case report bph

39
CASE REPORT BPH (Benign Prostate Hyperplasia) I. IDENTITAS Nama : Tn. D Umur : 82 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Pekerjaan : Pensiunan Alamat : Soreang Tanggal pemeriksaan : 14 April 2011 II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis) Keluhan Utama : Tidak bisa BAK sejak ± 2 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik RSUD Soreang dengan keluhan tidak bisa BAK sejak ± 2 hari SMRS. Pasien mulai merasakan gangguan BAK sejak ±3 bulan SMRS. Saat ingin BAK pasien harus mengedan dan menunggu lama baru air kencingnya keluar. Air kencing berwarna kuning jernih dengan pancaran lemah namun tidak bercabang dan kadang berhenti kemudian keluar lagi. Setelah BAK kadang ada

Upload: anggun-pratissa

Post on 14-Feb-2015

47 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

bedah

TRANSCRIPT

Page 1: Case Report Bph

CASE REPORT BPH

(Benign Prostate Hyperplasia)

I. IDENTITAS

Nama : Tn. D

Umur : 82 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan

Alamat : Soreang

Tanggal pemeriksaan : 14 April 2011

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)

Keluhan Utama : Tidak bisa BAK sejak ± 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik RSUD Soreang dengan keluhan tidak bisa BAK

sejak ± 2 hari SMRS. Pasien mulai merasakan gangguan BAK sejak ±3 bulan

SMRS. Saat ingin BAK pasien harus mengedan dan menunggu lama baru air

kencingnya keluar. Air kencing berwarna kuning jernih dengan pancaran lemah

namun tidak bercabang dan kadang berhenti kemudian keluar lagi. Setelah BAK

kadang ada air kencing yang menetes dan pasien sering merasa BAK nya tidak

tuntas dengan frekuensi kencing yang sering satu kali tiap satu jam. Pasien juga

mengeluhkan sakit pinggang kiri dan kanan.

Keluhan kencing berdarah, kencing batu, nyeri diujung kemaluan saat BAK,

timbul benjolan di lipat paha dan dubur yang disertai perdarahan disangkal. Pasien

mengaku bahwa sudah mendapatkan pengobatan dengan obat – obatan herbal.

Karena keluhan gangguan BAK tersebut, pasien datang ke poliklinik Bedah RSUD

Soreang dan dilakukan pemasangan kateter.

Page 2: Case Report Bph

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat tekanan darah tinggi disangkal

Riwayat maag diakui

Riwayat Penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan

pasien

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 80 kali/menit (reguler, equal, isi cukup)

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 36.5oC

Status Generalis

Kepala : Normocephal

Mata :

Konjungtiva : Tidak anemis

Sklera : Tidak ikterik

Mulut :

Tonsil : T1-T1 Tenang

Pharing : Hiperemis (-)

Leher :

JVP tidak meningkat

KGB tidak teraba

Page 3: Case Report Bph

Thorak :

Cor :

o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

o Palpasi : Iktus kordis teraba

o Perkusi : Redup, batas jantung normal

o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), Gallop (-)

Pulmo :

o Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis

o Palpasi : Fremitus vokal pada hemitoraks kanan- kiri

teraba simetris

o Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks

o Auskultasi : Vesikuler +/+ N, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen :

o Inspeksi : Datar

o Palpasi : Supel, NT/NK/NL -/-/-, hepar dan lien tidak

teraba membesar, Ballotement -/+, Nyeri

ketok CVA -/+

o Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

o Auskultasi : BU normal

Ekstremitas :

Atas : Edema -/-, Sianosis -/-

Bawah : Edema -/-, Sianosis -/-

Status Lokalis

Regio Supra Simfisis :

VU : teraba

Nyeri tekan : -

Regio Genitalia Eksterna :

T.a.k, terpasang kateter

jumlah urin ± 200 ml warna kuning jernih

Page 4: Case Report Bph

Rectal Toucher : tidak dilakukan

IV. DIAGNOSIS KERJA

Retensio Urine Et Causa Benign Prostat Hyperplasia (BPH)

V. DIAGNOSIS BANDING

Karsinoma prostat

Urolitiasis

VI. USULAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan darah: Hb, Ht, Leukosit

Urin Rutin

Ureum, Kreatinin

USG Prostat

VII. PENATALAKSANAAN

Konservatif :

Kateterisasi

Antibiotik

Analgetik

Anti Histamin

Ranitidin

Intervensi : tidak dilakukan (pasien menolak)

VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Page 5: Case Report Bph

IX. FOLLOW-UP

Tanggal 18 April 2011

Kontrol dengan membawa hasil USG Prostat

o Hasil

Prostat : Ukuran membesar 6.31 x 6.35 x 5.73 cm,

parenkhim homogen, tidak tampak massa, tampak

kalsifikasi.

