diagnosis dan penatalaksanaan pasien diabetes

23
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS (disarikan dari Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia : Perkeni 2006) Alwi Shahab Subbagian Endokrinologi Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri/ RSMH Palembang I. Pendahuluan Yang dimaksud dengan Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 – 2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1%. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ketahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4% akan didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis /subspesialis /endokrinologis.

Upload: birgittafajarai

Post on 31-Oct-2014

125 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tulisan dr. alwi shahab

TRANSCRIPT

Page 1: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

DIABETES MELITUS

(disarikan dari Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia : Perkeni 2006)

Alwi Shahab

Subbagian Endokrinologi Metabolik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FK Unsri/ RSMH Palembang

I. Pendahuluan

 

            Yang dimaksud dengan Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di  Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya.

            Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 – 2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1%. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia  membuktikan adanya kenaikan prevalensi  dari tahun ketahun.  Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4% akan didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis /subspesialis /endokrinologis. 

            Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi penderita DM, yang seyogyanya diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer, peran dokter umum adalah sangat penting. Kasus DM yang tanpa disertai dengan penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum. Apalagi kalau kemudian kadar glukosa darah ternyata dapat terkendali baik dengan pengelolaan di tingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut  jangka panjang pada para pasien tersebut. Pasien yang potensial akan menderita penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim pengelola DM pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim kembali kepada dokter yang biasa mengelolanya. Demikian pula pasien DM yang sukar terkendali kadar glukosa darahnya,

Page 2: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

pasien DM dengan penyulit, apalagi penyulit yang potensial fatal, perlu dan harus ditangani oleh instansi yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap, dalam hal ini Pusat DM di Fakultas Kedokteran /Rumah Sakit Pendidikan/ RS Rujukan Utama. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna bagi pasien DM dan untuk menekan angka penyulit, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi penderita DM. Diabetes Melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikutsertaan  pasien sendiri dan keluarganya. Penyuluhan  kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM.

 

II. Diagnosis

            Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah  pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler.  Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.

 

A. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada.  Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up), adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok  dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :

-         kelompok usia dewasa tua (>45 tahun )

-         kegemukan {BB (kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kg/m2)}

Page 3: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

-         tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)

-         riwayat keluarga DM

-         riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi>4000 gram

-         riwayat DM pada kehamilan

-         dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan atau Trigliserida>250 mg/dl

-         pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau  GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

 

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) 

  Bukan DM    Belum pasti  DM  DM       Kadar glukosa darah sewaktu      plasma vena       < 110    110 – 199      200darah kapiler       <   90           90  - 199          200       Kadar glukosa darah puasa      plasma vena        < 110    110 – 125 126darah  kapiler                            <   90    90  - 109     110 

*metode enzimatik

 

B.    Langkah-langkah untuk  menegakkan diagnosis Diabetes Melitus

 

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu  200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.  Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk  menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal,

Page 4: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.

 

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)

-         3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa

-         kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan

-         puasa semalam, selama 10-12 jam

-         kadar glukosa darah puasa diperiksa

-         diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit

-         diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

 

 Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*

 

 

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena)200 mg/dl  , atau

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena)126 mg/dl     

(Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir )  atau

Kadar glukosa plasma200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**

 

* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.

 

Page 5: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik.

 

 

III. Klasifikasi

 

Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sbg berikut :

 

1.      Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) :                 

         Autoimun

         Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)

2.     Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)

 

3.      Diabetes Melitus tipe lain :

A.     Defek genetik fungsi sel beta :

        Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3.

        DNA mitokondria

B.     Defek genetik kerja insulin

C.     Penyakit endokrin pankreas :

        pankreatitis

        tumor pankreas /pankreatektomi

        pankreatopati fibrokalkulus

Page 6: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

D.     Endokrinopati :

        akromegali

        sindrom Cushing

        feokromositoma

        hipertiroidisme

E.      Karena obat/zat kimia :

        vacor, pentamidin, asam nikotinat

        glukokortikoid, hormon tiroid

        tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

F.      Infeksi :

        Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV)

G.     Sebab imunologi yang jarang :

        antibodi anti insulin

H.     Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :

        sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom  Turner, dan lain-lain.

