grand case urologi bph
DESCRIPTION
bedah fk unandTRANSCRIPT
Grand Case
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
Oleh :
Azhiimil Akbar 0810312120
Pembimbing : dr. Dody Efmansyah, Sp.B, Sp.U
BAGIAN ILMU BEDAH
RSUP DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam
bidang bedah urologi.
Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi
pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang.
Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79
tahun mengalami hiperplasia prostat.
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif)
sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.
Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan
teknologi dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk
penderita muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk
operasi dan pada penderita yang menolak operasi.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
hiperplasia prostat.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai hiperplasia prostat.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk dari
berbagai literatur.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan
dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2
2.2 Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi
bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior
rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang
paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. Lobus medius
2. Lobus lateralis (2 lobus)
3. Lobus anterior
4. Lobus posterior 8,12
2
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior
akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius
kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen
berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut
kelenjar prostat.8
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara
lain adalah : zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada
zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari
verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2%
dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer.7,11
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat
dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara
longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.
Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan
jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.8
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
c. Disekitar uretra disebut periurethral gland 12
3
Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. Kapsul anatomis
2. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian
dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada
bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian
tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus
anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan
kelenjar.8,12
2.3 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.4
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30%
penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas
prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-
perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai
pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi
kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan
gejala klinik.7
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah
dapat ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun
angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%
dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.1
2.4 Etiologi
4
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua).11
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak
terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain
androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana
sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma,
sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi
terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk
perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi
relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi
faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan
menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan
hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen
oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan
bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
5
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic
transforming growth factor, transforming growth factor 1,
transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.
3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel
yang Mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”,
antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan
adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi
lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan
sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan
98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin
(SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel
prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di
dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma
menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear
receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada
chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan
menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.
6. Teori Reawakening
6
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu
mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang yang
menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan
epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada
embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan
pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal
dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of
prostatic stroma during adult hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan
tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial
dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori
yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan
kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas
hubungan sebab-akibatnya.3,7,8,12
2.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus
ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan
pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke
dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.
7
Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari
buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke dalam gagal ginjal.2,11
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra
vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.8
2.6 Gambaran Klinis
2.6.1 Gejala
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi
atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor
untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-
putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).2,3
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat
masih tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
8
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas
leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi
belum dirasakan.7
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan
cara mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa
urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan
membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang
normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin
dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc
biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi
pada penderita prostat hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran
grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow
dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai
150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10
sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-
8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang.
Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan
detrusor dengan obstruksi infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan
urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun
menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.1,3,11
9
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus.
Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing 0 - 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian
atas + sisa urin > 150 ml 7
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk
menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai
dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah
bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari.
Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh
menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter
dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat
dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi
retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica,
hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut
pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi
miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus
dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan
terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat
menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan
sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke
ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan
10
ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada
waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama
kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu
terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica
dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya
infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga
pielonefritis.3
Keluhan-keluhan diatas biasanya disusun dalam bentuk skor simptom.
Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu
diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah skor
internasional gejala-gajala prostat WHO (International Prostate Symptom Score,
IPSS) dan skor Madsen Iversen.
Tabel 1. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia
Pertanyaan 1 2 3 4 5
Pancaran Normal Berubah-ubah Lemah Menetes
Mengedan pada saat berkemih
Tidak Ya
Harus menunggu pada saat akan kencing
Tidak Ya
Buang air kecil terputus-putus
Tidak Ya
Kencing tidak lampias
Tidak tahu
Berubah-ubah Tidak lampias
1 kali retensi
>1 kali retensi
Inkontinensia Ya
Kencing sulit ditunda
Tidak ada Ringan Sedang Berat
Kencing malam hari
0-1 2 3-4 >4
Kencing siang hari
>3 jam sekali
Setiap 2-3 jam sekali
Setiap 1-2 jam sekali
<1>
11
Tabel 2. Skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International
Prostate Symptom Score, IPSS)
Pertanyaan
Keluhan pada bulan terakhir
Tidak sama sekali
Kurang dari 20% waktu
20-30% waktu
50% waktu
> 50% waktu Hampir selalu
Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah buang air kecil
0 1 2 3 4 5
Berapa kali anda hendak buang air kecil lagi dalam waktu 2 jam setelah buang air kecil
0 1 2 3 4 5
Berapa kali terjadi air kencing berhenti sewaktu buang air kecil
0 1 2 3 4 5
Berapa kali anda tidak dapat menahan keinginan buang air kecil
0 1 2 3 4 5
Berapa kali arus air seni lemah sekali sewaktu buang kecil
0 1 2 3 4 5
Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai buang air kecil (harus mengejan)
0 1 2 3 4 5
Berapa kali anda bangun untuk buang air kacil di waktu malam
0 1 2 3 4 5
Andaikata hal yang anda alami sekarang akan tetap berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda
Sangat senang
Cukup senag
Biasa saja
Agak tidak senang
Tidak menyenangkan
Sangat tidak menyenangkan
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu
1. Ringan : skor 0 – 7
12
2. Sedang : skor 8 – 19
3. Berat : skor 20 – 35
2.6.2 Tanda
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) sangat
penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan
tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras
dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada
batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica
urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus
mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi
penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan
kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
13
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah : - Ureum dan Kreatinin
- Elektrolit
- Blood urea nitrogen
- Prostate Specific Antigen (PSA)
- Gula darah
b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test
- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
- Sedimen
3. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya
batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga
dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat.