VU : Kurang terisi penuh, dinding tampak menebal, irreguler,

samar tampak benjolan berbentuk kantung yang

berhubungan dengan dinding bagian posterior.

o Kesan

Pembesaran kelenjar prostat (Volume ± 120ml)

Cystitis kronis dengan suspek divertikel buli

Subyektif : pasien mengeluh susah BAK karena harus mengedan,

masih terasa penuh setelah BAK, menetes di akhir

BAK, dan jadi sering BAK. Saat ini sedang pakai

kateter, jika dilepas maka BAK semakin susah.

Obyektif :

o Keadaan umum : Baik

o TD : 130/80 mmHg

o Nadi : 78 kali/menit

o Respirasi : 24 kali/menit

o Suhu : 37oC

Assesment : BPH

Planning :

o Pengantian kateter

o Lanjutkan terapi konservatif (antibiotik, analgetik, anti

histamin, ranitidin)

Page 6: Case Report Bph

Tanggal 27 April 2011

Kontrol setelah terpasang kateter 9 hari

Subyektif : Pasien mengeluh sedikit nyeri pada saluran kencing

Obyektif :

o Keadaan umum : Baik

o TD : 120/80 mmHg

o Nadi : 80 kali/menit

o Respirasi : 22 kali/menit

o Suhu : 37oC

o Status Lokalis :

Regio Supra Simfisis :

- VU : teraba

- Nyeri tekan : -

Regio Genitalia Eksterna :

- T.a.k, terpasang kateter

- jumlah urin ± 250 ml warna kuning jernih

Assesment : BPH

Planning :

o Pengantian kateter

o Lanjutkan terapi konservatif (antibiotik, analgetik, anti

histamin, ranitidin)

Page 7: Case Report Bph

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

DEFINISI

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar

periuretral prostat mengalami pembesaran akibat terjadinya hiperplasia sehingga

mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. Pembesaran

kelenjar prostat ini akan mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga

menimbulkan gangguan miksi.

ANATOMI

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria terletak sebelah inferior

buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini

menyumbat uretra posterior dan bila mengalami pembesaran pada uretra pars prostatika

sehingga menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.

Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gr,

ukuran 3 x 4 x 2,5 cm.

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

3. lobus anterior

4. lobus posterior

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan

menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-

kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-

abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior

daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya

perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami

hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.

Page 8: Case Report Bph

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain

adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan

zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang

letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona

periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.

Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

Vaskularisasi

Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior

(cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium

inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri

tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di

dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:

1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic

junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar

periurethral.

2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang

yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).

Persarafan

Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari

Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

Page 9: Case Report Bph

FISIOLOGI

Uretra prostat adalah saluran air mani dan mencegah ejakulasi retrograde (yaitu,

ejakulasi sehingga air mani dipaksa mundur ke kandung kemih) dengan menutup dari

leher kandung kemih selama klimaks seksual. Ejakulasi melibatkan kontraksi

terkoordinasi dari berbagai komponen, termasuk otot-otot halus dari vesikula seminalis,

deferentia Vasa, saluran ejakulasi, dan otot-otot ischiocavernosus dan bulbocavernosus.

ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat

kaitannya dengan peningkatan kadar dihirotestosteron (DHT) dan proses aging. Beberapa

hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat sbb:

1. Teori dihidrotestosteron

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda

dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas enzim 5α-

reduktase dan jumlah resetor androgen lebih banyak. Hal ini menyebabkan sel-sel

prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak

terjadi.

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia semakin tua kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif

tetap sehingga perbandingan estrogen : testosteron meningkat. Telah diketahui bahwa

estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat

dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon

androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian

sel-sel prostat (apoptosis).

3. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan epitel-epitel prostat

secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth

factor) tertentu. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh

Page 10: Case Report Bph

androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau

fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming

growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Berkurangnya jumlah sel prostat yang yang mengalami apoptosis menyebabkan

jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan

pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti

faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis.