 

4.      Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

 

IV. Pengelolaan

 

Tujuan :

 

1.     Jangka pendek: menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa

Page 7: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

nyaman dan sehat.

2.     Jangka panjang: mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.

3.    Cara: menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi  harus tercermin pada langkah pengelolaan.

4.    Kegiatan: mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.

 

Pilar utama pengelolaan DM :

1.Edukasi

2. Perencanaan makan 

3. Latihan jasmani

4. Obat-obatan

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan  sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.

 

Edukasi

 

Page 8: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode di mana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:

makan makanan sehat;

kegiatan jasmani secara teratur;

menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik;

melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada;

melakukan perawatan kaki secara berkala;

mengelola diabetes dengan tepat;

mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan;

dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

 

Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.

 

 

Perencanaan makan

Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu  cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula ,tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang

Page 9: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pad arespons glikemik makanan, termasuk di dalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein). Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting dari pada sumber atau macam makanannya.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

Karbohidrat      60-70%

Protein             10-15%

Lemak              20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.

 

Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).

IMT = BB(kg)/TB(m2)

 

Tabel 2. Klasifikasi IMT (Asia Pasific)

Klasifikasi IMT (Asia Pasific)          Lingkar Perut<90cm (Pria)<80cm (Wanita)

>90cm  (Pria)>80cm  (Wanita)

Risk of co-morbiditiesBB Kurang      <18,5  

BB Normal       18,5-22,9

BB Lebih         >23,0   :

-        Dengan risiko : 23,0-24,9

Rendah

 Rata-rata

   

 Meningkat

Rata-rata

Meningkat

 

Sedang

Page 10: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

-        ObesI             : 25,0-29,9

-        Obes II            : ≥ 30

 Sedang

Berat

Berat

Sangat berat

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%

 

Status gizi:

BB kurang bila BB<90% BBI

BB normal bila BB 90-110% BBI

BB lebih bila BB 110-120% BBI

Gemuk bila BB>120% BBI

Page 11: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

Pendahuluan

Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar glukosa darah dibawah rentang batas normal. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan berat ringannya ditentukan pula oleh lamanya terjadi penurunan kadar glukosa darah serta berat ringan gejala yang timbul. Pada pasien DM, hipoglikemia terutama terjadi akibat pemberian obat-obat golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin. Pengaruh buruk hipoglikemia terutama akan menyebabkan gangguan fungsi syaraf otak yang bila berlangsung lama akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kekawatiran akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM, terutama pada pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali glukosa darah yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro dan mikrovaskular akibat hiperglikemia.Tinjauan pustaka ini akan membahas patofisiologi dan penatalaksanaan hipoglikemia pada pemakaian insulin terutama pada pasien DM usia lanjut.

Regulasi kadar glukosa darah (Homeostasis Glukosa)Sistem syaraf pusat sangat tergantung dengan oksidasi glukosa sebagai sumber energi utamanya. Gangguan suplai glukosa akan mengakibatkan gangguan fungsi otak (neuroglikopenia), dan bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan syaraf otak yang irreversibel dan kematian. Pada orang dewasa sehat dengan BB 70 kg, kebutuhan glukosa otak diperkirakan sebanyak 1 mg/kg/menit) atau sebanyak 100 g/hari. Ambilan glukosa otak difasilitasi oleh 2 transporter glukosa yaitu GLUT 1 dan GLUT3 yang tidak tergantung dengan insulin. Dalam keadaan hipoglikemia, sistem transportasi glukosa ini mengalami gangguan. Sedangkan pada hipoglikemia kronik akan terjadi up regulasi transporter glukosa, suatu fenomena penting yang berperan dalam terjadinya hypoglycemia unawareness.Dalam keadaan puasa, otak dapat menggunakan benda2 keton (β-hydroksi-butirat dan aseto asetat) sebagai sumber energi alternatif. Ambilan benda2 keton oleh otak proporsional dengan kadarnya didalam darah. Oksidasi benda2 keton dapat menjadi sumber energi hanya bila kadarnya didalam sirkulasi mengalami peningkatan, seperti terjadi dalam keadaan puasa yang lama.Jadi bila kadar glukosa darah rendah, sedangkan kadar keton sangat tinggi, maka otak sebagian terlindung dari efek buruk hipoglikemia. Namun bila kadar glukosa dan keton rendah, seperti terjadi pada hipoglikemi akibat pemberian insulin dan gangguan oksidasi asam lemak, otak akan sangat rentan terhadap gangguan metabolik. Kadar glukosa didalam sirkulasi ditentukan oleh keseimbangan antara asupan glukosa (absorpsi + produksi) dan utilisasi/ penggunaannya oleh berbagai jaringan. Dalam keadaan puasa, produksi glukosa tergantung pada ketersediaan substrat2 yang diperlukan bagi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sementara utilisasi glukosa ditentukan oleh ambilan glukosa dan ketersediaan sumber energi alternatif terutama bagi jaringan otot. Mekanisme utama yang berperan dalam pencegahan hipoglikemia ditunjukkan dalam gambar dibawah ini. Dalam keadaan puasa (post absorptive state), kadar insulin menurun, sehingga menurunkan ambilan glukosa oleh hepar, otot dan lemak. Glikogenolisis didalam hati merupakan proses paling penting untuk memenuhi kebutuhan glukosa dalam

