diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.docx

24
DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN RINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT ANAK Oleh : TUTUT SRIWILUDJENG T. RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto PENDAHULUAN Rinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari respon keradangan membran mukosa sinus paranasalis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis. Sehingga besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi oleh perubahan pada sinus, istilah rinosinusitis saat ini merupakan istilah yang lebih sidukai untuk sinusitis, khususnya pada anak-anak dimana penyakit ini terlihat sebagai satu kesatuan penyakit yang sama ( Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo, 2002 ). Rinosinusitis merupakan penyakit keradangan dengan prevalensi yang tinggi dan mungkin akan terus meningkat. Kerena kualitas hidup penderita dengan kondisi ini dapat sangat terganggu, sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan memiliki pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode diagnosis rinosinusitis. Rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hinga 30 % individu di Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali episode rinosinusitis dalam hidupnya ( bachert dan Verhaeghe, 2002;

Upload: radius-prawira

Post on 22-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN RINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT ANAK

Oleh :

TUTUT SRIWILUDJENG T.

RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto

PENDAHULUANRinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari respon

keradangan membran mukosa sinus paranasalis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi

yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus

paranasalis. Sehingga besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering

diiringi oleh perubahan pada sinus, istilah rinosinusitis saat ini merupakan istilah yang lebih

sidukai untuk sinusitis, khususnya pada anak-anak dimana penyakit ini terlihat sebagai satu

kesatuan penyakit yang sama ( Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo, 2002 ).

Rinosinusitis merupakan penyakit keradangan dengan prevalensi yang tinggi dan

mungkin akan terus meningkat. Kerena kualitas hidup penderita dengan kondisi ini dapat

sangat terganggu, sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan memiliki

pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode diagnosis rinosinusitis.

Rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hinga 30 % individu di

Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali

episode rinosinusitis dalam hidupnya ( bachert dan Verhaeghe, 2002; mulyarjo, 2002 ). Di

Indonesisa angka kesakitan rinosinusitis belum diketahui dengan pasti.

Rinosinusitis pada umumnya dimulai dari infeksi virus, yakni rinitis akut, yang sering

menyerang anak-anak. Menurut O’Brien (1998), 0,5 - 5,0 % infeksi saluran nafas atas dapat

mengalami komplikasi menjadi rinosinusitis bakterial akut (RSBA).

Prinsip pengobatan RSBA adalah menghilangkan infeksi bakteri, mengurangi

keradangan dan gejala buntu hidung serta mengembalikan klirens mukosilier ( mulyarjo,

2002 ). Rinosinusitis adalah penyakit “ medis“ yang berarti terapi medikamentosa merupakan

modalitas penatalaksanaan yang utama terutama pda anak-anak. Tidakan bedah ditujukan

pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa yang maksimal atau

bila terjadi komplikasi orbital atau intracranial.

Pada referat ini akan dijelaskan tentang diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis

pada anak.

Page 2: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

1.                  Anatomi

Sinus paranalis adalah serangkaian rongga yang mengelilingi rongga hidung. Ada

empat pasang sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus sfenoidalis, sinus etmoidalis dan

sinus maksilaris. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis mulai berkembang pada masa

kehamilan bulan ke- 3 sampai ke- 4 dan sudah terbentuk saat lahir. Sinus maksilaris tumbuh

sangat cepat sampai usia 3 tahun kemudian pada usia 7 tahun sampai 18 tahun pertumbuhan

terulang lagi seiring dengan pertumbuhan gigi. Pada waktu lahir sel-sel udara sinus

etmoidalis tumbuh dari 3 – 4 sel dan berkembang menjadi 10 – 15 sel persisi pada usia 12

tahun, dan menjadi 30 – 40 sel saat dewasa. Sinus sfenoidalis tumbuh pada usia 3 tahun dan

terbentuk sempurna pada usia 12 tahun. Sinus frontalis mulai ada pada usia 8 tahun dan

terbentuk sempurna pada usia 18 tahun. Sampai dengan 5% orang dewasa mungkin di

dapatkan satu atau kedua sinus frontalisnya tidak penuh berkembang. Oleh karena itu

ketiadaan sinus frontalis yang teraerasi dengan baik pada pemeriksaan radiologis pada anak

muda tidak perlu dianggap sebagai suatu kondisi patologis ( Rachelefsky, 1984; Rohr dan

Spector, 1984; Josephson dan Roy, 1999 ).

