chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

15

Click here to load reader

Upload: vertilia-desy

Post on 30-Apr-2015

1.762 views

Category:

Health & Medicine


5 download

DESCRIPTION

CIDP

TRANSCRIPT

Page 1: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

Chronic Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) adalah suatu gangguan neurologis yang dikarakteristik oleh kelemahan progresif dan gangguan fungsi sensorik pada tungkai dan lengan. Gangguan ini kadang-kadang disebut chronic relapsing polyneuropathy, disebabkan oleh kerusakan selubung mielin (selubung lemak yang membungkus dan melindungi sekeliling serat nervus) nervus perifer.

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) adalah suatu gangguan neurologis yang dikarakteristik oleh kelemahan progresif dan gangguan fungsi sensorik pada tungkai dan lengan. Gangguan ini kadang-kadang disebut chronic relapsing polyneuropathy, disebabkan oleh kerusakan selubung mielin (selubung lemak yang membungkus dan melindungi sekeliling serat nervus) nervus perifer. Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada setiap umur dan jenis kelamin, CIDP lebih sering terjadi pada dewasa muda, dan pria lebih sering dibandingkan wanita. Gejala-gejala yang sering terlihat termasuk rasa geli atau mati rasa (dimulai pada jari-jari kaki dan tangan), kelemahan kedua lengan dan tungkai, hilangnya refleks tendon dalam (areflexia), fatigue, dan sensasi abnormal.1 Gejala-gejala, penanganan dan prognosis sangat mirip dengan tipe penyakit lain yang dikenal sebagai guillain-barr-syndrome. CIDP awalnya dikenal sebagai "chronic Guillain-Barré syndrome." Guillain-Barré syndrome adalah suatu gangguan akut yang gejala-gejalanya cepat terlihat dan lebih jelas. Walaupun keduanya mirip, CIDP dan Guillain-Barré merupakan dua kondisi yang berbeda. CIDP biasa juga dikenal sebagai chronic relapsing polyneuropathy.

Demielinisasi nervus perifer menyebabkan kelemahan kedua tungkai dan lengan yang berkembang secara progresif dan lebih berat sepanjang tahun. Kemampuan tungkai dan lengan merasakan impuls sensorik seperti sentuhan, nyeri dan temperatur juga terganggu. Khasnya pertama kali dirasakan sebagai tingling (rasa geli) atau tumpul pada jari-jari kaki dan tangan. Gejala-gejala keduanya menyebar dan lebih berat sepanjang tahun.

Epidemologi

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy adalah gangguan yang sering terjadi dan meskipun kadang terdiagnosa, dan merupakan penyakit yang potensial dapat ditangani, dengan prevalensi kira-kira 0.5 per 100,000 kasus. Persamaan klinik dengan varian akut inflammatory demyelinating polyneuropathy (Guillain–Barré syndrome) memungkinkan terapi immunosuppresif bermanfaat dalam penanganan pasien, sehingga diduga patogenesis gangguan ini berupa immune-mediated. Saat Austin, dkk serta Dyck dkk., pertama kali mendeskripsikan

Page 2: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

pasien dengan corticosteroid-responsive chronic polyneuropathy, spektrum presentasi klinik dan penyokong diagnostik terus berkembang, dan termasuk pilihan terapi. Penting membedakan gangguan ini dari chronic sensorimotor polyneuropathies yang bersamaan dengan diabetes, alkoholisme, atau malnutrisi.

Etiologi

CIDP adalah suatu gangguan sistem imun. Khususnya, sistem imun tidak dapat mengenal sel-sel myelin nervus perifer dan menganggapnya sebagai agent asing. Kerusakan selubung terjadi saat sistem imun mencoba untuk membersihkan tubuh dari agent asing. Tidak ada fakta yang menyokong basis genetik dari penyakit ini, seperti riwayat keluarga CIDP atau yang lain, gangguan yang sama. CIDP tidak diturunkan.

Seperti Guillain-Barré syndrome, sangat kuat dugaan bahwa CIDP dipicu oleh infeksi virus. Sebagai contoh, sel-sel imun dapat rusak oleh infeksi virus, seperti yang terjadi pada acquired-immunodeficiency-syndrome (AIDS) menyebabkan malfungsi sistem imun. Apakah infeksi virus atau mikroba yang secara langsung menyebabkan CIDP masih belum jelas.

