case bph gita

50
BAB I STATUS PASIEN A. IDENTITAS Nama Pasien : Tn. M Umur : 54 Tahun Jenis kelamin : Laki-laki Alamat : Siman Pekerjaan : Petani Agama : Islam Suku : Jawa Tanggal masuk RS : 4 Februari 2013 Tanggal pemeriksaan : 4 Februari 2013 No. RM : 279xxx B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan pada tanggal 4 Februari 2013 pukul 11.00 WIB secara autoanamnesis. 1. Keluhan Utama Tidak dapat kencing 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan tidak dapat kencing sejak pagi sebelum periksa ke poli bedah. Pasien sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan kencingnya tapi tetap tidak dapat keluar, sehingga pasien merasa tidak 1

Upload: gita-chan

Post on 03-Jan-2016

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bedah

TRANSCRIPT

Page 1: CASE BPH Gita

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS

Nama Pasien : Tn. M

Umur : 54 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Siman

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Suku : Jawa

Tanggal masuk RS : 4 Februari 2013

Tanggal pemeriksaan : 4 Februari 2013

No. RM : 279xxx

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 4 Februari 2013 pukul 11.00 WIB

secara autoanamnesis.

1. Keluhan Utama

Tidak dapat kencing

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD Dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan tidak

dapat kencing sejak pagi sebelum periksa ke poli bedah. Pasien sudah

berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan kencingnya tapi tetap tidak dapat

keluar, sehingga pasien merasa tidak nyaman dan perut bagian bawah terasa

penuh. Pasien mengeluh sulit kencing sejak tujuh hari yang lalu. Pasien

sering merasa ingin kencing, tetapi sulit untuk mengeluarkan dan butuh waktu

yang lama untuk memulai kencingnya. Jika air kencing dapat keluar, itu pun

hanya menetes sedikit demi sedikit, terputus- putus, sehingga selesai kencing

pasien merasa tidak puas karena merasa masih banyak air kencing yang

belum keluar. Selain itu, kadang pasien merasa nyeri saat kencing. Nyeri

1

Page 2: CASE BPH Gita

dirasakan saat pasien berusaha mengeluarkan air kencing. Air kencing yang

keluar berwarna kekuningan dan tidak disertai darah. Sejak empat hari yang

lalu, pasien sudah berobat tetapi keluhan tidak berkurang. Pasien mengatakan

bahwa dua tahun yang lalu pernah mengalami sulit kencing dan dipasang

kateter tapi kemudian pulih kembali.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat Hipertensi : disangkal

- Riwayat sulit kencing : diakui

- Riwayat DM : disangkal

- Alergi obat dan makanan : disangkal

- Riwayat jantung : disangkal

- Riwayat bronchitis : diakui

- Riwayat penyakit ginjal : disangkal

- Riwayat trauma : disangkal

4. Riwayat Pribadi

- Merokok : diakui

- Konsumsi NSAID : disangkal

- Riwayat minum jamu : diakui

5. Riwayat Keluarga

- Riwayat sakit serupa : disangkal

- Riwayat asma : disangkal

- Riwayat alergi : disangkal

- Riwayat hipertensi : disangkal

- Riwayat DM : disangkal.

2

Page 3: CASE BPH Gita

C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 4 Februari 2013

1. Keadaan Umum

KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis, GCS E4V5M6

2. Vital Sign

Tekanan darah : 110/ 60 mmHg, berbaring, lengan kanan

Nadi : 80x/ menit, reguler, kuat, isi cukup

Pernafasan : 20x/ menit

Suhu : 36,6 oC

3. Pemeriksaan Fisik Status Generalis

a. Kepala

Konjungtiva anemis (-/-)

Sklera ikterik tidak ditemukan

Pupil isokor

Nafas cuping hidung tidak ditemukan.

Sianosis tidak ditemukan

Lidah kotor (-)

b. Leher

Retraksi supra sternal tidak ditemukan

Deviasi trakea tidak ditemukan

Peningkatan JVP tidak ditemukan

Pembesaran kelenjar limfe (-)

c. Toraks

Pulmo :

- Inspeksi : simetris, gerak dada kanan dan kiri sama, retraksi intercostal

(-/-)

- Palpasi

3

Page 4: CASE BPH Gita

Simetris kanan-kiri

Ketinggalan gerak : tidak ada

- Perkusi :

- Auskultasi : Suara Dasar vesikuler

Wheezing : -/- Rhonki: -/-

Jantung :

- Inspeksi:

Ictus cordis tak tampak

Pulsasi jantung tak tampak

- Palpasi:

Iktus cordis tidak kuat angkat

Pulsasi jantung tak teraba

- Perkusi:

Batas jantung

Batas kanan atas : SIC II parasternal dextra

Batas kanan bawah : SIC IV parasternal dextra

Batas kiri atas : SIC II parasternal sinistra

Batas kiri bawah : SIC V midclavicula sinistra

- Auskultasi

Bunyi jantung I-II iregular,

Bising jantung tidak ditemukan.