Page 12: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

keadaan puasa selama 12 sampai 24 jam. Bila puasa berlangsung lebih lama, setelah simpanan glikogen hati berkurang, akan terjadi lipolisis dan pemecahan protein untuk mempertahankan kadar asam lemak, gliserol dan asam amino didalam aliran darah. Asam lemak akan digunakan oleh otot sebagai sumber energi dan oleh hati untuk memproduksi benda2 keton yang akan digunakan sebagai sumber energi alternatif bagi jaringan2 tubuh lain. Gliserol dan asam amino akan diambil oleh hati dan ginjal yang akan digunakan sebagai bahan utama bagi proses glukoneogenesis. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa produksi glukosa pada laki-laki sehat sekitar 1,8 mg/kg/menit selama dalam keadaan puasa sampai 40 jam. Kontribusi proses glukoneogenesis terhadap produksi glukosa basal meningkat dari 41% setelah 12 jam sampai 92% setelah 40 jam puasa. Dalam keadaan puasa yang lama, ginjal memproduksi 25% atau lebih dari total kebutuhan akan glukosa, terutama melalui proses glukoneogenesis dari glutamine, laktat dan gliserol. Pada insufisiensi ginjal kronik yang berat akan terjadi gangguan produksi glukosa renal sehingga akan menimbulkan hipoglikemi puasa. Bila kadar glukosa plasma berada dibawah nilai ambang hipoglikemi, akan terjadi pelepasan hormon2 kontra regulasi, sebagai usaha untuk meningkatkan produksi glukosa. Nilai ambang ini diperkirakan pada kadar 67 mg/dl. Bagian ventromedial hipothalamus merupakan organ utama yang berperan dalam respons kontra regulasi.

Hormon2 kontra regulasi terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :Hormon2 kerja cepat yaitu katekolamin dan glukagon.Hormon2 kerja lambat yaitu growth hormone dan kortisol.Katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) bekerja menghambat sekresi insulin dan secara langsung merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal, menghambat utilisasi glukosa di jaringan perifer dan merangsang proses lipolisis. Selanjutnya proses lipolisis akan menghasilkan substrat2 yang diperlukan untuk glikoneogenesis (yaitu gliserol) dan sumber energi alternatif bagi otot (yaitu asam lemak dan benda2 keton). Glukagon terutama bekerja merangsang produksi glukosa hati, namun sangat sedikit atau bahkan tidak mempunyai efek terhadap utilisasi glukosa perifer atau stimulasi produksi glukosa ginjal. Walaupun glukagon merangsang lipolisis dan ketogenesis, namun hanya mempunyai efek minimal terhadap mobilisasi prekursor glukoneogenesis dari lemak. Efek kontra regulasi dari kortisol dan growth hormone terjadi beberapa jam setelah hipoglikemi. Jadi kedua hormon ini hanya berperan minimal dalam pencegahan hipoglikemi akut, namun penting dalam pencegahan hipoglikemi akibat puasa yang lama. Kortisol merangsang glukoneogenesis hati dan lipolisis, sehingga meningkatkan kadar asam lemak bebas dan gliserol. Growth hormone juga mempunyai efek yang sama terhadap lipolisis dan glukoneogenesis, serta secara bersamaan menekan utilisasi glukosa di jaringan perifer. Kedua hormon diatas dapat meningkatkan lipolisis untuk menghasilkan substrat penting bagi proses glukoneogenesis, serta asam lemak bebas dan benda2 keton yang akan digunakan sebagai sumber energi alternatif.