CIDP berbeda dari Guillain-Barré syndrome pada infeksi virus, dimana tidak terjadi antara beberapa bulan saat gejala pertama terlihat. Pada Guillain-Barré syndrome, infeksi virus atau bakteri, khas mendahului timbulnya gejala-gejala.6

Patogenesis

Normalnya, terdapat keseimbangan yang baik antara jaringan sel-sel immunocompetent dan faktor-faktor yang dapat larut yang diregulasi secara teliti oleh sistem imun didalam kompartemen lokal nervus perifer, yang mendukung keberadaannya. Proteksi melawan respon-respon imun terhadap autoantigen adalah kunci untuk pemeliharaan self-tolerance. Pada chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, self-tolerance mengalami kerusakan, dan autoreactive T cells dan B cells, yang menjadi bagian normal imunitas, mengalami aktivasi, menyebabkan kerusakan organ spesifik yang menjadi ciri khas penyakit-penyakit autoimun. Konsep molekuler yang menirunya mempertahankan hubungan yang sesuai dengan gangguan dalam bentuk toleransi yang berhubungan dengan autoimmune neuropathies. Cara peniriuan molekuler merujuk pada proses dimana host memicu respon imun terhadap faktor penghasut, paling sering organisme penyebab infeksi yang memberikan epitop-epitop dengan jaringan host yang terkena. Akan tetapi, pada chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, target-target spesifik seperti respon yang telah teridentifikasi dengan baik hanya pada situasi jarang.

Walaupun chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy jarang terjadi pada keadaan kanker, suatu hubungan dengan melanoma memberikan rasa ingin tahu yang besar, ditemukan

Page 3: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

bahwa melanoma dan Schwann cells berasal dari jaringan puncak neural dan gabungan antigen. Beberapa kasus chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy telah dilaporkan berhubungan dengan melanoma; beberapa epitop karbohidrat tergabung dalam selubung mielin dan tumor yang terlibat sebagai antigen target. Meski demikian, hipotesis peniruan molecular tidak dapat menjelaskan keseluruhan spektrum immunopatologik dan laboratorium kompleks gangguan ini. Berdasarkan data terbaru, chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy terlihat menjadi suatu organ spesifik, immune-mediated disorder muncul dari interaksi sinergistik cell-mediated dan respon imunitas humoral yang secara langsung melawan antigen nervus perifer yang khas.

Gambar. Immunopathogenesis dari Chronic Inflammatory Demyelinating Neuropathy

Keterangan gambar. Suatu ilustrasi skematik prinsip dasar respon imun seluler dan humoral yang memperlihatkan bahwa autoreactive T cells mengenal suatu autoantigen spesifik dalam konteks kompleks immunokompatibilitas klas II pada permukaan antigen-presenting cells (makrofag) pada kompartemen imun sistemik. Infeksi dapat memicu kejadian ini melalui peniru molekuler, potongan melintang pada epitop terbagi antara agent mikrobial dan antigen nervus. Limfosit T yang teraktivasi ini dapat melewati barier pembuluh darah nervus dalam proses yang melibatkan molekul-molekul adhesi seluler, matriks metaloproteinase dan kemokin. Diantara sistem saraf perifer, sel-sel T mengaktivasi makrofag yang meningkatkan aktifitas fagositik, produksi sitokin dan pelepasan mediator toksik, termasuk nitric oxida, reactive oxygen intermediates, matrix metalloproteinase, dan sitokin proinflamasi, termasuk tumor necrosis factor-a dan interferon g. Autoantibodi melewati barier pembuluh darah saraf atau secara lokal dihasilkan dari keterlibatan sel-sel plasma menyebabkan kerusakan demielinasi dan aksonal. Autoantibodi dapat

Page 4: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

menyebabkan demyelinisasi melalui sitotoksisitas seluler dependent-antibody, secara potensial memblokade epitop yang secara fungsional sesuai dengan konduksi saraf, dan mengaktivasi sistem komplemen melalui pathway klasik, menghasilkan mediator-mediator proinflamasi dan membran lisis- menyerang kompleks C5b-9. Terminasi respon inflamasi terjadi melalui induksi apoptosis sel T dan pelepasan sitokin antiinflamasi, termasuk interleukin -10 dan mentransformasi faktor pertumbuhan-b. Selubung mielin (sisipan) tersusun dari berbagai protein, seperti myelin protein zero, yang tersusun lebih dari 50 % dari total protein membran pada mielin sistem saraf perifer manusia; myelin protein 2; myelin basic protein; myelin-associated glycoprotein; connexin 32; dan gangliosida dan dihubungkan dengan glikolipid. Molekul-molekul ini telah teridentifikasi sebagai antigen target untuk respon-respon antibodi dengan berbagai frekuensi pada pasien dengan penyakit ini.

