ckd

Upload: rizal-prasetya

Post on 16-Jul-2015

1.200 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tinjauan Tentang Penyakit Ginjal Kronik 1.1.1 Definisi Definisi Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronik Kidney Disease (CKD) menurut NKF-K/DOQI adalah: a. Kerusakan ginjal selama 3 bulan. Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah apabila dijumpai kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu manifestasi brupa kelainan patologi, atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urin, atau kelainan radiologi. b. GFR < 60 ml/ 1,73 m2 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. GFR < 60 ml/ 1,73 m2 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya 50% dan terdapat komplikasi. 1.1.2 Patofisiologi Berbagai faktor etiologi penyakit ginjal kronik menyebabkan kerusakan ginjal dengan berbagai cara yang menyebabkan berbagai perubahan morfologi glomerulus, tergantung pada diagnosa awal glomerulonefritis. Perkembangan kerusakan ginjal utamanya melalui 3 jalur yaitu kerusakan massa nefron, hipertensi intraglomerular dan proteinuria. Paparan initiation factors menghasilkan kerusakan massa nefron. Kerusakan massa nefron dan fungsi ginjal akan dikompensasi dengan hipertrofi nefron. Perubahan ini menyebabkan peningkatan proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi oleh sel nefron yang masih baik. Progresifitas dalam proses ini adalah adanya peningkatan tekanan dalam pembuluh kapiler glomerulus yang dimediasi oleh angiotensin II (AT II) untuk mengimbangi hiperfiltrasi yang selanjutnya menjadi maladaptif dan berkembang menjadi hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular secara tak langsung ditimbulkan oleh AT II yang merupakan

1

vasokonstriktor kuat arteriol aferen dan eferen. Efek AT II lebih kuat pada arteriol eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Hal ini memicu kerusakan permeabilitas glomerulus dan menimbulkan proteinuria. Protein yang berada di tubulus renalis akan menimbulkan peningkatan produksi sitokin peradangan dan vasoaktif pada membran apikal tubulus proksimal, sehingga akan menimbulkan kerusakan dan penurunan fungsi ginjal. Adanya proteinuria dapat mempercepat progresifitas kerusakan nefron (Dipiro et al, 2008). Selain itu patogenesis penyakit ginjal kronis dapat berasal dari kombinasi berbagai efek toksik antara lain penumpukkan produk-produk yang secara normal diekskresikan oleh ginjal (seperti nitrogen yang merupakan hasil metabolisme protein), peningkatan hormon yang secara normal dimetabolisme di ginjal (seperti insulin) dan penurunan jumlah zat yang dibentuk di ginjal (seperti erytropoeitin). disamping itu, pada penyakit ginjal kronik juga terjadi perpindahan elektrolit yaitu peningkatan jumlah Na+ dan air di intrasel serta penurunan K+ intrasel. Hal ini berperan dalam perubahan fungsi dari beberapa enzim, sistem transport dan sebagainya (McPhee, 1995). 1.1.3 Etiologi Beberapa faktor resiko yang mengawali Chronic Kidney Disease adalah: Faktor susceptible Individu dengan faktor susceptible mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya penyakit ginjal, meskipun faktor tersebut tidak terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut antara lain: pertambahan usia, penurunan massa ginjal dan berat lahir rendah, ras/etnik, riwayat keluarga, pendapatan dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia. Faktor inisisasi Merupakan faktor yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan ginjal, meliputi : diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, Polycystic Kidney Disease, toksisitas obat, infeksi saluran kemih dan obstruksi saluran kemih bawah.