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras
(filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau
ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail
(hooked fish).
Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa
hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada
buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli –
buli.
Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
c. Sistogram retrograde
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka
sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
- deteksi pembesaran prostat
14
- mengukur volume residu urin
e. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan.
4. Pemeriksaan lain
a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan
oleh :
- daya kontraksi otot detrusor
- tekanan intravesica
- resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran
melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15
ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin
yang dihasilkan.
b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah
obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk
membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka
sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
c. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara
sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa
volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga
diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding
atau USG.1,2,3,7,8
2.7 Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
15
1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba
sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata,
asimetri dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat
hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi.
4. Pemeriksaan pencitraan :
Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada
dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas
berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography
(TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar.
5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume
residu urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari
150 ml dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).2
2.8 Diagnosis Banding
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
a. kelainan medula spinalis
b. neuropatia diabetes mellitus
c. pasca bedah radikal di pelvis
d. farmakologik
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer
c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusor dengan relaksasi sfingter
16
b. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih :
a. fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
a. hiperplasia prostat jinak atau ganas
b. kelainan yang menyumbatkan uretra
c. uretralitiasis
d. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra
6. Prostatitis akut atau kronis 1,2
2.9 Kompikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat
dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginjal 2
2.10 Penatalaksanaan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja.
Namun, diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.1,2,4
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki
keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi 17
infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5)
mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (6) mencegah progresifitas
penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif. 1,2,4
Watchfull waiting
Pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah
7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi
makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urine, arau
uroflowmetri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin
perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan hormon
testosteron / dihdrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.
- Penghambat reseptor adrenergik-α
Fenoksibenzamin yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang ternyata
mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Obat
ini tidak disenangi karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, diantaranya adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskular
lain.
18
Ditemukannya obat penghambat adrenergik-α1 dapat mengurangi penyulit
sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada α2 dari fenoksibenzamin.
Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-α1 adalah : prasozin yang
diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang diberikan
sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan
laju pancaran urine.
Akhir-akhir ini telah ditemukan golongan penghambat adrenergik-α1A,
yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan
bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek
terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
- Penghambat 5α-reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 α- reduktase didalam sel-
sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan
replikasi sel-sel prostat menurun.
Dilaporkan bahwa pemberian obat finasterid 5mg sehari yang diberikan
sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga
28%; hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.
Operasi
Pembedahan
19
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang
paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi
non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu sangat lama untuk melihat hasil
terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan
miksi yang tidak tuntas. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka,
reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang : (1) tidak
menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi
urine, (3) infeksi saluran kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan (6)
timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih
bagian bawah.
Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari
Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal.
Prostatekstomi terbuka adalah tindakan paling invasif, dan paling efisien sebagai
terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan
suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikel (Millin).
Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi adalah : inkontinensia
urine (3%), impotensi (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur
leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan TURP dan BNI, penyulit yang terjadi
berupa striktur uretra dan ejakulasi retrograde lebih banyak dijumpai pada
prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka
mortalitas sebanyak 2%.
20
Pembedahan Endourologi
TURP saat ini merupakan tindakan yang paling banyak dikerjakan.
Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa
mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan
tindakan operasi terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan
dengan memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
atau dengan memakai energi Laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi
(TURP), Insisi (TUIP), atau evaporasi.
- TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan
cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan
yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma
TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, takanan darah meningkat, dan terdapat bradikardia. Jika tidak segera
diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma
dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus
membatasi diri ini untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Disamping
itu operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan
cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko
hiponatremia pada TURP, tetapi harganya cukup mahal.
