................... 5
2. Kerangka waktu penelitian .. ................................................................ 15
3. Parameter yang diukur dan metode pengukuran .. ................................. 18
4. Berat badan rata-rata tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 8 hari .. ..................................................................................... 19
5. Kadar rata-rata ureum serum, kreatinin serum, dan protein urin
tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari ........................ 21
6. Kadar rata-rata SGPT, SGOT, dan total protein serum tikus
setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari .. .............................. 28
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Berat badan rata-rata tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari ...…………………………………………………… 19
2. Kadar rata-rata ureum serum tikus setelah pemberian jamu
Galohgor selama 14 hari …………………………………………... 22
3. Kadar rata-rata kreatinin serum tikus setelah pemberian jamu
Galohgor selama 14 hari …………………………………………... 23
4. Kadar rata-rata SGPT tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari …………………………………………………….. 28
5. Kadar rata-rata SGOT tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari ……………………………………………………... 29
6. Kadar rata-rata total protein serum tikus setelah pemberian jamu
Galohgor selama 14 hari …………………………………………... 32
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Penetapan kadar SGOT dengan metode Colorimetric End-Point
(WHO 2010) ……………………………………………………… 41
2. Penetapan kadar SGOT dengan metode Colorimetric End-Point
(WHO 2010) ……………………………………………………… 42
3. Penetapan kadar ureum dengan metode diacetyl monoxime
(WHO 2010) ………………………………………………………. 43
4. Penetapan kadar kreatinin dengan metode Jaffe (WHO 2010) …… 44
5. Penetapan kadar total protein serum dengan metode Biuret
(WHO 2010) ………………………………………………………. 45
6. Penetapan kadar protein urin dengan metode Biuret (WHO 2010) .. 46
7. Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA),
Duncan Multiple Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk
variabel ureum serum ....................................................................... 47
8. Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA),
Duncan Multiple Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk
variabel kreatinin serum ................................................................... 49
9. Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA),
Duncan Multiple Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk
variabel SGOT .................................................................................. 51
10. Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA),
Duncan Multiple Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk
variabel SGPT ................................................................................... 53
11. Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA),
Duncan Multiple Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk
variabel total protein serum .............................................................. 55
12. Jamu Galohgor dan bahan-bahan pembuatnya ……………………. 57
13. Cara pencekokkan jamu Galohgor menggunakan sonde dan
pengambilan sampel darah tikus ………………………………….. 58
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa nifas adalah masa setelah melahirkan sampai usia 6 minggu atau
sekitar 40 hari. Pada masa nifas kondisi alat-alat genital wanita mengalami
perubahan dan baru kembali seperti keadaan semula setelah 3 bulan. Dua hari
setelah persalinan, uterus mulai mengecil, dan dalam waktu 2 minggu telah turun
hingga ke rongga panggul (cavum pelvis). Ukuran uterus kembali seperti semula,
seperti saat tidak sedang hamil, kurang lebih pada minggu keempat setelah
persalinan (Cunningham et al. 2005). Untuk mengembalikan seperti keadaan
semula, beberapa wanita ada yang mengkonsumsi obat, ramuan, atau metode
perawatan yang diyakini oleh sebagian masyarakat dapat mempercepat pemulihan
setelah melahirkan. Salah satu ramuan yang digunakan untuk tujuan ini adalah
jamu bersalin, yang selain bertujuan untuk mempercepat pemulihan rahim, juga
bertujuan untuk meningkatkan produksi air susu ibu (ASI). Jamu ini umumnya
diberikan selama masa nifas atau 40 hari setelah melahirkan (Tilaar 1994).
Jamu Galohgor merupakan jamu yang biasanya dikonsumsi oleh
masyarakat Sunda mulai hari ke-2 hingga 40 hari setelah melahirkan, atau selama
masa nifas. Jamu ini terbuat dari 56 jenis tanaman, terdiri dari 38 jenis daun, akar,
atau batang, 5 jenis rempah-rempah, 6 jenis temu-temuan, dan 7 jenis biji-bijian
(Pajar 2001).
Penelitian di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor
menunjukkan bahwa secara empirik jamu Galohgor memang memiliki manfaat
untuk meningkatkan produksi susu, mempercepat penyembuhan rahim dan
meningkatkan stamina (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b, Dahlianti,
Nasoetion and Roosita 2005). Umumnya, ibu-ibu yang mengkonsumsi jamu
Galohgor menyatakan bahwa tubuhnya menjadi lebih bugar, dan produksi ASI
menjadi lebih lancar, seperti dinyatakan oleh Dahlianti, Nasoetion dan Roosita
(2005).
Roosita (2003) membuktikan bahwa jamu Galohgor dapat meningkatkan
produksi susu dan mempercepat involusi uterus melalui penelitian pada tikus
selama 7 hari, atau setara dengan masa nifas pada manusia (40 hari). Dosis jamu
2
Galohgor rata-rata yang dikonsumsi oleh ibu-ibu tersebut adalah 20 gram/hari,
atau 0,37 g/kgBB. Hasil konversi inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk
membuktikan pengaruh jamu Galohgor pada tikus postpartum. Penelitian tersebut
mendukung pemanfaatan jamu Galohgor secara empiris di masyarakat.
Jamu Galohgor memiliki kangandungan energi dan zat gizi antara lain
protein, lemak, zat besi (Fe), magnesium (Mg), dan seng (Zn). Selain itu juga
mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, flavonoid, fenolik, dan terpenoid.
Zat gizi dan senyawa bioaktif tersebut diduga memberikan manfaat, berupa
peningkatan produksi ASI dan penyembuhan rahim yang lebih cepat selama masa
nifas (Pajar 2001).
Penggunaan obat tradisional yang berasal dari tanaman berdasarkan
keputusan Menteri Kesehatan RI harus memiliki syarat-syarat tertentu antara lain
dapat dibuktikan khasiat dan keamanannya (DEPKES 2000). Menurut peraturan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Republik Indonesia, obat tradisional
adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman
(BPOM 2005).
Penelitian terhadap bahan-bahan yang bahaya bagi kesehatan merupakan
unsur penting dalam perlindungan kesehatan masyarakat. Uji toksikologi
memberikan sumbangan bagi pengembangan bahan yang lebih aman untuk
digunakan sebagai obat (Lu 1995).
Uji toksisitas pada hewan coba digunakan untuk menilai bahan-bahan
kimia, termasuk obat, bahan pangan tambahan, dan bahan-bahan lainnya yang
dikonsumsi manusia karena bahan-bahan tersebut berpotensi menyebabkan
kelainan fisiologis, kanker, kelainan pada janin, dan dampak buruk lainnya bagi
kesehatan. (The National Academy of Sciences 2007). Respon uji toksisitas pada
hewan coba dapat diekstrapolasikan dengan respon pada manusia. Paparan bahan
uji terhadap hewan akan memberikan efek biologis, dan efek biologis ini
mencerminkan resiko yang dapat terjadi pada manusia (Weideman 1993).
Secara empirik, hingga saat ini belum ditemukan adanya pengaruh negatif
akibat konsumsi jamu galohgor yang dikonsumsi oleh masyarakat di desa
3
Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor ( Dahliati et al 2005 dan
Roosita et al 2008). Namun tingkat keamanan jamu Galohgor yang selama ini
digunakan di masyarakat perlu dibuktikan dengan penelitian di laboratorium,
dengan melakukan uji toksisitas.
Masalah Penelitian
1. Bagaimana efek pemberian jamu Galohgor terhadap fungsi hati dan ginjal
tikus?
2. Apakah jamu dapat memberikan efek toksik akut pada dosis dua kali lipat,
empat kali lipat dan enam kali lipat dari dosis yang biasa dikonsumsi oleh ibu
menyusui?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Mempelajari efek pemberian Jamu Galohgor terhadap fungsi hati dan ginjal, dan
menentukan dosis yang aman dikonsumsi.
Tujuan Khusus:
1. Untuk mempelajari efek pemberian jamu Galohgor terhadap fungsi hati
tikus dengan biomarker SGPT, SGOT, dan total protein serum.
2. Untuk mengetahui efek pemberian jamu Galohgor terhadap fungsi ginjal
tikus dengan biomarker ureum, kreatinin, dan protein urin.
3. Untuk memperkirakan dosis jamu yang memberikan efek toksik akut pada
fungsi hati dan ginjal tikus.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan pengaruh Jamu Galohgor
terhadap fungsi hati dan ginjal, serta mendapatkan dosis jamu yang diperkirakan
dapat mengakibatkan disfungsi hati dan ginjal. Selain itu hasil penelitian ini juga
diharapkan mampu memberi landasan ilmiah untuk penelitian lanjutan berupa uji
klinis pada manusia.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Jamu Galohgor
Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut,
yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman (data empirik) (Tilaar 1994). Jamu Galohgor merupakan ramuan
yang umumnya dikonsumsi sehabis melahirkan sampai 40 hari setelah
melahirkan.
Ibu yang mengkonsumsi jamu ini umumnya mengungkapkan bahwa efek
yang dirasakan adalah peningkatan produksi air susu ibu, mempercepat
pengeluaran darah nifas dan pemulihan kebugaran setelah proses persalinan (Pajar
2001). Berbeda dengan jamu lainnya yang pada umumnya harus diseduh terlebih
dahulu sebelum diminum, jamu Galohgor dibuat sebagai makanan selingan atau
kudapan yang dapat dimakan oleh ibu menyusui. Untuk membuat jamu Galohgor,
semua bahan-bahan jamu dicampurkan menjadi satu, kemudian disangrai (Muljati
dan Amelia 1995). Jamu Galohgor dibuat dari 56 jenis tanaman obat.
Komposisinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi jamu Galohgor
No. Nama Tradisional Nama Ilmiah Berat (g)
Ukuran Rumah Tangga
A. Tumbuhan Obat dari Bagian Daun, Akar, dan Batang
1. Antawali Tinospora cripsa mires 3,36 5 lembar daun 2. Babadotan Ageratum cony zades L 1,74 3 lembar daun 3. Beluntas Plucea indica Less 5,63 7 lembar daun 4. Kiranediuk Selaginella plana Hieron 3,33 1 ruas batang 5. Kiranelalap Selaginella wildenowii 1,33 1 ruas batang 6. Handeuleum Graptophylium pictum Griff 2,85 4 lembar daun 7. Harendong Astronia spectabilis BI 2,55 1 lembar daun 8. Hadas palasari Alyxia stellata 5,75 3 tangkai daun 9. Jambu batu Psidium cujavillus 7,46 3 lembar daun 10 Alpukat Persea americana Miler 2,48 1 lembar daun 11. Jawerkotok Scutellaria discolor colebr 5,96 4 lembar daun 12. Jukut bau Hyptis suaveolus Poit 0,69 1 lembar daun 13. Kahitutan Paedoria foefida Linn 2,60 4 lembar daun 14. Karastula Chlorantus elatior R.Br 3,80 1 lembar daun 15. Kikarugrag Hyptis brevipes Poit 0,79 1 ruas batang 16. Kiremek daging Hemigraphie coclorata Hall 10,09 7 lembar daun
5
17. Kiremek tulang Hemigraphis colorata 3,62 5 lembar daun 18. Kiura Plantago major Linn 5,63 5 ruas batang 19. Kibeling Strobilanthes crispus L 2,01 3 lembar daun 20. Kicantung Gonia thalamus maerophyllus Ht 3,05 1 lembar daun 21. Kiclenceng Apis florea 3,36 3 lembar daun 22. Kikanceh Ficus edelfelhi King 1,15 3 lembar daun 23. Kimulas Desmodium heteraphyllum Dc 3,36 1 ruas batang 24. Kumis kucing Orthosiphon aristatus Miq 3,36 6 lembar daun 25. Mangkokan Micromelum pubescen Bi 6,67 4 lembar daun 26. Manglit Magnolia montana Blume 2,19 1 lembar daun 27. Mereme Glochidion arborescens Bi 2,90 1 lembar daun 28. Memeniran Phyllanthua urinaria Lahan 2,94 1 ruas batang 29. Saga (daun) Abrus prekaterius Lahan 1,35 1 ruas batang 30. Sariawan usus Symplocos odoratissima Chosy 0,21 1 ruas batang 31. Sembung Blumea balsamiera Dc 11,25 7 lembar daun 32. Seputuher Foeniculum vulgare Miller 3,39 2 ruas batang 33. Sereh Piper betle L. 3,16 2 lembar daun 34. Siang Artemisia vulgaris L. 7,26 2 ruas batang 35. Singgugu Clerodendrum serratum Moon 4,26 2 lembar daun 36. Srikuning Nyctanthes arbor-tristis L. 3,77 6 lembar daun 37. Suruhan Peperomia pellucida L. 4,21 2 ruas batang 38. Tempuyung Soncuhus arvensis Linn 6,37 4 ruas batang B. Rempah-rempah 1. Bawang merah Allium cepa Lahan 19,09 4 siung 2. Kapulaga Amomun cardamomun Wild 50,00 3 sendok teh 3. Ketumbar Cariandrum saripun Linn 3,03 1 sendok teh 4. Lada Piper nigrom Lahan 1,31 10 butir 5. Pala Myristica fragrans Hout 4,49 1 biji C. Temu-temuan 1. Panglaihideng Curcuma aeruginosa Roxb 7,57 1 ruas 2. Jahe Zingiber officinale Rosc 13,00 2 ruas 3. Kencur Kaempferia galanga L 7,08 1 ruas 4. Koneng Curcuma domestica Val 7,38 1 ruas 5. Koneng gede Curcuma xanthorrhisa Roxb 5,98 1 ruas 6. Lempuyang Zingiber zerambet Sm 60,54 5 ruas D. Biji-bijian 1. Jaat Psophocarpus tetrayonolobus Dc 21,30 2 sendok makan 2. Kacang ijo Phaseolus radiatus L 197,32 1 gelas 3. Kacang dadak Vigna sinensis Endl 50,40 1 genggam 4. Kacang kedelai Glycine max 76,90 2 genggam 5. Kacang tanah Arachis hypogea Linn 39,70 1 genggam 6. Beras Oryza sativa 122,36 1 gelas 7. Jagung Zea mays 500 4 gelas
(Sumber: Pajar 2001, Roosita 2003)
Efek yang ditunjukkan jamu Galohgor dalam mempercepat involusi uterus
dan peningkatan produksi susu diduga karena berbagai bahan yang digunakan
dalam pembuatan jamu tersebut mengandung senyawa bioaktif dan zat gizi
sebagai prekursor untuk produksi susu. Jamu Galohgor yang terbuat dari 56 jenis
tanaman dibandingkan dengan jamu yang hanya terbuat dari satu atau beberapa
6
jenis tanaman memiliki kelebihan dan keterbatasan yang juga perlu diwaspadai.
Kelebihan yang dimiliki jamu ini antara lain adanya efek sinergis dari berbagai
jenis zat gizi dan bioaktif yang dapat saling memperkuat efek jamu. Sedangkan
keterbatasan yang perlu diwaspadai antara lain semakin banyaknya zat yang
memiliki peluang bersifat toksik yang terdapat dalam jamu yang mungkin
terakumulasi. Namun sebaliknya efek toksik yang terdapat dalam beberapa
tanaman juga diduga dapat dinetralkan oleh zat anti toksik yang ada dalam
tanaman lainnya. Hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut, namun hasil studi
pustaka menunjukkan bahwa berbagai bahan yang digunakan dalam jamu tersebut
telah diakui memiliki efek yang sinergis dengan efek jamu yang ditunjukkan
dalam penelitian (Roosita 2003).
Uji Toksisitas Akut
Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun
yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose atau campuran. Uji toksisitas
ini diteliti pada hewan percobaan yang menunjukkan evaluasi keamanan dari
kandungan kimia untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan,
kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Uji toksisitas dilakukan untuk
mendapatkan informasi atau data tentang toksisitas suatu bahan pada hewan uji.
Berdasarkan lama pengujiannya, uji toksisitas terbagi menjadi uji toksisitas akut yang
berlangsung selama 24 jam hingga 14 hari, uji toksisitas subakut yang berlangsung
selama setidaknya 10% dari masa hidup hewan uji, uji toksisitas subkronik yang
berlangsung setidaknya 30% dari masa hidup hewan uji, dan uji toksisitas kronis yang
dilakukan sekurang-kurangnya sebagian besar atau 75% dari masa hidup hewan coba
(The National Academy of Sciences 2007).
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala
keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang
mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan. Uji toksisitas
akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu
bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yang diberikan dalam 24 jam. Uji
toksisitas akut ini biasanya menggunakan hewan uji dari kedua jenis kelamin. Hewan
uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Weil (1952) penelitian
uji toksisitas akut ini paling tidak menggunakan 4 peringkat dosis, termasuk kontrol,
7
yang masing-masing peringkat dosis menggunakan paling sedikit 4 hewan uji. Dosis
terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala
keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua
(100%) hewan uji. Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan
pada pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan
ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Lu 1995).
Hewan coba pada uji toksisitas akut umumnya mendapat bahan uji dalam
dosis tunggal, diamati adanya efek dari bahan uji selama satu hingga dua minggu,
kemudian dilakukan nekropsi atau diamati fungsi organ tubuhnya. Beberapa uji
toksikologi tidak mendapatkan angka LD50
dan mampu mengetahui respon hewan
coba terhadap bahan yang diujikan. Informasi yang didapatkan, misalnya berupa
morbiditas dan pathogenesis, dapat menjelaskan adanya suatu proses toksik yang
terjadi dalam tubuh hewan coba selama uji toksisitas akut (Olfert, Cross, and
McWilliam 1993).
Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi Toksikan
Jalur utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru, dan
kulit. Banyak toksikan dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air
minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang
kaustik, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau
mereka diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lebih lamanya waktu
kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus. Setelah suatu zat
kimia memasuki darah, ia didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh. Laju
distribusi ke tiap-tiap alat tubuh berhubungan dengan aliran darah di alat tersebut,
mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel, serta
afinitas komponen alat tubuh terhadap zat kimia itu. Protein plasma dapat
mengikat komponen fisiologik normal dalam tubuh di samping banyak senyawa
asing lainnya. Sebagian besar senyawa asing ini terikat pada albumin dan karena
itu tidak dengan segera tersedia untuk didistribusi ke ruang ekstravaskuler.
Namun, karena pengikatan ini reversibel, bahan kimia yang terikat itu dapat lepas
dari protein sehingga kadar bahan kimia yang bebas meningkat, dan kemudian
mungkin melewati kapiler endotelium (Lu 1995).
8
Toksikan mencapai hati melalui sistem vaskuler. Dalam hati, toksikan
mengalami biotransformasi. Hasil dari biotransformasi tersebut dapat berupa
metabolit aktif dari toksikan tersebut, atau berupa senyawa lainnya yang
merupakan produk sampingannya. Metabolit aktif atau senyawa sampingannya
tersebut dapat mempengaruhi fisiologi hati bila bersifat toksik. Sebagai akibatnya,
fungsi hati dapat terganggu, seperti menurunnya kemampuan sintesa protein,
hambatan konjugasi bilirubin, dan timbulnya lesi pada hepatosit yang semakin
lama berkembang menjadi nekrosis yang meluas (Plaa 1986).
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme
faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler
glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm); karena itu, sebagian besar
toksikan akan lewat di glomerulus, kecuali toksikan yang sangat besar (lebih besar
dari berat molekul 60.000) atau yang terikat erat pada protein plasma. Toksikan
dalam filtrat glomerulus akan mengalami reabsorpsi di sel-sel tubulus bila
koefisien partisi lipid/air-nya tinggi, atau tetap dalam lumen tubulus dan
dikeluarkan bila ia merupakan senyawa yang polar. Suatu toksikan diekskresikan
lewat tubulus ke dalam urin melalui mekanisme difusi pasif. Karena urin biasanya
bersifat asam, proses ini berperan dalam ekskresi basa organik. Sebaliknya, asam
organik tak mungkin dikeluarkan dengan difusi pasif lewat sel tubulus. Namun,
asam lemah sering mengalami metabolisme menjadi asam yang lebih kuat
sehingga persentase bentuk ion yang tidak diserap lewat sel tubulus meningkat
untuk kemudian diekskresi (Guyton 1999).
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan,
terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi, konjugat yang terikat pada
protein plasma, dan senyawa yang berat molekulnya lebih besar dari 300.
Umumnya, begitu senyawa ini berada dalam empedu, mereka tidak akan diserap
kembali ke dalam darah dan dikeluarkan ke dalam feses (Lu 1995).
Efek Toksikan pada Tubuh
Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ, maupun mekanisme
kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan
9
(dan/atau metabolitnya) dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur
itu dapat bersifat nonspesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan
bahan korosif. Tetapi seringkali strukturnya itu spesifik, misalnya struktur
subseluler tertentu. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan lesi pada tempat
bahan itu bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh
senyawa kaustik misalnya, pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit,
serta iritasi gas atau uap pada saluran nafas. Sedangkan efek sistemik terjadi
hanya setelah toksikan diserap dan tersebar ke bagian lain tubuh. Umumnya
toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ seperti itu
disebut sebagai target organ (Gad and Chengelis 1988).
Efek toksik disebut reversibel jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya.
Sebaliknya, efek ireversibel akan menetap atau justru bertambah parah setelah
pajanan toksikan dihentikan. Efek ireversibel ini di antaranya adalah karsinoma,
mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan dapat reversibel bila tubuh
terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara, efek
ireversibel dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau
waktu yang lebih lama Efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar
dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya
nekrosis dan neoplasia, bersifat ireversibel dan berbahaya. Efek fungsional
biasanya berupa perubahan reversibel pada fungsi organ sasaran. Karenanya, pada
penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal selalu diperiksa. Uji fungsional sangat
berharga untuk memantau lanjutnya efek toksik pada organ sasaran dalam
penelitian jangka panjang pada hewan dan manusia (Lu 1995).
Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal
Ginjal mamalia adalah sebuah organ yang sangat kompleks, baik secara
anatomis maupun fisiologis. Selain fungsi utamanya yaitu ekskretorik, ginjal
berperan besar dalam mempertahankan homeostasis tubuh, dengan mengatur
volumen cairan ekstraseluler dan komposisi elektrolit tubuh. Ginjal juga
merupakan tempat pembentukan beberapa hormon yang mempengaruhi
metabolisme tubuh, seperti eritropoietin, renin, dan aldosteron. Bahan-bahan yang
10
bersifat nefrotoksik, juga dapat mengganggu fungsi lain dari ginjal tersebut, selain
fungsi ekskretoriknya (Hook and Hewitt 1986).
Urin adalah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya,
ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan
pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan
tertentu. Karenanya, ginjal adalah target organ utama dari efek toksik. Beratnya
beberapa efek yang diakibatkan oleh toksikan beragam dari satu perubahan
biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai
perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Lu 1995).
Suatu bahan yang bersifat nefrotoksik dapat mengakibatkan gagal ginjal
akut, apabila diberikan dalam dosis tertentu pada jangka waktu yang singkat.