2

Faktor progresif Merupakan faktor yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal yang dikaitkan dengan penurunan yang cepat terhadap kerusakan ginjal akibat faktor inisiasi, yang meliputi : glikemia, peningkatan tekanan darah, merokok dan proteinuria (Dipiro et al, 2008)

1.1.4

Klasifikasi Penyakit ginjal kronik biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada penurunan

kemampuan ginjal. Kemampuan ginjal ini dapat diketahui dari nilai laju filtrasi glomerulus (GFR). Nilai GFR dapat diukur menggunakan senyawa-senyawa yang bebas difiltrasi, tidak direabsorpsi, tidak disekresi, tidak beracun dan tidak mengalami metabolisme dalam tubuh. Contoh dari senyawa-senyawa ini adalah inulin dan kreatinin. Adapun nilai GFR normal yaitu 120 mL/menit. Tabel I. Klasifikasi Menurut NKF-DOQI Untuk Penyakit Ginjal Kronik (wells, i.,2008)

Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai klirens kreatinin dan GFR (GlomeruluFiltration Rate) (Stigant et al., 2003; Sudoyo, dkk., 2006). Cockroft-Goult untuk orang dewasa : Laki-laki: Klirens Kreatinin (mL/min) = (140-umur) x berat badan (kg) x 0,81 72 x kreatinin serum (mol/L) Klirens Kreatinin (mL/detik) = (140-umur) x berat badan (kg) x 50 72 x kreatinin serum (mol/L) Wanita : Klirens Kreatinin (mL/min) = dikalikan (x) 0,85

3

1.1.5 a.

Komplikasi

Komplikasi dari penyakit ginjal kronis antara lain sebagai berikut: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Keseimbangan garam dan air dalam tubuh merupakan fungsi regulasi ginjal. Penurunan filtrasi glomerulus dapat mengakibatkan retensi garam dan air yang meningkatkan volume intravaskular sehingga menyebabkan hipertensi. Apabila hal ini terjadi terus menerus akan menyebabkan edema paru akibat dari overload cairan dalam tubuh (Dipiro et al, 2008). Pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) yang stabil, kandungan air dan ion natrium total dalam tubuh sedikit meningkat, hiperkalemia sebagai akibat primer dari gangguan pengeluaran ion kalium ke dalam urin atau terjadi hipokalemia dikarenakan adanya gangguan pada pengambilan kalium dari makanan, penggunaan diuretika atau hilangnya kalium melalui saluran pencernaan. Disamping itu terdapat pula asidosis metabolic gangguan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan pH dan kadar HCO3- plasma. Ekskresi NH4+ merupakan mekanisme utama ginjal dalam usahanya mengeluarkan H+ dan pembentukan kembali HCO3-. Pada penyakit ginjal, ekskresi NH4+ total berkurang akibat berkurangnya jumlah nefron. Salah satu gejala yang sudah jelas akibat asidosis adalah pernapasan Kussmaul yaitu pernapasan yang berat dan dalam, yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan ekskresi karbondioksida sehingga dapat mengurangi beban asidosisnya (Wilson and Price, 1995). Sebabkan pula hipokalsemi karena terjadi gangguan dalam mensintesis 1,25dihidroksivitamin D, peningkatan kadar asam urat serum dan pembentukan kristalkristal yang menyumbat ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal akut atau kronik, hipomagnesia karena penurunan, asupan magnesium akibat anoreksia, berkurangnya pemasukan protein dan penurunan absorpsi dari saluran cerna (Wilson and Price, 1995). b. Kelainan Kardiovaskular dan Paru Retensi cairan pada uremia sering menyebabkan gagal jantung kongestif dan atau edema paru. Hipertensi ialah komplikasi paling umum pada tahap akhir penyakit ginjal (Kasper, 2005). Kombinasi hipertensi, anemia dan kelebihan beban