4

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

+ +

+ +

+ +

Page 5: CASE BPH Gita

d. Abdomen

- Inspeksi

Bentuk abdomen simetris, ukuran lebih rendah dari dinding dada, tidak

ada darm contour, tidak ada darm steifung, tidak ada bekas luka operasi,

tampak daerah supra pubik lebih menonjol

- Auskultasi

Peristaltik usus normal

- Palpasi

Supel, nyeri tekan (-), hepar, lien, dan ginjal tidak teraba, palpasi pada

regio supra pubik teraba penuh dan menimbulkan rangsangan ingin

kencing saat ditekan

- Perkusi

Timpani

e. Genitalia eksterna

- Scrotum: ukuran simetris kanan dan kiri, tidak tampak pembesaran, tidak

tampak tanda radang

- Penis: tidak tampak adanya pembesaran, tidak ada tanda radang, meatus

eksternus tidak sempit, tidak teraba jaringan parut pada bagian ventral

penis

f. Ekstremitas : akral hangat, clubbing finger tidak ditemukan, tidak

ditemukan edema pada daerah ekstremitas, petekie (-)

4. Status Lokalis

Pada Pemeriksaan Rectal Toucher: teraba massa prostat pada arah jam

12, ukuran sekitar 6x4x3 cm, permukaan halus, konsistensi kenyal padat,

lobus kanan dan kiri sama, sulcus medianus teraba, batas tegas, nyeri tekan

(-), darah (-).

5

Page 6: CASE BPH Gita

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap ( 4 Februari 2013)

N

oParameter

Hasil Nilai Normal

1. WBC 17,5x

10^3/UL

4,0-10,0

2. Lymph 1,3x 10^3/UL 0,8-4,0

3. Mid # 2,8x 10^3/UL 0,1-0,9

4. Gran # 13,4x

10^3/UL

2,0-7,0

5. Lymph % 7,5 % 20,0-40,0

6. Mid % 16,2% 3,0-9,0

7. Gran % 76,3 % 50,0-70,0

8. HGB 13,2 g/dl 11,0-16,0

9. RBC 5,05x

10^6/UL

3,50-5,50

10

.

HCT 40,0 % 37,0-50,0

11

.

MCV 79,4 fL 82,0-95,0

12

.

MCH 26,1 pg 27,0-31,0

13

.

MCHC 33,0 g/dl 32,0-36,0

14

.

RDW-CV 13,4 % 11,5-14,5

15

.

RDW-SD 38,5fL 35,0-56,0

16

.

PLT 259 x

10^3/UL

100-300

17

.

MPV 6,2 fL 7,0-11,0

18 PDW 15,3 15,0-17,0

6

Page 7: CASE BPH Gita

.

19

.

PCT 0, 160 % 0,108-0,282

b. Pemeriksaan Kimia Darah

Parameter Hasil Nilai normal

Glucose 137 mg/dl 60-115

SGOT 31 u/l 0-38

SGPT 41,8 u/l 0-40

TP 7,4 g/dl 6,6-8,3

ALB 3,1 g/dl 3,5-5,5

Glob 4,3 g/dl 2-3,9

UREA 26,93 mg/dl 10-50

CREAT 1,02mg/dl 0,7-1,4

c. Sistografi : BPH

D. DIAGNOSIS

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

E. DIAGNOSIS BANDING

- Prostatitis

- Striktura uretra

- Batu uretra posterior

F. POMR

Problem Assessment P. Diagnosis P. Terapi P. Monitoring

1. Tidak dapat

kencing

2. Sejak 7 hari

yang lalu:

Sulit

Retensio urine

et causa BPH

-Pemeriksaan darah

lengkap

-Pemeriksaan urin

lengkap

-Pemeriksaan faal

ginjal

-Pemasangan

kateter

-Prostatektomi

terbuka

-Klinis

-Urine

7

Page 8: CASE BPH Gita

kencing

Sangat

ingin kencing

tapi sulit

memulai dan

mengeluarkan

kencing

Kencing

hanya

menetes dan

terputus-putus

Tidak puas

setelah

kencing

Nyeri saat

kencing

-Rontgen abdomen

-USG

8

Page 9: CASE BPH Gita

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang

mengelilingi uretra pars prostatika. Kelenjar prostat mempunyai panjang

kurang lebih 1 ¼ inci (3 cm) dan terletak di antara collum vesicae di atas dan

diaphragma urogenitale di bawah (Snell, 2006). Bentuk prostat seperti buah

kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram

(Purnomo, 2003). Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan

glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer,

zona sentral, zona transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona anterior.

Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan

stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh

darah, saraf, dan jaringan penyangga lain.

Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu

komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini tipis seperti susu dan mengandung

asaam sitrat serta fosfatase asam yang akan dialirkan melalui duktus

sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan

bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi (Snell, 2006; Purnomo,

2003). Volume cairan prostat kurang lebih sekitar 25% dari seluruh volume

ejakulat.

Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik

dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima

masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari

nervus hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi

kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan

pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat

ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat,

kapsula prostat, dan leher buli-buli. Di tempat-tempat itu banyak terdapat

reseptor adrenergik . Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankannya

9

Page 10: CASE BPH Gita

tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau

berubah menjadi kanker ganas dapat menyumbat uretra posterior dan

mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2003).

B. Definisi

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar

prostat yang dosebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua

komponen prostat, yang meliputi jaringan kelenjar maupun jaringan

fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika

(Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo, 1994)

C. Etiologi

Etiologi dari BPH hingga sekarang ini masih belum diketahui secara

pasti, tetapi ada beberapa hipotesis yang mendasari, yaitu:

1. Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari

testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5- reduktase dengan bantuan

koenzim NADPH. DHT yang terbentuk berikatan dengan reseptor

androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan

selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi

pertumbuhan prostat. Pada BPH, aktivitas enzim 5- reduktase dan jumlah

reseptor androgen lebih banyak. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada

BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak

terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Ketidakseimbangan antara esterogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan

kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen:

testosteron relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam

terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan

10

Page 11: CASE BPH Gita

sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,

meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah

kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini

adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan

testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur

yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar

3. Interaksi stroma-epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung

dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)

tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan

estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin,

serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu

menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat

Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada

jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan

kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat

dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam

keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami

apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi

meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat. Diduga

hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel,

estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan

faktor pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses apoptosis.

11

Page 12: CASE BPH Gita

5. Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu

dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,

yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.

Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,

sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada

kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi pada

BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga

terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

D. Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah (Amalia, 2007):

1. Kadar Hormon

Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan

peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang

lebih poten yaitu dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reductase,

yang memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.

2. Usia

Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli

(otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena

pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam

mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi

karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala. Selain itu,

sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara

perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun

keatas. Penurunan kadar testosteron tersebut akan menciptakan kondisi

ketidakseimbangan estreogen-progesteron yang akan memicu terjadinya

BPH.

3. Ras

Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk

terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang asia memiliki insidensi BPH

12

Page 13: CASE BPH Gita

paling rendah.

4. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko

terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin

banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar

risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu

anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali

bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-

5 kali.

5. Obesitas

Pada obesitas, terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh

terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat

terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar

prostat.

6. Pola Diet

Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium

berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah

seng, karena defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis

yang selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron. Selain itu,

makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan kadar

testosteron.

Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko

BPH dengan mengkonsumsi buah dan makanan mengandung kedelai yang

kaya akan isoflavon. Kedelai sebagai estrogen lemah mampu untuk

memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap estrogen. Jika

estrogen yang kuat ini sampai menstimulasi reseptor dalam prostat, dapat

menyebabkan BPH. Masukan makanan berserat berhubungan dengan

rendahnya kadar sebagian besar aktivitas hormon seksual dalam plasma,

tingginya kadar SHBG (sex hormone-binding globulin), rendahnya/bebas

dari testosteron. Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat

terjadi akibat dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di

13

Page 14: CASE BPH Gita

usus besar sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi

genetik di dalam inti sel. Pada sayuran juga didapatkan mekanisme yang

multifaktor dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti

karsinogen seperti karoteniod, selenium dan tocopherol. Dengan diet

makanan berserat atau karoten diharapkan mengurangi pengaruh bahan-

bahan dari luar dan akan memberikan lingkungan yang akan menekan

berkembangnya sel-sel abnormal.

7. Aktivitas Seksual

Kelenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk

pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks

berlebihan dan alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat

mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika

suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang

mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak

bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH.

Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya

kadar hormon testosteron.

8. Kebiasaan merokok

Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok

meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan

penurunan kadar testosteron.

9. Kebiasaan minum-minuman beralkohol

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin

B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk

kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan

dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin

di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon testosteron

kepada DHT.

