diagnosis dan penatalaksanaan net

15
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK A. PENDAHULUAN Nekrolisis epidermal toksik (NET) umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada sindrom Stevens-Johnson (S.S.J), sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian. 1 Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan yang ditandai dengan nekrosis yang luas dan terlepasnya epidermis. 2 Baik SSJ dan NET memiliki karakteristik yang sama, karena kesamaannya akan gejala, pemeriksaan histopatologi, faktor resiko, patomekanisme maka dapat digunakan istilah Nekrolisis Epidermal (NE) untuk sebutan keduanya. 1,2 Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95% dari semua pasien. Berikut pengobatan dan risiko dari NET. 1,2 1

Upload: yusran-ady-fitrah

Post on 16-Nov-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Net

TRANSCRIPT

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANNEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

A. PENDAHULUANNekrolisis epidermal toksik (NET) umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada sindrom Stevens-Johnson (S.S.J), sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian.1 Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan yang ditandai dengan nekrosis yang luas dan terlepasnya epidermis.2 Baik SSJ dan NET memiliki karakteristik yang sama, karena kesamaannya akan gejala, pemeriksaan histopatologi, faktor resiko, patomekanisme maka dapat digunakan istilah Nekrolisis Epidermal (NE) untuk sebutan keduanya. 1,2 Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95% dari semua pasien. Berikut pengobatan dan risiko dari NET. 1,2

Gambar 1.Pengobatan dan resiko dari Nekrolisis Epidermal2

Pada tahun 1956, Alan Lyell menggambarkan 4 pasien dengan erupsi panas dari kulit yang kemudian dinamakan nekrosis epidermal toksik.3 NET merupakan efek samping dari reaksi obat yang jarang. Diperkirakan bahwa hanya 2-3 kasus dari jutaan kasus tiap tahunya yang terjadi d Eropa dan US. NET dapat menyerang semua populasi dan kelompok umur.4Walaupun patomekanisme penyakit belum diketahui secara terperinci mengenai tahapan reaksi imunitas seluler dan humoralnya, namun beberapa penelitian oleh para ahli telah memberikan petunjuk yang baik mengenai proses reaksi imunitasnya. Pola reaksi imun pada lesi awal menunjukkan adanya reaksi imun sitotoksik terhadap keratinosit, yang menyebabkan apoptosis yang masif. Studi imunopatologi menunjukkan terdapatnya Natural Killer Cell (NK-Cell), dan CD8 T Lymphocyte yang spesifik terhadap suatu obat, serta makrofag, dan granulosit. Selain sel radang, terdapat pula peningkatan sitokin sel proinflamatorik yang dikeluarkan oleh sel imun berupa TNF-, Fas-L, IL-5, granulysin, granzyme, dan perforin. Kombinasi dua komponen ini mendestruksikan keratinosit di epidermis.2,5Diperkirakan terdapat kerentanan genetik yang menyebabkan timbulnya sensitivitas sistem imun akibat agen tertentu, misalkan HLA B-1502 pada orang China dan Taiwan yang menyebabkan mereka rentan terhadap karbamazepin, dan HLA B-5801 terhadap sensitivitas pada allopurinol.5Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit ini menyebabkan destruksi epidermis, maka fungsi epidermis pun terganggu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penguapan cairan berlebihan (seperti pada luka bakar), dan memudahkan terjadinya infeksi sekunder pada kulit. Hal inilah yang menyebabkan mengapa penyakit ini termasuk penyakit yang mengancam jiwa.3Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada SSJ. 1NET mirip SSJ, perbedaannya adalah pada SSJ tidak terdapat epidermolisis seperti pada NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk pada SSJ.1 Diagnosis banding lain dari NET adalah eritema multiforme.2 Harus pula dibedakan dengan penyakit Staphylococcus Scalded Skin Syndrome (SSSS). Gambaran klinis sangat mirip karena pada SSSS juga terdapat epidermolisis, tetapi selaput lendir jarang dikenai.1Penatalaksanaan dari NET yaitu penghentian segera obat yang tersangka menyebabkan alergi. Pengobatan lainnya dengan kortikosteroid, dan adapula dengan hanya mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. 1Komplikasi dari NET pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis. Komplikasi yang lain seperti pada SSJ. 1