Walaupun anatomi sinus pada anak mirip dengan sinus pada orang dewasa, sinus pada

anak jauh lebih kecil sehingga seringkali membuat evaluasi klinis lebih sulit. Pada

pemeriksaan rongga hidung tampak adanya tiga tonjolan dari dinding lateral rongga hidung

yang disebut konkanasalis. Drainase dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis

(sinus – sinus bagian anterior) adalah melalui konka nasalis medius, sementara drainase dari

sinus sfenoidalis dan sinus etmoidalis posterior (sinus – sinus bagian posterior) adalah

melalui konka nasalis superior ( Josephson dan Roy, 1999).

Area yang dinamakan komplek osteomeatal dianggap sebagi tempat penyumbatan

utama yang menyebabkan stasis sekresi dan penyakit sinus yang berulang. Secara anatomis

area ini dibatasi oleh tepi anterior konka nasalis medius di bagian medial dan dinding leteral

rongga hidung di bagian lateral.

\

Page 3: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

2.                  Rinosinusitis

2.1              Definisi

Rinosinusitis didefinisikan secara klinis sebagai suatu kondisi yang merupakan

manifestasi dari respon keradangan membran mukosa sinus paranasalis yang biasanya

dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi

sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis (Bachert dan Verhaeghe, 2002).

Sebagian besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi

oleh perubahan pada sinus. Istilah rinosinusitis sebagai gabungan antara rinitis dan sinusitis

tampaknya sesuai digunakan pada anak, karena keduanya adalah penyakit yang

berkesinambungan, dimana sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis dan jarang berdiri

sendiri. Disamping itu secara klinis gejala rinitis dan sinusitis mirip satu dengan lainnya

sehingga terlihat sebagai satu kesatuan penyakit yang sama (Mulyarjo, 2002; Bachert dan

Verhaeghe, 2002 ).

2.2              Insiden

Rinosinusitis merupakan penyakit yang umum dijumpai dalam praktek sehari-hari.

rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hingga 30 % individu di Eropa.

Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali episode

rinosinusitis dalam hidupnya (Mulyarjo, 2002; Bachert dan Verhaeghe, 2002).

Insiden sebenarnya dari rinosinusitis anak mungkin sekali tinggi dan sebagian besar

tidak diketahui. Bila suatu rinosinusitis merupakan keradangan dari lapisan mukosa hidung

dan sinus paranasalis, maka dapatlah dikatakan bahwa rinosinusitis dapat terjadi pada setiap

infeksi saluran nafas atas (Saragih, 1985 dikutip Jonathan B, 1991). Tetapi pada anak-anak

dimana rongga sinus paranasalis relatif kecil dengan ukuran ostium sinus paranasalis yang

relatif besar, maka tidak terdapat retensi sekret, sehingga meskipun terjadi rinitis karena virus

yang dapat meluas ke lapisan mukosasinus paranasalis mukus yang terdapat dalam rongga

sinus akan dengan cepat dikeluarkan oleh gerakan silia. Oleh karena itu pada anak-anak usia

2 – 3 tahun jarang timbul masalah klinis. Infeksi dari sinus paranasalis lebih mungkin terjadi

pada anak yang lebih besar, namun demikian ini tidak berarti bahwa insiden infeksi sinus

paranasalis pada anak-anak lebih jarang daripada orang dewasa karena anak-anak lebih sering

terkena infeksi saluran nafas atas daripada orang dewasa (Climent, 1981 dikutip Jonathan B,

1991; Rockville, 2000).

Page 4: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

Menururt Ballenger (1985) rinosinusitis pada anak sering kali terjadi pada usia 4 – 10

tahun. Sedang Becker, dkk (1989) menyatakan bahwa rinosinusitis meningkat pada anak

diatas usia 4 tahun dan terbanyak antara usia 7 – 12 tahun.

Menurut Hayes (2001) infeksi saluran nafas atas pada anak-anak yang disebabkan

oleh virus tidak selalu berkembang menjadi RSBA, tetapi RSBA menempati urutan penyakit

ke- empat yang didiagnosis pada anak usia 15 tahun atau pada usia yang lebih muda.