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi,
pasca bedah dini, ataupun pasca bedah lanjut
21
Selama Operasi Pasca Bedah Dini Pasca Bedah Lanjut
o Perdarahan
o Sindroma TURP
o Perforasi
o Perdarahan
o Infeksi lokal atau
sistemik
o Inkontinensia
o Disfungsi ereksi
o Ejakulasi
Retrograd
o Striktur Uretra
Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran
lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan
insisi kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral Incision of the Prostate) atau
insisi leher buli-buli atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan
tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinkan adanya karsinoma prostat
dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi
transrektal, atau pengukuran kadar PSA.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
TUIP ( Transurethral Incision of the Prostate )
- Elektrovaporisasi prostat
22
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja
teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang
cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini
cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan
masa mondok di rumah sakit singkat. Namun teknik ini hanya diperutukkan
pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu
operasi yang lebih lama.
- Laser Prostatektomi
Terdapat 4 jenis energi yang dipakai : Nd:YAG, Holmium: YAG,
KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle
fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih tinggi dari 100oC mengalami
vaporasasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pamakaian laser ternyata lebih
sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis,
penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama.
Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi (kecuali pada Ho:YAG). Sering banyak menimbukkan disuria pasca
bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi
spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP.
Tindakan Invasif Minimal
Termoterapi
Termoterapi kelanjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro
pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan
di dalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan destruksi
jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi.
Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan
melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar dan arah pancaran energi
23
diatur melalui sebuah komputer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang
membuntu uretra. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.
TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 100oC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem
ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan
kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi
urine, dan epididimo-orkitis.
Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli
dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.
24
Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak
diserap atau tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan
dilepas kembali secara endoskopi.
Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy,
nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh
urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi
umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent
dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.
Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi
berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.
HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat
berasal dari gelombang ultrasonografi dan transduser piezokeramik yang
mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang
diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan
anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60%
dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum
diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10%
setiap tahun.
TUBD (Transurethral balloon dilation of the prostate)
25
Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat
melebarkan fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada prostat yang
ukurannya kecil (<40cm3). Teknik ini jarang digunakan sekarang ini.
Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15, untuk itu
dianjurkan untuk melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi
bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 keatas atau bila timbul obstruksi.
Derajat berat Hiperplasia Prostat berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat , batas atas mudah
diraba
< 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat
dicapai
50-100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Retensi urin total
Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan tindak bedah diberikan
pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa
seperti alfazosin, prazosin, terazosin, dan tamsulosin. Keuntungan obat
penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Pemberian
obat ini dapat menyebabkan hipotensi. Kekurangannya ialah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
26
Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan, biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( Trans Urethral Resection, TUR
). Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan. Apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam,
sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka melalui transvesikal, retropubik atau
perineal.
Derajat empat, tindakan pertama yang harus dikerjakan ialah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitif dengan TUR atau Pembedahan Terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat alfa adrenoreseptor. Efek samping obat ini ialah gejala hipotensi,
seperti pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah.
Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat antiandrogen
yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah
menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat. Pada
tingkat yang lebih rendah dapat diberikan obat anti androgen yang mekanisme
kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan memberikan
penghambat 5-a reduktase inhibitors, sehingga jumlah DHT berkurang, contohnya
obat tersebut adalah finesterid, Proscar. Obat antiandrogen lain yang juga bekerja
pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai mekanisme kerja sebagai
inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak dapat
membentuk kompleks DHT-Reseptor.
Pengobatan lain yang invasif minimal ialah
Pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Transurethral
27
microwave thermotherapy (TUMT) ini diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75%
untuk gejala objektif.
Transurethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)
digunakan cahaya laser.
Uretra di daerah prostat dapat didilatasikan dengan menggunakan balon yang
dikembangkan didalamnya (transurethtral balloon dilatation, TUBD),
biasanya hanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.
Kontrol Berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal
kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalaninya.
Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting)
dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor
IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol
pada minggu ke 12 dan bulan ke 6 untuk menilai respon terhadap terapi.
Kemudian setiap tahun untuk menilai perbaikan gejala miksi. Pasien yang
menjalani pengobatan penghambat 5α-adrenergik harus dinilai respon terhadap
pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri,
dan residu urine paska miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan
penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan
setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan
secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu
dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6
minggu pasaca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit.
Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol
secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan,
28
dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain
dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urine.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. K
Usia : 61 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
29
Status : Menikah
Alamat : Muko-muko
No. RM : 916261
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Tidak dapat buang air kecil sejak 1 hari yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tidak dapat buang air kecil sejak 1 hari yang lalu.