B. DIAGNOSISAnamnesisDiagnosis NET ditetapkan berdasarkan riwayat pasien, gejala dan tanda pada pemeriksaan fisik pasien, serta pemeriksaan lab, dan pemeriksaan histopatologis. Adanya riwayat mengonsumsi obat, mengalami infeksi, dan berbagai faktor pencetus lainnya yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya onset terjadinya penyakit NET sekitar 8 minggu setelah terpapar dengan faktor pencetus, misalnya obat. Namun, dalam beberapa laporan diketahui bahwa penyakit ini dapat muncul lebih cepat dalam hitungan jam setelah meminum obat. Biasanya terdapat gejala non-spesifik seperti demam, nyeri kepala, rhinitis, batuk dan malaise sebelum munculnya erupsi NET.2Pemeriksaan Fisik/ Status DermatologiBerdasarkan pemeriksaan fisik, terdapat trias kelainan pada NET yaitu keterlibatan mukosa, kerusakan kulit, serta kerusakan mata, dengan berbagai gambaran klinis, mulai dari yang ringan hingga berat. Selain itu, ditemukan takikardi, demam, kesadaran menurun, hipotensi, epistaksis, bahkan koma. 1,2. Untuk trias kelainan NET, adalah 1,21. Kelainan KulitLesi didahului oleh eritema, kemudian menjadi vesikel, bula. Vesikel dan bula kemudian memecah menjadi erosi yang luas. Di samping itu juga terdapat purpura. Lesi dikulit yang gampang pecah disebut Nikolsky sign, namun tanda ini tidak spesifik terhadap SSJ/TEN.2. Kelainan mukosa (selaput lendir)Lesi pada mukosa yang tersering ialah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan genital (50%), lubang hidung dan anus jarang, masing-masing 8% dan 4%. Lesi di mulut dapat membuat pasien sukar/tidak dapat menelan.3. Kelainan mataKelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, dan iridosiklitis.

Gambar 2. Vesikel dan bula pada kulit.2 Berupa makula eritem dan pengelupasan epitel (A) dan vesikel/bula yang menghitam menunjukkan nekrosis epidermis (B)BA

Gambar 3. Lesi pada mulut dan mata2

Pemeriksaan Laboratorium2Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis NET. Pemeriksaan laboratorium penting untuk mengevaluasi derajat keparahan dan penatalaksanaan harian selama dalam perawatan. Pemeriksaan yang paling awal dibutuhkan yaitu pemeriksaan gas darah, protein darah dan elektrolit serta dibutuhkan pemeriksaan kadar urea, dan glukosa untuk menetapkan prognosis.Pemeriksaan HistopatologiPada pemeriksaan histopatologi NET, pada lesi awal menunjukkan adanya nekrosis keratinosit yang ditandai dengan spongiosis, dan edema intraselular, dengan infiltrasi sel limfosit, dan eosinofil. Pada lesi lanjut, terdapat clear zone (area bersih) yang terletak di suprabasal yang memisahkan epidermis dengan dermis (detachment epidermis), juga terdapat vesikel dan bula pada lapisan epidermis. Selain itu, terdapat ekstravasasi eritrosit, serta edema pada stratum korneum.2,6

ABGambar 4. Histopatologi NET.6 Lesi awal, tampak infiltrasi limfosit (A) dan lesi lanjut terdapat epidermal detachment dan nekrosis keratinosit (B)

KomplikasiKomplikasi dari NET pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis. Komplikasi yang lain seperti pada SSJ. 1

Diagnosis BandingBeberapa diagnosis banding diantaranya:1. Syndrom Stevens-JohnsonSindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu sindrom kegawatdaruratan kulit yang mengancam nyawa yang mengenai kulit, selaput lendir (mukosa), dan mata, serta ditandai dengan nekrosis kulit yang luas, dan pengelupasan epidermis. Pada SJS, keterlibatan epidermis lebih kecil dari 10%, transisi SJS-TEN antara 10%-30%, sedangkan lesi dikatakan TEN jika >30% kerusakan epidermis tubuh. 3 Selain dari segi keterlibatan epidermis, penyakit ini juga memiliki keadaan umum dan prognosis yang lebih buruk.7 Penyebab dan mekanisme dari penyakit ini sama dengan SSJ.2