2.3              Patogenesis

Ostium sinus paranasalis memegang peran penting dalam pathogenesis rinosinusitis.

Ostium normal berdiameter kurang lebih 2,5 mm. Rinitis akut yang terjadi karena infeksi

virus menimbulkan terjadinya udem mukosa dan ini dapat menyebabkan pembuntuan ostium

pada 80 % penderita (Roos K, 1999 dikutip Mulyarjo, 2000). Pembuntuan ini akan

menimbulkan penurunan oksigen di dalam rongga sinus dan terjadi hipoksia. Hipoksia

menyebabkan gangguan fungsi silia sehingga menghambat drainase rongga sinus. Bila rinitis

akut menyembuh, pembuntuan ostium akan menghilang dan darainase normal kembali.

Apabila ada faktor predisposisi misalnya kelainan anatomi, pembuntuan ostium akan

menetap dan gangguan drainase belangsung lebih lama (Rohr dan Spector, 1984; Mulyarjo,

2002).

Lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus pada keadaan normal mengandung

antimikroba dan sangat sedikit nutrient sehingga akan menyulitkan tumbuhnya kuman.

Lendir ini akan selalu dikeluarkan dari rongga sinus oleh gerakan silia melalui ostium sinus.

Bila ostium buntu akan terjadi hambatan aliran lendir sehingga menumpuk di dalam rongga

sinus. Hipoksia juga menyebabkan disfungsi kelenjar mukus sehingga terjadi perubahan

kualitas dan kuantitas mukus di dalam rongga sinus. Sekret menjadi lebih kental serta terjadi

perubahan pH sehingga menjadi medium yang subur bagi pertumbuhan kuman (Roos K,

1999 dikutip Mulyarjo, 2002).

Page 5: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

Penumpukan sekret yang kental juga menyebabkan kerusakan pada mukosa serta

ulserasi dan kerusakan silia. Kerena silia bertugas mendorong lapisan lendir keluar rongga

sinus, maka kerusakan sebagian silia akan mengganggu tugas tersebut dengan akibat

meningkatnya penumpukan sekret. Pada kondisi ini terjadilah rinosinusitis bakterial akut

(RSBA) yang fulminan. Kuman berkembang biak dan banyak enzim proteolitik dilepaskan

oleh lekosit sehingga kerusakan mukosa menjadi lebih parah. Terjadi metabolik asidosis

karena tertimbunya asam laktat, dan pertahanan antimokrobial menurun. Kolonisasi kuman

meningkat dan seterusnya kerusakan menjadi lebih parah. Perubahan-perubahan ini terjadi

secara grandual (Mulyarjo, 2002).

Bila pembuntuan ostium berlangsung terus menerus serta penumpukan sekret didalam

rongga sinus tidak teratasi, maka proses masuk ke fase sub akut dan kronik. Ini terjadi bila

penanganan RSBA tidak adekuat atau ada faktor lain yang menyebabkan drainase dan

ventilasi sinus terutama di komplek osteomeatal (Mulyarjo, 2002).

Sinus maksilaris adalah tempat yang paling sering terkena rinosinusitis yang terutama

diakibatkan oleh struktur anatomi. Ostium sinus maksilaris merupakan kanal yang berkelok

dengan panjang beberapa millimeter. Kanal ini menghubungkan antrum maksial dengan

meatus medius untuk membentuk komplek osteomeatal. Selain itu dasar sinus maksilaris

lebih rendah dari dasar rongga hidung, sehingga ostium sinus maksilaris berada pada bagian

superior dari antrum maksila. Sekret dapat terdrainase secara spontan dari sinus maksilaris ke

rongga hidung bila kepala pada posisi tegak, silia harus bekerja mengalirkan sekret keluar

dengan arah superior melawan gaya gravitasi. Tidaklah mengherankan bila sebagian besar

kasus rinosinusitis mengenai sinus maksilaris, dan setelah itu sinus etmoidalis, frontalis dan

sfenoidalis (Slavin, 2002).

Faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya rinosinusitis adalah :

(Rachelefsky, 1984; Rockville, 1999; Slavin, 2002).