Definisi HipoglikemiDiagnosis hipoglikemi ditegakkan berdasarkan trias Whipple, yaitu :- Adanya gejala2 dan tanda2 hipoglikemi- Kadar glukosa plasma yang rendah- Terjadi pemulihan gejala setelah kadar glukosa plasma kembali normal melalui

Page 13: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

pemberian glukosa eksogen.Namun, nilai cutoff dari kadar glukosa plasma untuk menetapkan hipoglikemi masih simpang siur. Berbagai kepustakaan menggunakan rentang nilai antara 45 sampai 75 mg/dl (2,5 – 4,2 mmol/l). Dalam praktek sehari-hari, definisi hipoglikemi disesuaikan dengan keadaan klinis. Walaupun tidak ada ketentuan pasti tentang seberapa rendah kadar glukosa darah sebagai patokan mendefinisi-kan hipoglikemi, namun terdapat kesepakatan bahwa kadar glukosa plasma vena antara 45 sampai 60 mg/dl (2,5 – 3,3 mmol/l) jelas mendukung diagnosis hipoglikemi, dan bila dibawah 45 mg/dl (2,5 mmol/l) biasanya sudah menimbulkan gejala klinis yang berat. Bila kadar glukosa darah yang rendah disertai dengan gejala2 neurologik, kecurigaan terhadap hipoglikemi lebih tinggi dan perlu segera dicari faktor penyebabnya. Pada pasien diabetes yang diterapi dengan insulin, kadar glukosa darah hendaklah dipertahankan diatas 75 mg/dl (4,2 mmol/l) untuk mencegah kemungkinan terjadinya hipoglikemi simtomatis dan hypoglycemia unawareness.

Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemiTanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2 kategori, yaitu otonomik dan neuroglikopenik. Tanda-tanda dan gejala-gejala otonomik terjadi akibat aktivasi sistem syaraf otonom melalui pelepasan epinefrin dari medulla adrenal kedalam sirkulasi dan norepinefrin dari ujung2 syaraf simfatis postganglionik kedalam jaringan2 target. Dalam keadaan normal, ambang glikemik bagi pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada ambangnya bagi induksi gejala-gejala neuroglikopenik. Sehingga gejala-gejala otonomik mengawali timbulnya gejala-gejala neuroglikopenik. Gejala-gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin dapat berupa tremor, muka pucat, palpitasi, takhikardia, tekanan nadi yang melebar dan rasa cemas (ansietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga umum ditemukan, yang biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan asetilkholin. Pada orang dewasa, pengeluaran keringat lebih mencolok, hal ini diduga akibat stimulasi oleh syaraf2 simfatis kolinergik post ganglionik. Gejala2 neuroglikopenik terjadi akibat kekurangan glukosa didalam otak. Karena glukosa merupakan sumber energi utama untuk metabolisme jaringan otak, maka penurunan kadar glukosa darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi bagi otak. Gejala-gejala neuroglikopenik tidak dapat dibedakan dengan gejala2 akibat terjadinya hipoksia jaringan otak. Gejala2 tersebut antara lain berupa rasa lemas, kelelahan, pusing, sakit kepala, perubahan perilaku dan bingung. Pasien dapat mengalami letargi, mudah tersinggung dan bahkan dapat bersikap agresif. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kognitif, gangguan berfikir dan berkonsentrasi, aphasia dan bicara kacau. Disamping itu, hipoglikemia dapat menyebabkan pandangan kabur, kebutaan, paresthesia, hemiplegi, hipotermi, dan bahkan koma, kejang dan berakhir dengan kematian. Episode hipoglikemi yang lama dan berat dapat menimbulkan kematian sel syaraf, sehingga menyebabkan gangguan fungsi otak yang permanen. Dengan bertambahnya usia, gejala2 hipoglikemi menjadi berkurang dan profil gejalapun mengalami perubahan.

