chapter ii.pdf penjelasan tentang hiv dan pemeriksaannya

15
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV 2.1.1. Epidemiologi Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial (ILO, 2005). Pada tahun 2008, diseluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV. Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV 96% dari jumlah tersebut berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan daerah dengan prevalens HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang yang hidup dengan HIV. Daerah Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Asia Selatan, merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan India (HTA, 2010). 2.1.2. Definisi Menurut family health internasional, Human Immunodeficiency Virus (HIV) berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang menggunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Infeksi virus ini menurunkan sistem kekebalan tubuh yang menimbulkan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu dan bersifat sindroma yang disebut AIDS (Duarsa, 2005). Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1 dan beberapa kasus di Afrika tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan virus lenti yang menginfeksi sel CD4 + T yang memiliki reseptor dengan afinitas Universitas Sumatera Utara

Upload: isni-nurasiah

Post on 25-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tentang HIV ( Human Immunodeficiency Virus )

TRANSCRIPT

  • 5

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. HIV

    2.1.1. Epidemiologi

    Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat

    bagi pembangunan dan kemajuan sosial (ILO, 2005). Pada tahun 2008, diseluruh

    dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV. Setiap harinya terdapat

    7.400 infeksi baru HIV 96% dari jumlah tersebut berada di negara dengan

    pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan daerah

    dengan prevalens HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang

    yang hidup dengan HIV. Daerah Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Asia

    Selatan, merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah

    penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia

    merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain

    Thailand, Myanmar, Nepal, dan India (HTA, 2010).

    2.1.2. Definisi

    Menurut family health internasional, Human Immunodeficiency Virus

    (HIV) berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini

    adalah retrovirus, yang berarti virus yang menggunakan sel tubuhnya sendiri

    untuk memproduksi kembali dirinya. Infeksi virus ini menurunkan sistem

    kekebalan tubuh yang menimbulkan gejala penyakit infeksi oportunistik atau

    kanker tertentu dan bersifat sindroma yang disebut AIDS (Duarsa, 2005).

    Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1 dan beberapa kasus di Afrika

    tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan

    virus lenti yang menginfeksi sel CD4+

    T yang memiliki reseptor dengan afinitas

    Universitas Sumatera Utara

  • 6

    tinggi untuk HIV, makrofag, dan jenis sel lain (Baratawidjaja and Rengganis,

    2009). HIV-1 dan HIV-2 adalah satu-satunya Lentivirus yang menginfeksi

    manusia (Fauci and Lane, 2008).

    Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan

    genom virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida.

    Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal

    dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam

    envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan envelop luar glikoprotein yang

    mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi protein

    inti dan penunjang (Baratawidjaja and Rengganis, 2009).

    2.1.3. Cara Penularan

    HIV dapat menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air

    mani, cairan vagina, Air Susu Ibu (ASI) dan cairan lain yang mengandung darah

    (family health internasional). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara,

    yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau secret yang infeksius, ibu ke

    anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Zein, 2006).

    Dilihat dari cara penularan, proporsi penularan HIV melalui hubungan

    seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi yaitu

    mencapai 60%. Sedangkan penularan melalui jarum suntik sebesar 30%, dan

    sebagian lainnya tertular melalui ibu dan anak (kehamilan), transfusi darah serta

    melalui pajanan saat bekerja (HTA, 2010).

    Perilaku yang mempunyai resiko tinggi dan sering kali ada hubungannya

    dengan infeksi HIV antara lain hubungan seksual, baik heteroseksual maupun

    homoseksual (Anastasya, 2010), penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang

    yang telah terinfeksi. penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang

    paling dominan dari semua cara penularan (Zein, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7

    Infeksi HIV dapat menular melalui Transfusi darah atau produk darah

    yang terkontaminasi HIV (Mariam, 2010). Lima sampai sepuluh persen dari

    infeksi HIV di dunia ditularkan melalui transfusi dari darah dan produk darah

    terkontaminasi HIV (HTA, 2009). Tetapi, Kejadian ini semakin berkurang karena

    sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor (Siahaan, 2011).

    Penularan HIV melalui jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat

    tindik yang terkontaminasi, biasanya terjadi akibat Penyalahgunaan obat-obat

    terlarang dengan menggunakan pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi

    secara bergantian. Paramedis dapat terinfeksi HIV oleh goresan jarum suntik atau

    alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang

    terkontaminasi dengan virus HIV (Zein, 2006).