2.3              Udem mukosa hidung : infeksi saluran nafas atas rinitis alergi, rinitis non alergi, merokok,

berenang.

2.3              Obstruksi mekanik : hipertofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa, polip nasi, trauma,

benda asing, neoplasma.

Page 6: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

Faktor tersering adalah infeksi saluran nafas atas oleh virus rinitis alergi. Udem

mukosa hidung merupakan karakteristik infeksi akut atau rinitis alergi yang mengakibatkan

obstruksi ostium, penurunan kerja silia dalam sinus paranasalis dan meningkatnya produksi

mukus serta kekentalannya. Ritis non alergi dapat mengalami efek yang serupa dengan rinitis

alergi.

Faktor fisiologis dapat menjadi faktor predisposisi terkena rinosinusitis. Misalnya,

rokok yang memiliki efek yang sangat besar karena dapat meningkatkan produksi mukusdan

memperlambat gerak silia.

Hal ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di alam

rumah dimana salah satu atau kedua orang tuanya merokok, mengalami peningkatan insiden

kelainan pernafasan dan rinosinusitis. Perenang juga memiliki insiden rinosinusitis yang

tinggi yang mungkin disebabkan oleh masuknya air yang terkontaminasi bahan kimia atau

bakteri kedalam sinus (Slavin, 2002).

Obstruksi mekanis juga dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk terkena

rinosinusitis. Beberapa keadaan seperti hipertrofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa,

polip nasi, trauma, benda asing dan neoplasma harus dikesampingkan dengan pemeriksaan

endoskopi pada pasien rinosinusitis berulang (Slavin, 2002).

2.4              Klasifikasi Dan Gejala Klinik

2.4.1        Klasifikasi

Klasifikasi rinosinusitis lebih didasarkan atas lama berlangsungnya penyakit dari pada

gejala klinis. Menurut The American Academy Of Pediatric (AAP), 2001, klasifikasi

rinosinusitis adalah sebagai berikut :

                     Rinosinusitis Bakterial Akut (RSBA) : infeksi berlangsung kurang dari 30 hari, dengan

gejala ringan atau beratdan merupakan lanjutan infeksi virus (renitis akut).

                     RSBA berulang (recurrent rinosinusitis) : beberapa episode infeksi bakteri yang masing-

masing kurang dari 30 hari dan dipisahkan oleh interval asimtomatik sekurang-kurangnya 10

hari.

                     Rinosinusitis kronis (RSK) : keradangan yang berlangsung lebih dari 90 hari dan terdapat

gejala sisa berupa batuk, rinore dan buntu hidung.

2.4.2        Gejala Klinis

Page 7: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

                     RSBA

Gejala RSBA sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (ISPA)oleh karena

firus dengan rinore yang jernih. Gejala ISPA pada umumnya membaik sendiri dalam 5 – 7

hari. Jika gejala tidak membaik setelah 7 hari diagnosis RSBA hendaknya dipertimbangkan

(Josephson dan Roy, 1999 ; Mulyarjo, 2002).

Gejala klinis RSBA dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala

mayor : buntu hidung, ingus purulen, sakit pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), gangguan

penciuman. Gejala minor yakni : batuk, febris, tenggorok berlendir, nyeri kepala, nyeri

geraham, mulut berbau (Josephson dan Roy, 1999; Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo,

2003).

                     RSK

RSK didefinisikan sebagai infeksi yang menetap dalam sinus paranasalis selama 90

hari atau lebih. Kerapkali hal ini menjadi tantangan bagi para dokter untuk membuat

diagnosis rinosinusitis oleh karena gejala bervariasidan sering kali tidak spesifik (Josephson

dan Roy, 1999).

Tanda-tanda dan gelaja RSK pada anak-anak umumnya meliputi batuk malam hari,

rinore, buntu hidung, postnasal drip, sakit kepala. Menurut Josephson dan Roy, (1999),

sejumlah gejala tidak lainya mungkin dapt menyesatkan dokter dalam memastikan diagnosis

rinosinusitis (table 1).

Rinosinusitis akut Rinosinusitis kronik

Ingus purulen Rinore

Nyeri wajah Batuk berulang

Febris Sakit kepala

Batuk Postnasal drip

Udem poriorbita Batuk hidung

Nyeri tenggorok

Febris ringan

Asma

Nyeri pada wajah/ mata/ gigi

Table 1. Gejala-gejala rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).