Keadaan ini disebut sebagai nephrotoxic acute renal failure. Kerusakan yang
ditimbulkan terjadi pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksin
menyebabkan iskemia dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus
ginjal terlepas dari membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus
proksimal, dan kemudian menyebabkan kerusakan ansa Henle (Brady and
Brenner 2001).
Pemeriksaan fungsional ginjal secara rutin dilakukan sebagai bagian
integral dari penelitian toksisitas jangka pendek dan jangka panjang. Parameter
fungsi ginjal dapat diamati dari análisis darah seperti kadar nitrogen urea darah
(Blood Urea Nitrogen, BUN) atau ureum dan kreatinin. Nitrogen urea darah
diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin. Biasanya
ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Kadar ureum juga
dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hepatotoksisitas yang
merupakan efek umum beberapa toksikan. Sedangkan kreatinin adalah suatu
metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi
glomerulus. Dengan demikian, meningkatnya kadar kreatinin dalam darah
merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal, yang seringkali digunakan secara
klinis (Hook and Hewitt 1986).
11
Efek Toksikan pada Fungsi Hati
Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi
banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Sebagian besar
toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,
toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat
pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi;
ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut
air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa kasus,
toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Beberapa enzim serum
digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini
dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria,
lisosom, dan nukleus. Alanin aminotransferase serum (SGPT) dan glutamat
oksaloasetat transaminase serum (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan
nekrosis hati akut (Guyton 1999).
Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan
kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. Bahan yang
bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan hati secara langsung,
misalnya sebagai radikal bebas atau metabolit antara yang menyebabkan
peroksidasi membran lipid yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
hepatosit. Cara lainnya, obat atau metabolitnya dapat merusak membran sel atau
molekul seluler lainnya, atau mengganggu jalur biokimiawi dan integritas sel.
Secara umum, ada dua tipe hepatotoksisitas yang telah banyak dikenal, yaitu
toksik langsung kepada hati, dan tipe idiosinkrasi. Hepatitis toksik terjadi pada
semua individu yang terpapar pada toksikan, dan sifatnya tergantung pada dosis.
Periode laten antara paparan dengan kerusakan hati umumnya singkat, antara 24
hingga 48 jam. Bahan penyebabnya bersifat sistemik, atau dirubah menjadi
metabolitnya di dalam hati. Sedangkan reaksi idiosinkrasi jarang terjadi, tidak
dapat diramalkan, dan dapat terjadi segera setelah individu terpapar toksikan.
Manifestasi ekstrahepatik yang terjadi berupa hipersensitivitas, timbul pada
seperempat penderita hepatotoksik idiosinkrasi (Dienstag and Isselbacher 2001).
12
Secara mikroskopis, pada kerusakan hati setelah paparan toksikan dalam
dosis tinggi dan waktu yang singkat atau akut tampak akumulasi lemak pada
hepatosit, sel-sel yang nekrotik, atau disfungsi hepatobilier. Paparan toksikan pada
hati dalam jangka panjang atau kronis tampak sebagai sirosis hepatis atau
perubahan ke arah neoplasia dalam gambaran mikroskopisnya. Seringkali
ditemukan beberapa kerusakan dalam sediaan hati yang sama, yang menunjukkan
bahwa toksikan mempengaruhi beberapa fungsi hati (Plaa 1986).
Karimi dan Hayatghaibi (2006) serta Kandasamy et al. (2010)
menyebutkan bahwa cemaran bahan herbal oleh karbon tetraklorida akan
menurunkan kemampuan sintesa protein oleh hati. Bahan herbal yang bebas dari
cemaran karbon tetraklorida justru mampu memodulasi kemampuan sintesa
protein oleh hati. Dalam hal ini, perhatian akan kualitas bahan herbal yang bebas
cemaran perlu mendapat perhatian, untuk mendapatkan efek terapi yang maksimal
dari bahan herbal.
Efek Toksikan terhadap Berat Badan dan Tingkat Konsumsi Makanan
Kedua hal tersebut harus diukur secara rutin pada uji toksikologi.
Berkurangnya berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun
sensitif. Konsumsi makanan juga merupakan indikator yang berguna. Selain itu,
konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek yang mirip
atau memperberat manifestasi toksik zat kimia itu. Dan sebaliknya, status gizi
individu mempengaruhi efek toksik suatu bahan. Biotransformasi utama dari
toksikan, dikatalisis oleh sistem oksidasi mikrosom. Defisiensi asam-asam lemak
esensial biasanya menekan aktivitas sistem ini. Hal yang sama juga terjadi pada
defisiensi protein. Berkurangnya sistem oksidasi mikrosom ini menyebabkan efek
toksik suatu bahan menjadi lebih nyata (Lu 1995).
Penggunaan Hewan Coba pada Uji Tokisitas
Tikus dan mencit umumnya digunakan dalam uji toksisitas. Hewan ini
dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani. Selain itu, banyak
data toksikologi yang dapat diperoleh pada uji toksikologi dengan menggunakan
kedua spesies hewan tersebut. Kadang kala digunakan spesies hewan lain, seperti
13
marmut, kelinci, atau anjing, untuk memperoleh informasi yang lebih mudah
didapatkan daripada menggunakan tikus dan mencit, seperti perilaku yang lebih
jelas terlihat. Pengujian suatu toksikan dengan menggunakan dosis tinggi secara
per oral juga dimungkinkan pada penggunaan kelinci dan anjing sebagai hewan
coba, karena kapasitas lambungnya yang relative besar, dan dapat menerima
asupan per oral dalam dosis terbagi. Hewan coba yang digunakan sebaiknya
merupakan hewan dewasa namun masih muda, dan terdiri dari kedua jenis
kelamin, karena kerentanan antar jenis kelamin mungkin berbeda atau bervariasi
antar spesies (Olfert, Cross, and McWilliam 1993).
Dosis yang diberikan pada hewan coba merupakan dosis yang
diperkirakan mampu diterima oleh hewan coba. Sebaiknya, pemberian bahan uji
dilakukan menggunakan dosis bertingkat, atau kelipatan dari dosis normalnya.
Kelipatan dosis juga dapat diperhitungkan sebagai suatu hubungan logaritmik,
dimana dosis yang lebih tinggi merupakan kelipatan dari dosis dibawahnya. Bila
efek yang diamati pada hewan coba dihubungkan terhadap dosis dalam skala
logaritmik, maka akan diperoleh suatu kurva berbentuk huruf S. Kurva ini disebut
sebagai kurva dosis-respon, yang sering digunakan dalam menentukan efek suatu
obat secara farmakologis (Lorke 1983).
Secara umum bahan yang akan diujikan pada hewan coba harus diberikan
melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering
digunakan, karena sebagian besar bahan yang diujikan merupakan bahan yang
digunakan pada manusia melalui jalur ingesti. Bila akan diberikan secara oral,
bahan yang akan diujikan harus diberikan dengan sonde, untuk memastikan
jumlah bahan yang diterima hewan coba sesuai dengan dosis yang telah
ditentukan sebelumnya. Pengujian bahan toksik melalui jalur dermal dan inhalasi
umumnya digunakan untuk menilai cemaran lingkungan terhadap kesehatan
orang-orang yang bersentuhan atau menangani bahan-bahan tersebut. Sedangkan
jalur parenteral dipakai untuk menilai toksisitas obat parenteral (Olfert, Cross, and
McWilliam 1993).
14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung mulai bulan Maret hingga April 2010. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Hewan Pusat Studi Biofarmaka IPB. Pembuatan
jamu Galohgor dilakukan di SEAFAST (Southeast Asian Food & Agricultural
Science & Technology) Center IPB. Analisis sampel darah dan urin tikus
dilakukan di laboratorium diagnostik Yasa Bogor. Kerangka waktu yang
digunakan untuk penelitian ini terdiri atas tiga kegiatan utama yaitu pembuatan
jamu, pemberian perlakuan pada hewan coba, dan analisis sampel darah hewan
coba selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kerangka waktu penelitian
Waktu Kegiatan
Maret Minggu III
Maret Minggu IV –
April Minggu I
April Minggu II
Proses pembuatan jamu dan adaptasi hewan coba
Pemberian perlakuan pada hewan coba, yang terbagi
dalam kelompok kontrol dan perlakuan, dan
pengambilan sampel darah hewan coba
Analisis sampel darah hewan coba dan pengolahan
data secara statistik
Bahan Penelitian
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor
tikus (Rattus sp) betina dewasa galur Sprague-Dawley berumur tiga bulan dengan
berat badan berkisar antara 180-189 gram (184,65±2,92). Bahan yang diujikan
dalam penelitian ini adalah jamu Galohgor dengan komposisi seperti tertera pada
Tabel 1. Jamu Galohgor diperoleh dari Ibu Sari, seorang peramu jamu Galohgor
di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Desa Sukajadi
termasuk dalam wilayah Kecamatan Tamansari, yang terletak di wilayah tengah
15
sebelah selatan di Kabupaten Bogor. Desa Sukajadi berada di wilayah perbukitan,
dengan sebagian wilayahnya masih berupa hutan alami.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan ini merupakan rancangan acak kelompok dengan
faktor perlakuan pemberian jamu dengan tiga dosis bertingkat, serta sebagai
pembanding digunakan kelompok kontrol yang hanya mendapat aquadest.
Sebanyak 20 ekor tikus dibagi secara acak ke dalam empat kelompok percobaan,
yaitu kontrol dan perlakuan jamu dalam tiga dosis, sehingga masing-masing
kelompok terdiri dari lima ekor tikus atau terdapat lima pengulangan untuk
masing-masing perlakuan.
Penentuan dosis dilakukan berdasarkan kapasitas lambung tikus putih
(Rattus norvegicus), yang mampu menampung cairan semisolid dengan jumlah
maksimal 10 ml/kgBB (McConnell et al. 2008, Bull and Pitts 1971). Sehingga,
untuk tikus dengan berat 180-189 gram, jamu harus dapat dilarutkan dalam 1,8-
1,89 ml aquadest tanpa menyumbat spuit dan sonde. Berdasarkan perhitungan
tersebut dosis jamu yang dapat digunakan berturut-turut adalah 0,74 g/kgBB (2
kali dosis normal pada ibu menyusui); 1,48 g/kgBB (4 kali dosis normal pada ibu
menyusui); dan 2,22 g/kgBB (6 kali dosis normal pada ibu menyusui). Besarnya
dosis yang diperoleh merupakan kelipatan dari dosis rata-rata yang dikonsumsi
oleh ibu menyusui, yaitu 0,37 g/kgBB, seperti yang dinyatakan oleh Roosita
(2003).
Selama perlakuan, tikus diberi minum dan pakan komersial standar dengan
kadar protein sebesar 18%, sesuai dengan kebutuhan tikus dewasa, secara ad
libitum. Teknik ini mengacu pada pernyataan Kusumawati (2004). Pakan tikus
yang digunakan diproduksi oleh PT. Indofeed, dengan komposisi 18% protein,
4% lemak, 4% serat, dan 11% abu.
Persiapan Percobaan
Penelitian diawali dengan pembuatan jamu di SEAFAST Center IPB
dengan metode drum dryer dengan komposisi bahan seperti pada Tabel 1.
Sebelum diolah, bahan-bahan jamu Galohgor ditimbang terlebih dahulu
menggunakan timbangan analitik Kern model ABJ 120-4M. Bahan-bahan yang
16
berupa kacang-kacangan dan biji-bijian direndam dalam air mendidih selama 4
jam di dalam steamer, ditiriskan, kemudian dihancurkan menggunakan quencher.