10. Olah raga

Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih

14

Page 15: CASE BPH Gita

sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif

olahraga, kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat

memperkecil risiko gangguan prostat.

11. Penyakit Diabetes Mellitus

Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110

mg/dL mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-

laki dengan penyakit Diabetes Mellitus mempunyai risiko dua kali

terjadinya BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal.

E. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan

peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli

harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi terus

menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi

otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.

Perubahan struktur pada buli-buli tersebut oleh pasien dirasakan sebagai

keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom

(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2003).

Tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-

buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara

ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau

terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan

mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke

dalam gagal ginjal (Purnomo, 2003).

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak

hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra

posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma

prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu

dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Adanya

gangguan pada persyarafan buli-buli ini akan menimbulkan gejala iritatif.

15

Page 16: CASE BPH Gita

(Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo, 1994). Pada suatu

saat muskulus detrusor tidak mampu lagi memompa urin (dekompensasi) dan

terjadilah retensi urin. Kadang-kadang muskulus detrusor kemampuan

kontraksinya terbatas, artinya sebelum buli-buli kosong kontraksinya sudah

berhenti. Maka dalam buli-buli akan tersisa urin (rest urine) (Purnomo,

2003).

F. Manifestasi Klinis

Obstruksi pada prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran

kemih maupun keluhan di luar saluran kemih, yaitu (Purnomo, 2003):

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala

obstruksi dan gejala iritasi, yatu sebagai berikut:

a. Gejala Obstruksi

1) Hesitansi

2) Pancaran miksi lemah

3) Intermetensi

4) Miksi tidak puas

5) Menetes setelah miksi

b. Gejala Iritasi

1) Frekuensi

2) Nokturi

3) Urgensi

4) Disuri

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih

sebelah bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang

secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring

yang dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah Skor

Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom

16

Page 17: CASE BPH Gita

Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan

dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan

kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan

miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang

menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor I-PSS

itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) Ringan: skor

0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih

bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di

pinggang (tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda

dari infeksi atau urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih

Pasien tidak jarang berobat ke dokter karena mengeluh adanya

hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena

seringe mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan

tekanan intraabdominal.

G. Diagnosis

Diagnosis pasien BPH ditegakkan berdasarkan pemeriksaan-

pemeriksaan yang sistematis mulai dari pemeriksaan awal yaitu pemeriksaan

yang harus dikerjakan pada semua pasien dan pemeriksaan tambahan yang

hanya dikerjakan pada pasien-pasien tertentu. Pemeriksaan awal bisa

dilakukan oleh semua petugas kesehatan dengan berbagai ragam kemampuan

dan ketersediaan sarana. Pemeriksaan ini dibedakan menjadi pemeriksaan

yang harus dikerjakan pada setiap pasien (mandatory) dan pemeriksaan yang

harus dikerjakan jika fasilitas untuk pemeriksaan itu tersedia (recommended).

Pemeriksaan tambahan yang bersifat optional dikerjakan pada kasus-kasus

17

Page 18: CASE BPH Gita

tertentu dan terutama dikerjakan oleh spesialis urologi. Berbagai pemeriksaan

itu adalah:

1. Pemeriksaan awal

a. Harus diperiksa oleh setiap dokter/tenaga kesehatan (bersifat

mandatory) meliputi (AUA Practice Guidelines Commitee, 2003;

Lepor and Lowe, 2003):

1) Anamnesis/wawancara tentang riwayat penyakit untuk menyingkirkan

penye-bab lain dari gangguan miksi, atau untuk mengungkap

kemungkinan adanya penyakit lain yang mempengaruhi hasil terapi

yang akan diberikan.

2) Pemeriksaan fisik:

a) Inspeksi buli-buli; Ada/tidaknya penonjolan perut di daerah supra

pubik (buli-buli penuh/kosong)

b) Palpasi buli-buli: Tekanan di daerah suprapubik menimbulkan

rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/penuh

c) Perkusi: buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup

d) Rectal Toucher: Rectal Toucher pada BPH menunjukkan

konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus

kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul

e) Pemeriksaan neurologis

3) Urinalisis untuk mencari kemungkinan adanya hematuria dan

leukosituria

b. Diperiksa jika fasilitas tersedia (bersifat Recommended), meliputi:

1) Prostate Spesific Antigen (PSA) guna menyingkirkan kemungkinan

adanya karsinoma prostat stadium awal. Pemeriksaan ini terutama

ditawarkan kepada pasien yang mempunyai usia harapan hidup lebih

dari 10 tahun atau usianya belum mencapai 70 tahun.