    Menurut Jawetz (2001) dalam Mariam (2010), Penularan dari ibu ke bayi

    bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses persalinan, atau melalui Air Susu

    Ibu (ASI). Sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran.

    Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di

    Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6

    bulan pertama setelah kelahiran.

    2.1.4. Gejala Klinis

    Gejala klinis infeksi HIV ini tergantung periodenya. Pada fase akut 50-

    70% menderitas sindroma akut HIV yang berupa :

    Universitas Sumatera Utara

  • 8

    Tabel 2.1. Gejala Klinis Sindroma Akut HIV (Fauci and Lane, 2008)

    General Neurologic Dermatologic

    Fever Meningitis Erythematous

    maculopapular rash Pharyngitis Encephalitis

    Lymphadenopathy Peripheral neuropathy Mucocutaneous

    ulceration Headache/Retroorbital

    pain

    Myelopathy

    Arthralgias/myalgias

    Lethargy/malaise

    Anorexia/weight loss

    Nausea/vomiting/diarrhea

    Pada fase laten yang biasanya dapat berlangsung hingga kurang lebih 10

    tahun, pasien dengan HIV RNA yang tinggi dalam plasma, cenderung lebih cepat

    berkembang menjadi fase simptomatik daripada pasien dengan HIV RNA yang

    rendah dalam plasma. Pada fase ini, rata-rata CD4+ sel T menurun sekitar 50/L

    per tahun, dan ketika CD4+ sel T mencapai atau kurang dari 200/L, maka pasien

    akan sangat mudah terinfeksi oleh infeksi oportunistik dan penyakit neoplasma

    (Fauci and Lane, 2008).

    2.1.5. Diagnosa

    Untuk menentukan seseorang mengidap HIV adalah dengan cara

    pemeriksaan laboratorium darah. Ada beberapa cara pemeriksaan laboratorium,

    antara lain ELISA, dipstick HIV Entebe, radioimunopresipitat, HIV recombinant

    neutralization assay, deteksi antigen HIV, Westren Blot, dan lain lain. Tetapi

    yang menjadi standart pemeriksaan adalah cara ELISA (enzyme linked

    immunoabsorbent) yang dikonfirmasi dengan Western Blot (Zein, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • 9

    ELISA

    Pemeriksaan ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) digunakan

    untuk mendeteksi antibody anti HIV. Alat ini mempunyai sensitivitas 93%

    sampai 98% dan spesifisitas 98% sampai 99% (Anastasya, 2010). Bila secara

    ELISA, seseorang dinyatakan positif HIV, maka dilakukan pemeriksaan ulang dan

    bila ternyata tetap positif berarti orang tersebut kemungkinan besar mengidap

    HIV. Untuk memastikannya, maka harus dilakukan pemeriksaan Western Blot,

    dan bila hasilnya positif tegaklah diagnosa HIV (Zein, 2006).

    Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV

    ini yaitu adanya masa jendela (window period). Masa jendela adalah waktu sejak

    tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi

    dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4 8 minggu setelah infeksi.

    Jadi pada periode ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya telah

    terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan

    akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan

    tiga bulan kemudian (HTA, 2010).

    WESTERN BLOT

    Western Blot digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA sebagai

    hasil yang benar benar positif (Mariam, 2010). tetapi yang menjadi masalah,

    cara pemeriksaan Western Blot jarang ada di Indonesia (Zein, 2006).

    2.1.6. Penatalaksanaan

    Belum ada vaksin untuk mencegah HIV/AIDS, dan pengobatannya juga

    belum ada. Pencegahan sangat tergantung pada kampanye kesadaran masyarakat

    dan perubahan perilaku individu dalam lingkungan yang mendukung, yang

    memerlukan waktu dan kesabaran (ILO, 2005). Dari segi pengobatan, Tidak ada

    Universitas Sumatera Utara

  • 10

    obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit

    dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang

    tepat antara berbagai obat-obatan Antiretroviral (ARV) dapat memperlambat

    kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda

    awal terjadinya AIDS (KPA, 2011).