Sedangkan bahan-bahan yang berupa daun-daunan, rempah-rempah dan temu-
temuan dicincang menggunakan chopper. Kemudian keduanya dicampur sehingga
berbentuk pasta. Pasta tersebut dimasukkan kedalam drum dryer dengan volume 1
kilogram dengan suhu 80o
Pemberian jamu pada tikus dilakukan dengan cara melarutkan jamu dalam
air dan dicekokan dengan menggunakan sonde. Pencekokan jamu dilakukan satu
kali sehari, yaitu pada pagi hari (jam 9-10 pagi) dengan dosis yang telah
ditentukan untuk pengujian toksisitas dengan mengacu pada penelitian Roosita
(2003). Dosis jamu Galohgor diberikan sesuai kelompok perlakuan selama 14 hari
berturut-turut.
C selama 1 jam dan keluar dalam bentuk lempengan.
Lempengan tersebut kemudian dihancurkan menggunakan blender dan diayak
menggunakan ayakan mekanis dengan ukuran 60 mesh. Sisa jamu yang tidak
tersaring kembali dihancurkan menggunakan blender dan diayak kembali. Hal ini
dilakukan terus menerus hingga seluruh jamu habis. Metode pembuatan jamu
mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Pajar (2001), dan Roosita (2003).
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada hari ke-1 hingga hari ke-14. Berat badan tikus
dihitung secara berkala, yaitu setiap 2 hari sekali. Pada hari ke-14 sampel darah
diambil untuk dianalisis fungsi ginjal (kadar ureum dan kreatinin serum serta
protein urin), dan fungsi hatinya (kadar SGPT, SGOT, dan total protein serum).
Tikus dibius dengan memasukkannya kedalam killing jar dengan alas kasa
yang dibasahi dengan larutan ether. Kemudian tikus yang sudah terbius
ditelentangkan, dan diambil darahnya menggunakan disposible syringe ukuran 5
ml secara intrakardial melalui dinding dada, melalui sela iga keempat, sedikit
lateral daerah palpitasi jantung maksimum (Kusumawati 2004).
Sampel darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi tanpa
menggunakan antikoagulan, dan langsung dikirim ke laboratorium diagnostik
Yasa untuk dianalisis. Serum dipisahkan dari komponen darah yang lain dengan
cara sentrifugasi. SGPT dan SGOT dianalisis menggunakan metode Colorimetric
End-Point, kadar ureum serum dianalisis menggunakan metode diacetyl
17
monoxime, kadar kreatinin serum dianalisis menggunakan metode Jaffe,
sedangkan kadar total protein serum dianalisis menggunakan metode Biuret.
Sampel urin diperoleh melalui pengumpulan urin selama 24 jam di dalam
kandang hewan coba. Urin yang didapat selama 24 jam kemudian dianalisis
menggunakan metode Biuret. Berbagai metode analisis tersebut tertera pada
Lampiran 1 hingga 6.
Tabel 3. Parameter yang diukur dan metode pengukuran
Parameter Yang
Diukur
Metode Pengukuran Jenis
Sampel
Waktu
Pengukuran
Berat badan tikus
Fungsi ginjal
• Ureum
• Kreatinin
• Protein urin
Fungsi hati
• SGPT
• SGOT
• Total protein
serum
Penimbangan berat
badan tikus
Diacetyl monoxime
Jaffe
Biuret
Colorimetric End-Point
Colorimetric End-Point
Biuret
Tikus
Serum
Serum
Urin
Serum
Serum
Serum
2 hari sekali
Hari ke-14
Hari ke-14
Hari ke-14
Hari ke-14
Hari ke-14
Hari ke-14
Pengolahan dan Analisis Data
Data diolah dan ditabulasi menggunakan Microsoft Excel 2007. Data yang
telah ditabulasi kemudian dianalisis dengan metode sidik ragam (ANOVA) dan
regresi linier menggunakan komputer dengan program SPSS version 17.0 for
Windows. Uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT) dilakukan apabila
analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang nyata.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sampel Selama Penelitian
Selama pemberian jamu Galohgor kepada tikus percobaan, berat badannya
ditimbang setiap dua hari sekali. Setelah 14 hari pengamatan atau setara dengan
dua kali masa nifas pada manusia (80 hari), tidak tampak perubahan berat badan
tikus yang bermakna (Tabel 4 dan Gambar 1). Namun secara deskriptif, tikus
yang mendapat jamu dengan dosis yang lebih besar cenderung mengalami
peningkatan berat badan yang lebih rendah.
Tabel 4. Berat badan rata-rata tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 8 hari
Dosis
(g/kgBB)
BB (gram) hari ke
0 2 4 6 8
0 186,2 ± 2,17 184,4 ± 4,16a 184,6 ± 5,27ab 188,2 ± 4,60a 190,4 ± 3,36a a
0,74 184,2 ± 2,95 188,8 ± 3,49a 190,2 ± 4,76b 190,8 ± 17,46a 193 ± 16,12a
1,48
a
185 ± 2,92 182,2 ± 4,15a 184,4 ± 6,69a 186,4 ± 8,17a 186,4 ± 8,17a
2,22
a
183,2 ± 3,56 185 ± 5,15a 185,8 ±6,02ab 187,8 ± 6,06a 187,8 ± 6,06a a
Keterangan: huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan Multiple Range Test pada taraf uji 0,05.
Gambar 1. Berat badan rata-rata tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama
14 hari
170
175
180
185
190
195
200
205
0 2 4 6 8 10 12 14
Bera
t bad
an (g
ram
)
Hari pengamatan
0
0.74
1.48
2.22
Dosis (g/kgBB)
19
Perubahan berat badan yang tidak bermakna tersebut dapat terjadi karena
beberapa sebab. Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak tersedianya data
tingkat konsumsi makanan hewan coba dan jumlah serta kandungan feses hewan
coba. Sehingga sulit dijelaskan apakah peningkatan berat badan yang berbeda
tersebut sebagai akibat dari tingkat konsumsi yang rendah, pemanfaatan zat gizi
dalam tubuh yang berlebihan sebagai akibat dari meningkatnya metabolisme
basal, atau karena sebab yang lain.
Efek Jamu Galohgor terhadap Fungsi Ginjal
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme
faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Ginjal
mempunyai volumen aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada
filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan tertentu
(Lu 1995).
Parameter fungsi ginjal dapat diamati dari análisis darah seperti kadar
nitrogen urea darah (Blood Urea Nitrogen, BUN) dan kreatinin. Nitrogen urea
darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin.
Biasanya ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Namun,
kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan
hepatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan. Sedangkan
kreatinin adalah suatu metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin
melalui filtrasi glomerulus. Dengan demikian, meningkatnya kadar kreatinin
dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Lu 1995).
Analisis kadar ureum serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari menunjukkan bahwa kadar ureum serum pada tikus meningkat
secara nyata, diakibatkan oleh peningkatan dosis jamu yang diberikan (p<0,01),
seperti ditunjukkan oleh Tabel 5 dan Gambar 2. Namun besarnya kadar ureum
serum pada tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari dengan dosis
hingga mencapai 2,22 gram/kgBB tersebut masih berada dalam nilai yang normal,
yaitu berkisar antara 5,0 hingga 59,0 mg/dl (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb
and Quimby 1989).
20
Tabel 5. Kadar rata-rata ureum serum, kreatinin serum, dan protein urin tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari
Dosis Jamu
(gram/kgBB)
Kadar rata-rata
ureum (mg/dl)
Kadar rata-rata
kreatinin (mg/dl)
Protein Urin
0 (kontrol) 19,00 ± 2,12 0,64 ± 0,09a Negatif a
0,74 25,20 ± 4,55 0,76 ± 0,05b Negatif b
1,48 32,40 ± 2,70 0,84 ± 0,05c Negatif bc
2,22 43,80 ± 6,30 0,88 ± 0,04d Negatif c
Keterangan: huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 0,05.
Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan sebuah persamaan
matematis berikut:
y = 11,232x + 17,506
dengan y adalah kadar ureum serum dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar ureum serum tertinggi
yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu
Galohgor dengan dosis 3,69 g/kgBB atau 9,98 kali lipat dari dosis yang umumnya
dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis yang lebih
tinggi akan menyebabkan kadar ureum meningkat diatas normal.
Nitrogen urea darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan
diekskresi melalui urin. Biasanya ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan
glomerulus. Namun, kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat
makanan dan hepatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan (Lu
1995)
21
Gambar 2. Kadar rata-rata ureum serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari
Hasil analisis kadar kreatinin serum tikus juga menunjukkan bahwa
peningkatan dosis jamu Galohgor mengakibatkan peningkatan kadar kreatinin
serum secara nyata (p<0,01) setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari
(Tabel 5 dan Gambar 3). Kadar rata-rata kreatinin serum tikus tersebut juga masih
berada dalam rentang normal yang berkisar antara 0,22 hingga 1,00 mg/dl
(Darling and Morris 1991, Baker and Miller 1939). Kreatinin adalah suatu
metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi
glomerulus. Dengan demikian, meningkatnya kadar kreatinin dalam darah
merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal (Lu 1995).
Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan suatu persamaan
matematis, yaitu:
y = 0,103x + 0,668
dengan y adalah kadar kreatinin serum dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar kreatinin serum
tertinggi yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus
diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,22 g/kgBB atau 8,71 kali lipat dari dosis
yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan
dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan kadar kreatinin meningkat diatas
normal.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r ure
um se
rum
(mg/
dl)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
22
Pemberian jamu Galohgor hingga dosis 2,22 gram/kgBB pada tikus
selama 14 hari tidak menyebabkan adanya kebocoran filtrasi glomerulus pada
ginjal tikus, yang ditunjukkan dengan tidak didapatkannya protein dalam urin
tikus (Tabel 5). Normalnya, protein tidak didapatkan di dalam urin. Sel endotel
glomerulus yang normal membentuk sebuah sawar dengan pori-pori sebesar 100
nm yang mencegah partikel-partikel dengan ukuran yang lebih besar untuk keluar
ke dalam urin. Membran basal glomerulus mampu mencegah protein molekul
besar yang berukuran lebih dari 100 kDa untuk keluar melalui urin. Adanya
protein dalam urin menunjukkan adanya kebocoran filtrasi glomerulus (Denker
and Brenner 2001). Sama halnya dengan manusia, pada urin tikus yang normal
juga tidak didapatkan protein. Adanya protein dalam urin tikus juga menunjukkan
kebocoran dalam ginjal tikus (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby
1989).
Gambar 3. Kadar rata-rata kreatinin serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor
selama 14 hari
Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum pada tikus selama
pemberian jamu Galohgor dengan dosis bertingkat menunjukkan bahwa
peningkatan dosis jamu Galohgor mempengaruhi fungsi ginjal tikus, walaupun
pada dosis tertinggi yang diberikan fungsi ginjal tikus masih berada dalam rentang
yang normal. Terdapat kemungkinan, bila dosis jamu Galohgor terus ditingkatkan,
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r kre
atin
in se
rum
(mg/
dl)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
23
maka akan terjadi perburukan fungsi ginjal dan kerusakan ginjal itu sendiri,
mengingat tingginya kadar ureum dan kreatinin yang melebihi batas normal
merupakan petanda adanya gangguan fungsi ginjal. Hal ini akan berlanjut dengan
terjadinya kebocoran glomerulus, yang ditandai dengan didapatkannya protein
dalam urin atau proteinuria. Protein yang memiliki berat molekul besar akan
melewati membran basal glomerulus yang bocor, sehingga terekskresikan
bersama dengan urin (Lu 1995, Brady and Brenner 2001, Denker and Brenner
2001).
