edema paru
DESCRIPTION
tugas ujian koass radiologiTRANSCRIPT
BAB I
EDEMA PARU
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data
SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor
6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab
kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000
orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di
negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera
diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah
menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia.
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui
saluran limfatik.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor
presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
1
1.1 DEFINSI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan
intravaskular.
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru
kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly,
2009; Soemantri 2011).
1.2 PATOFISIOLOGI
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil
antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik
dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari
sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang
alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu,
ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi.
Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang
diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria,
2010).
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
1. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke
alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan
ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan
solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa
2
hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun
dan Sally, 2009).
2. Sistem limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari
pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial peribronkhial dan
perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstitium alveolar ini, cairan lebih
sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik
tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka
akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat
kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai
kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial,
saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009).
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan
dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam
jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu
banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam
aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung
segala sel-sel darah). Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-
paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen
dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan
kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang
sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli
kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema Paru terjadi ketika alveoli
dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah
dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan
pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
3
pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru”
ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan
oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut
cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-
cardiogenic pulmonary edema.
1.3 ETIOLOGI
I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
A. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
4
B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl
thiourea).
D. Aspirasi asam lambung.
E. Pneumonitis radiasi akut.
F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
G. Disseminated Intravascular Coagulation.
H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
J. Pankreatitis Perdarahan Akut.
III. Insufisiensi Limfatik :
A. Post Lung Transplant.
B. Lymphangitic Carcinomatosis.
C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
IV. Tak diketahui/tak jelas
A. High Altitude Pulmonary Edema.
B. Neurogenic Pulmonary Edema.
C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism.
E. Eclampsia
F. Post Cardioversion.
G. Post Anesthesia.
5
H. Post Cardiopulmonary Bypass.
1.4 MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah
penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau dapat
timbul tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain berupa:
mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang
biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan
pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter
mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara
mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam
alveoli selama bernapas).
1.5 DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar
klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali
menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.
Pemeriksaan Fisik:
Sianosis sentral
Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih
Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale
Takikardia dengan S3 gallop
Murmur bila ada kelainan katup.
Gambaran Radiologi:
Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph
(X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
6
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-
bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang
dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih
parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan
pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal.
Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia
mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
Gambar 1. Foto toraks AP (kanan) menunjukkan edema paru interstitial. Tanda radiografi menunjukkan edema paru interstitial hilangnya (kabur) gambaran pembuluh paru yang besar, gambaran septal lines, penebalan septum interlobar dan pola reticular difus yang berhubungan dengan kardiomegali.
Edema paru alveolar umumnya terjadi ketika tekanan vena pulmonal melebihi
30mmHg dan biasanya didahului oleh edema paru interstitial.
7
Gambar 2. Edema paru alveolar dengan gambaran kekeruhan pada kedua paru dengan meningkatnya densitas terhadap basis paru karena kombinasi dari air space shadow dan efusi pleura, kardiomegali (+).
Temuan radiografi toraks meliputi bilateral opacities yang memanjang dalam bentuk
fan shape keluar dari hilus sebagai “batwing” pettern.
Gambar 3. Rontgen toraks dan CT aksial menunjukkan gambaran “batwing” alveolar pulmonary edema. Pada rontgen toraks tampak kekeruhan bilateral yang memperpanjang dalam bentuk kipas keluar dari hilus dengan batwing pattern.
Dengan memburuknya edema paru alveolar, kekeruhan paru-paru menjadi semakin
homogeny. Biasanya bronkus di perifer paru-paru tidak terlihat karena kepadatan udara di
dalam bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Namun, seiring dengan alveoli yang berisi
8
cairan dari edema atau infeksi paru (pneumonia), udara bronkus dapat dengan mudah dilihat,
dikenal sebagai “air bronchogram”.
Gambar 4. Foto thoraks AP menunjukan air space shadow yang luas di seluruh paru kanan dan basis paru kiri karena alveolar pulmonary edema dengan efusi pleura sekunder akibat gagal jantung.
Gambar 5. Butterfly appearance pada edema paru alveolar.
