determinan keberhasilan pemberantasan · pdf file1 determinan keberhasilan pemberantasan...

3
1 DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUSPI: ASPEK POLITIK DAN HUKUM Usulan Tema Kajian Oleh: Suwarsono Muhammad Apa yang menjadi determinan keberhasilan pemberantasan korupsi bisa jadi bukan lagi tema yang baru. Mungkin ada yang menilai sebagai tema yang sudah dikenlai dengan baik, tidak ada lagi yang tersisa. Bahkan bisa jadi dinilai sebagai tema kajian yang sudah usang dan ketinggalan jaman (baca: kuno). Oleh karena itu diduga jelas ada keengganan sebagian akademisi untuk memasuki wilayah yang sudah dijelajahi oleh banyak pihak dan telah berlangsung dalam waktu lama. Akademisi tersebut akan bertanya apa lagi yang hendak saya kaji dan apa yang mungkin masih dapat saya peroleh. Jon S. T. Quah adalah salah satu akademisi yang setia untuk berada pada bidang kajian ini seperti yang terlihat dalam berbagai karyanya, salah satunya adalah : Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible Dream? (2013). Sebut saja misalnya tentang variabel kehendak politik (political will). Adakah yang masih tersisa untuk dipelajari dan diteliti, sekalipun sesungguhnya tetap saja dimungkinkan ditemukan. Misalnya yang terkait dengan pertanyaan tentang apa yang menjadikan kehendak politik itu tetap terjaga pada masa ketidakstabilan politik atau pada masa keos politik (political chaos). Apalagi kalau konteksnya adalah negara berkembang yang bineka. Bagaimana kalau yang dijumpai justru fragmentasi politik (political fragmentation), seperti yang sekarang sepertinya dijumpai di Indonesia. Tidak ada Orang Besar (Big Man/Godfather). Tema-tema tersebut sesungguhnya masih terkait dengan pertanyaan yang lebih umum tentang variabel apa yang menjadikan stabilitas kehendak politik tidak terganggu; naik dan turun. Sekiranya stabilitas kehendak itu terganggu maka biaya moral (moral costs) pemberantasan korupsi dapat meningkat, disamping biaya-biaya pemberantasan korupsi yang lain, termasuk biaya sosial. Disamping itu, variabel partisipasi publik juga sering dinilai sebagai determinan penting. Lihat saja berapa kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibela oleh masyarakat sipil. KPK teruntungkan. Entah apa jadinya jika masyarakat sipil berdiam diri. Tetapi rasanya pembelaan yang dilakukan masyarakat masih bersifat formal dan terkesan elitis. Dinyatakan formal karena munculnya pembelaan masih saja selalu terkait dengan peristiwa (besar) tertentu. Ada preseden terlebih dahulu. Kapan dan bagaimana partisipasi ini dapat berubah menjadi perilaku keseharian masyarakat. Sepertinya sebagian besar masyarakat masih enggan untuk melakukannya. Dapat dicek pada besar dan kualitas penngaduan masyarakat. Dan perubahan perilaku keseharian masyarakat. Perlu ditengok juga siapa sesungguhnya yang berpartisipasi: cenderung masih terbatas klas menengah. Tidak kalah pentingnya sepertinya terlihat – sekalipun masih samar – bahwa pembelaan masyarakat terlihat menurun belakangan ini, jika dibanding pada masa kurang lebih sepuluh tahun lalu. Kini ketika KPK terlibat konflik sepertinya tidak lagi ditemukan pembelaan seintens pada masa lalu. Adakah masyarakat berhitung dengan cerdas dengan siapa KPK sedang konflik. Ketika sedikit atau banyak

Upload: trinhthuan

Post on 06-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN  · PDF file1 DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUSPI: ASPEK POLITIK DAN HUKUM Usulan Tema Kajian Oleh: Suwarsono

1

DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUSPI: ASPEK POLITIK DAN HUKUM

Usulan Tema Kajian

Oleh: Suwarsono Muhammad

Apa yang menjadi determinan keberhasilan pemberantasan korupsi bisa jadi bukan lagi tema yang baru.

Mungkin ada yang menilai sebagai tema yang sudah dikenlai dengan baik, tidak ada lagi yang tersisa.