2) Test faal ginjal (kreatinin serum) untuk menilai kemungkinan adanya

penyulit BPH pada saluran kemih bagian atas. Peningkatan harga

kreatinin dalam serum merupakan indikasi untuk melakukan evaluasi

terhadap sistem urinaria bagian atas

18

Page 19: CASE BPH Gita

3) IPSS dan QoL untuk menentukan derajat keluhan miksi dan kualitas

hidup, kecuali jika pasien yang sebelumnya sudah memakai kateterisasi

karena retensi urine.

4) Catatan harian miksi

Dari pemeriksaan awal tersebut didapatkan pasien dengan kategori:

A. Pasien yang hanya mengeluh LUTS dan dalam hal ini dapat dikelompokkan

dalam:

A.a. pasien dengan tingkat gangguan ringan (IPSS ≤ 7)

A.b. pasien dengan tingkat gangguan sedang (IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35)

B. Pasien-pasien yang pada saat pemeriksaan awal diketemukan adanya:

(a) kecurigaan adanya keganasan prostat pada colok dubur, (b) PSA

abnormal, (c) hematuria, (d) nyeri pada suprasimfisis, (e) kelainan neurologis, (f)

buli-buli teraba penuh, dan (g) faal ginjal abnormal, (h) riwayat adanya infeksi

saluran kemih berulang, pernah operasi urologi, pernah menderita tumor saluran

kemih, atau pernah menderita batu saluran kemih. Pada pasien-pasien ini

diperlukan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang bersifat spesialistik sehingga

harus dirujuk ke spesialis urologi untuk mencari kemungkinan adanya penyakit

akibat komplikasi BPH atau penyakit lain. Penyakit-penyakit tersebut adalah:

i. Komplikasi yang terjadi akibat BPH diantaranya adalah: retensi urine,

hematuria, batu buli-buli, dan insufisiensi ginjal

ii. Penyakit lain yang memberikan keluhan mirip BPH atau yang bersamaan

dengan BPH adalah: karsinoma prostat, karsinoma buli-buli, buli-buli neurogenik,

atau striktura uretra.

2. Pemeriksaan tambahan

Pasien-pasien yang termasuk kategori Aa, tidak memerlukan pemeriksaan

tambahan dan tidak mendapatkan terapi apapun (watchful waiting), sedangkan

pada pasien-pasien yang termasuk golongan Ab, jika diperlukan informasi yang

lebih lanjut dan lebih objektif tentang keluhan yang dinyatakan pasien, mungkin

perlu mendapatkan pemeriksaan tambahan yang bersifat optional. Pemeriksaan-

19

Page 20: CASE BPH Gita

pemeriksaan tersebut di antaranya adalah (de la Rossete et al, 2001; Lepor and

Lowe, 2002):

1) Ultrasonografi (USG) transabdominal atau transrektal. Dari USG ini dapat

diketahui ukuran maupun morfologi kelenjar prostat, batu pada buli-buli,

atau divertikel buli-buli. Besarnya prostat perlu diketahui jika dipilih terapi

inhibitor 5-α reduktase.

2) Pancaran urine dengan uroflometer

3) Volume residual urine sehabis miksi diukur secara tidak langsung dengan

memakai ultrasonografi transabdominal.

Dari hasil pemeriksaan tersebut selanjut-nya didiskusikan dengan pasien

kemungkinan terapi yang dipilihnya. Mungkin pasien tetap memilih tanpa obat,

dengan obat, atau terapi intervensi. Jika terapi intervensi sebagai pilhannya,

selanjutnya pasien dirujuk ke spesialis urologi. Namun jika pasien memilih terapi

medikamentosa, obat yang dipilih sebagai lini pertama adalah penghambat alfa

adrenergik alfa, dan pilihan kedua adalah inhibitor 5-alfa reduktase.

3. Pemeriksaan oleh spesialis urologi:

Spesialis urologi melakukan pemeriksaan pasien LUTS sama dengan yang

telah dilakukan oleh para dokter umum atau dokter spesialis non urologi pada saat

melakukan pemeriksaan awal dan sebagian pemeriksaan tambahan. Jika pasien

yang telah menjalani pemeriksaan awal atau telah dirawat ternyata membutuhkan

perawatan spesialis urologi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan

tambahan yang lain. Pasien-pasien yang memerlukan pemeriksaan tambahan yang

bersifat optional itu adalah:

a. Pasien dengan keluhan LUTS yang mengganggu yakni derajat keluhan

sedang (IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35) atau kategori A.b. yang

memilih terapi intervensi

b. Pasien dengan keluhan LUTS yang mengganggu yakni derajat keluhan

sedang (IPSS 8-19) dan berat (IPSS 20-35) atau kategori A.b. yang tidak

berhasil setelah mendapatkan terapi medikamentosa.