4

sirkulasi akibat retensi natrium dan air semuanya berperan dalam meningginya kecenderungan kasus gagal jantung kongestif (Wilson and Price, 1995). c. Kelainan Hematologik Penurunan massa nefron menyebabkan penurunan ginjal dalam memproduksi erythropoietin (EPO), penyebab utama anemia pada pasien CKD. Keadaan anemia pada pada pasien CKD menyebabkan penurunan supply oksigen, sehingga terjadi peningkatan cardiac output dan left ventricular hypertrophy (LVH). Hal ini meningkatkan resiko perkembangan penyakit kardiovaskuler (Dipiro et al, 2008). Anemia normositik dan normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Biasanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai derajat azotemia. Faktor kedua yang ikut berperan dalam anemia adalah masa hidup sel-sel darah merah pada pasien penyakit ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup sel-sel darah merah normal. Disamping defisiensi eritropoiesis dan kecenderungan hemolitik, maka kehilangan darah melalui saluran cerna juga dapat menyebabkan anemia. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan anemia antara lain kehilangan darah, defisiensi besi dan asam folat. (Wilson and Price, 1995) d. Kelainan Gastrointestinal Anoreksia, mual dan muntah merupakan gejala yang sering ditemukan pada uremia dan seringkali menjadi gejala-gejala awal keadaaan ini. Disamping itu, dapat terbentuk tukak pada mukosa lambung dan usus besar dan kecil dan dapat menyebabkan pendarahan yang cukup berat. Akibat dari pendarahan ini sangat serius karena penurunan tekanan darah akan semakin menurunkan GFR. Sedangkan darah yang dicerna akan menyebabkan peningkatan yang tajam dari kadar BUN (Wilson and Price, 1995). e. Gangguan Endokrin-Metabolik Pada penyakit ginjal, terdapat gangguan pada fungsi paratiroid, toleransi glukosa dan metabolisme insulin. Demikian pula pada metabolisme lemak, kalori protein serta kelainan nutrisional lain dari uremia. Fungsi kelenjar hipofisis dan adrenal relatif normal, namun terjadi ketidakabnormalan kadar kortisol, aldosteron, hormon pertumbuhan dan tiroksin yang ada pada sirkulasi (Kasper, 2005).

5

f.

Kelainan Dermatologi Kelainan dermatologi seperti pucat (akibat anemia), ekimosis dan hematom (akibat hemostasis yang kurang baik), pruritus dan ekskoriasi (akibat endapan kalsium dan hiperparatiroidisme sekunder), turgor kulit yang jelek dan membran mukosa yang kering (akibat dehidrasi) (Brenner and Lazarus, 1995).

1.1.6

Penatalaksanaan Terapi

Penatalaksanaan terapi penyakit ginjal kronik meliputi: 1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, yang dilakukan sebelum terjadi penurunan LFG. 2) Pengendalian keseimbangan air dan garam Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine yaitu 24 jam ditambah 500 ml. Diet normal mengandung rata-rata 50 mEq. Furosemid dosis tinggi masih dapat digunakan pada awal penyakit ginjal kronik, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi bermanfaat dan, pada obstruksi merupakan kontraindikasi (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2008). 3) Diet rendah protein dan tinggi kalori Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluha ual, menurunkan BUN dan akan memperbaiki gejala. Selain diet rendah protein akan menghambat pogesivitas penurunan faal ginjal (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2008). 4) Pengelolaan hipertensi Target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan untuk menghambat laju progesivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB diharapkan akan menghambat progesivitas penyakit ginjal kronik. Pemantauan faal ginjal secara serial perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE dan ARB (Pedoman Dianosis dan Terapi, 2008). 5) Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal yang disebabkan oleh hiperfiltrasi glomerulus, yaitu dengan pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 6 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Terapi farmakologis seperti penggunaan

6

antihipertensi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. 6) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler, misal pengendalian hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. 7) Pencegahan dan terapi komplikasi, misalnya anemia, osteodistrofi renal akibat hiperfosfatemia, dan lain-lain. 8) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo, dkk., 2006). 1.2 Tinjauan Tentang Udema Paru 1.2.1 DefinisiUdema paru akut termasuk serangan tiba-tiba pada saluran respirasi yang berbahaya, berhubungan dengan akumulasi dari cairan pada interstitium paru yang berlangsung selama beberapa menit atau jam (Heandley, 2007).

1.2.2

Patofiologi Ketidakseimbangan pada starlin forces adalah kunci dari akumulasi cairan pada

interstitium dan alveolus. Terdapat tiga mekanisme pemberian respons untuk menjaga interstitium dan alveolus tetap kering, yaitu tekanan onkotik plasma (25mmHg) lebih besar dari tekanan kapiler paru (7-12 mmHg), jaringan penyambung dan barier selular relatif impermiabel terhadap protein plasma, extensive lymphatic system (Sovari, et all.,2008). Jika mekanisme normal untuk menjaga paru tetap kering mengalami gangguan, maka paru akan mengalami kelebihan cairan, edema cenderung terakumulasi malalui rangkaian tahap yang dapat diprediksi. Proses ini terbagi menjadi tiga tahap (Sovari, et all.,2008) : 1. Transfer cairan meningkat pada interstitium paru, karena aliran limfatk juga menngkat, tidak diikuti dengan peningkatan volume interstitial.