Presentasi Klinik

Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy Klasik

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, dikarakteristik oleh kelemahan simetris pada otot-otot proksimal dan distal yang mengalami peningkatan progresifitas lebih dari dua bulan (keadaan kondisi ini terpisah dari Guillain–Barré syndrome, penyakit ini self-limited). Kondisi-kondisi yang ada berhubungan dengan gangguan sensasi, tidak adanya atau berkurangnya refleks-refleks tendon, dan elevasi level protein cairan serebrospinal, pada konduksi-saraf terdapat demielinasi, dan tanda-tanda demielinasi pada spesimen biopsi. Dalam perjalanannya, penyakit dapat mengalami relaps atau kronik dan progresif, terbentuk paling sering pada dewasa muda.

Neuropathy Demielinasi, yang berbeda dari Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy Klasik

Analisis klinik yang sangat teliti mendefinisikan bentuk lain dari acquired demyelinating polyneuropathy, dengan penyebab yang diduga sebagai autoimun atau dysimmune yang berbeda dari chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, baik dalam presentasi klinik maupun respon terhadap penanganan, namun tidak jelas apakan kondisi ini adalah varian chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy atau penyakit yang berbeda, diantaranya.

Distal Acquired Demyelinating Symmetric Neuropathy. Telah diduga bahwa distal acquired demyelinating symmetric neuropathy adalah acquired demyelinating polyneuropathy yang berbeda. Gambaran-gambaran dari kerusakan termasuk peningkatan prevalensi pada pria dan mereka yang berumur lebih dari 50 tahun, penonjolan sensory loss distal, kelemahan distal ringan (berbeda dengan defisit motor yang lebih general pada chronic inflammatory

Page 5: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

demyelinating polyneuropathy klasik), dan langkah goyah. IgM paraproteinemia ditemukan pada hampir 23 pasien dengan kondisi ini. IgM-associated distal demyelinating symmetric neuropathy berespon kurang baik terhadap terapi immunosuppressive.

Multifocal Motor Neuropathy. Penting untuk membedakan multifocal motor neuropathy dari penyakit motor neuron. Multifocal motor neuropathy dikarakteristik oleh kelemahan asimetrik tanpa sensory loss, seringkali dimulai pada otot lengan distal. Blokade partial motor-conduction pada kedua sisi adalah ciri khas gambaran electrophysiologic, walaupun tidak semua pasien mengalaminya. Sampai saat ini dilakukan deteksi antiganglioside antibody sirkulasi. Level protein cairan cerebrospinal dan jumlah sel biasanya normal. Meskipun penanganan corticosteroids dan plasmapheresis tidak efektif, multifocal motor neuropathy dapat diperbaiki dengan immune globulin atau terapi cyclophosphamide.

Multifocal Acquired Demyelinating Sensory dan Motor Neuropathy (Lewis–Sumner Syndrome). Multifocal acquired demyelinating sensory and motor neuropathy (the Lewis–Sumner syndrome) memiliki kemiripan dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (misalnya, defisit motor dan sensory, peningkatan kontent protein, dan pada studi konduksi motor-nerve dan sensory-nerve memberikan hasil abnormal) dan multifocal motor neuropathy (misalnya, presentasi gejala-gejala yang asimetrik, sering dimulai dari lengan dan tangan, dan blokade konduksi). Beberapa psaien dengan kondisi ini memiliki antibodi terhadap gangliosida, dan pasien-pasien ini berespon baik terhadap penanganan intravenous immune globulin atau cyclophosphamide.

Neuropathy-neuropathy lain yang mirip dengan Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy.