Page 8: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

2.5              Diagnosis

Diagnosis rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronik ditegakkan secara klinis dengan

anamnesa yang cermat dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Banyak penyakit umum yang

mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis. ISPA oleh karena virus dan adenoiditis

merupakan dua penyakit paling umum yang mungkin sulit dibedakan dari rinosinusitis pada

penderita anak. Sulit untuk membedakan ISPA dengan rinosinusitis pada tahap awal

penyakit. Kerapkali ISPA merupakan predisposisiuntuk timbulnya rinosinusitis (Josephson

dan Roy, 1999).

Menurut Cohen R, 1999 dikutip Mulyarjo (2002), rinosinusitis pada anak sering

controversial. Sering terjadi over diagnosis sehingga meningkatkan pemakaian antibiotika

yang tidak perlu. Kadan sulit membedakan infeksi virus dengan rinosinusitis bakterial. ISPA

merupakan penyakit terbanyak yang diterima anak, namun hanya kurang dari 5% saja yang

merupakan rinosinusitis bakterial.

Bedasarkan pedoamn terbaru dari AAP (2001), diagnosis rinosinusitis hanya

berdasarkan criteria klinis baik untuk yang ringan maupun yang berat pemeriksaan radiologis

hanya untuk konfirmasi diagnosis.

                     Gambaran klinis

RSBA pada anak dicurigai bila : O’Brien, 1998; Hayes, 2001)

        Pilek > 10 hari

        Ingus kental kuning / kehijauan

        Batuk berlanjut terutama malam hari

        Gejal lain : demam, sakit kepala (pada yang berat) dan mulut berbau

Menurut Mulyarjo (2002), diagnosis RSBA ditegakkan berdasarkan :

        Pilek menetap atau memburuk > 7 hari terutama setelah pengobatan dengan obat bebas

        Kombinasi gejala mayor dan minor. Menurut Bachert dan Verhaeghe (2002) didapatkan 2

atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor

        Rinoskopi anterior : adanya mukosa udem, hiperemi dan adanya sekret yang mukopurulen

        Gejala yang mungkin mengenai sinus tertentu (sinus maksila : nyeri pada pipi atau graham,

sinus etmoid : nyeri diantara kedua mata, sinus frontalis : nyeri di dahi, sinus sfenoidalis :

nyeri hebat yang di pusat kepala atau oksipital)

Page 9: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

                     Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik RSBA pada anak ditemukan : (Suyitno, 1996)

        Mukosa hidung udem dan hiperemis

        Lendir mukosa purulen di meatus medius, rongga hidung atau nasofaring

        Nafas berbau tetapi tidak didapatkan tanda-tanda faringitis, kelainan gigi dan benda asing di

rongga hidung

Pemeriksaan fisik ini kurang menggambarkan spesifitas RSBA pada anak, terutama

anak-anak dibawah usia 10 tahun

                     Transiluminasi

Pemeriksaan ini membantu mengangkat diagnosis rinosinusitis maksila pada anak

dengan adanya perbedaan bayangan antara sinus maksila kanan dan kiri dimana pada sinus

yang sakit memberi bayangan lebih suram. Pemeriksaan ini hanya membantu diagnosis

terutama pada anak-anak berusia lebih dari 10 tahun (Suyitno, 1996).

                     Radiografi

Dengan posisi Waters kita dapat mengevaluasi sinus maksila. Gambaran rontgen yang

sering ditemukan pada rinosinusitis maksila pada anak adalah :

        Penebalan mukosa lebih dari 4mm

        Gambaran suram atau gelap pada sinus maksila

        Air fluid level

Walaupun demikian kadang-kadang gambaran penebalan mukosa, gambaran suram

pada sinus tidak selalu menggambarkan rinosinusitis terutama pada anak-anak usia kurang

dari 1 tahun. Karena bentuk sinus maksilia yang masih kecil dan jaringan lunak pipi memberi

bayangan suram / gelap (Suyitno,1996).