Bahkan bisa jadi dinilai sebagai tema kajian yang sudah usang dan ketinggalan jaman (baca: kuno). Oleh

karena itu diduga jelas ada keengganan sebagian akademisi untuk memasuki wilayah yang sudah

dijelajahi oleh banyak pihak dan telah berlangsung dalam waktu lama. Akademisi tersebut akan

bertanya apa lagi yang hendak saya kaji dan apa yang mungkin masih dapat saya peroleh. Jon S. T. Quah

adalah salah satu akademisi yang setia untuk berada pada bidang kajian ini seperti yang terlihat dalam

berbagai karyanya, salah satunya adalah : Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible Dream?

(2013).

Sebut saja misalnya tentang variabel kehendak politik (political will). Adakah yang masih tersisa untuk

dipelajari dan diteliti, sekalipun sesungguhnya tetap saja dimungkinkan ditemukan. Misalnya yang

terkait dengan pertanyaan tentang apa yang menjadikan kehendak politik itu tetap terjaga pada masa

ketidakstabilan politik atau pada masa keos politik (political chaos). Apalagi kalau konteksnya adalah

negara berkembang yang bineka. Bagaimana kalau yang dijumpai justru fragmentasi politik (political

fragmentation), seperti yang sekarang sepertinya dijumpai di Indonesia. Tidak ada Orang Besar (Big

Man/Godfather). Tema-tema tersebut sesungguhnya masih terkait dengan pertanyaan yang lebih

umum tentang variabel apa yang menjadikan stabilitas kehendak politik tidak terganggu; naik dan turun.

Sekiranya stabilitas kehendak itu terganggu maka biaya moral (moral costs) pemberantasan korupsi

dapat meningkat, disamping biaya-biaya pemberantasan korupsi yang lain, termasuk biaya sosial.

Disamping itu, variabel partisipasi publik juga sering dinilai sebagai determinan penting. Lihat saja

berapa kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibela oleh masyarakat sipil. KPK teruntungkan. Entah

apa jadinya jika masyarakat sipil berdiam diri. Tetapi rasanya pembelaan yang dilakukan masyarakat

masih bersifat formal dan terkesan elitis. Dinyatakan formal karena munculnya pembelaan masih saja

selalu terkait dengan peristiwa (besar) tertentu. Ada preseden terlebih dahulu. Kapan dan bagaimana

partisipasi ini dapat berubah menjadi perilaku keseharian masyarakat. Sepertinya sebagian besar

masyarakat masih enggan untuk melakukannya. Dapat dicek pada besar dan kualitas penngaduan

masyarakat. Dan perubahan perilaku keseharian masyarakat. Perlu ditengok juga siapa sesungguhnya

yang berpartisipasi: cenderung masih terbatas klas menengah.

Tidak kalah pentingnya sepertinya terlihat – sekalipun masih samar – bahwa pembelaan masyarakat

terlihat menurun belakangan ini, jika dibanding pada masa kurang lebih sepuluh tahun lalu. Kini ketika

KPK terlibat konflik sepertinya tidak lagi ditemukan pembelaan seintens pada masa lalu. Adakah

masyarakat berhitung dengan cerdas dengan siapa KPK sedang konflik. Ketika sedikit atau banyak

Page 2: DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN  · PDF file1 DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUSPI: ASPEK POLITIK DAN HUKUM Usulan Tema Kajian Oleh: Suwarsono

2

terbuka kemungkinan ada ancaman yang dapat diterima, masyarakat sepertinya dengan cermat

memperhitungkannya. Sungguh keputusan yang rasional. Adakah yang demikian ini tidak menarik

sebagai tema kajian?

Siapa yang memiliki kewenangan memberantas korupsi juga menjadi salah satu penentu keberhasilan

pemberantasan korupsi. Singapura dan Hon Kong hanya memiliki satu lembaga negara saja yang

bertanggung jawab memberantas korupsi. Dinyatakan dengan tegas oleh Quah (2013: 460) bahwa “…..