Beberapa bentuk lain dari acquired dan chronic polyneuropathy memiliki gambaran yang sama dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy dan telah diklasifikasikan menjadi sub kelompok. Bentuk-bentuk ini termasuk axonal chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, pure sensory chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, dan pure motor dan axonal chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (yang juga disebut multifocal acquired motor axonopathy). Hanya sedikit pasien diantara subkelompok yang telah dilaporkan. Pasien-pasien ini dengan peripheral-nerve demyelination dan respon complete atau partial terhadap immunoterapi, diduga gangguan ini sebagai bagian dari famili chronic acquired demyelinating polyneuropathies yang besar. Tergantung pada keseluruhan gambaran yang ada, beberapa kondisi pasien juga sesuai dengan definisi kemungkinan, mungkin, atau pasti sebagai chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Chronic idiopathic axonal polyneuropathy adalah suatu kelompok heterogeneous dari progressing sensorimotor neuropathies lambat dengan atan tanpa nyeri, menyebabkan kecacatan ringan sampai sedang.

Page 6: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

Pendekatan Diagnosis

Kriteria diagnositik chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) memiliki sensitifitas dan spesifitas yang berubah-ubah. Kriteri yang baru saja dipublikasikan oleh Koski et al. [2009] mengkombinasikan komponen klinik dan elektrofisiologik, salah saktunya cukup untuk menegakkan diagnosis.

Bagian penting dalam diagnosis CIDP adalah pemeriksaan deteksi kelemahan otot dengan pemeriksaan neurologik. Satu tes neurologik yang sesuai adalah tes kecepatan konduksi saraf. Pada tes ini, sebuah lempeng dilekatkan pada permukaan kulit menutupi otot target yang akan distimulasi. Arus listrik yang sangat ringan dialirkan untuk menstimulasi otot. Hasil pengukuran menunjukkan kecepatan konduksi nervus yang dikalkulasi sebagai waktu yang dibutuhkan impuls berjalan antara jarak elektroda.

Studi standar konduksi saraf dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan. Konduksi nervus motor diuji pada nervus median dan ulnar dari siku sampai pergelangan, dan pada nervus peroneal dan tibial dari lutut sampai pergelangan kaki. Respon-respon sensorik dites pada nervus median, ulnar, radial dan sural. Untuk polyneuropathy dapat diklasifikasikan menjadi demyelinasi dan memenuhi sekurang-kurangnya 3 dari 4 kriteria: (1) kecepatan konduksi kurang dari 90% dari limit terendah dari normal (<44 m/s pada lengan dan 35 m/s pada tungkai) jika amplitudo melebihi 50% dari batas lebih rendah dari normal (5 mV pada nervus median, 4 mV pada ulnar, 1 mV pada peroneal, dan 2 mV pada nervus tibial); kurang dari 80% dari batas lebih rendah dari normal (39 m/s pada lengan dan 31 m/s pada tungkai) jika amplitudo kurang dari 50% dari batas lebih rendah dari normal (2 atau lebih nervus); (2) distal latency melebihi 115% (4.5 milidetik dalam lengan dan 6.4 milidetik pada tungkai) dari batas atas dari normal jika amplitudo normal; melebihi 125% (5.4 milidetik pada lengan dan 7.7 milidetik pada tungkai) jika amplitudo kurang dari batas lebih rendah dari normal (2 atau lebih nervus); (3) amplituo proksimal sampai distal ratio kurang dari 0.7 (1 atau lebih nervus, kecuali nervus tibial); dan (4) F-wave latency melebihi 125% dari batas atas dari normal .(36 milidetik pada median, 38 milidetik pada ulnar, dan 63 milidetik pada tibal dan peroneal) atau tanpa adanya gelombang-F pada satu atau lebih nervus.

Pada penyakit-penyakit demielinisasi seperti CIDP, nervus tidak mampu untuk mentransmisikan impuls listrik secepat kecepatan normal saraf yang masih bermielinasi. Dengan demikian, nervus yang rusak memperlihatkan kecepatan konduksi lebih besar daripada yang diperlihatkan oleh kecepatan konduksi mereka yang tidak dipengaruhi.

Electromyography (EMG) digunakan untuk mengukur respon otot terhadap stimulasi elektrik. Pada EMG, suatu elektroda diantara suatu jarum didorong melalui kulit kedalam otot; beberapa elektroda dibutuhkan untuk dimasukkan melalui otot untuk akurasi pengukuran perilaku otot. Stimulasi otot menyebabkan pola visual atau audio. Pola panjang gelombang membawa informasi mengenai respon otot. Pola khas panjang gelombang dihasilkan oleh otot yang sehat,

Page 7: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

yang disebut aksi potensial, yang dapat dibandingkan dengan otot dari seseorang yang diduga mengalami CIDP. Untuk otot yang mengalami kerusakan nervus, aksi potensial panjang gelombang lebih kecil dibandingkan dengan otot normal.