20

Page 21: CASE BPH Gita

c. Pasien yang pada pemeriksaan awal diketemukan kelainan lain di-samping

LUTS atau kategori B.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh spesialis pada pasien dengan kategori

A.b., di antaranya adalah:

a. Urodinamika (pressure flow study).

Pemeriksaan ini berguna sebelum pasien menjalani tindakan

pembedahan, yaitu untuk membedakan bahwa pancaran yang lemah pada

pemeriksaan uroflometri itu memang disebabkan karena obstruksi prostat

(BPO), dan bukan karena kelemahan kontraksi otot detrusor (non BPO).

Pada pasien non BPO dilakukan terapi sesuai dengan penyakitnya,

sedangkan pasien BPO ditawarkan beberapa terapi intervensi sesuai

dengan fasilitas yang tersedia. Urodinamika terutama ditujukan pada

pasien yang pada pemeriksaan uroflometri menunjukkan Qmax>10

ml/detik dengan volume miksi <150 mL dan terutama pada pasien tua

(AUA Practice Guidlines and Commitee, 2003; de La Rossete et al, 2001;

Roehrborn et al, 2001).

b. Uretrosistoskopi.

Pemeriksaan uretrosistoskopi pada pasien BPH tanpa komplikasi

hanya dikerjakan pada saat yang bersamaan sebelum dilakukan tindakan

pembedahan. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan

kemungkinan terdapat kelainan lain pada saluran kemih bagian bawah

yang menyertai BPH, dan untuk menentukan bentuk maupun ukuran

(panjang obstruksi) prostat guna pemilihan metode terapi (Lepor and

Lowe, 2002; Roehrborn et al, 2001)

Pada pasien kategori B, pemeriksaan tambahan yang harus dijalani adalah:

a. Kultur urine untuk mengetahui infeksi pada saluran kemih

b. Pencitraan yang meliputi USG atau IVP.

Tentunya pemeriksaan IVP tidak diperbolehkan pada insufisiensi ginjal.

Jika diduga terdapat striktura uretra, dilakukan uretrografi retrograd.

21

Page 22: CASE BPH Gita

c. Sitologi urine ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma

sel transisional.

d. Uretrosistoskopi untuk mencari kemungkinan adanya kelainan lain non

BPH (karsinoma buli-buli) atau kelainan lain yang merupakan komplikasi

dari BPH.

H. Diagnosis Banding

1. Prostatitis

2. Striktura uretra

3. Batu uretra posterior

4. Keganasan prostat

( Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo, 1994).

I. Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki

keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi

infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5)

mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (6) mencegah progresifitas

penyakit (Purnomo, 2003). Hal ini dapat dicapai dengan beberapa bentuk

penatalaksanaan berikut ini:

1. Observasi

Penatalaksanaan secara observasi pada BPH adalah dengan

watchfull waiting yang artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun

tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter (De la Rossete

et al, 2001; Roehrborn et al, 2001). Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk

pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak

mengganggu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan

watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-

19) (Roehrborn et al, 2001). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat

(skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan

22

Page 23: CASE BPH Gita

terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan

respon terhadap watchful waiting ( Jacobsen et al, 1999).

Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun

dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat

memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan

mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi

konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli

(kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang

mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan

(5) jangan menahan kencing terlalu lama.

Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang dan kontrol dengan

ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS,

pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine (De la

Rossete et al, 2001).. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada

sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

2. Medikamentosa

Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah

mencapai tahap tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan

yang mengganggu, apalagi membahayakan kesehatannya, direkomen-

dasikan pemberian medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan perlu

diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan terapi

medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dan evaluasi

selama pemberian obat (Purnomo, 2003). Perlu dijelaskan pada pasien

bahwa harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan

dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Dengan memakai piranti skoring

IPSS dapatditentukan kapan seorang pasien memerlukan terapi. Sebagai

patokan jika skoring >7 berarti atau terapi lain (Purnomo, 2003).

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1)

mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau

23

Page 24: CASE BPH Gita

(2) mengurangi volume prostat sebagai kom-ponen statik (Purnomo,

2003). Jenis obat yang digunakan adalah:

a. Antagonis adrenergik

Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat

kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher

buli-buli dan uretra. Beberapa bentuk antagonis adrenergik adalah

sebagai berikut:

1) preparat non selektif: fenoksibenzamin

2) preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan

indoramin

3) preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin,

dan tamsulosin

b. Inhibitor 5 reduktase

Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang

dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara

menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron,

yang dikatalisis oleh enzim 5 α-redukstase di dalam sel-sel prostat.

Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan

ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15%

atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaran urine.

Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan13,14.

Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang

efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa

pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu

menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine,

menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan

tindakan pembedahan hingga 50%.

Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping

yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat

terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-

24

Page 25: CASE BPH Gita

bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA

sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan

pada deteksi dini kanker prostat (AUA Practice Guidelines Commitee,

2003).

c. Fitoterapi

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk

memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data

farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme

kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen,

menurunkan kadar sex hormon binding globulin (SHBG), inhibisi basic

fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF),

mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti-inflam-masi,

menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di

antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum,

Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan lain-lain (Purnomo,

2003).

3. Operasi

Indikasi operasi pada BPH adalah: (1) Gejala klinis progresif (2)

pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi

medikamentosa, (3) mengalami retensi urine, (4) infeksi saluran kemih

berulang, (5) hematuria, (6) gagal ginjal, (7) timbulnya batu saluran kemih

atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah (Purnomo,

2003). Beberapa macam bentuk tindakan operasi pada BPH adalah sebagai

berikut:

a. Prostatektomi terbuka

Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih

banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai

terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan

suprapubik transvesikal (Freyer) atau enukleasi kelenjar prostat melalui

25

Page 26: CASE BPH Gita

pendekatan retropubik infravesikel (Millin). Prostatektomi terbuka

dianjurkan untuk prostat yang sangat besar ( > 100 gram) (Purnomo,

2003).

b. Pembedahan Endourologi:

1) TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

TURP merupakan reseksi kelenjar prostat secara transuretra

dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang

akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan

yang dipergunakan adalah larutan non ionic, agar agar tidak terjadi

hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai

adalah aquades (Purnomo, 2003).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang

hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik

melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. H2O

yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif

atau dikenal dengan sindroma TURP, yaitu ditandai dengan

gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan

bradikardi. Jika tidak segera diatasi dapat menyebabkan edema

otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal.

Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP, operator

harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1

jam. Di samping itu, perlu pemasangan sistostomi suprapubik

sebelum reseksi agar dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi

sistemik (Purnomo, 2003).

2) TUIP (Transurethral Incision of the Prostate)

TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion)

direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari

30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak

diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat (AUA Practice

Guidelines Commitee, 2003; Roehrborn et al, 2001). Teknik ini

26

Page 27: CASE BPH Gita

dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan

mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling

mulai dari muara ureter, leher buli-buli-sampai ke verumontanum.

Insisi diperdalam hingga kapsula prostat37. Waktu yang

dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi

dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan

akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP

(Yang Q et al, 20001).

3) Elektrovaporisasi prostat

Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP,

hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan

mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat

vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak

menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di

rumah sakit lebih singkat. Namun, teknik ini hanya diperuntukkan

pada prostat yang tidak terlalu besar (< 50 gram) dan

membutuhkan waktu operasi yang lebih lama (Purnomo, 2003).

4) Laser Prostatektomi

Laser prostatektomi dianjurkan pada pasien yang memakai

terapi antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin

dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya. Tindakan laser

prostatektomi menggunakan energi laser yaitu: Nd:YAG,

Holmium: YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapat dipancarkan

melalui bare fibre, right angle fibre, atau interstisial fibre. Kelenjar

prostat pada suhu 60-650 C akan mengalami koagulasi dan pada

suhu yang lebih dari 1000 C akan mengalami vaporisasi (Purnomo,

2003).

Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian laser lebih

sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara polikliis,

27

Page 28: CASE BPH Gita

penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih

sama. Sayangnya, terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap

tahun. Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk

pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak

menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai

2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan

peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP (Purnomo,

2003).

4. Invasif minimal

1) TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)

TUMT merupakan suatu termoterapi kelenjar prostat yang

dilakukan melalui pemanasan dengan gelombang mikro pada

frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang

diletakkan dalam uretra. Pemanasan yang melebihi 440 C

menyebabkan destruksi jaringan prostat. Energi yang dihasilkan

oleh TUMT berasal dari gelombang mikro yang disalurkan melalui

kateter ke dalam kelenjar prostat sehingga dapat merusak kelenjar

prostat yang diinginkan. Jaringan lain dilindungi oleh sistem

pendingin guna menghindari dari kerusakan selama proses

pemanasan berlangsung. Morbiditasnya rendah dan dapat

dikerjakan tanpa pembiusan. TUMT terdiri atas energi rendah dan

energi tinggi. TUMT energi rendah diperuntukkan bagi adenoma

yang kecil dan obstruksi ringan, sedangkan TUMT energi tinggi

untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMT

energi tinggi menghasilkan respon terapi yang lebih baik, tetapi

menimbulkan morbiditas yang lebih besar daripada yang energi

rendah (AUA Practice Guidelines Commitee, 2003; Tubaro et al,

2000).