Bahan herbal atau obat yang bersifat nefrotoksik dapat menyebabkan
kerusakan pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksin menyebabkan
iskemia dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas
dari membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal, dan
kemudian menyebabkan kerusakan ansa Henle. Kerusakan ginjal diawali oleh
insufisiensi renal, dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang tampak dari
pemeriksaan faal ginjal. Proses ini awalnya terjadi perlahan, dan dapat berlanjut
menjadi kronis dan progresif. Sedangkan pemberian bahan herbal dosis tinggi
dalam jangka pendek juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal akut yang berupa
gagal ginjal akut. Kerusakan yang terjadi berupa nekrosis epitel tubulus, yang
disebut sebagai nekrosis tubuler akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) hingga
fibrosis interstisial yang meluas dan disertai terlepasnya epitel tubulus. Namun
fibrosis renal umumnya terjadi setelah pemakaian bahan herbal dalam jangka
panjang (Brady and Brenner 2001, Keppel and Calissi 2002, Peña et al. 1996,
Albright 2001, Martinez et al. 2002).
Keppel dan Calissi (2002) menyebutkan bahwa insufisiensi renal yang
berkelanjutan akan menyebabkan End Stage Renal Disease (ESRD), atau penyakit
ginjal tahap akhir. Penyebab utama ESRD adalah diabetes, yang diikuti oleh
penyakit vaskuler. Umumnya, penderita insufisiensi renal telah mengkonsumsi
berbagai obat untuk mengatasi penyakit yang mendasarinya, seperti diabetes.
Obat yang dikonsumsi oleh penderita dapat bervariasi, baik obat-obatan yang
berasal dari industri farmasi, ataupun obat-obat herbal yang dijual bebas di
pasaran. Penderita insufisiensi renal didiagnosis melalui pemeriksaan penunjang,
selain melalui penggalian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
24
penunjang utama yang digunakan adalah pemeriksaan kadar kreatinin serum dan
bersihan kreatinin (creatinine clearance) yang mencerminkan fungsi ginjal
penderita.
Insufisiensi renal yang terjadi karena konsumsi obat-obatan dan bahan
herbal dapat terjadi secara cepat dan progresif, kemudian menyebabkan terjadinya
gagal ginjal akut, seperti dinyatakan oleh Albright (2001). Nefritis intersitisial
fibrotik adalah salah satu peyebab gagal ginjal akut dengan kerusakan intrarenal.
Obat-obatan dan bahan herbal adalah penyebab utama nefritis interstisial fibrotik.
Bahan herbal yang berasal dari Cina telah banyak terbukti menimbulkan
gangguan ini, sehingga disebut sebagai sindroma nefropati akibat bahan herbal
Cina. Sindroma ini ditandai dengan gagal ginjal progresif, ditemukannya banyak
sedimen urin, pengerutan ukuran ginjal dengan proteinuria ringan, dan
dihubungkan dengan adanya kejadian kanker uroepitelial.
Peña et al. (1996) dan Martinez et al. (2002) melakukan penelitian yang
serupa terhadap bahan herbal yang berbeda dari Cina, dan melihat pengaruhnya
terhadap fungsi ginjal. Keduanya menyimpulkan bahwa penggunaan bahan herbal
dengan dosis rendah dalam jangka waktu yang lama menimbulkan akumulasi
bahan herbal tersebut dalam ginjal. Pada gambaran histologis jaringan ginjal
didapatkan fibrosis interstisial yang meluas dengan gambaran atrofi dan hilangnya
integritas tubulus ginjal. Jangka waktu konsumsi bahan herbal yang semakin lama
akan menimbulkan gangguan ginjal yang semakin berat, hingga dapat terjadi
ESRD. Kajian epidemiologis juga menunjukkan adanya keterkaitan antara tingkat
konsumsi bahan herbal dengan meningkatnya prevalensi gagal ginjal akut di
beberapa negara di Eropa.
Tidak hanya bahan herbal dari Cina saja yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi ginjal. Dasgupta dan Bernard (2006) serta Mythilypriya et al.
(2007) menyatakan bahwa beberapa jamu dari India yang berasal dari beberapa
bahan herbal menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, pengerutan
ukuran ginjal, serta perubahan histologis jaringan ginjal. Selain itu, bahan-bahan
herbal tersebut juga berinteraksi dengan obat-obatan, sehingga memperberat
kerusakan ginjal yang terjadi. Kemungkinan terjadinya karsinogenesis akibat
bahan-bahan herbal juga diunkap oleh para peneliti tersebut.
25
Di Afrika, Tédong et al. (2007), Sheir (2001), dan Aniagu et al. (2005)
menemukan bahwa jamu yang terdiri dari bebrapa bahan herbal menimbulkan
gangguan fungsi ginjal pada hewan coba, bila diberikan dalam dosis tinggi dan
waktu yang singkat, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Pemberian bahan herbal dalam
dosis rendah dan jangka waktu yang singkat tidak mengakibatkan gangguan
anatomis dan fungsi ginjal yang bermakna. Gangguan ginjal yang timbul
selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi organ yang lain, seperti hati.
Dalam beberapa penelitian tersebut juga diungkapkan adanya perubahan anatomis
pada ginjal, yang ditunjukkan oleh hilangnya integritas tubulus ginjal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian mengenai bahan herbal
yang berasal dari Asia dan Afrika, Gabardi et al. (2007) dan Tagliati (2008)
menguji bahan herbal yang sudah terdaftar di Amerika Serikat dan Brasil terkait
pengaruhnya terhadap fungsi ginjal. Penggunaan bahan herbal terdaftar tersebut
tidak memberikan efek negatif pada organ-organ tubuh bila digunakan pada
rentang dosis yang tepat. Karena produk tersebut telah beredar luas dan dapat
diperoleh tanpa menggunakan resep dokter, konsumen cenderung untuk tidak
memperhatikan dosis dan aturan pakai bahan herbal. Konsumen menganggap
bahwa bahan herbal cenderung lebih aman, sehingga dikonsumsi berlebihan. Hal
ini justru merugikan konsumen, karena mendorong terjadinya disfungsi ginjal
hingga gagal ginjal akut. Edukasi yang tepat pada masyarakat mengenai
penggunaan bahan herbal mutlak diperlukan untuk menghindari terjadinya
perburukan fungsi ginjal pada konsumen bahan herbal.
Bahan herbal dapat bersifat nefrotoksik oleh karena senyawa-senyawa
yang dikandungnya, atau karena adanya senyawa lain yang berasal dari luar,
misalnya adanya logam berat, pestisida, atau bahan kimia lainnya yang terdapat di
tempat bahan herbal tersebut tumbuh. Selama ini bahan herbal yang banyak
diteliti berasal dari Asia utamanya Cina, Afrika, dan Amerika Latin. Bahan-bahan
tersebut diaplikasikan kepada manusia sebagai bahan tunggal dari satu jenis
tanaman, atau bahan majemuk yang terdiri dari beberapa tanaman, misalnya jamu
Galohgor. Pada bahan yang terdiri dari beberapa tanaman, dapat terjadi interaksi
antar senyawa dari berbagai tanaman tersebut, dengan hasil akhir yang seringkali
sulit diramalkan. Bahan-bahan tersebut dapat saling meniadakan efek toksiknya,
26
dan sebaliknya. Hasil metabolit akhir dari bahan herbal tersebut yang pada
umumnya mempengaruhi fungsi ginjal, serta merusak struktur intrinsik ginjal
secara anatomis. Edukasi pada masyarakat untuk menggunakan bahan herbal
dengan dosis yang tepat menjadi mutlak diperlukan karenanya (Dasgupta and
Bernard 2006, Mythilypriya et al. 2007, Tédong et al. 2007, Sheir 2001, Aniagu et
al. 2005, Gabardi et al. 2007, Tagliati 2008)
Efek Jamu Galohgor terhadap Fungsi Hati
Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan
toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak
toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Beberapa enzim serum
digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini
dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria,
lisosom, dan nukleus. Aspartat aminotransferase (SGPT) dan glutamat
oksaloasetat transaminase (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis
hati akut. Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan
kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. (Lu 1995,
Guyton 1999).
Analisis kadar enzim alanin aminotransferase (ALT) atau yang lebih
banyak dikenal sebagai SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) pada
tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor menunjukkan pahwa peningkatan
kadar SGPT dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan dosis jamu Galohgor
(p<0,01), seperti tampak pada Tabel 6 dan Gambar 4. Kadar SGPT tersebut
hampir mencapai ambang batas nilai normalnya pada tikus, yaitu antara 35,9
hingga 81,6 IU/l (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989). Enzim
ini mengkatalisis reaksi pemindahan gugus amino antara L-alanin dan asam α-
ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat. SGPT merupakan enzim yang spesifik
pada hati. Peningkatan kadar enzim ini dalam darah dapat menunjukkan adanya
kerusakan pada hati. Keadaan serupa juga terjadi pada peradangan hati (hepatitis)
dengan berbagai sebab, seperti infeksi atau hepatitis yang terjadi akibat
alkoholisme (Dienstag and Isselbacher 2001, Anuforo et al. 1978).
27
Tabel 6. Kadar rata-rata SGPT, SGOT, dan total protein serum tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama 14 hari
Dosis Jamu
(gram/kgBB)
Kadar rata-rata
SGPT (mg/dl)
Kadar rata-rata
SGOT (mg/dl)
Kadar rata-rata total
protein serum (g/dl)
0 (kontrol) 56,60 ± 7,02 39,20 ± 5,26a 9,08 ± 1,16a a
0,74 61,40 ± 6,73 50,20 ± 1,92ab 8,24 ± 0,16b
1,48
b
65,00 ± 2,83 57,40 ± 2,07bc 7,72 ± 0,22c
2,22
b
71,60 ± 4,72 71,80 ± 5,21c 5,88 ± 0,36d c
Keterangan: huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata secara statistik menurut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 0,05.
Gambar 4. Kadar rata-rata SGPT tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama
14 hari
Hasil analisis dengan menggunakan regresi linier menghasilkan sebuah
persamaan, yaitu:
y = 7,512x + 54,729
dengan y adalah kadar SGPT dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar SGPT tertinggi yang
masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu
Galohgor dengan dosis 3,58 g/kgBB atau 9,67 kali lipat dari dosis yang umumnya
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r SG
PT (I
U/l
)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
28
dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis yang lebih
tinggi akan menyebabkan kadar SGPT meningkat diatas normal.
Kadar rata-rata enzim Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
atau aspartat transferase (AST) pada tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor
juga meningkat secara nyata (p<0,01) sebagai akibat peningkatan dosis jamu
Galohgor (Tabel 6 dan Gambar 5). Kadar SGOT normal pada tikus berkisar antara
35,7 hingga 168 IU/l (Mitruka and Rawnsley 1981, Loeb and Quimby 1989).
Peningkatan kadar enzim ini tidak spesifik menunjukkan disfungsi hati, karena
enzim tersebut juga didapatkan pada otot rangka, pankreas, dan beberapa organ
lain. Namun peningkatannya yang disertai peningkatan kadar SGPT tanpa disertai
kerusakan atau disfungsi organ lain mampu menunjukkan adanya kerusakan pada
hati (Dienstag and Isselbacher 2001, Anuforo et al. 1978).