Electrocardiogram dapat digunakan untuk mencatat aktifitas elektrik pada jantung saat diduga terjadi paralisis otot jantung. Kerusakan nervus akan merubah pola normal detak jantung.9

Pemeriksaan cairan cerebrospinal yang diambil via punksi lumbal (juga dikenal sebagai spinal tap) dapat mendeteksi level protein yang lebih dari normal tanpa adanya peningkatan jumlah white blood cells (WBC). Peningkatan WBCs terjadi bila ada infeksi mikroba.

Gejala yang muncul:

Gejala CIDP seperti banyak kondisi neurologis lainnya akan bervariasi dari orang ke orang.

Gejala khas meliputi:

Mati rasa

Kesemutan

Kelemahan otot

Atrofi

Sakit

Kesulitan berjalan

Kelelahan

Pusing

Masalah kandung kemih atau usus

Masalah Jantung

Differensial diagnosis

Perlu dilakukan berbagai tes laboratorium yang lebih luas diperlukan pada beberapa pasien untuk meneliti berbagai penyebab lain dari demyelinisasi polineuropathy, demikian juga penyakit yang bersamaan dengan penyakit ini. Tabel berikut ini menyajikan differensial diagnosis penyakit demielinisasi.

Penanganan

Page 8: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

Dalam penanganan harus melibatkan ahli neurologi, ahli immunologi dan ahli terapi fisik. Kelompok pendukung berguna dalam membantu penanganan.

Penanganan CIDP dan Guillain-Barré syndrome sama. Penggunaan kortikosteroid seperti prednisone, yang akan mengurangi respon sistem imun, dapat mengurangi jumlah demielinasi yang terjadi.

First line penanganan untuk CIDP termasuk kortikosteroid (mis. Prednisone), Plasmapheresis (plasma exchange) dan intravenous Immunoglobulin (IVIg) yang dapat diberikan tunggal atau kombinasi dengan obat immunosuppresif lain.

Prosedur medis yang dikenal sebagai plasmapheresis, atau plasma exchange, dapat menjadi pilihan penanganan yang lain. Pada plasmapheresis, plasma darah dikeluarkan dari tubuh. Eritrosit diambil dari plasma dan dikembalikan kedalam tubuh dengan plasma yang bebas antibodi atau dengan cairan intravena. Oleh karena plasma darah dikeluarkan dari tubuh pasien CIDP dapat mengandung antibodi terhadap selubung myelin, selanjutnya mengeluarkan antibodi-antibodi ini dapat mengurangi efek dari sistem imun tubuh menyerang sel-sel nervus.

IVIG dan plasmapheresis terbukti bermanfaat dalam percobaan randomized, double-blind, placebo-controlled. Walaupun kurangnya fakta efikasi kortikosteroid yang dilaporkan, kortikosteroid dipertimbangkan sebagai standar terapi karena riwayat penggunaannya yang lama dan efektifitas dalam biaya.

Obat-obat Immunosuppressive seringkali digunakan adalah klas Cytotoxic (kemoterapi), termasuk Rituximab (Rituxan) dengan target sel-B, serta Cyclophosphamide, obat yang mengurangi fungsi sistem imun. Ciclosporin juga telah digunakan pada CIDP tapi dengan frekuensi yang kurang karena masih merupakan pendekatan yang lebih baru. Ciclosporin diperkirakan terikat pada immunocompetent Lymphocytes, khususnya limfosit-T.

Penanganan immunosuppresif non-cytotoxic yang biasa digunakan termasuk Azathioprine (Imuran) dan Mycophenolate mofetil (Cellcept). Anti-thymocyte globulin (ATG), suatu agent immunosuppresif yang secara selektif menghancurkan limfosit T, telah dipelajari untuk digunakan untuk CIDP. Anti-thymocyte globulin adalah fraksi gamma globulin antiserum dari hewan yang telah diimunisasi melawan human thymocytes. Ini merupakan suatu polyclonal antibody.