9
BAB II
HIPERTENSI PULMONAL
2.1 DEFINISI
Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-
rata (mPAP) >25mmHg pada saat istirahat, atau >30mmHg selama aktifitas atau tekanan
sistolik PAP >45mmHg, dengan tekanan baji kapiler paru rata-rata dan tekanan akhir diastolic
ventrikel kiri <15mmHg. Hipertensi pulmonal primer yang sekarang dikenal dengan
hipertensi arteri pulmonal idiopatik (IPAH) adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang
secara histopatologi ditandai dengan lesi angioproliferatiffleksiform sel-sel endotel,
muskularis arteriol-arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intimadan penebalan tunika media
yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga meningkatkan tekanan
darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan tahanan vaskuler dari aliran darah di paru.
Beratnya hipertensipulmonal dibagi dalam 3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang
PAP 46-64mmHg dan berat bila PAP > 65 mmHg.
2.2 ETIOLOGI
1. Hipertensi pulmonal pasif: Agar darah dapat mengalir melalui paru dan kemudian
masuk ke dalam vena pulmonalis, maka tekan dalam arteri pulmonalis harus lebih
tinggi daripada vena pulmonalis. Dengan demikian, maka setiap kenaikan tekanan
dalam vena pulmonalis seperti pada stenosis mitral, insufisiensi mitral dan ventrikel
kiri yang hipertrofi akan menyebabkan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis
pula.
2. Hipertensi pulmonal reaktif: Sebagai reaksi akibat peningkatan dalam vena pulmonalis
maka pada beberapa penderita terjadi vasokonstriksi arteriol pulmonal yang aktif.
Vasokonstriksi ini menyebabkan resistensi terhadap pengaliran darah melalui paru
bertambah besar dan tekanan dalam arteri pulmonalis meningkat, misal pada penderita
dengan stenosis mitral yang berat dan kadang-kadang pada penderita dengan
insufisiensi mitral atau dengan gagal jantung kiri. Faktor penyebab ini dihubungkan
pula dengan faktor familial.
10
3. Aliran darah dalam paru yang meningkat: Peningkatan aliran darah paru yang sedang,
bila disertai dengan dilatasi pembuluh darah paru dan terbukanya lubang saluran yang
sebelumnya telah menutup, maka dapat berlangsung tanpa terjadi peningkatan tekanan
dalam arteri pulmonalis. Kalau aliran darah itu lebih besar misalnya sampai lebih 3 kali
yang normal, maka akan diperlukan tekanan yang lebih besar dalam paru agar
pengaliran darah dapat berlangsung.
4. Vaskularisasi paru yang berkurang: Bila dua pertiga atau lebih dari vaskularisasi paru
mengalami obliterasi maka diperlukan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis
supaya tetap ada aliran yang adekuat, misalnya pada kelainan dengan embolus paru
yang berulang-ulang sehingga menyumbat arteri dan arteriol dalam paru. Pada
penyakit paru yang luas seperti enfisema, fibrosis pada paru yang luas dan pada
hipertensi pulmonal idiopatik.
2.3 PATOFISIOLOGI
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan di
dalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-
kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan
menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu. Hal
ini akan menyebabkan bilik jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai darah dari
jantung ke paru berkurang sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan gagal jantung
kanan. Sejalan dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga
darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan
tubuh terutama pada saat melakukan aktivitas.
2.4. KLASIFIKASI
1. Hipertensi arteri pulmonal
Idiopatik atau primer
Familial
Hipertensi yang berhubungan dengan :
11
- Penyakit kolagen pada pembuluh darah
- Shunt kongenital sistemic ke pulmonal
- Hipertensi portal
- Infeksi HIV
- Toksin dan obat-obatan
- Penyakit lain
Yang berhubungan dengan keterlibatan vena atau kapiler
- Penyakit oklusi vena pulmonal
- Hemangiomatosis kapiler pulmonal
Hipertensi Pulmonal dengan penyakit jantung kiri
- Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung
- Penyakit katup jantung kiri.
Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit paru dan atau
hipoksia:
- Penyakit paru obstruksi kronis
- Penyakit jaringan paru
- Gangguan napas saat tidur
- Kelainan hipoventilasi alveolar
- Tinggal lama di tempat yang tinggi
- Perkembangan abnormal
Hipertensi Pulmonal oleh karena penyakit emboli trombitik kronik
- Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal
- Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal
- Emboli pulmonal non trombotik (tumor, parasit, benda asing)
Miscellaneous
Sarcoidosis, histiocytosis-X, lymphangiomatosis, penekanan pembuluh darah
paru (adenopati,tumor,fibrosis mediatinitis)
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul biasanya berupa :
Sesak nafas yang timbul secara bertahap:
12
Kelemahan
Batuk tidak produktif
Pingsan atau sinkop
Pasien mengeluh berkunang-kunang, telinganya mendenging atau sering pingsan.