    Pengobatan HIV adalah dengan pemberian obat antiretroviral. Terapi

    dengan kombinasi obat obatan antiretroviral, disebut sebagai highly active

    antiretroviral therapy (HAART) yang tersedia sejak tahun 1996 dapat menekan

    replikasi virus sampai dibawah batas deteksi dalam plasma, penurunan viral loads

    dalam kelenjar getah bening, yang memberikan kesempatan untuk memulihkan

    respon imun terhadap patogen oportunistik, dan memperpanjang umur pasien.

    Tetapi HAART gagal menyembuhkan infeksi HIV-1. Virus tipe ini bertahan

    dalam sel yang bersifat laten dan hidupnya panjang, termasuk sel T memori

    CD4+. Ketika HAART dihentikan atau gagal terapi, maka produksi virus akan

    kembali meningkat. Kombinasi tiga obat juga efektif pada bayi atau anak yang

    terinfeksi HIV. Tetapi terapi satu obat tidak disarankan, karena dapat terjadi

    resisten (Brooks, Butel, and Morse, 2004).

    Depkes (2006) dalam Mariam (2010), Antiretroviral (ARV) adalah obat

    yang menghambat replikasi HIV. Penggunaan obat ARV dengan kombinasi yang

    baik dan benar, serta mengkonsumsinya juga dengan benar dan dipantau secara

    berkala terhadap efek samping adherence (keteraturan makan obat), maka

    diharapkan terjadi penekanan replikasi virus HIV dalam darah, sehingga

    kekebalan tubuh akan kembali meningkat ketahap normal, dan infeksi

    oportunistik dapat dicegah atau disembuhkan (Zein,2006).

    Sampai sekarang, telah dilakukan banyak penelitian untuk mencari terapi

    yang definitif untuk mengobati HIV. Ada empat kategori obat yang tersedia saat

    ini yaitu : obat yang menginhibisi enzim reverse transcriptase virus, obat yang

    menginhibisi enzim protease virus, obat yang menginhibisi enzim integrase

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    virus, dan obat yang mengganggu pemasukan virus.Obat yang menginhibisi

    enzim reverse transcriptase virus yaitu

    Nucleoside analogues

    Zidovudine, didanosine, zalcitabine, stavudine, lamivudine, abacavir, dan

    emtricitabine.

    Nucleotide analogues

    Tenofavir.

    Obat lainnya adalah nevirapine, delavirdine, dan efavirenz.

    Obat diatas adalah obat lini pertama untuk infeksi HIV, tetapi harus diingat bahwa

    terapi dengan kombinasi, jangan dengan monoterapi karena resiko resisten obat

    sangat tinggi (Fauci and Lane, 2008). Pengembangan vaksin untuk mencegah

    penyebaran AIDS merupakan penelitian yang diprioritaskan para ahli imunologi.

    Dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS masih belum dapat dikembangkan

    (Baratawidjaja and Rengganis, 2009).

    Indikasi memulai terapi Antiretroviral (ART)

    Menurut pedoman nasional (2007) Keputusan untuk memulai ART pada

    ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dewasa dan remaja didasarkan pada

    pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan tertentu maka penelitian

    klinis saja dapat memandu keputusan memulai ART. Infeksi oportunistik dan

    penyakit lainnya yang perlu pengobatan diredakan sebelum pemberian ART.

    Saat yang paling tepat untuk memulai ART adalah sebelum pasien jatuh

    sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat

    apabila ART dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai

    pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka ART

    sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling

    optimum untuk memulai ART pada tingkat CD4 antara 200 350/mm3 masih

    belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi Antiretroviral dianjurkan pada

    pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga

    pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. ( pedoman

    nasional, 2007)

    2.1.7. VCT

    VCT (Voluntary Conselling and testing) adalah proses konseling pra

    testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat

    confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV

    yang penting untuk pencegahan dan perawatannya (Anastasya, 2010). Menurut

    haruddin dkk (2007) VCT juga merupakan salah satu model untuk memberikan

    informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk merubah perilaku berisiko serta

    mencegah penularan HIV/AIDS. Kegiatan konseling yang menyediakan

    dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan

    HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan

    ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS

    (depkes, 2006).