Dalam suatu studi di Inggeris yang membandingkan respons terhadap hipoglikemi pada 7 orang dewasa (5 orang laki-laki) non diabetes yang berumur 65 sampai 80 tahun dengan 6 orang (3 orang laki-laki) usia 24 sampai 49 tahun, menunjukkan bahwa skor gejala berkurang secara bermakna pada kelompok usia yang lebih tua. Pada pasien DM, faktor

Page 14: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

predisposisi terjadinya hypoglycemia antara lain faktor usia, gangguan fungsi jantung, ginjal dan hati serta adanya sepsis dan gizi buruk. Disamping itu, beberapa jenis obat dapat pula mengadakan interaksi dengan golongan sulfonilurea dan insulin, sehingga memperkuat efek hipoglikemik kedua jenis obat ini. Obat-obatan dapat menyebabkan hipoglikemi melalui beberapa mekanisme, yaitu melalui :

Peningkatan sekresi insulin :• Disopyramide• Quinine• Pentamidine• Ritodrine• Isoniazide• Chloroquine

Peningkatan ambilan dan utilisasi glukosa dijaringan perifer :• Beta adrenergic blocker• ACE inhibitor• Biguanid• PPAR γ agonist

Penurunan produksi glukosa di hati:• Alkohol• Mekanisme otoimun :• Hidralazine• Procainamide• Interferon a• Obat2 yang mengandung gugus sulfhydryl (methimazole,penicillamine, captopril,

Tidak jelas mekanismenya (diduga menurunkan klirens insulin) :• Sulfonamide• Salisilat• Antikoagulan (dicumarol, warfarin)• Analgetik, antiinflamasi (indomethazine, colchicin, parasetamol, fenilbutazon• Anti psikotik (haloperidol, chlorpromazine)• Ketoconazole• Anti Parkinson (Selegiline)• Octreotide• Phenytoin

Klasifikasi klinis hipoglikemiSecara klinis hipoglikemi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :Hipoglikemi ringan, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi ringan dan dapat diobati sendiri oleh pasien.Hipoglikemi sedang, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi disertai dengan gangguan kognitif ringan, namun pasien masih bisa menanggulanginya sendiri.

Page 15: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

Hipoglikemi berat, bila disertai dengan gangguan kognitif berat, bahkan sampai terjadi koma dan kejang sehingga pasien tidak dapat menanggulanginya sendiri.

Penatalaksanaan HipoglikemiaGejala-gejala dan tanda-tanda hipoglikemi bersifat non spesifik, sehingga langkah awal dalam mengevaluasi pasien yang diduga mengalami hipoglikemia adalah dengan menentukan kadar glukosa darah.Pada kebanyakan pasien, pengukuran kadar glukosa darah saat terjadinya gejala-gejala klinis sulit dilakukan karena gejala yang timbul terlalu singkat dan pasien jauh dari pusat pelayanan kesehatan.Pengukuran kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan glukometer dapat dipakai sebagai pedoman untuk memastikan diagnosis serta untuk menyingkirkan kecurigaan hipoglikemi sebagai penyebab timbulnya gejala-gejala klinis. Namun interpretasi hasilnya hendaklah dilakukan secara hati2 karena pengukuran kadar glukosa darah secara teknis bisa salah bila dilakukan oleh pasien sendiri yang mungkin belum pernah mengalami gejala-gejala otonomik dan neurogligopenik.

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti mengenai beberapa hal, antara lain :- pekerjaan pasien- riwayat keluarga yang menderita diabetes- riwayat pemakaian obat-obat golongan sulfonylurea atau insulin- riwayat konsumsi alcohol- riwayat penyakit yang menjadi faktor predisposisi- obat-obat lain yang digunakan pasien

Juga perlu ditanyakan tentang :- frekuensi dan lamanya episode gejala,- ada tidaknya gejala-gejala otonomik dan atau neuroglikopenik,- apakah gejala berkurang dengan minum larutan gula- kapan gejala2 tersebut terjadi (pada saat puasa atau sesudah makan)