Munculnya memar-memar menunjukkan episode sinkope. Wajah pasien merah panas
dan merasa lemah lesu
Edema perifer (pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki): pembengkakan
pada tungkai terutama tumit dan kaki, terutama pada pagi hari dan sore hari mengalami
perbaikan. Pemasukan garam menyebabkan retensi cairan. Terjadi selisih berat badan
antara oedema dan tidak
Gejala yang jarang timbul adalah hemoptisis (batuk berdarah)
Tanda hipertensi pulmonal berupa :
Distensi vena jugularis
Impuls ventrikel kanan dominan
Komponen katup paru menguat.
Kelainan hepatomegali terjadi karena peningkatan kerja jantung kanan untuk
memompakan darah ke paru melalui resistensi arteri pulmonal yang meningkat, sehingga
terjadi hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel kanan. Karena pada hipertensi pulmonal, curah
jantung berkurang maka terjadi penimbunan darah yang abnormal dalam ventrikel kanan
sehingga kemungkinan untuk mengalami gagal jantung kanan dapat terjadi setiap saat.
Kelelahan, dispnoe, angina pektoris, kejang dan sinkop merupakan gejala yang umumnya
ditemukan. Edema biasanya terlihat pada keadaan yang lanjut, sedangkan hemoptisis terjadi
akibat adanya infark atau robeknya pembuluh darah yang abnormal dalam paru. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan anggota gerak yang dingin, sianosis perifer, nadi dengan
amplitudo yang kecil, tekanan vena jugularis meningkat, aktivitas daerah jantung kanan
bertambah, komponen pulmonal bunyi jantung II mengeras, terdengar pula “pulmonary
ejection click” dan bising sistolik ejeksi, bising pansistolitik pada daerah tricuspid, bising mid-
diastolik pada sisi tulang sternum sebelah kiri dan terdapatnya irama derap atrium pada daerah
tricuspid.
13
2.6 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu atau lebih tes
untuk mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini termasuk X-ray di daerah dada
untuk menunjukkan pembesaran dan ketidaknormalan pembuluh paru-paru, echocardiograms
yang menunjukkan visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung, fungsi dan aliran
darah, dan mengadakan pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di pembuluh paru-paru.
Elektrokardiograf
Gambaran pada EKG brupa strain ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat
membantu menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal.
Radiologi
Khas parenkim paru pada hipertensi pulmonal bersih. Foto torak dapat membantu diagnosis
atau membantu menemukan penyakit lain yang mendasari hipertensi pulmonal. Gambaran
khas foto toraks pada hipertensi pulmonal ditemukan bayangan hilar, bayangan arteri
pulmonalis dan pada foto toraks lateral pembesaran ventrikel kanan.
Gambar 6. Gambar foto toraks pasien dengan hipertensi pulmonal
MRI
Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan serta pergeseran aliran dari kiri ke kanan juga
terjadi.
14
Angiografi
Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis hipertensi arteri pulmonal.
Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung
kiri dan memberikan informasi penting untuk dugaan prognostik pada pasien dengan
hipertensi pulmonal. Tes vasodilator dengan obat kerja singkat (seperti adenosisn, inhalasi
nitrit oxid atau epoprostenol) dapat dilakukan selama kateterisasi, respons vasodilatasi positif
bila didapatkan penurunan tekanan arteri pulmonalis dan resistensi vaskular paru sedikitnya
20% dari tekanan awal. Pasien dengan hipertensi arteri pulmonal yang berespon positif dengan
vasodilator akut pada pemeriksaan kateterisasi, survivalnya akan meningkat dengan
pengobatan blokade saluran kalsium jangka lama. Dengan katerisasi jantung juga dapat
memberikan informasi mengenai saturasi oksigen pada vena sentral, atrium dan ventrikel
kanan dan arteri pulmonal yang berguna dalam menilai prognostik hipertensi pulmonal
15
DAFTAR PUSTAKA
AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of
Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:
Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J
Med 2008;359:142-51.
Crapo James D,MD DKK. Baums Text Book of Pulmonary Disease. LippincottWilliams &
Wilkins. 2004.
Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia:
Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/chest-x-ray-heart-failure.html. (09 Febr
2015).
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.
1651-1653
Idmgarus. Hipertensi pulmonal. Available at URLhttp//www.wordpress.com/2009.02/01/
accessed 10 febr 2015.
Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia &
Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit
Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19.
Sudoyo Aru W DKK. Hipertensi Pulmonal Primer dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2007.
16