5. Teori stem cell

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis selalu dibentuk sel-se baru.

Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai

kemampuan berproliferasi secara ekstensif. Terjadinya proliferasi se-sel pada BPH

dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi

yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada

kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding”

kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.

Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada

embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya

“reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat

embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan

sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic

induction potential of prostatic stroma during adult hood.

FAKTOR RISIKO

Page 11: Case Report Bph

Faktor resiko yang dominan untuk terjadinya BPH adalah bertambahnya usia

pada pria dan adanya androgen (hormon testosteron).

PATOFISIOLOGI

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan

akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna

melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan

anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,

sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase

kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada

saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu

dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam

fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi

retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian

buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini

dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-

ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,

bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala

yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan

dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika

sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen

dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha

adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan

kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung

dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh

komponen mekanik.

MANIFESTASI KLINIS

Page 12: Case Report Bph

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas

gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika

karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk

berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.

Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih

tergantung tiga faktor yaitu :

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,

sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher

vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi

dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak

sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor

karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering

berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

4. Disuria (nyeri pada waktu miksi)

Page 13: Case Report Bph

Ada juga yang membagi gejala Benign Prostat Hiperplasia menjadi 4 (empat)

grade yaitu:

1. Grade 1 (Congestic)

a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau berthaun-tahun susah BAK dan mulai

mengedan

b. Kalau miksi merasa puas

c. Uine keluar menetes dan pancaran lemah

d. Nocturia

Page 14: Case Report Bph

e. Urine keluar malam hari lebih dari normal

f. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.

g. Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat laun

terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding).

2. Grade 2 (Residual)

a. Bila miksi terasa panas.

b. Dysuri nocturi bertmabah berat.

c. Tidak bisa buanng air kecil (kencing tidak puas)

d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air BAK

e. Terjadi panas tinggi dan menggigil.

f. Nyeri pada daerah bagian bawah panggul (menjalar ke ginjal)

3. Grade 3 (Retensi Urine)

a. Ischuria Paradosal

b. Incontinensia Paradosal

4. Grade 4

a. Kandung kemih penuh.

b. Penderita merasa kesakitan Air kencing menetes secara periodic yang di sebut

over flow incontinensia.

c. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor,

karena bendungan yang hebat.

d. Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40-410c

e. Selanjutnya penderita bisa koma.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas

kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan

disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat

teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan

untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk

melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan

Page 15: Case Report Bph

miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,

fimosis, condiloma di daerah meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan

teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang

terdapat nyeri tekan supra simfisis.

2. Pemeriksaan Colok Dubur

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus

spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain

seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada

perabaan prostat harus diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya

sel lekosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan

etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran

kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit,

kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal

dan status metabolik.

b. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar

penentuan perlunya biopsi atau ebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA

<4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah

Prostate Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan

volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat,

demikin pula bila nilai PSA >10 ng/ml.

4. Pemeriksaan radiologi :

Page 16: Case Report Bph

a. Foto polos abdomen

Foto polos otot perut untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di

saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-

buli yang penuh dengan urine sebagai tanda retensi urine.

b. BNO-IVP

- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras

(filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung

distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked

fish).

- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa

hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli

– buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.

- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Systocopy dan Cystografi

d. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –

macam potongan.

e. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

- deteksi pembesaran prostat

- mengukur volume residu urin

5. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif

pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :

a. Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif

b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line

c. Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif

6. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak

dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot

detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan

pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths

Page 17: Case Report Bph

Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju

pancaran urin dapat diukur.

7. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat

sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin

yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang

akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.

DERAJAT BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

Ada 3 (tiga) cara untuk mengukur besarnya BPH, yaitu :

1. Rectal Grading

Rectal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong.

Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher

diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum.

Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :

0 - 1 cm : Grade 0

1 - 2 cm : Grade 1

2 - 3 cm : Grade 2

3 - 4 cm : Grade 3

Lebih 4 cm : Grade 4

Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan

masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan

kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan

operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R

(Trans Urethral Resection) Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan

prostatektomy terbuka secara trans vesical.

2. Clinical grading

Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine.

Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kencing

sampai selesai, kemudian dimasukkan kateter ke dalam kandung kemih untuk mengukur

sisa urine.