Pasien yang mengalami hipoglikemi hanya pada periode postprandial mungkin menderita idiopathic reactive hypoglycemia. Namun, penyebab hipoglikemi lain seperti insulinoma dapat pula menimbulkan hipoglikemi postprandial.Kelompok usia lanjut perlu mendapat perhatian khusus, karena mereka sering tidak mengalami gejala-gejala dini hipoglikemi akibat gangguan fungsi syaraf otonom (hypoglycemia unawareness), sehingga glukosa darah dapat turun mencapai kadar yang sangat rendah (< 40 mg/dl) yang dapat menimbulkan kerusakan syaraf otak yang irreversible.Penatalaksanaan hipoglikemi di rumah sakit sebaiknya melibatkan kerjasama tim. Pemantauan kadar glukosa darah yang ketat perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan yang efisien dan efektif. Penilaian terhadap keadaan umum dan status gizi pasien perlu dilakukan agar dapat ditentukan apakah pasien masih bisa diberikan terapi oral atau sudah memerlukan terapi parenteral. Setelah kejadian hipoglikemi teratasi, harus segera dicari faktor penyebabnya serta dilakukan penyesuaian dosis OHO atau insulin, atau bila perlu diganti dengan obat-obat yang lebih aman dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Insulin basal yang dikombinasi dengan OHO aman

Page 16: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

digunakan pada pasien2 DM tipe2. Dalam suatu review dari beberapa studi klinis acak terkendali, yang membandingkan pemberian insulin monoterapi dan kombinasi dengan OHO, 13 dari 14 diantaranya tidak menunjukkan perbedaan bermakna dari angka kejadian hipoglikemi. Penggunaan insulin analog terbukti mengurangi angka kejadian hipoglikemi. Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa angka kejadian hipoglikemi lebih rendah pada pemakaian insulin glargine dan insulin detemir, dibandingkan dengan insulin NPH. Sebelum dipulangkan, pasien dan keluarganya diberikan edukasi tentang cara-cara pengenalan dan penanggulangan hipoglikemi, pengaturan makan dan dosis OHO atau insulin.

Simpulan :Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar glukosa darah dibawah rentang batas normal. Bila kadar glukosa darah turun sampai dibawah 40 mg/dl, akan memberikan gejala-gejala neurologik yang berat dan irreversibel. Pada pasien DM, hipoglikemia terutama terjadi akibat pemberian obat-obat golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin. Kekawatiran akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM, terutama pada pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali glukosa darah yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro dan mikrovaskular akibat hiperglikemia. Pada kelompok usia lanjut, manifestasi gejala dan tanda2 hipoglikemia seringkali tidak jelas dikarenakan adanya neuropati otonom (hypoglycemia unawareness) , sehingga terkadang pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan hipoglikemia yang berat. Hipoglikemia dapat memprovokasi terjadinya gangguan hemodinamik sehingga dapat meningkatkan angka kejadian stroke, infark miokard, dan aritmia ventrikel serta sudden death.Hipoglikemia dapat pula menimbulkan penurunan kesadaran dan kejang, yang pada usia lanjut akan meningkatkan risiko jatuh dan fraktur karena adanya komorbiditas seperti osteoporosis. Dalam pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 usia lanjut, edukasi terhadap keluarga memegang peranan yang sangat penting. Pemberian insulin analog yang bersifat lebih fisiologik dalam mengendalikan kadar glukosa darah, dapat mengurangi frekuensi kejadian hipoglikemia.

Daftar Pustaka :

United Kingdom Prospective Diabetes Study Group: Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998; 352:837–852.

Cryer PE: Hypoglycaemia: the limiting factor in the glycaemic management of type I and type II diabetes.Diabetologia 2002; 45:937–948.

Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the Hospital. Diab Spectr. 2005;18(1):42

Zammit NN, Frier BM. Hypoglycemia in type 2 diabetes. Diab Care 2005;28(12):2948-2957.

Page 17: DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN pasien diabetes

Fowler MJ. Hypoglycemia. Clinical Diabetes 2008; 26,(4):170-173

Kaukonen KM,Rantala M, Pettila.V, Hynninen M. Severe hypoglycemia during intensive insulin therapy. Acta Anaesthesiol Scand 2009; 53: 61–65.