Gambar 5. Kadar rata-rata SGOT tikus setelah pemberian jamu Galohgor selama
14 hari
Analisis menggunakan regresi linier menghasilkan sebuah persamaan,
yaitu:
y = 13,688x + 39,765
dengan y adalah kadar SGOT dan x adalah dosis jamu Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar SGOT tertinggi yang
masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus diberikan jamu
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r SG
OT
(IU/l
)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
29
Galohgor dengan dosis 9,37 g/kgBB atau 25,32 kali lipat dari dosis yang
umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis
yang lebih tinggi akan menyebabkan kadar SGOT meningkat diatas normal.
Hati adalah organ utama yang diteliti dalam menentukan toksisitas suatu
bahan, karena proses detoksifikasi terjadi di hati. Hepatitis adalah gangguan
fungsi hati pertama dan utama yang terjadi akibat penggunaan bahan herbal,
seperti dinyatakan oleh Shad dan Brann (1999), Laliberté dan Villeneuve (1996),
serta Currie dan Clough (2003). Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan
peningkatan kadar SGPT dan SGOT, sebuah pemeriksaan sederhana yang dapat
dilakukan di negara berkembang. Bahan herbal yang diteliti berasal dari belahan
dunia yang berbeda, yaitu dari Perancis, Amerika Utara, dan Kepulauan Pasifik.
Hasil yang sama diperoleh dari berbagai penelitian tersebut, yaitu terjadinya
hepatitis pada penderita yang mengkonsumsi bahan herbal dalam dosis yang
tinggi dan jangka waktu yang lama. Gambaran histopatologis menunjukkan
terjadinya nekrosis yang semakin meluas, seiring dengan semakin tingginya dosis
dan semakin panjangnya jangka waktu konsumsi bahan herbal. Bahan herbal juga
memiliki efek yang berbeda pada fungsi spesifik hati. Teucrium chamaedrys yang
berasal dari Perancis selain menyebabkan hepatitis, juga menyebabkan gangguan
metabolism kolesterol dan sistem bilier, sehingga gejala ikterus lebih jelas terlihat.
Shad dan Brann (1999) yang meneliti beberapa bahan herbal di Amerika Utara
menemukan bahwa sebagian besar bahan herbal yang diteliti selain menyebabkan
hepatitis, juga mengganggu fungsi pembekuan darah.
De Smet et al. (1996) menemukan adanya kasus interaksi antara bahan
herbal terdaftar dengan Levothyroxine dan Ibuprofen yang menginduksi
terjadinya hepatitis. Gejala klinis utama yang tampak pada penderita adalah
adanya ikterus, nausea, dan pruritus. Pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
penggalian riwayat terapi menunjukkan bahwa penderita menggunakan bahan
herbal terdaftar tanpa sepengetahuan dokter yang merawatnya, yang
menggunakan obat-obat tersebut. Edukasi pada penderita menjadi salah satu kunci
untuk menghindari terjadinya kasus yang serupa.
Penggunaan bahan herbal yang sudah teruji sekalipun harus
memperhatikan variasi individu yang mengkonsumsinya. Bahan yang sudah
30
terdaftar dan melalui uji toksisitas pada hewan coba dan telah diujikan secara
klinis pada manusia juga memiliki batasan-batasan tertentu, seperti obat-obatan
lainnya. Jus buah noni yang tidak toksik pada hewan coba, seperti diteliti oleh
West et al. (2006a) juga terbukti aman dalam uji klinis pada manusia (West et al.
2006b).
Stadlbauer et al. (2005) menemukan adanya interaksi antara jus buah noni
dengan Paracetamol, yang menginduksi terjadinya hepatitis dan gangguan sistem
bilier pada seorang penderita. Pemeriksaan sitologi hati pada penderita tersebut
menunjukkan adanya nekrosis hepatosit dan infiltrasi sel-sel radang pada ductus
hepaticus. Penderita lain yang berusia lanjut juga mengalami perburukan disfungsi
hati setelah konsumsi jus buah noni. Pemeriksaan sitologi hati pada penderita
tersebut menunjukkan adanya nekrosis hepatosit pada area sentrilobular yang
disertai adanya infiltrat sel-sel radang.
Kerusakan hati akibat bahan herbal umumnya ditandai dengan
peningkatan enzim-enzim hati, seperti SGPT dan SGOT. Pada beberapa bahan
herbal yang bersifat hepatotoksik berat, enzim-enzim lain juga meningkat
kadarnya, seperti laktat dehidrogenase dan alkalin fosfatase. Sedangkan pada
beberapa bahan herbal lainnya, kerusakan hati juga diikuti oleh gangguan sistem
bilier dan metabolisme kolesterol. Pada pemberian bahan herbal dosis tinggi
dalam jangka waktu yang singkat, dapat terjadi hepatitis akut, sedangkan pada
penggunaannya dalam jangka panjang dapat mengakibatkan perlemakan hati
hingga nekrosis hati yang meluas. Kerusakan hati tersebut dapat terjadi karena
bahan-bahan herbal tersebut mengalami metabolisme dan detoksifikasi di hati.
Sebagian bahan herbal menghasilkan metabolit antara yang bersifat hepatotoksik,
sehingga menyebabkan kerusakan hati, baik akut maupun kronis (Shad and Brann
1999, Laliberté and Villeneuve 1996, de Smet et al. 1996, Currie and Clough
2003).
Kadar total protein serum pada tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor
semakin menurun secara nyata (p<0,01) sebagai akibat dari peningkatan dosis
jamu Galohgor (Tabel 7 dan Gambar 6). Seperti kadar SGPT dan SGOT, kadar
protein serum pada tikus yang diberi perlakuan jamu Galohgor juga masih berada
31
dalam rentang nilai normalnya, yaitu 4,3 hingga 10,7 g/dl. Analisis dengan
menggunakan regresi linier menghasilkan persamaan:
y = -1,308x + 9,146
dengan y adalah kadar total protein serum dan x adalah dosis jamu
Galohgor
Penghitungan secara matematis menunjukkan bahwa kadar total protein
serum terendah yang masih berada dalam rentang normal dapat tercapai bila tikus
diberikan jamu Galohgor dengan dosis 3,70 g/kgBB atau 10 kali lipat dari dosis
yang umumnya dikonsumsi ibu menyusui. Pemberian jamu Galohgor dengan
dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan kadar total protein serum turun
dibawah normal.
Gambar 6. Kadar rata-rata total protein serum tikus setelah pemberian jamu
Galohgor selama 14 hari
Total protein serum merupakan gabungan dari seluruh protein sederhana
dan kompleks yang beredar di dalam tubuh. Sebagian besar protein disintesa di
hati, sehingga penurunan kadarnya menunjukkan adanya gangguan pada
kemampuan sintesa protein oleh hati. Gangguan tersebut umumnya disebabkan
oleh kerusakan hati. Selain itu, kerusakan ginjal menyebabkan lolosnya protein ke
dalam urin, sehingga seolah-olah kadar protein serum menjadi berkurang.
0123456789
10
0 0,74 1,48 2,22
Kada
r tot
al p
rote
in se
rum
(g/d
l)
Dosis jamu galohgor (g/kgBB)
32
Kurang energi dan protein (KEP) dan penyakit-penyakit yang
menyebabkan penurunan status gizi, seperti sindrom malabsorbsi juga
menyebabkan rendahnya kadar total protein serum. Hati memiliki mekanisme
kompensasi yang sangat baik. Hal ini ditunjukkan pada disfungsi hati akibat
penggunaan bahan herbal, sintesa protein cenderung berada dalam rentang yang
normal, walaupun kadarnya rendah dalam darah. Selain itu, hati juga memiliki
kemampuan regenerasi yang baik, sehingga apabila penggunaan suatu bahan
hepatotoksik dihentikan, maka hati akan melakukan regenerasi untuk mengganti
sel-selnya yang rusak (Schreiber et al. 1971, Steinert 2009, Orhue et al. 2005,
Karimi and Hayatghaibi 2006, Kandasamy et al. 2010, Antai et al. 2009).
33
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Fungsi hati dan ginjal tikus betina masih berada dalam rentang normal
pada pemberian jamu Galohgor enam kali dosis normal pada ibu menyusui selama
14 hari perlakuan, atau setara dua kali masa nifas pada manusia, sehingga pada
taraf ini jamu Galohgor relatif aman.
Peningkatan dosis jamu Galohgor yang diberikan pada tikus percobaan
meningkatkan parameter biokimiawi dari fungsi hati dan ginjal secara nyata,
sehingga dimungkinkan dengan pemberian jamu Galohgor dengan dosis yang
lebih tinggi dapat terjadi gangguan pada hati dan ginjal.
Berdasarkan perhitungan matematis menggunakan análisis regresi linier,
diperkirakan pada dosis 3,22 g/kgBB atau 8,71 kali lipat dari dosis yang
umumnya dikonsumsi oleh ibu menyusui, penggunaan jamu Galohgor dapat
mengganggu fungsi ginjal.
Berdasarkan perhitungan matematis menggunakan análisis regresi linier,
pada dosis 3,58 g/kgBB atau 9,67 kali lipat dari dosis yang umumnya dikonsumsi
oleh ibu menyusui, penggunaan jamu Galohgor diperkirakan dapat mengganggu
fungsi ginjal dan hati.
Saran
Uji toksikologi lanjutan dengan jangka waktu yang lebih lama untuk
menentukan tokisistas subkronis dan kronis pada hewan coba, perlu dilakukan
untuk mengantisipasi bahaya konsumsi jamu secara terus-menerus dalam jangka
panjang.
Penelitian serupa masih perlu dilakukan dengan mengukur tingkat
konsumsi pakan, berat dan komposisi feses, volume urin hewan coba, serta
mengamati gambaran histopatologis hati dan ginjalnya serta organ lainnya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Albright Jr. RC. 2001. Acute Renal Failure: A Practical Update. Mayo Clin Proc 76:67-74.
Aniagu S et al. 2005. Toxicity Studies in Rats Fed Nature Cure Bitters. African
Journal of Biotechnology 4(1)72-78. Antai AB et al. 2009. Serum Protein and Enzyme Levels In Rats Following
Administration of Ethanolic Leaf Extract of Ageratum conyzoides (Goat Weed). Nigerian Journal of Physiological Sciences 24(2):117-120.
Anuforo DC, Acosta D, and Smith RV. 1978. Hepatotoxicity Studies with
Primary Cultures of Rat Liver Cells. In Vitro 14:2. Baker Z and Miller BF. 1939. Studies on the Metabolism of Creatine and
Creatinine. J Biol Chem 130:393-397. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.00.05.41.1384. Jakarta: BPOM.
Brady HR and Brenner BM. 2001. Acute Renal Failure. Di dalam: Braunwald E,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-15. New York: McGraw-Hill.
Bull SG and Pitts GC. 1971. Gastric Capacity and Energy Absorption in the
Forced-fed Rat. J. Nutr. 101:593-596. Cunningham et al. 2005. Di dalam: Rouse D, Rainey B, Spong C, Wendel GD,
editor. Williams Obstetrics. Ed ke-22. New York: McGraw-Hill. Currie BJ and Clough AR. 2003. Kava Hepatotoxicity With Western Herbal
Products: Does It Occur With Traditional Kava Use? Medical Journal of Australia 178:421-422.
de Smet PAGM, van den Eertwegh AJM, and Stricker BHC. 1996. Hepatotoxicity
Associated with Herbal Tablets. British Medical Journal 313:92. Dahlianti R, Nasoetion A, dan Roosita K. 2005. Keragaan Perawatan Kesehatan
Masa Nifas, Pola Konsumsi Jamu Tradisional, dan Pengaruhnya pada Ibu Nifas di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Bogor. Media Gizi dan Keluarga. 29(2), 32-37.