28

Page 29: CASE BPH Gita

2) HIFU (High Intensity Focus Ultrasound)

Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis

prostat pada HIFU berasal dari gelombang ultrasonografi dari

transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz

Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan

difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi

umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50–

60% dan Qmax rata-rata meningkat 40– 50%. Efek lebih lanjut

dari HIFU belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa

kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun (De La Rossete

el al, 2001).

3) Stent uretra

Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi

obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di

antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum

sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika.

Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang

temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang

tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat

ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi (Purnomo,

2003).

Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak

mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup

tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra

posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya, setelah

pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi

berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di

daerah penis.

29

Page 30: CASE BPH Gita

4) TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate)

Teknik TUNA memakai energi dari frekuensi radio yang

menimbulkan panas sampai mencapai 1000 C, sehingga

menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas

kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter

dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian

anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung

kateter terletak pada kelenjar prostat (AUA Practice Guidelines

Commitee, 2003). TUNA dapat memperbaiki gejala hingga 50-

60% dan meningkatkan Qmax hingga 40-50% Pasien sering kali

masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine,

dan epididimo-orkitis (De la Rossete et al, 2001).

5. Kontrol Berkala

Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan

perlu kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya.

Jadwal kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalaninya

(Purnomo, 2003).

Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting)

dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk

mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan

pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan residu urine pasca miksi

(Purnomo, 2003).

Pasien yang mendapat terapi inhibitor 5 reduktase harus dikontrol

pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi.

Kemudian, setiap tahun untuk menilai perubahan gejala miksi. Pasien

yang menjalani pengobatan inhibitor 5 reduktase harus dinilai respon

terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan

IPSS, uroflometri, dan residu urine pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan

gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat

30

Page 31: CASE BPH Gita

diteruskan. Selanjutnya, dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap

tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan

tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan

pembedahan atau terapi intervensi yang lain.

Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6

minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit.

Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.

Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani

kontrol secara teratur dalam jangka waktu yang lama, yaitu setelah 6

minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan

terapi invasive minimal, selain dilakukan peniulaian terhadap skor miksi,

dilakukan pemeriksaan kultur urine (Purnomo, 2003).

J. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat BPH diantaranya adalahm (Purnomo,

2003):

1. Retensi urine

2. Hematuria

3. Batu buli-buli

4. Insufisiensi ginjal

31

Page 32: CASE BPH Gita

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Rizki. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi Kasus di RS dr.Kariadi, RS Roemani, dan RSI Sultan Agung Semarang). Tesis. Semarang: Program Studi Magister Epidemiologi UNDIP.

AUA Practice Guidelines Committee. AUA Guideline on Management of Benign Prostatic Hyperplasia .2003. Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. J Urol 170: 530- 547, 2003.

De la Rossette JJMH, Alivizatos G, Madersbacher S, Nording J, Emberton M, danSanz CR. EAU Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Eur Urol 40: 256-263, 2001.

Jacobsen SJ, Jacobsen DJ, Girman CJ, et al. Treatment for Benign Prostatic Hyperplasia among Community Dwelling Men: the Olmsted County study of urinary symptoms and healths status. J Urol 162: 1301-1306, 1999.

Lepor H dan Lowe FC. 2002. Evaluation and Nonsurgical Management of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co., 1337-1378, 2002.

McConnell JD, Bruskewitz R, Walsh P, Andriole G, Lieber M, Holtgrewe HL, et al. The Effect of Finasteride on the Risk of Acute Urinary Retention and the Need for Surgical Treatment among Men with Benign Prostatic Hyperplasia. N Eng J Med 338: 557-563, 1998.

Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Bedah. Surabaya: RSUD Dr. Soetomo.

Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.

Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al. Guidelines for the Diagnosis and Treatmento of Benign Prostatic Hyperplasia: a Comparative, International Review. Urology 58: 642-650, 2001.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.

Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and Minimally Invasive Treatment Modalities for Lower Urinary Tract Symptoms: What are the

32

Page 33: CASE BPH Gita

Relevant Differences in Randomised Controlled Trials?. Eur Urol 38(suppl): 7-17,2000

Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral Incision Compared with Transurethral Resection of the Prostate for Bladder Outlet Obstruction: A Systemic Review and Meta-Analysis of Randomised Controlled Trials. J Urol 165: 1526-1532, 2001.

33