                     CT-Scan

Dengan CT-scan didapatkan informasi yang lebih terperinci tentang sinus paranasalis

dan kelainan di komplek osteomeatal. Jadi CT-scan dapat mendiagnosis lebih tepat, hanya

memerlukan biaya lebih tinggi dan tidak smua rumah sakit memiliki alat CT-scan (Josephson

dan Roy, 1999).

                     MRI

Page 10: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

MRI merupakan pemeriksaan yang unggul untuk menggambartakan kelainan jaringan

lunak dalam sinus paranasalis. Akan tetapi karena pemeriksaan yang terbatas pada kelainan

struktur tulang. MRI bukan bukan merupakan alat pemerikasaan pilihan untuk mengevaluasi

rinosinusitis akut maupun rinosinusitis kronik (Josephson dan Roy, 1999).

2.6              Mikrobiologi

Gambaran mikrobiologi yang sebenarnya pada rinosinusitis didapatkan dari studi

dimana diambil dari sinus dengan cara punksi antrum atau dengan pengambilan sampel

secara langsung dari sinus yang terkena selama pembedahan (Slavin, 2002)

Pada studi terhadap 76 orang dewasa yang mengalami kegagalan dengan terapi medis

terhadap rinosinusitis dan dijadwalkan untuk pembedahan, didapatkan kuman aerob pada

76,3% kasus dan kuman anaerob pada 7,6% kasus. Hasil yang serupa juga didapatkan pada

anak-anak. Wald dkk, 1989 dikutip Slavin (2002), melakukan studi terhadap 40 anak-anak

dengan rinosinusitis kronik non alergi. Hasilnya didapatkan aspirat sinus positif pada 58%

sampel, dengan bakteri yang dominan Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influenzae,

dan Moraxella Catarrhalis. Tidak terdapat kuman anaerob yang diisolasi pada anak-anak

yang tidak memiliki alergi ini. Hasil yang serupa didapatkan pada studi mengenai

rinosinusitis kronik pada anak-anak dengan alergi pernafasan.

Menurut AAP (2001), Lippincott (2002), Slavin (2002), dan Lampl (2003), kuman

yang sering menjadi penyebab rinoinuitis bakterial akut adalah Streptococcus Pneumonia

(30-40%), Haemophilus Influenzae (20-30%), Moraxella Catarrhalis (12-20%) dan

Streptococcus Pyogenes β Hemolyticus (3%). Kuman-kuman tersebut adalah kuman yang

umum ditemukan pada biakan kuman, disamping kuman-kuman yang jarang dijumpai seperti

Staphylococcus aureus dan kuman-kuman anaerob. Kuman anaerob mulai berperan bila

oksigenasi rongga sinus makin berkurang. Makin lam proses berlangsung makin meningkat

populasi kuman anaerob. Pada rinosinusitis kronik peran kuman anaerob lebih dominan

(Lampl, 2003).

2.7              Terapi

Page 11: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,

perbaikan patensi otium sinus, perbaikan mukosilia dan menkan keradangan mukosa saluran

nafas. Penatalaksanaan medis rinosinusitis merupakan pendekatan bertahap. Sekali diagnosis

rinosinuitis ditegakkan, terapi dengan antibiotika secara umum merupakan terapi lini pertama

(Moesges, 2002). Pembuntuan ostium inus perlu dihilangkan dengan dekongestan agar

drainase sinus kembali normal.

Menurut Moesges (2002), pengobatan dengan antibiotika sering kali berdasarkan

pengalaman karena sulitnya memperoleh spesimen yang terpercaya untuk kultur. Yang

terpenting, pemilihan antibiotika harus didasarkan atas prediksi keefektifannya, potensi

terjadinya efek samping, serta harganya. Untuk RSBA dianjurkan pemberian terapi

antibiotika selam 14 hari.

Akhir-akhir ini sejumlah studi yang dipublikasikan menyatakan bahwa perlunya

terapi antibiotika masih belum pasti. Efek kerusakan yang lebih besar dapat terjadi oleh

munculnya efek samping dari obat yang berimbang dengan efek yang bermanfaat dari terapi

antibiotika oral. Oleh sebab itu beberapa peneliti memperkirakan berakhirnya terapi

antibiotika (Moesges, 2002).