7

2

Kapasitas dari imfatik tidak mencukupi untuk mengeringkan kelabihan cairan dan cairan mulai terakumulasi di ruang interstitium yang mengeliligi bronkiolus dan pembuluh darah paru

3

Cairan bertambah banyak, meningkatkan tekanan sehingga cairan mengisi rongga interstitial mengelilingi alveoli dan akhirnya mengganggu tight junctions pada membran alveol. Penembahan cairan pertama pada perifer dari membran kapiler alveoli dan akhirnya menggenangi alveoli.

3.1.1

Penatalaksanaan Terapi

Penatalaksanaan terapi edema paru terdiri dari terapi penyakit dasar dan terapi suportif (Alsagaff, dkk., 2005): 1. Terapi penyakit dasar Merupakan faktor yang sangat penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya. Terapi ideal untuk edema permeabilitas adalah agen yang dapat memperbaiki permeabilitas vaskular abnormal, namun sampai saat ini belum ada obat tersebut. 2. Terapi suportif Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan smpai penyebabnya diketahui maka pemberian terapi suportif sangat penting. Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar seperti pertukaran gas, perfusi organ dan metabolisme aerob. Pemberian oksigen Oksiegen diberikan dengan aliran tinggi, sebaiknya dengan masker dengan sasaran PaO2 minimal 60mmHg sepanjang PaCO2 dalam batas normal. Jika upaya ini tidak mampu mempertahankan PaO2 > 60mmHg atau terjadi retensi CO2 maka diperlukan intubasi endotrakeal tube dengan ventilator mekanik. Keseimbangan cairan dan nutrisi Hematokrit Hemoglobin adekuat harus dipertahankan yaitu hematokrit sekitar 30-35%. Bila hematokrit turun 70 %, Mycoplasma pneumoniae sekitar 10-20% kasus. Penyakit pneumonia diperberat dengan munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit), ditemukannya organisme-organisme baru (seperti Legionella) yang menyebabkan pneumonia, serta bertambahnya pasien immunocompromise seperti pada pasien penyakit HIV-AIDS ( Dipiro, 2008). Pneumonia adalah suatu infeksi pada alveoli, distal airways, dan interstitium pada paru (Kasper, et all., 2005). Berikut terdapat lima klasifikasi dari pneumonia community-acquired, aspiration, hospital-acquired,ventilator-associated, and health careassociated (Wells, et all., 2008). 3.2.2 Etiologi Tabel 2. Bakteri patogen yang biasa menginfeksi berdasarkan tipe dari pneumonia (Well, et all., 2008)

9

3.2.3

Patofisiologi Pneumonia umumnya sering disebabkan oleh bakteri gram positif streptococci

dan staphylococci, dan bakteri gram negatif yang secara normal mendiami saluran cerna (enterics), tanah dan air (nonenterics) (Dipiro,2008). Patogen prominen yang paling sering menyebabkan pneumonia pada orang dewasa sehat adalah S. Pneumoniae ( pneumococcus ) dan M. Pneumoniae. Sedangkan pada anak, pneumonia disebabkan oleh microorganisme yang memiliki range lebih luas, tidak hanya bakteri, bisa juga disebabkan oleh virus, seperti RSV, parainfluenza, dan adenovirus. M. Pneumoniae merupakan patogen yang paling penting pada anak dewasa (Dipiro, 2008 ). 3.2.4 Gejala Klinis Tanda yang mungkin ada adalah suhu 390 C, dispnea : inspiratory effort ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena (Setiawati, dkk., 2008). Tabel 3. Tabel manifestasi klinis pneumonia (Dipiro, 2008)