Prosedur lain yang menghasilkan hasil yang sama yaitu pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG). IVIG secara umum ditujukan untuk penanganan sistem imun yang berhubungan dengan neuropathy. Seperti plasmapheresis, immunoglobulin dapat membantu mengurangi jumlah anti-myelin antibody, dan untuk menekan respon imun. IVIG mengandung antibodi-antibodi yang sehat dari darah yang didonorkan. Antibodi-antibodi ini dapat membantu menetralisir anatibodi rusah yang dapat menyebabkan demielinisasi. Jika pendekatan yang paling standar gagal, bentuk

Page 9: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

alternatif dari terapi immunosuppresif kadang-kadang perlu dipertimbangkan, termasuk obat-obat azathioprine, cyclophosphamide, dan cyclosporine.

Fisioterapi dapat memperbaiki kekuatan, fungsi dan mobilitas otot dan meminimalisasikan penyusutan otot dan tendon serta distorsi sendi-sendi.

1. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi kekakuan akibat imobilitas

2. Latihan untuk mengatasi kebugaran Anda secara keseluruhan dan meningkatkan

toleransi latihan Anda untuk memerangi tingkat kelelahan

3. Tugas fungsional seperti praktik transfer, berdiri dan praktek mobilitas untuk

meningkatkan kemampuan fungsional Anda

4. Saran dan penyediaan alat bantu berjalan tepat seperti tongkat atau kruk untuk

memaksimalkan kemerdekaan sementara menjaga keselamatan

5. Saran mengenai adaptasi rumah yang tepat dan peralatan untuk membuat hidup Anda

lebih mudah di rumah

Pemulihan dan Rehabilitasi

Pemulihan dari CIDP bervariasi dari satu orang ke orang lain. Beberapa orang pulih sempurna tanpa intervensi pengobatan, sedangkan yang lain dapat relaps lagi dan lagi. Oleh karena beberapa orang dapat mengalami kelemahan atau numbness yang permanen, terapi fisik dapat digunakan sebagai bagian dari regimen rehabilitasi.

Prognosis

Prognosis seorang pasien berkisar antara pemulihan sempurna sampai pola ulangan periodik gejala-gejala dan residual kelemahan atau numbness otot.

Seperti pada Multiple Sclerosis, suatu kondisi yang mirip demyelinasi, tidak mungkin diprediksi dengan pasti bagaimana CIDP mempengaruhi seseorang nantinya. Pola relaps dan remisi sangat bervariasi pada tiap-tiap pasien. Periode relaps bisa sangat mengganggu, tapi beberapa pasien dapat mengalami pemulihan signifikan.

Page 10: Chronic inflamatory demyelinating polyneuropathy

Jika terdiagnosa secara dini, inisiasi penanganan dini untuk mencegah nerve-loss direkomendasikan. Akan tetapi, beberapa orang masih meninggalkan gejala-gejala residual numbness, weakness, tremor, fatigue dan gejala-gejala lain yang dapat memicu morbiditas jangka panjang dan membatasi kualitas hidup.

Penting untuk membangun hubungan yang baik dengan dokter, penyedia layanan primer dan spesialis. Oleh karena penyakit yang jarang, beberapa dokter tidak memiliki kesiapan untuk menanganinya. Tiap-tiap kasus CIDP berbeda, dan relaps jika terjadi dapat membawa gejala-gejala dan masalah baru. Oleh karena variabilitas dalam berat dan progresifitas penyakit, dokter-dokter tidak mampu menentukan prognosis pasti. Periode eksperimentasi dengan regimen penanganan berbeda penting untuk menemukan regimen penanganan yang tepat untuk diberikan pada pasien.

Perhatian Khusus

Masalah penting seputar penggunaan IVIG yang akan meningkatkan resiko kerusakan ginjal pada penderita usia tua atau diabetes. Enoxaparin, suatu obat yang dapat diresepkan dapat menurunkan resiko pembekuan darah pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi. Resiko dapat bertambah saat diberikan pada saat yang sama jika enoxaparin-lovenox diberikan pada saat yang sama dengan aspirin atau obat anti inflamasi. Penggunaan kortikosteroid dapat membatasi efisiensi sistem imun, yang dapat meningkatkan resiko infeksi sekunder atau oportunistik. Staf medis perlu memonitor pasien yang menerima penanganan ini untuk timbulnya tanda-tanda komplikasi.

Sumber:

Andrew. Medical Journal Translate Jurnal Kedokteran. Posted 2nd July 2011