definisi dekubitus
DESCRIPTION
dekTRANSCRIPT
Definisi Dekubitus
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang
didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka
waktu lebih dari 6 jam. Potter & Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis
jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan
tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan
mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh
oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor
yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara
mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan.
Faktor Risiko Dekubitus
Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu:
a. Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan, beresiko
tinggi menggalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang sensasinya normal.
Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat
mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu
besar, sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau
meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap
dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi
secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang
terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat
gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami
cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Potter dan Perry,
2005).
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu
melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin
dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan
tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke
posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat
kesadaran lebih mudah menjadi bingung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang
berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi (Potter
dan Perry, 2005).
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya. Pasien yang
menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal
mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah
tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau
ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada
pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus
merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan Perry, 2005).
e. Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius.
Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan
tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan
tersebut (Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi
protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C. Status
nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih
dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami
hipoalbuminemia (level albumin serum dibawah 3g/ 100 ml) dan anemia (Potter dan
Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein
pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/ 100 ml beresiko tinggi. Selain itu,
level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun
kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi
albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia
(Potter dan Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level total protein
dibawah 5,4 g/ 100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan
edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi
kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek.
Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan
cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang
mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan
volume cairan ekstrasel ke dalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat
meningkatkan risiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan
edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada
sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005).
Patogenesis Dekubitus
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu: a. Intensitas tekanan dan
tekanan yang menutup kapilerb. Durasi dan besarnya tekananc. Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan. Semakin
besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka
(Potter dan Perry, 2005). Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa
tekanan. Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan
menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini
menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32
mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh
darah kolaps dan trombosis. Saat tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi
pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena
kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka
dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang
akhirnya melebar ke epidermis (Potter dan Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi
saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area
yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang
tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan
tempatnya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata
pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat
dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan (Potter dan Perry, 2005).
Sumber: Potter PA, Perry A (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik. Edisi ke 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Komplikasi imobilisasi
Komplikasi pada pasien pasien imobilisasi antara lain:
1. Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang
penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor
yang meningkatkan risko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam
karena trauma atau pembedahan,sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan
berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung
kongestive, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya.
Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa
nyeri pada tungkai.
2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang
dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian
besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan
dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh karena trombosis yang
biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh
darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat
trombosis merupakan penyebab kesakitan dankematian pada pasien lanjut usia.
3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dankekuatan otot.
Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahanotot pada pasien dengan
imobilisasi sering kali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan
jatuh.
4 .Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-
sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang semakin
tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
5. Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidak seimbangan antara reabsorpsi tulang dan
pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resabsorpsi tulang, meningkatkan
kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama
yang menyebabkan kehilangan massatulang pada imobilisasi adalah meningkatnya
resorpsi tulang.
6. Ulkus Dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadipada pasien usia
lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikro sirkulasi
kulit pada usia lanjut berkisar atara 25mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-
menerus pada kukitatau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi
pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis
intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit.
Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan
akhirnyaterbentuk luka akibat tekanan.
7. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia
serebral, khususnya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan
ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkanpenurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35%,
dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat, mekanisme
kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang
menyebabkan tekanan darah tidak turun.Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang
sehat, hal iniakan lebih terlihat pada lansia.
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi padapasien geriatri.
Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik
sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit
keluar dan pasien mudah terkenapneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah
baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadipada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkanketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status
mental, dan gangguan sensai kandung kemih.
9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin yang akibatnya
akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah
perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang
mobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak
beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin
sehingga terjadi hipoproteinemia.
10. Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses
tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih
keras.(Craven dan Hirnle, 2000).
Sumber: Craven, RF, Hirnle CJ, (2000). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice. Edisi ke 5. California: Addison, Wesley Publishing Co.