10

3.2.5

Penatalaksanaan Terapi Pengobatan pneumonia terdiri atas pemberian antibiotik dan pengobatan

suportif. Yang harus diperhatikan pertama kali pada pasien pneumonia adalah evaluasi terhadap fungsi pernafasan dan untuk menentukan adanya penyakit di sistemik, seperti dehidrasi atau sepsis yang berakibat kolaps pada sirkulasi. Perawatan suportif pada pasien pneumonia termasuk oksigen bila terjadi hipoksia, bronkodilator ketika terjadi bronkospasme, serta pengeluran cairan bila ada. Terapi pelengkap antara lain cairan , nutrisi, serta pengontrolan demam. Dehidrasi dapat tejadi karena demam, intake makanan kurang, adanya mual muntah. Terapi awal pneumonia bakterial diberikan secara empiris, dengan penggunaan antibiotik spektrum luas sebelum spesifik patogen penyebab diketahui (DiPiro,et al. 2008; Soedarsono, 2004). Tabel 4. Terapi Antibiotik Empirik Pasien Pneumonia Dewasa (American Thoracic Society (ATS), 2001; PDPI, 2006)Rawat Jalan Tanpa faktor modifikasi: - Golongan -laktam, atau - -laktam + anti -laktamase Dengan faktor modifikasi: - Golongan -laktam + anti -laktamase, atau - Fluorokuinolon (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin) Jika dicurigai pneumonia atipik: - Makrolid baru (roksitromisin, klaritomisin, azitromisin) Tanpa faktor modifikasi: - Golongan -laktam atau -laktam + anti -laktamase intravena (iv), atau - Sefalosporin generasi ke-2, generasi ke-3 iv, atau - Fluorokuinolon iv Dengan faktor modifikasi: - Sefalosporin generasi ke-2, generasi ke-3 iv, atau - Fluorokuinolon iv Jika dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas: - Sefalosporin generasi ke-3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv Dengan faktor modifikasi: - Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik: - Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv

Rawat Inap

Rawat Intensif

11

Tabel 5. Tabel dosis antibiotik untuk terapi pneumonia (Dipiro, 2008)

12

BAB II ASUHAN KEFARMASIAN 1.1 Data Pasien 1.Identitas Pasien - Nama - Alamat - Umur/BB/PB - Ruang 2. MRS 3. Keluhan MRS 4. Diagnosa 5. KRS 6. Riwayat Penyakit Hipertensi CKD sejak tahun 2006 : captopril, valsartan, sohobion :: Ny. N : Surabaya : 66 tahun / 58kg : B2 : 17 Juni 2010 : Pasien sesak nafas : CKD (chronic kidney disease) + HD (hemodialisa) + ALO (acute lung odema) + suspect pneumonia : 22 Juni 2010 :

7. Riwayat Obat 8. Riwayat alergi 1.2 Anamnesa

Pasien mengalami sesak nafas 1 jam sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya pasien merasa pusing, demam, pinggang sakit dan sempat pingsan

13

1.3 Catatan Perkembangan Pasien Tanggal17/6

Problem/Kejadian/Tindakan KlinisiPasien mengalami sesak nafas, lemah, merasa badannya demam, bengkak pada kaki Diberikan O2 Pasien dikonsulkan ke dokter paru, hasilnya pasien dicurigai menderita pneumonia Pasien diberikan terapi : Furosemid iv 3x1 ampul Ranitidin iv 2x1 ampul Ceftriaxone iv 2x1g Ciprofloxacin infus 2x1 Nebul cobivent 3x1 Neurodex 1x1 tablet Pasien masih mengalami sesak nafas, nyeri pada uluhati, dan pusing Kaki masih bengkak Kondisi pasien masih lemah Pasien menjalani HD Hb pasien turun Diberikan tambahan terapi: Vifferon 1x1 tablet Ketosteril 3x2 tablet Pasien masih mengalami sesak nafas, meski sudah agak berkurang, kaki masih bengkak, amsih mera pusing dan kondisi pasien masih lemah Terapi tetap Kondisi pasien mulai membaik, sesak sudah tidak dirasakan, namun pasien masih merasa pusing Bengkak kaki bekurang Pasien mengeluh pusing sejak kemarin (20/6 10) Diberikan terapi mertigo 2x1 tablet Kondisi pasien mulai membaik, O2 dilepas Pasien menjalani hemodialisa (HD) Pasien meminta pulang setelah HD