Menurut Rockville (1999) RSBA berpotensi untuk menjadi penyakit yang serius

sehigga diperlukan antibiotika untuk mencegah komplikasi. Tetapi penggunaan antibiotika

yang berlebihan akan dapat meningkatkan timbulnya efek samping, resistensi kuman

terhadap antibiotika dan biaya pengobatan (Watson et al, 1999; Rockville, 1999; Garbutt et

al, 2001; Lampl, 2003).

Bedasarkan kuman yang sering menjadi penyebab RSBA, maka antibiotika lini

pertama adalah amoksisilin (Josephson dan Roy, 1999; Klien, 2001; Lampl, 2003). Menurut

AAP (2001), pemilihan amoksisilin ini karena merupakan antibiotika yang relative aman dan

harganya terjangkau. Pilihan ini dilakukan terutama untuk serangan RSBA yang pertaman

dimana belum pernah diterapi dengan antibiotika.

Untuk RSBA berulang atau adanya riwayat pemberian antibiotika sebelunya mungkin

amoksisilin kurang efektif, untuk itu antibiotika lini kedua dapat menjadi alternatif. Bila

Page 12: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

ditengarai adanya kuman penghasil enzim β-laktamase maka kombinasi amoksisilin dan asam

klavulanat dapat digunakan. Untuk penderita hipersensitif terhadap penisilin dapat digunakan

katrimoksazol, makrolid atau doksisiklin, namun obat yang terakhir ini tidak dianjurkan pada

anak-anak. Antibiotika ahrus diberikan 10-14 hari (Mulyarjo, 2002).

Menurut AAP (2001), sekitar 80% anak-anak dengan RSBA membaik dengan terapi

amoksisilin. Lippicott (2002) melaporkan hal yang sama pada 90% kasus, dan Hayes (2001)

melapoekan 91,2% kasus.

Dekongestan sistemik fenilpropanolamin atau pseudoefedrin mungkin memperbaiki

ventilasi sinus dan memulihkan fungsi mukosilia. Sedangkan dekongestan tropikal mungkin

bermanfaat pada tahap awal proses penyakit rinosinuitis, tetapi pemakaian dekongestan

tropikal ini hendaknya dibatasi 3 smapai 5 hari (Josephson dan Roy, 1999; Lampl, 2003).

Terapi bedah pada penderita rinosinusitis anak ditujukan pada rinosinusitis rekuren

dan rinosinusitis kronik yang tidak responsive terhadap terapi medis yang maksimal dan bila

terjadi komplikasi RSBA seperti komplikasi orbita atau intracranial (Josephson dan Roy,

1999; Mc Clay, 20

2.8              Komplikasi Rinosinusitis Bakterial Akut

Sinus paranasalis dibatasi oleh otak dan cavum orbita di lateral, superior dan

posterior, sehingga penyebaran infeksi dapat menyebakan komplikasi intrakranial atau orbital

yang mengancam jiwa. Komplikasi orbital biasanya disebabkan penyebaran langsung infeksi

melalui lamina papiracea dari sinus etmoidalis.

Komplikasi Orbital

Selusitis preseptal

Selusitis orbital

Abses Subperiosteal

Abses Orbital

Trombosis Sinus Kavernosus

Kebutaan

Komplikasi Intrakranial

Meningitis

Page 13: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

Abses Epidural

Abses subdural

Abses otak

Osteomielitis dinding anterior sinus frontalis

Komplikasi Sistemik

Toxic shock syndrome

Sepsis

Table 2. komplikasi rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).

RINGKASAN

Rinosinusitis merupakan penyakit umum yang dijumpai dalam praktek sehari-hari.

faktor anatomi menyebakan anak-anak rentan terhadap obstruksi ostium sinus, menyebabkan

ketidaklancaran sekresi hidung dan meningkatkan pertumbuhan bakteri.

Diagnosis rinosinusitis akut dan kronis terutama ditegakkan berdasarkan pada riwayat

klinis dan pemeriksaan klinis. Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam

penanganan RSBA, dengan tujuan untuk membunuh kuman penyebab, membuka ostium

sinus dan mengembalikan fungsi silia. Terapi bedah ditujukan untuk kasus-kasus yang tidak

responsive terhadap terapi medikamentosa atau bila terjadi komplikasi intracranial atau

orbital.