Gambar 5. Perbandingan luas lesi pada SSJ dan TEN32.Eritema MultiformeEritema Multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan selaput lendir dengan efloresensi yang khas berbentuk iris. Pada kasus yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral. Penyebab belum diketahui pasti, namun dapat disebabkan oleh alergi obat seperti halnya pada NET. Gejala khas yang membedakan dengan NET yaitu lesi bentuk iris (target lesion) yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema keunguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat, dan kemudian lingkaran yang merah. 1,2

Gambar 6. Pasien Eritema Multiforme2

3.Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)Penyakit ini disebut juga pemphigus neonatorum/ impetigo neonatorum/ Ritters disease disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus yang menyerang neonatus. Penyakit ini menyebabkan erosi/ pengelupasan epidermis akibat toksin yang dikeluarkan oleh S.aureus sehingga terjadi pemisahan antara dermis dan epidermis. Perbedaan penyakit ini dengan NET yaitu pada penyakit ini tidak menyebabkan erosi pada mukosa. Prognosisnya pun baik, tidak seperti NET yang berbahaya jika tidak segera ditangani dengan baik.2,7

Gambar 7. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome7

C. PENATALAKSANAAN3Umum : 1. Mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan pemberian cairan intravena. Cairan 0,5% NaCl + 20 mEq KCL diberikan sambil memantau volume urin dalam batas 50-80 ml/jam. 2. Jika penderita koma, lakukan tindakan darurat terhadap keseimbangan O2 dan CO2.3. Jangan lakukan debridemen pada lesi seperti pada penatalaksanaan luka bakar, karena dapat mengganggu proses re-epitelisasi.Khusus : 1. Sistemik : Kortikosteroid dosis tinggi, prednison 80-200 mg (live saving) secara parenteral atau peroral, kemudian diturunkan perlahan. Pada kasus berat diberi deksametason IV, dosis 4x5 mg selama 3-10 hari. Jika keadaan umum membaik, penderita dapat menelan, maka obat dapat diganti dengan prednison (dosis ekuivalen). Pada kasus ringan diberikan prednison 4x5 mg 4x20 mg/hari, dosis diturunkan bertahap jika terjadi perbaikan. Pengobatan lain : antihistamin, antibiotik Thalidomide (anti TNF-) High-dose Intravenous Immunoglobulin Siklosporin. Penelitian menunjukkan kombinasi siklosporin sebagai calcineurin inhibitor dan kortikosteroid dosis tinggi, dapat mempercepat reepitelisasi, dan mengurangi angka kematian2. Topikal : Vesikel dan bula yang belum pecah diberi bedak salisil 2% Kelainan yang basah dikompres dengan asam salisil 1% Kelainan mulut yang berat diberikan kompres asam borat 3%Konjungtivitis diberi salap mata yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid.

D. PROGNOSISSecara umum, jika diagnosis tepat dan penatalaksanaan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Namun, bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, penyakit ini dapat mendatangkan kematian.1 Adapun untuk menentukan prognosis EN dapat meggunakan SCORTEN seperti pada gambar 8.

Gambar 8. Sistem Skoring prognostic untuk pasien EN2

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi, dan Mochtar.Sindrom Stevens-Johnson. In : Adhi Djuanda, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 5th. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p.163-5.2. L. Valeyrie-Allanore &Jean-Claude Roujeau. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) and Stevens-Johnson Syndrome. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. eds.Fitzpatricks Dermatology In General Medicine 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 642, 1694-7013. Thomas Harr and Lars E French. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases 2010, p 5:39 4. Rudy, Elizabeth. Update: Drug-Induced Toxic Epidermal Necrolysis. Harboview Medical Center. University of Washington Medical Center; 2004;33(9):52-54.5. Rehmus, W. E. "StevensJohnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)". In Porter, R. S. The Merck Manual ((online version) 19th ed.). Whitehouse Station, NJ: Merck & CoHay RJ. Bacterial infection. In: Buxton P.K.eds. ABC of Dermatology 4th ed. London : BMJ Publishing; 2013. p.87- 916. David A. Wetter, MD and Michael J. Camilleri, MD. Clinical, Etiologic, and Histopathologic Features of Stevens-Johnson Syndrome During an 8-Year Period at Mayo Clinic.Mayo Clin Proc. Feb 2010; 85(2): 131138.7. Rapini RP, Bolognia JL, Jorizzo JL (2007). Dermatology: 2-Volume Set. St. Louis: Mosby.

10