18/6

19/6

21/6

22/6

14

Profil Pengobatan Pasien

No. DMK : 1102-xxxx MRS : 17/06/2010 KRS : 22/06/ 2010 Inisial Pasien : Ny. N Umur/BB/Tinggi : 66 tahun/ 58kg /Alamat : Surabaya Riwayat Sosial : umum

Keluhan Utama : sesak nafas Keluhan Tambahan : pusing, demam, kaki bengkak Diagnosis : CKD + HD + ALO + susp. pneumonia Riwayat Penyakit : HT, CKD Riwayat Obat : captopril, valsartan

Kepatuhan : + Alergi : Merokok/Alkohol : Obat Tradisional : jamu OTC : sohobion

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS No Nama Obat O2 Lasix (furosemid) Ranitidin Ceftriaxone Ciprofloxacin Combivent Neurodex Vifferon Asam folat Ketosteril Mertigo HD Rute nc Iv iv iv iv nebul po po po po po Regimen Dosis 17/6 + + (2 amp) + + + + + Tanggal Pemberian Obat (2010) 18/6 19/6 20/6 21/6 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 22/6

3x1amp 2x1amp 2x1g 2x1 infus 3x1 1x1 tab 1x1tab 1x1tab 3x2tab 2x1

+ + + + + + + k/p +

15

Captopril Valsartan

po po

2x1 1x1

+ +

+ +

+ +

+ +

+ +

+ +

DATA KLINIK Data Klinik TD (mm/Hg) RR (x/menit) Nadi (x/menit) Suhu tubuh (oC) GCS Sesak Lemah Nyeri uluhati Pusing Demam Bengkak Komentar : Tekanan darah pasien tinggi, karena psien memang mempunyai riwayat penyakit hipertensi. Pasien mengeluh sesak sejak awal MRS, hal ini dapat disebabkan karena odema paru yang diderita, atau karena pneumonia yang kemungkinan diderita oleh pasien. Pasien juga menderita udema pada kaki, karena pasien menderita CKD Normal < 130/80 20-30 80-100 36-37 456 17/6 188/122 26 126 36,2 456 + + 18/6 140/90 26 90 36,0 + + + + + kaki (+) Tanggal (2010) 19/6 20/6 160/80 180/110 20 24 90 85 37,5 37,5 + + + + kaki (+)

21/6 150/100 90 37,5

22/6 140/80 90 37,0

+ kaki (+) kaki (-)

+ Kaki (+)

kaki (-)

16

DATA LAB Data Lab Hb (g/dl) Hematokrit (%) Leukosit ( /L) Normal Tanggal (2010) 17/6 18 22/6 8,4 7,6 27,0 21,6 8400 12900 321.0000 223.000 3,0 51 44 84 45,2 7,1 6,7 53 179 2,35 144 3,8 106 7,5 34,7 56,4 2-3 + 4-6 >> 3,3 Komentar: Pasien pada saat masuk kadar Hbnya rendah disebabkan karena pada pasien PGK produksi eritropoetin menurun, pasien mengalami anemia. Hct turun dikarenakan pasien mengalami anemia sehingga komposisi sel darah merah dalam darah turun. Kadar ureum meningkat karena ginjal sebagai organ pengeleminasi urea dari tubuh mengalami gangguan fungsi. Peningkatan kreatinin serum lebih dari 2x lipat mengindikasikan penurunan fungsi ginjal. Pasien mengalami proteinuria dikarenakan ada gangguan pada filtrasi glomerulus sehingga protein loss ke dalam urin.

11,0 16,5 36 50 3500 10000 Trombosit ( /L) 150.000 300.000 Albumin (g/dl) 3,5 5,5 SGOT 11 41 SGPT 10 41 GDS (mg/dl)