Darling IM and Morris ME. 1991. Evaluation of “True” Creatinine Clearance in
Rats Reveals Extensive Renal Secretion. Pharmaceutical Research 8(10):1318-1322.
35
Dasgupta A and Bernard DW. 2006. Herbal Remedies: Effects on Clinical
Laboratory Tests. Arch Patol Lab Med. 130:521-528. Denker BM and Brenner BM. 2001. Alterations in Renal and Urinary Tract
Function. Di dalam: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-15. New York: McGraw-Hill.
[DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman
Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional. Jakarta: DEPKES. Dienstag JL and Isselbacher KJ. 2001. Toxic and Drug-Induced Hepatitis. Di
dalam: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-15. New York: McGraw-Hill.
Gabardi S, Munz K, and Ulbricht C. 2007. A Review of Dietary Supplement-
Induced Renal Dysfunction. Clin J Am Soc Nephrol 2:757-765. Gad SC and Chengelis CP. 1988. Acute toxicity testing perspectives and horizons.
Caldwell: The Telford Press. Guyton AC. 1999. Di dalam: Tengadi LMAKA, Mawi M, Rahardja B, Tandean
R, penerjemah. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hook JB and Hewitt WR. 1986. Toxic Responses of The Kidney. Di dalam:
Klaassen CD, Amdur MO, Doull J, editor. Casarett and Doull’s Toxicology: The Basics of Poisons. Ed ke-3. New York: Macmillan Publishing Company.
Kandasamy CS et al. 2010. Anti-Hepatotoxic Activity of Polyherbal Formulation
in Carbon Tetrachloride Induced Toxicity in Rats. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences 1(2):341-346.
Karimi I and Hayatghaibi H. 2006. Effect of Cannabis sativa L. Seed (Hempseed)
on Serum Lipid and Protein Profiles of Rat. Pakistan Journal of Nutrition 5(6):585-588.
Keppel J and Calissi P. 2002. Safe Drug Prescribing for Patients with Renal
Insufficiency. Canadian Medical Association Journal 166(6):473-477. Kusumawati D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Laliberté L and Villeneuve JP.1996. Hepatitis After The Use of Germander, A
Herbal Remedy. Can Med Assoc J 154(11):1689-1692.
36
Loeb WF and Quimby FW. 1989. The Clinical Chemistry of Laboratory Animals.
London: Pergamon Press Inc. Lorke D. 1983. A New Approach to Practical Acute Toxicity Testing. Arch
Toxicol. 47:77-99 Lu FC. 1995. Di dalam: Nugroho E. penerjemah. Toksikologi Dasar. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. Martinez MCM, Nortier J, Vereerstraeten P, Vanherweghem JL. 2002.
Progression Rate of Herb Nephropathy: Impact of Aristolochia fangchi Ingested Dose. Nephrol Dial Transplant 17:408-412.
McConnell EL, Basit AW, and Murdan S. 2008. Measurements of Rat and Mouse
Gastrointestinal pH, Fluid and Lymphoid Tissue, and Implications for In-Vivo Experiments. Journal of Pharmacy and Pharmacology. 60:63-70.
Mitruka BM and Rawnsley HM. 1981. Clinical Biochemical and Hematological
Reference Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans. New York: Masson Publishing.
Muljati S dan Amelia. 1995. Kebiasaan Makan Ibu Menyusui di Ciomas, Bogor.
Buletin Penelitian Kesehatan. 23:4. Mythilypriya R, Shanti P, Sachdanandam P. 2007. Oral Acute and Subacute
Toxicity Studies with Kalpaamruthaa, a Modified Indigenous Preparation, on Rats. Journal of Health Science 53(4):351-358.
Olfert ED, Cross BM, and McWilliam AA. 1993. Guide to The Care and Use of
Experimental Animals. Saskatoon: Canadian Council on Animal Care. Orhue NEJ, Nwanze EAC, and Okafor A. Serum Total Protein, Albumin, and
Globulin Levels in Trypanosoma brucei-Infected Rabbits: Effect of Orally Administered Scoparia dulcis. African Journal of Biotechnology 4(10):1152-1155.
Pajar. 2002. Kandungan Gizi dan Senyawa Aktif Jamu Tradisional untuk
Kesehatan Ibu Melahirkan dan Menyusui (Produk Jamu dari Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor). [Skripsi] Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Peña JM, Borrás M, Ramos J, Montoliu J. 1996. Rapidly Progressive Interstitial
Renal Fibrosis due to a Chronic Intake of a Herb (Aristolochia pistolochia) Infusion. Nephrol Dial Transplant 11:1359-1360.
37
Plaa GL. 1986. Toxic Responses of The Liver. Di dalam: Klaassen CD, Amdur MO, Doull J, editor. Casarett and Doull’s Toxicology: The Basics of Poisons. Ed ke-3. New York: Macmillan Publishing Company.
Roosita K. 2003. Efek Jamu Postpartum Pada Involusi Uterus dan Produksi Susu
Tikus (Rattus sp.) (Produk Jamu Tradisional Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor ). [Thesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M, Fachrurozi Y, Ohtsuka R. 2008a.
Medicinal plants as important bio-resources used for self-treatment of illnesses of rural Sundanese villagers in West Java. Di dalam: JSPS-DGHE core university program in applied Biosciences Proceedings of The Final Seminar: “Toward Harmonization between Development and Environment Conservation in Biological Production. 28-29 February. Tokyo: The University of Tokyo.
Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M, Fachrurozi Y, Ohtsuka R. 2008b.
Medicinal Plants Used by the Villagers of a Sundanese Community in West Java, Indonesia. Journal of Ethnopharmacology. 115:72-81.
Schreiber G, Urban J, Zähringer J, Reuter W, and Frosch U. 1971. The Secretion
of Serum Protein and The Synthesis of Albumin and total Protein in Regenerating Rat Liver. The Journal of Biological Chemistry 246(14):4531-4538.
Shad JA and Brann OS. 1999. Acute Hepatitis After Ingestion of Herbs. Southern
Medical Journal 92(11):1095-1097. Sheir Z et al. 2001. A Safe, Effective, Herbal Antischistosomal Therapy Derived
from Myrrh. Am J Trop Med Hyg 65(6):700-704. Stadlbauer V et al. 2005. Hepatotoxicity of Noni Juice: Report of Two Cases.
World J Gastroenterol 11(30):4758-4760. Steinert D. 2009. Plasma Proteins as Biomarkers: Total Protein, Albumin and A/G
Ratio. The Journal of Laboratory and
Clinical Medicine 7:46.
Tagliati CA et al. 2008. Acute and Chronic Toxicological Studies of the Brazilian Phytopharmaceutical Product Ierobina. Brazilian Journal of Pharmacognosy 18:676-682.
Tédong L et al. 2007. Acute and Subchronic Toxicity of Anacardium occidentale
Linn (Anacardiaceae) Leaves Hexane Extract in Mice. Afr J Trad CAM 4(2):140-147.
Tilaar, M. 1994. Indonesian Herbs and Its Effect on Health. Dalam: The first
Asian Conference on Dietetics. Beyond nutrition: challenges and opportunities for professionals in dietetics. Jakarta: Nindyabina.
38
The National Academy of Sciences. 2007. Toxicity Testing in The 21st
Century: A Vision and a Strategy. Report in Brief. Washington: The National Academies Press.
Weideman M. 1993. Toxicity Test in Animals: Historical Perspectives and New Opportunities. Environmental Health Perspectives 101:3.
Weil CS. 1952. Tables for Convenient Calculation of Median-Effective Dose
(LD50 or ED50) and Instructions in Their Use. Biometrics 8:249-63. West BJ, Jensen CJ, and Westendorf J. 2006a. Noni Juice is not Hepatotoxic.
World J Gastroenterol 12(22):3616-3619. West BJ, Jensen CJ, Westendorf J, and White LD. 2006b. A Safety Review of
Noni Fruit Juice. Journal of Food Science 71(8):R100-R106. [WHO] World Health Organization. 2010. Guidelines on Standard Operating
Procedures for Clinical Chemistry. http://www.searo.who.int/EN/ Section10/Section17/Section53/Section481.htm
. [25 April 2010]
39
L A M P I R A N
40
Lampiran 1
Penetapan kadar SGOT dengan metode Colorimetric End-Point (WHO 2010)
Alat yang diperlukan:
1. Pipet mikro
2. Spektrofotometer Human 815
Bahan yang diperlukan:
1. Substrat SGOT, yang terdiri dari 2,66 g DL-asam aspartat dan 30 mg α–
ketoglutarat
2. Buffer fosfat dengan pH 7,4, yang terdiri dari 14,9 g
dalam 20,5 ml 1 M NaOH, yang terlarut dalam 100 ml buffer
fosfat
dinatrium hidrogen
fosfat dehidrat (Na2HPO4 2H20) dan 2,2g kalium dihidrogen fosfat
(KH2PO4
3. Serum darah
) anhidrous dalam aquadest
Cara kerja:
1. Ambil 0,5 ml substrat SGOT, kemudian tambahkan 0,1 ml sampel serum
darah, kocok hingga sampeldan reagen tercampur dengan baik.
2. Baca dengan menggunakan Spektrofotometer Human 815 dengan panjang
gelombang 510 nm.
3. Apabila sampel tidak terbaca, encerkan sampel tersebut dengan
menggunakan larutan NaCl 0,9% sebanyak 11 kali dan ulangi
membacanya.
4. Kadar SGOT dihitung dengan cara: U/l = 1746 x Δ A 510 nm/min
41
Lampiran 2
Penetapan kadar SGPT dengan metode Colorimetric End-Point (WHO 2010)
Alat yang diperlukan:
1. Pipet mikro
2. Spektrofotometer Human 815
Bahan yang diperlukan:
1. Substrat SGPT, yang terdiri dari 1,78 g DL-alanin dan 30 mg α–
ketoglutarat
2. Buffer fosfat dengan pH 7,4, yang terdiri dari 14,9 g
, yang terlarut dalam 20 ml buffer fosfat
dinatrium hidrogen
fosfat dehidrat (Na2HPO4 2H20) dan 2,2g kalium dihidrogen fosfat
(KH2PO4
3. Serum darah
) anhidrous dalam aquadest
Cara kerja:
1. Ambil 0,5 ml substrat SGPT, kemudian tambahkan 0,1 ml sampel serum
darah, kocok hingga sampeldan reagen tercampur dengan baik.
2. Baca dengan menggunakan Spektrofotometer Human 815 dengan panjang
gelombang 510 nm.
3. Apabila sampel tidak terbaca, encerkan sampel tersebut dengan
menggunakan larutan NaCl 0,9% sebanyak 11 kali dan ulangi
membacanya.
4. Kadar SGPT dihitung dengan cara: U/l = 1746 x Δ A 510 nm/min
42
Lampiran 3
Penetapan kadar ureum dengan metode diacetyl monoxime (WHO 2010)
Alat yang diperlukan:
1. Pipet mikro
2. Spektrofotometer Human 815
Bahan yang diperlukan:
1. Reagen asam campuran, yang terdiri dari 100 ml H2S04
2. Reagen asam stok, yang dibuat dari 1 g ferri klorida
dalam 400 ml
aquadest dan ditambahkan 0,3 ml reagen asam stok
heksahidrat dalam 30
ml aquadest dan ditambahkan 20 ml asam
3. Reagen pewarna campuran, yang terdiri dari 35 ml reagen pewarna A dan
35 ml reagen pewarna B dan dilarutkan dalam 500 ml aquadest
ortofosfat
4. Reagen pewarna A, yang dibuat dari 2 g diasetil
5.
monoksim dalam 100 ml
aquadest
Reagen pewarna B, yang dibuat dari 0,5 g
6. Serum darah
thiosemicarbazide dalam 100
ml aquadest
Cara kerja:
1. Buat reagen pewarna, dengan mencampurkan aquadest, reagen asam
campuran, dan reagen pewarna campuran dengan perbandingan 1:1:1.