Page 14: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

KEPUSTAKAAN

American Academy of pediatrics, 2001. Clinical PracticeGuidelme: Management of Sinusitis.

Pediatrics: 108 (3): 798 – 808.

Bachert C, Verhaeghe of pediatrics, 2002. Differential Diagnosis of Rhinosinusitis. Enhancing the

Treatment of Rhinosinusitis Family Practice Recertification. 24 (1) 8 – 13.

BallengerJJ, 1995. paranasal Sinus Infectio. In Ballenger JJ. Deseases of the Nose, Throat, Ear,

Head and Neck. 13 Ed. Philadelphia Lea & Febiger. 205 – 217.

Becker W. Nouman HH. Pfaltz CR, 1989. Ear, Nose and Throat Siseases 3 Ed. New York.

Theme Medical Publisher. 224 – 253.

Garbut JM et al, 2001. A Randomized, Plaeebo-Controlled Trial of Antimierobial Treatment for

Children with Clinical Diagnosed Acute Sinusitis. Pediatrics; 107(4): 619 – 625.

Hayes RO, 2001. Pediatrics Sinusitis: When it’s Not Just a Cold. Clinician Reviews; 1(10):52-59

Jonathan B, 1991. Uji Banding pengobatan Sinusitis Maksilaris pada Anak dengan Diatermi dan

Irigasi. Karya Akhir Laboratorium SMF Ilmu Penyakit THT FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo

Surabaya.

Josephson G, Roy S. 1999. Pediatrics Rhinosinusitis: Diagnosis and Management. International

Pediatrics; 14(1): 15 – 21.

Klein Gl, 2001. Acute Rhinosinusitis Treatment Guidelines Infect Med; 15(10F): 26 – 33.

Lampl KL. 2003. The Role of OTC Decongestants in the Treatment of Rhinosinusitis.

http://www.medscape.com/viewprogram2685. Download tanggal 09/26/2003.

Lippincott I., 2003 Pediatrics Sinusitis. Medical Treatment

http://www.emedicine.com/ent/topic/612.htm 144 k10.11.03 Download tanggal 10/11/03.

McClay JE, 2001. Pediatrics Sinusitis, Surgical Treatment

http://www.emedicine.com/ent/topic/612.htm 144 k10.11.03 Download tanggal 10/11/03.

Mosges R, 2002. Medical and Surgical management of Rhinosinusitis. How Much Treatment Is

Required?.Enhancing the Treatment of Rhinosinsitis. Family practice Recertification;24(1):

14 – 18.

Mulyarjo, 2002. Rinosinusitis dan Penatalaksanannya. Symposium penatalaksanaan rinosinusitis

dan Otitis Media. Surabaya. 1 – 8.

Page 15: DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN rinosinusitis.docx

Mulyarjo , 2003. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis pada Anak. Abstrak Simposium

Rhinology Update. Bali. 56.

O’Brein KL, et al 1998. Acute Sinusitis-Principle of Judicious Use of Antimicrobal Agents.

Pediatrics; 101(1): 174 – 177.

Rachelfsky GS, 1984. Sinusitis in Children. Diagnosis and Treatment. Clin Rev Allergy ; 2 : 397-

408.

Rockville, 1999. Diagnosis and Treatment of Acute Bacterial Rhinosinusitis summary, Evidence

Report/Technology Assesement (9).

http://www.ahrg.gov/clinic/epcsums/sinussum.htm.download tanggal 22/02/04.

Rohr A.S dan Spector SL. 1984. Paranasal Sinus Anatomy and Pathophysiology. Clin Rev allergy

1984; 2: 387 – 395.

Slavin RG, 2002. Rhinosinusitis Epidemilogy and Pathology. Enhancing the Treatment of

Rhimosinusitis Family Practice Recertification; 24 (1): 1 – 7.

Suyitno S, 1996. Sinusitis Maksila pada Anak di RSUD Dr. Kariadi Semarang Kumpulan Naskah

Ilmiah Pertemuan tahunan Perhati. Batu-Malang, 788 – 797.

Watson RL et al. 1999. Antimicrobal Use fpr Pediatrics Upper Respiratory Infections: Reported

Practice, Actual Practice. And Parent Beliefs Pediatrics; 104(6): 1251 – 1257.