Singapore and Hong Kong are effective in minimizing corruption because of their reliance on a single ACA

solely dedicated to the task of corruption control.” Berbeda dengan negara lain, misalnya India, Filipina,

dan juga Indonesia, yang memiliki lebih dari satu lembaga negara pemberantasan korupsi. Tidakkkah

perlu ada semacam skenario untuk Indonesia sekiranya hanya memiliki satu ACA saja. Selama ini, ketika

memiliki beberapa lembaga ACA ternyata menimbulkan gesekan, kadang terasa amat keras. Ibarat tim

sepakbola, pemain cadangan diminta masuk ke dalam lapangan tetapi pemain yang hendak digantikan

tidak bersedia ke luar lapangan. Lapangan bola tampak menjadi penuh sesak, sekalipun sesungguhnya

lapangan itu sangat luas.

Pemberantasan korupsi juga memiliki peluang lebih besar untuk berhasil jika berbagai lembaga yang

terkait dengan penegakan hukum dinilai bersih dan efektif. Secara formal, hakim jelas-jelas dinyatakan

memiliki kekuasaan yang independen, tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun. Keputusan terhadap

perkara yang ditanganinya diambil sepenuhnya berdasar keyakinan masing-masing hakim. Dalam

praktiknya ternyata disinyalir tidak sepenuhnya demikian. Politisi seringkali dapat memaksakan

pengaruhnya pada hakim, sejak dari proses pemilihan sampai pada nasib keseharian dan karir hakim.

Politis ternyata juga memiliki hubungan jaringan informal dengan hakim. Uniknya, kedua pihak merasa

saling diuntungkan dengan adanya hubungan informal itu. Dapat dipastikan fakta tersebut

mempengaruhi independensi hakim .

Berdasar kajian utamanya di Italia dan studi perbandingannya di Asia, Porta dan Vannucci (1999: 142-

143; lihat juga Porta 2001) menyatakan bahwa “It should be borne in mind, that recent research on

covert exchange has demonstrated that the long tradition of collusion between (often highly placed)

judges and corrupt politicians has continued to thrive.” Efeknya, misalnya, terlihat pada adanya

kenyataan bahwa “Corrupt politicians may also support the careers of some judges, both inside and

outside the judiciary system.” Tidakkah situasi serupa juga dijumpai pada jaksa dan polisi sebagai agen

penegakan hukum?

Hubungan berbagai pihak, baik antara sesama penegak hukum dan terutama dengan publik secara luas,

acapkali menjadi lancar karena jasa dari makelar korupsi. Masih ingat betapa populernya sebutan

makelar kasus (markus) di Indonesia. Dimuali dari usaha mencairkan hubungan yang bersifat formal

menjadi informal dan kemudian ditutup dengan transaksi korupsi yang diakhiri dengan penjaminan

keamanan dan keslematan pasca transaksi korupsi. Setidaknya ditemukan, menurut della Porta dan

Vannucci (2012; lihat juga Muhammad, 2017: 72-81,) empat macam tipe makelar korupsi: makelar

sesekali (occasional broker), makelar tangan kanan (the right hand man/public body), makelar konsultan

(consultant broker), dan makelar pelanggan (professional mediator).

Page 3: DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN  · PDF file1 DETERMINAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUSPI: ASPEK POLITIK DAN HUKUM Usulan Tema Kajian Oleh: Suwarsono

3

Dalam batas-batas tertentu polisi mendapat penilaian yang unik dari masyarakat. Bukan yang aneh

kalau dijumpai berita negatif tentang polisi - di banyak negara lain di dunia dalam banyak sumber

berita, dalam surat kabar maupun media sosial – tentang praktik koruptif yang dilakukannya. Dari mulai

yang kecil dan kasual sampai yang besar struktural dan sistematis (lihat Bowles dan Garoupa, 1997).

Tetapi aneh dan uniknya ditemukan dalam banyak penelitian – dengan berbagai metode dari suvei,

eksperimen, sampai studi kasus - yang menyatakan bahwa yang dijumpai justru sebaliknya. Selalu

hanya ditemukan pelaku koruptif dalam jumlah yang kecil, dengan hasil korupsi yang berjumlah tidak

besar. Oleh karena itu Ivkovic (2003) dalam tulisannya yang berjudul “To Serve and Collect: Measuring

Police Corruption” menyatakan bahwa betapa sulitnya mengukur intensitas dan derajat besaran korupsi

polisi. Dia sepertinya tidak percaya pada hasil berbagai penelitian tersebut. Tidakkah di Indonesia juga

memerlukan penelitian serupa?

*) Suwarsono Muhammad adalah mantan Penasihat KPK dan kini Redaktur Jurnal Integritas KPK.