Sisa urine 0 cc : Normal

Page 18: Case Report Bph

Sisa urine 0 - 50 cc : Grade 1

Sisa urine 50 - 150 cc : Grade 2

Sisa urine >150 cc : Grade 3

Sama sekali tidak bisa kencing : Grade 4

3. Intra Urethra Grading

Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra.

Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari

urology yang spesifik. Efek yang dapat terjadi akibat BPH :

a. Terhadap urethra

Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra pars

prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius maka

perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.

b. Terhadap vesica urinaria

Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari proses

kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang mengalami depresi

(lekukan) yang disebut potensial divertikula.

Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot yang

hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada otot-otot tersebut.

Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post prostatika

pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kencing dibelakang medial lobe.

Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine yang

tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya batu-batu di

kandung kemih.

c. Terhadap ureter dan ginjal

Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak

diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas, akibatnya

otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan

hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.

d. Terhadap sex organ

Page 19: Case Report Bph

Mula-mula libido meningkat, tapi akhirnya libido menurun.

BPH terbagi dalam 4 (empat) derajat sesuai dengan gangguan klinisnya:

1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa

urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat +20 gram.

2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah

berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih

menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50-100 cc dan beratnya +20-40

gram.

3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba,

sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya 40 gram.

4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit

keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

DIAGNOSIS BANDING

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis

b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi

detrusor dengan relaksasi sfingter

b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih :

Page 20: Case Report Bph

a. fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

6. Prostatitis akut atau kronis

KOMPLIKASI

1. Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin. Karena

produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi

menampung urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul

hidroureter, hidroefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat

jika terjadi infeksi.

2. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli.

Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu

tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi

pielonefritis.

3. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat

menyebabkan hernia atau hemoroid.

PENATALAKSANAAN

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-

kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendaatkan

terapi apapun atau hanya nasehat dankonsultasi saja. Namun diantara mereka akhirnya

ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena

keluhannya makin parah.

Tujuan terapi adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas

hidup, (3) mengurangi obstruksi ifravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi

Page 21: Case Report Bph

gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin setelah miksi, (6) mencegah progresifitas

penyakit.

1. Watchfull waiting

Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai

sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan

mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan

atau minuman yang dapat mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan

obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas

dan asin, (5) jangan menahan kencing terlalu lama.

Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya

apakah menjadi lebih baik, selain itu juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu

urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertamba jelek daripada sebelumnya, mungkin

perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

2. Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos prostat

sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan

penghambat adrenergik alfa, dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik

dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/ dihirotestosteron (DHT) melalui

penghambat 5α –reduktase.

a. Penghambat adrenergik alfa

Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin,

afluzosin, atau yang lebih selektif α1 tamsulosin. Dosis dimulai 1 mg/ hari

sedangkan dosis tamsulosin 0,2-0,4 mg/ hari. Penggunaan antagonis α1

adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa

merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang

banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan

kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi di daerah prostat. Hal ini akan

menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran

urin dan gejala-gejala berkurang. Efek samping yang mungkin timbul adalah

pusing-pusing, capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.

Page 22: Case Report Bph

b. Penghambat 5α –reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/ hari.

Obat golongan ini dapat menghambat pementukan DHT sehingga prostat yang

membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada

golongan penghambat α dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat

besar. Efek samping obat adalah libido menurun, ginekomastia, dan dapat

menurunkan nilai PSA (masking effect).

c. Fitoterapi

Yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya Pygeum

africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus. Efek diharapkan terjadi setelah

pemberian 1-2 bulan.

3. Terapi bedah

Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat

dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TURP), Transurethral

Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser.

1. TURP

TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP adalah gejala-gejala

sedang sampai berat, volume prostat <90 g dan pasien cukup sehat untuk

menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,

hiponatremia, atau retensi karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka

panjang adalah striktur uretra, ejakulasi retrogarad, atau impotensi.

2. TUIP

Bila volume prostat tidak teralu besar ( 30 gram/kurang ) atau ditemukan

kontraktur leher vesika atau prostat fibrotik dapat dilakukan TUIP. Indikasi TUIP

adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/ kecil.

Komplikasinya ejakulasi retrograd.

3. Prostatektomi

a. Prostatektomi Supra pubis

Page 23: Case Report Bph

adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu

suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat

dari atas.

b. Prostatektomi  Perineal

adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini

lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi

terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung,

drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal,

hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden

syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko

bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka

bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal.

Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin

terjadi  dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada

rectum dan spingter eksternal serta  bidang operatif terbatas.

c. Prostatektomi retropubik

adalah suatu teknik yang lebih  umum dibanding pendekatan suprapubik

dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara

arkus pubis  dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih.

Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.

Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah

labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.

Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih

yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat

meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode

pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih

sedikit. 

4. Terapi invasif minimal

Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Page 24: Case Report Bph

Dilatasi Balon Transuretral (TUBD)

High-intensity Focused Ultrasound

Ablasi Jarum Transuretra (TUNA)

Stent Prostat

PEMBAHASAN

Page 25: Case Report Bph

I. Mengapa pasien ini didiagnosa dengan Benign Hyperplasia Prostate (BPH)?

Pasien ini didiagnosa dengan Benign Hyperplasia Prostate (BPH) karena:

a.Dari anamnesis:

o Keluhan tidak bisa BAK sejak ± 2 hari SMRS.

o Pasien mulai merasakan gangguan BAK sejak ±3 bulan SMRS.

o Saat ingin BAK pasien harus mengedan dan menunggu lama baru air

kencingnya keluar.

o Air kencing berwarna kuning jernih dengan pancaran lemah namun tidak

bercabang dan kadang berhenti kemudian keluar lagi.

o Setelah BAK kadang ada air kencing yang menetes dan pasien sering

merasa BAK nya tidak tuntas dengan frekuensi kencing yang sering satu

kali tiap satu jam.

b. Dari pemeriksaan fisik:

o Regio Supra Simfisis:

VU : teraba

Nyeri tekan : -

o Regio Genitalia Eksterna:

T.a.k, terpasang kateter

jumlah urin ± 200 ml warna kuning jernih

o Rectal Toucher : tidak dilakukan

c.Dari pemeriksaan penunjang:

o Kontrol dengan membawa hasil USG Prostat

Hasil

Prostat : Ukuran membesar 6.31 x 6.35 x 5.73 cm, parenkhim

homogen, tidak tampak massa, tampak kalsifikasi.

VU : Kurang terisi penuh, dinding tampak menebal, irreguler,

samar tampak benjolan berbentuk kantung yang berhubungan

dengan dinding bagian posterior.

Kesan

Pembesaran kelenjar prostat (Volume ± 120ml)

Cystitis kronis dengan suspek divertikel buli

Page 26: Case Report Bph

II. Faktor resiko apa saja yang terdapat pada pasien ini?

Faktor resiko yang dominan pada pasien ini untuk terjadinya BPH adalah

bertambahnya usia yaitu 82 tahun.

III. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada pasien ini?

Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah Cystitis kronis dengan suspek

divertikel buli

IV. Terapi apa yang dilakukan?

Tujuan terapi medikamentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos prostat

sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan

penghambat adrenergik alfa, dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik

dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/ dihirotestosteron (DHT) melalui

penghambat 5α –reduktase.

Pada pasien ini tidak diberikan terapi medikamentosa berupa penghambat

adrenergik alfa dan penghambat 5 α –reduktase, karena secara klinis efektivitas obat

masih diragukan serta ukuran prostat yang terlalu besar membuat pengobatan secara

medikamentosa kurang bermakna.

Terapi yang sebaik dilakukan adalah terapi bedah dengan cara Protatektomi

Perineal. Prostatektomi  Perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam

perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk

biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung,

drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah

penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi

pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih.

Akan tetapi pada pasien ini tidak dilakukan terapi bedah karena pasien menolak

dengan alasan umur yang sudah tua.

DAFTAR PUSTAKA

Page 27: Case Report Bph

1. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2.

Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85

2. De Jong W, Sjamsuhidajat R, Buka Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta EGC,

1997 hal 1059-64

3. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwart’z Principles of surgery. 8 th Edition.

Sngapore : The McGraw-hill Companies.Inc.2005

4. Ramon p,Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah Fakultas kedokteran Universitas

Padjajaran ; 2002 ;203-207

5. Sabiston, David Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih Bahasa : Petrus. Timan. EGC.

1994.

6. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada

University Press, 1992.

8. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign

prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s

urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.

9. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokeran, Edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius, 2000

hal 329-34

10. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah

Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.