    Tujuan VCT (depkes RI, 2009)

    a) Mendorong orang sehat, tanpa keluhan / asimtomatik untuk mengetahui

    tentang HIV, sehingga mereka dapat mengurangi kemungkinan tertular HIV

    b) Merupakan sebuah strategi kesehatan masyarakat yang efektif, karena mereka

    dapat mengetahui status HIV mereka, sehingga tidak melalukan hal-hal yang

    dapat ikut menyebarkan virus HIV bila mereka masih berisiko sebagai

    penyebar HIV

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    c) Mendorong seseorang yang sudah ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS) untuk

    mengubah pendirian yang sangat merugikan seperti: ODHA merupakan

    penyakit keturunan atau penyakit kutukan, atau HIV/AIDS merupakan vonis

    kematian

    d) Memberi informasi tentang HIV/AIDS, tes, pencegahan dan pengobatan

    ODHA

    e) Mengenali perilaku atau kegiatan yang menjadi sarana yang memudahkan

    penularan HIV

    f) Memberikan dukungan moril untuk mengubah prilaku ke arah yang lebih

    sehat dan aman dari infeksi HIV

    Tujuan dari VCT ini merupakan suatu langkah awal yang penting menuju

    program pelayanan HIV/AIDS lainnya yaitu pencegahan penularan HIV dari ibu

    ke anak, pencegahan dan manajemen klinis penyakit penyakit yang

    berhubungan dengan HIV, pengendalian penyakit TBC (tuberculosis) serta

    dukungan psikologis dan hukum (Anastasya, 2010).

    Prinsip pelayanan VCT (depkes RI, 2009)

    Adapun prinsip pelayanan dalam VCT antara lain :

    a) Persetujuan klien ( informed concern)

    Konseling dan tes HIV hanya dilakukan atas dasar sukarela dan bersifat

    pribadi. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien,

    tanpa paksaan, dan tanpa tekanan.

    b) Kerahasiaan

    Semua informasi yang tertulis tentang hasil konseling dan tes HIV klien akan

    dijaga kerahasiannya, semua keputusan ada pada klien.

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    c) Tidak diskriminasi

    klien tidak akan mendapat perlakuan yang diskriminasi dalam yayasan

    konseling dan tes HIV, karena petugas yang ditunjuk telah melalui

    serangkaian pelatihan dan sangat terbatas.

    d) Jaminan mutu

    Mutu pelayanan tidak perlu diragukan, karena tes HIV yang dilakukan sesuai

    dengan pedoman yang diberikan WHO dan Departemen Kesehatan RI.

    Tahapan VCT

    1) Konseling pra test

    konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri untuk melakukan

    pemeriksaan darah atau tes HIV. Dalam konseling ini petugas konseling /

    konselor akan membantu untuk memahami :

    Proses konseling dan tes HIV sukarela

    Manfaat tes HIV

    Pengetahuan tentang HIV/AIDS

    Meluruskan pemahaman yang salah tentang AIDS dan mitosnya

    Faktor resiko penularan HIV

    Menyiapkan anda untuk pemeriksaan darah

    Makna hasil tes HIV positif atau negative

    Mengembangkan rencana perubahan perilaku, dan dampak pribadi,

    keluarga, sosial terhadap hasil HIV/AIDS serta dukungan moral yang

    diberikan (depkes RI, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    2) Tes HIV ( pemeriksaan dan pengambilan darah )

    Prinsip tes HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiannya. Tes dimaksud

    untuk menegakkan diagnosis. Ada serangkaian tes yang berbeda beda karena

    perbedaan prinsip metode yang digunakan. Tes yang digunakan adalah tes

    serologi untuk mendeteksi antibody HIV dalam serum atau plasma (Anastasya,

    2010).

    Setelah menandatangani lembar persetujuan dan tetap mengambil

    keputusan tes, maka contoh darah akan diambil untuk keperluan tes HIV di

    laboratorium.

    3) Konseling pasca tes HIV

    Konseling pasca testing membantu klien memahami dan

    menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan klien untuk

    menerima hasil tes, memberikan hasil tes, dan menyediakan informasi

    selanjutnya. Konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk

    menurunkan penularan HIV (Anastasya, 2010).

    2.2. HIV pada Kehamilan

    2.2.1. Definisi Kehamilan

    Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari

    spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila

    dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan

    berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 9 bulan menurut kalender internasional

    (Sarwono, 2009).

    Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam tubuh

    wanita, yang sebelumnya diawali dengan proses pembuahan dan kemudian akan

    Universitas Sumatera Utara

  • 16

    diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan merupakan suatu keadaan

    fisiologis, akan tetapi pentingnya diagnosis kehamilan tidak dapat diabaikan

    (Cunningham, 2005)

    2.2.2. Cara Penularan HIV pada kehamilan

    Banyak penelitian membuktikan bahwa penularan HIV terjadi pada masa

    intrauterine dan masa intrapartum (Setiawan, 2009). Distribusi penularan dari ibu

    ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan, dan pada

    saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan

    diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital

    ibu. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).

    Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV

    (Green, 2009).

    Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari

    ibu ke anaknya saat dalam kandungan sebesar 23 30%, ketika proses persalinan

    50 65% dan saat menyusui 12 20%. Di negara industri, transmisi HIV dari ibu

    ke fetus sebesar 15 25% sementara di negara berkembang sebesar 25 35%.

    Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam

    plasma ibu. Hasil suatu penelitian di Amerika Serikat menunjukkan dengan kadar

    virus dalam plasma sebesar 100.000 kopi/mL. Namun belum pernah ditentukan nilai ambang

    terendah dimana tidak terjadi infeksi (HTA, 2010)

    Universitas Sumatera Utara

  • 17

    2.2.3. Penatalaksanaan

    Untuk mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi maka penanganan

    pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sebaiknya dimulai

    sejak saat bayi di dalam kandungan.

    Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan

    pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+,

    dan genotype virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti

    retrovirus ( ARV ) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai

    bahan informasi kepada ibu tentang resiko penularan terhadap pasangan seks,

    bayi, serta cara pencegahannya (Setiawan, 2009).

    Pengobatan dan profilaksis Antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIV

    Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi, maka ibu hamil

    terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV).

    Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, disamping untuk mengobati ibu, juga

    untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus(Setiawan,

    2009).

    Pemberian antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu

    yang tidak hamil (Green,2009). Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi

    HIV adalah status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan

    hitung sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan jumlah muatan

    virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat pengobatan

    antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan perawatan penunjang

    yang diperlukan seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas aseksual harus

    memakai kondom, dan lain lain (Setiawan, 2009).

    Dosis antiretrovirus yang harus diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2

    Untuk ibu yang tidak mendapat pengobatan ARV dan yang mempunyai jumlah

    muatan virus sangat rendah < 1000 salinan/mL, beberapa ahli hanya memberikan

    Universitas Sumatera Utara

  • 18

    ZDV sebagai profilaksis dan pemberian ini distop sesudah melahirkan sementara

    pemberian pada neonates diteruskan.

    Tabel 2.2 Protocol Pemberian Zidovudine (ZDV) Pada Ibu Hamil Dan

    Neonatus Untuk Mencegah Penularan Vertical.

    Jenis obat Dosis Saat pemberian Cara pemberian

    Untuk ibu

    Zidovudine

    (retrovir)

    10 mg 5

    kali/hari

    2 mg/kg

    1 mg/kg/jam

    Masa gestasi 14

    minggu sampai

    menjelang melahirkan

    Dilanjutkan pada saat

    melahirkan selama 1

    jam.

    Dilanjutkan sampai

    lahir

    Per oral

    Intravena

    Intravena

    Universitas Sumatera Utara

  • 19

    Jenis obat Dosis Saat pemberian Cara pemberian

    Untuk neonatus

    Zidovudine

    (retrovir) masa

    gestasi > 35

    minggu

    Zidovudine

    (retrovir) masa

    gestasi 30 35

    minggu

    Zidovudine

    (retrovir) masa

    gestasi < 30

    minggu

    2 mg/kg/dosis, 4

    kali/hari

    2 mg/kg/dosis, 2

    kali/hari (2minggu

    pertama)

    selanjutnya 2

    mg/kg/dosis, 3

    kali/hari

    2 mg/kg/dosis, 2

    kali/hari (4

    minggu pertama)

    selanjutnya 2

    mg/kg/dosis, 3

    kali/hari

    Dimulai pada usia

    8 jam sampai 6

    minggu

    Dimulai pada usia

    8 jam sampai 6

    minggu

    Dimulai pada usia

    8 jam sampai 6

    minggu

    Per oral

    Per oral

    Per oral

    Universitas Sumatera Utara