Awalnya pasien dikonsulkan rumah sakit muko-muko dengan
apendisitis akut.
Pasien sulit buang air kecil sejak ± 1 tahun yang lalu.
Buang air kecil dirasakan tidak lancar, untuk keluarnya air seni harus
menunggu terlebih dahulu dan juga harus mengedan, air seni keluar
terputus-putus, pancaran keluarnya dirasakan lemah dan diakhir
kencing pasien mengaku kencing menetes. Setelah selesai buang air
kecil pasien juga mengaku perut terasa masih berisi sehingga sering
ingin buang air kecil kembali, hal ini juga dirasakan pada malam hari,
pasien mengaku pada malam hari cukup sering buang air kecil
sehingga pasien sulit untuk tidur.
Buang air besar normal.
Nyeri perut kanan bawah tidak ada.
b. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat Diabetes Melitus disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat Kencing Berpasir atau Kencing Batu disangkal
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki sakit sama dengan pasien
sekarang.
30
III. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : GCS (E4V5M6 = 15) Compos Mentis, sedang, gizi kurang.
Vital sign :
- TD : 130/80
- T : 36.7oC
- RR : 18x/menit
- Nadi : 90x/menit
a. KEPALA DAN LEHER
- Kepala : tidak ada kelainan
- Rambut : beruban tidak mudah dicabut
- Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Telinga : tidak ada kelainan
- Hidung : tidak ada kelainan
- Mulut : tidak ada kelainan
- Leher : tidak ada pembesaran kelenjar limfe
b. THORAX
- Jantung : dalam batas normal
- Paru : dalam batas normal
c. ABDOMEN
- Inspeksi : datar, tak tampak massa dan sikatriks
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani Seluruh lapang abdomen, Nyeri ketuk (-)
- Palpasi : Dinding abdomen supel, defans muscular (-),
organomegali (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
d. EKSTREMITAS
Akral hangat, tidak sianosis, tidak edema
e. STATUS LOKALIS (STATUS UROLOGIKUS)
31
- Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) sinistra et dextra:
Inspeksi: Bulging (-/-)
Palpasi : Ballotement (-/-)
Palpasi : Nyeri ketok (-/-)
- Regio suprapubik
Inspeksi : Datar, tidak tampak massa
Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak teraba massa
Perkusi : Timpani
- Regio anal
Inspeksi : Tidak tampak massa
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Rectal Toucher : Anus tampak tenang, tonus sfingter
ani cukup menjepit, ampula recti tidak kolaps, mukosa
rectum licin. Prostat : teraba membesar di anterior ± 40
gr, tanpa nodul, pole atas tidak dapat diraba, kenyal,
permukaan licin, sulkus medianus teraba.
Sarung tangan : feses tidak ada, darah tidak ada,
lendir tidak ada.
IV. DIAGNOSIS KERJA
Retensio Urin ec. Suspek Benign Prostat Hyperplasia
V. PEMERIKSAAN LAB
Hb : 11,8 gr%
Leukosit : 7.800/mm3
Trombosit : 178.000/mm3
Hematokrit : 38%
PT : 10,3 detik
APTT : 35,8 detik
GD Puasa : 77 mg/dl
32
GD 2 jam PP : 92 mg/dl
Ureum : 46 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl
Kalsium : 8,5 mg/dl
Natrium : 138 mmol/L
Kalium : 4,1 mmol/L
Klorida : 105 mmol/L
Total protein : 5,8 g/dl
Albumin : 3,2 g/dl
Globulin : 2,6 g/dl
SGOT : 18 u/l
SGPT : 14 u/L
Total Kolesterol : 116 mg/dl
HDL-kolesterol : 29 mg/dl
LDL-kolesterol : 71 mg/dl
Trigliserida : 79 mg/dl
Asam urat : 3,5 mg/dl
PSA : 1,15 ng/dl
33
VI. DIAGNOSIS
Benign Prostat Hyperplasia
VII. TERAPI
Rencana TURP
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonamQuo ad functionam : dubia ad bonamQuo ad sanam : dubia ad bonam
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta :
EGC, 1997.
2. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat,
Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
3. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan
pertama, Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
4. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2,
Jakarta : EGC, 1994.
5. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC,
1997.
6. Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat – Obat Penting; Khasiat, Penggunaan,
dan Efek – Efek Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
7. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara
Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI
R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.
8. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah
Urologi FK UNDIP.
9. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
10. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab.
Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.
11. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung
Seto, 2000.
12. Anonim. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina,
1997.
13. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition,
Gadjah Mada University Press, 1992.
35
14. Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta
Kedokteran, 3rd edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000
36