2. Ambil 1,9 ml aquadest, campurkan dengan 3 ml reagen pewarna dan 0,1
ml serum darah, kemudian kocok hingga tercampur merata.
3. Baca dengan menggunakan Spektrofotometer Human 815 dengan panjang
gelombang 540 nm.
4. Kadar ureum dihitung dengan cara: mg/dl = 150 x Δ A 540 nm/min
43
Lampiran 4
Penetapan kadar kreatinin dengan metode Jaffe (WHO 2010)
Alat yang diperlukan:
1. Pipet mikro
2. Spektrofotometer Human 815
Bahan yang diperlukan:
1. Reagen A, yang dibuat dari 4,4 g NaOH yang dilarutkan dalam 400 ml
aquadest, ditambahkan 9,5 g trinatrium fosfat [Na3PO412H2O] dan
dilarutkan, kemudian ditambahkan 9,5 g natrium tetraborat
[Na2B4O710H2
2. Reagen B, yang dibuat dari 20 g natrium
O] dan dilarutkan kembali.
lauril
3. Reagen C, yang dibuat dari 4.6g asam pikrat anhidrous yang dilarutkan
dalam 500 ml aquadest.
sulfat yang dilarutkan
dalam 500 ml aquadest
4. Serum darah
Cara kerja:
1. Buat reagen kreatinin, dengan mencampurkan reagen A, B, dan C dengan
perbandingan 1:1:1.
2. Ambil 3 ml reagen kreatinin, dan campurkan dengan 0,2 ml serum darah,
kemudian kocok hingga tercampur merata.
3. Baca dengan menggunakan Spektrofotometer Human 815 dengan panjang
gelombang 505 nm.
4. Kadar kreatinin dihitung dengan cara: mg/dl = 6 x Δ A 505 nm/min
44
Lampiran 5
Penetapan kadar total protein serum dengan metode Biuret (WHO 2010)
Alat yang diperlukan:
1. Pipet mikro
2. Spektrofotometer Human 815
Bahan yang diperlukan:
1. Reagen Biuret, yang dibuat dari 4 g natrium hidroksida yang terlarut
dalam 400 ml aquadest dan ditambahkan 4,5 g natrium kalium tartrat,
2. NaCl 0,9%
1,5
g tembaga sulfat dan 4,5g kalium iodida.
3. Serum darah
Cara kerja:
1. Campurkan 2,4 ml NaCl 0,9%, 3 ml reagen Biuret, dan 0,1 ml serum
darah, kemudian kocok sebentar hingga tercampur merata.
2. Diamkan larutan selama 15 menit.
3. Baca dengan menggunakan Spektrofotometer Human 815 dengan panjang
gelombang 540 nm.
4. Kadar total protein serum dihitung dengan cara: mg/dl = 190 x Δ A 540
nm/min
45
Lampiran 6
Penetapan kadar protein urin dengan metode Biuret (WHO 2010)
Alat yang diperlukan:
1. Pipet mikro
2. Spektrofotometer Human 815
Bahan yang diperlukan:
1. Kertas saring
2. Reagen Biuret, yang dibuat dari 4 g natrium hidroksida yang terlarut
dalam 400 ml aquadest dan ditambahkan 4,5 g natrium kalium tartrat, 1,5
g tembaga sulfat
3. Asam trikloroasetat
dan 4,5g kalium iodida.
4. Sampel urin
Cara kerja:
1. Campurkan 5 ml urin dengan 1 ml asam trikloroasetat 1,2 N. kemudian
diamkan selama 10 menit pada suhu 20-25o
2. Sentrifus campuran diatas selama 10 menit. Supernatan yang jernih
dibuang, dan tabung dengan mulut kebawah didiamkan diatas kertas saring
sampai supernatant di lapisan dinding tabung kering. Supernatan yang
masih menetes dihapus dengan kertas saring.
C.
3. Tambahkan 2,5 ml reagen Biuret, kemudian kocok sampai tercampur.
Diamkan selama 10 menit.
4. Baca dengan menggunakan Spektrofotometer Human 815 dengan panjang
gelombang 546 nm.
5. Kadar total protein serum dihitung dengan cara: mg/dl = 190 x Δ A 546
nm/min.
46
Lampiran 7
Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA), Duncan Multiple
Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk variabel ureum serum
ANOVA
Jumlah Kuadrat df
Kuadrat Rerata F Sig.
Ureum Antar Kelompok 1701.000 3 567.000 31.413 .000 Dalam Kelompok 288.800 16 18.050
Total 1989.800 19
Duncana
Dosis N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 4 .00 5 19.00
.74 5 25.20
1.48 5 32.40
2.22 5 43.80 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Rerata kelompok dalam subset homogen ditampilkan. a. Menggunakan Ukuran Sampel Rerata = 5.000.
Ringkasan Modelb
Model R R Kuadrat R Kuadrat
Disesuaikan Galat Baku Durbin-Watson
1 .936a .876 .871 3.796 2.224 a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: ureum
47
ANOVAb
Model Jumlah Kuadrat df
Kuadrat Rerata F Sig.
1 Regresi 2348.905 1 2348.905 163.052 .000a Residual 331.335 23 14.406
Total 2680.240 24
a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: ureum
Koefisiena
Model Koefisien Tak Standar
Koefisien Standar
t Sig. B Galat Baku Beta 1 (Konstanta) 17.506 1.089 16.072 .000
dosis 11.232 .880 .936 12.769 .000 a. Variabel Tergantung: ureum
48
Lampiran 8
Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA), Duncan Multiple
Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk variabel kreatinin serum
ANOVA Jumlah
Kuadrat df Kuadrat Rerata F Sig.
kreatinin Antar Kelompok .168 3 .056 14.000 .000 Dalam Kelompok .064 16 .004
Total .232 19
Duncana
dosis N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 .00 5 .640
.74 5 .760
1.48 5 .840 .840 2.22 5 .880 Sig. 1.000 .063 .332 Rerata kelompok dalam subset homogen ditampilkan. a. Menggunakan Ukuran Sampel Rerata = 5.000.
Ringkasan Modelb
Model R R Kuadrat R Kuadrat
Disesuaikan Galat Baku Durbin-Watson 1 .843a .710 .697 .0594 2.376 a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: kreatinin
49
ANOVAb
Model Jumlah Kuadrat Df Kuadrat Rerata F Sig.
1 Regresi .199 1 .199 56.333 .000a Residual .081 23 .004
Total .280 24
a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: kreatinin
Koefisiena
Model
Koefisien Tak Standar
Koefisien Standar
t Sig. B Galat Baku Beta 1 (Konstanta) .668 .017 39.196 .000
dosis .103 .014 .843 7.506 .000 a. Variabel Tergantung: kreatinin
50
Lampiran 9
Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA), Duncan Multiple
Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk variabel SGOT
ANOVA Jumlah
Kuadrat df Kuadrat Rerata F Sig.
SGOT Antar Kelompok 2800.950 3 933.650 59.374 .000 Dalam Kelompok 251.600 16 15.725
Total 3052.550 19
Duncana
Dosis N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 4 .00 5 39.20
.74 5 50.20
1.48 5 57.40
2.22 5 71.80 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Rerata kelompok dalam subset homogen ditampilkan. a. Menggunakan Ukuran Sampel Rerata = 5.000.
Ringkasan Modelb
Model R R Kuadrat
R Kuadrat Disesuaika
n Galat Baku Durbin-Watson 1 .955a .911 .908 3.841 1.475 a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: SGOT
51
ANOVAb
Model Jumlah Kuadrat df Kuadrat Rerata F Sig.
1 Regresi 3488.569 1 3488.569 236.499 .000a Residual 339.271 23 14.751
Total 3827.840 24
a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: SGOT
Koefisiena
Model Koefisien Tak Standar
Koefisien Standar
t Sig. B Galat Baku Beta 1 (Konstanta) 39.765 1.102 36.079 .000
dosis 13.688 .890 .955 15.379 .000 a. Variabel Tergantung: SGOT
52
Lampiran 10
Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA), Duncan Multiple
Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk variabel SGPT
ANOVA Jumlah
Kuadrat df Kuadrat Rerata F Sig.
SGPT Antar Kelompok 598.950 3 199.650 6.394 .005 Dalam Kelompok 499.600 16 31.225
Total 1098.550 19
Duncana
Dosis N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 .00 5 56.60
.74 5 61.40 61.40
1.48 5 65.00 65.00 2.22 5 71.60 Sig. .193 .324 .080 Rerata kelompok dalam subset homogen ditampilkan. a. Menggunakan Jumlah Sampel Rerata = 5.000.
Ringkasan Modelb
Model R R Kuadrat R Kuadrat
Disesuaikan Galat Baku Durbin-Watson
1 .801a .641 .626 5.054 2.009 a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: SGPT
53
ANOVAb
Model Jumlah Kuadrat Df
Kuadrat Rerata F Sig.
1 Regresi 1050.618 1 1050.618 41.139 .000a Residual 587.382 23 25.538
Total 1638.000 24
a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: SGPT
Koefisiena
Model Koefisien Tak Standar
Koefisien Standar
t Sig. B Galat Baku Beta 1 (Konstanta) 54.729 1.450 37.739 .000
dosis 7.512 1.171 .801 6.414 .000 a. Variabel Tergantung: SGPT
54
Lampiran 11
Hasil analisis statistik dengan metode sidik ragam (ANOVA), Duncan Multiple
Range Test (DMRT) dan regresi linier untuk variabel total protein serum
ANOVA Jumlah
Kuadrat df Kuadrat Rerata F Sig.
Total protein
Antar Kelompok 27.526 3 9.175 23.542 .000 Dalam Kelompok 6.236 16 .390
Total 33.762 19
Duncana
dosis N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 2.22 5 5.88
1.48 5 7.72
.74 5 8.24
.00 5 9.08 Sig. 1.000 .206 1.000 Rerata kelompok dalam subset homogen ditampilkan. a. Menggunakan Jumlah Sampel Rerata = 5.000.
Ringkasan Modelb
Model R R Kuadrat R Kuadrat
Disesuaikan Galat Baku Durbin-Watson
1 .876a .768 .758 .6474 1.113 a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: total protein
55
ANOVAb
Model Jumlah Kuadrat df
Kuadrat Rerata F Sig.
1 Regresi 31.874 1 31.874 76.054 .000a Residual 9.639 23 .419
Total 41.514 24
a. Penduga: (Konstanta), dosis b. Variabel Tergantung: total protein
Koefisiena
Model Koefisien Tak Standar
Koefisien Standar
t Sig. B Galat Baku Beta 1 (Konstanta) 9.146 .186 49.230 .000
Dosis -1.308 .150 -.876 -8.721 .000 a. Variabel Tergantung: totalprotein
56
Lampiran 12
Jamu Galohgor dan bahan-bahan pembuatnya
Bahan-bahan pembuat jamu Galohgor
Jamu Galohgor
57
Lampiran 13
Cara pencekokkan jamu Galohgor menggunakan sonde dan pengambilan sampel
darah tikus
Cara pencekokkan jamu Galohgor menggunakan sonde
Pengambilan sampel darah tikus secara intrakardial