case 1 asma bronkiale + tonsilitis akut
DESCRIPTION
caseTRANSCRIPT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT IMANUEL WAY HALIM LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Meidalena Anggresia Bahen Tanda Tangan :
NIM : 11.2013.231
Dokter Pembimbing : dr. Haryono, Sp.PD
dr. Fajar Raditya, Sp.PD ---------------------
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Sdr. BD Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 29 tahun Suku bangsa : Indonesia
Status perkawinan : Belum menikah Agama : Katolik
Pekerjaan : Swasta Pendidikan : Universitas
Alamat : Jl Ratu Dibalau Gg. CempakaVII Way Kandis Tanjung
A. PENDAHULUAN
Pada kesempatan ini akan diajukan sebuah kasus: Seorang pria berusia 29 tahun datang
dengan keluhan sesak nafas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas disertai
dengan batuk dan napas yang berbunyi. Dan pasien juga susah untuk menelan karena
tenggorokannya teerasa sakit. Pasien pernah mengalami seperti ini sebelumnya dan sudah
pernah mendapat pengobatan tetapi pasien tidak teratur dalam menjalani pengobatan.
1. Apa saja faktor-faktor pencetus terjadinya asma ?
2. Apa perbedaan asma dan COPD ?
3. Bagaimana klasifikasi asma dan penanganannya menurut GINA ?
4. Apa saja yang menjadi komplikasi pada penyakit asma ?
| 1
B. ANAMNESIS
Autoanamnesis, 24 September 2014, pukul 15.00
Keluhan Utama:
Sesak napas sejak 5 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merasakan sesak napas sejak 5 hari yang lalu. Sesak napas dirasakan oleh
pasien terutama pada dini hari, bertambah berat apabila cuacanya dingin dan disertai napas
yang berbunyi. Sesak napas juga dirasakan saat sedang beraktivitas dan dipengaruhi oleh
lingkungan. Apabila terkena paparan debu, pasien akan merasa sesak .Saat itu pasien sedang
melakukan treadmill yang terlalu lama. Pasien terlalu memaksakan diri sehingga merasakan
sangat sulit untuk bernapas. Pasien lebih menyukai tidur dalam posisi setengah duduk.
Selama sesak pasien masih bisa mengucapkan kalimat namun terpatah-patah. Pasien
mengalami sesak napas hanya kadang-kadang, dan hal itu juga jarang sampai menggangu
aktivitasnya. Pasien terbangun dimalam hari atau lebih awal dan serangannya bisa 1-2 kali
dalam sebulan. Pasien ia menggunakan obat semprot atau obat oral untuk melegakan
pernapasan hanya 1 kali dalam sebulan. Pasien menyadari bahwa selama sebulan ini sesak
napasnya kurang terkontrol. Pasien sudah pernah mendapat pengobatan, tetapi pasien tidak
teratur dalam menjalani pengobatan.Pasien juga mengalami batuk yang tidak berdahak, tidak
berdarah, , ada nyeri saat menelan makanan sehingga nafsu makan pasien menjadi turun sejak
5 hari yang lalu.
2 hari sebelum masuk rumah sakit juga pasien menderita demam. Demam yang
dirasakan oleh pasien tidak naik turun dan tidak hilang timbul. Tetapi demam yang diderita
oleh pasien sembuh setelah meminum obat penurun panas namun nyeri menelannya masih
dirasakan.
Pasien tidak mengalami mual dan muntah, buang air kecil berwarna kuning dan
frekuensinya tidak berkurang. Kaki pasien tidak membengkak. Dan 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, pasien merasakan sesak napas saat dini hari dan memutuskan untuk pergi ke
Rumah Sakit Imanuel.
| 2
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sering mengalami sakit seperti ini sebelumnya dan sudah pernah menjalani
pengobatan tetapi pasien tidak teratur dalam menjalani pengobatan. Pasien tidak memiliki
riwayat tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit saluran cerna, alergi.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien tidak mempunyai riwayat merokok ataupun minum-minuman beralkohol.
Penyakit Dahulu ( Tahun, diisi bila ya (+), bila tidak (-) )
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu Ginjal / Saluran Kemih
(-) Cacar air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skirofula (-) Diabetes
(+) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(+) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Perdarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu Lain-lain: (-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur (thn) Jns Kelamin Keadaan Kesehatan Penyebab Meninggal
Kakek - ♂ Meninggal -
Nenek - ♀ Meninggal -
Ayah - ♂ Meninggal Ca Paru
Ibu - ♀ Sehat -
Adakah Kerabat Yang Menderita:
Penyakit Ya Tidak Hubungan
| 3
Alergi Ayah
Asma Nenek, Ayah
Tuberkulpasienis √
Artritis √
Rematisme √
Hipertensi √
Jantung √
Ginjal √
Lambung √
C. ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Kuning / Ikterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (-) Sakit kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang (-) Kuning / Ikterus
(-) Sekret (-) Gangguan penglihatan (-) Ketajaman penglihatan
Telinga
(-) Nyeri (-) Gangguan pendengaran (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Kehilangan pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan (-) Sekret
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman (-) Pilek
(-) Epistaksis
| 4
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gusi berdarah (-) Gangguan pengecap
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(+) Nyeri tenggorokan (-) Perubahan suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri leher
Dada (Jantung / Paru)
(-) Nyeri dada (+) Sesak napas (-) Ortopnoe
(-) Berdebar (-) Batuk darah (+) Batuk
Abdomen (Lambung / Usus)
(-) Rasa kembung (-) Benjolan (-) Tinja berwarna dempul
(-) Mual (-) Sukar menelan (-) Tinja darah
(-) Muntah (-) Nyeri perut, kolik (-) Tinja berwarna hitam
(-) Muntah darah (-) Wasir (-) Mencret
(-) Perut membesar
Saluran Kemih / Alat kelamin
(-) Disuria (-) Kencing batu (-) Urin seperti teh pekat
(-) Stranguria (-) Ngompol (-) Retensi urin
(-) Poliuria (-) Kencing nanah (-) Kencing menetes
(-) Polakisuria (-) Kolik (-) Penyakit Prostat
(-) Hematuria (-) Oliguria
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Amnesia (-) Pingsan
(-) Parestesi (-) Sukar mengingat (-) Pusing (vertigo)
| 5
(-) Otot lemah (-) Ataksia (-) Gangguan bicara (Disartri)
(-) Kejang (-) Hipo/ Hiper-esthesi (-) Lain-lain
(-) Afasia (-) Kedutan (‘tick’)
Ekstremitas
(-) Nyeri sendi (-) Deformitas
(-) Bengkak (-) Sianosis
(-) Krepitasi
BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 58 kg
Berat tertinggi (Kg) : 60 kg
Berat badan sekarang (Kg) : 55 kg
(Bila pasien tidak tahu dengan pasti)
Tetap ( )
Turun (√)
Naik ( )
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : ( ) Di rumah (+) Rumah Bersalin ( ) RS Bersalin
Ditolong oleh : () Dokter (+) Bidan ( ) Dukun
( ) Lain-lain
Riwayat Imunisasi
( ) Hepatitis ( ) BCG ( ) Campak ( ) DPT
( ) Polio ( ) Tetanus
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari : 3x/hari
Jumlah / Hari : 1 porsi
Variasi / Hari : Variasi
Nafsu makan : Menurun
| 6
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (-) SMA ( ) Sekolah Kejuruan ( ) Akademi
(+) Universitas ( ) Kursus
Kesulitan
Keuangan : Tidak ada
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada
D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 55 kg
Indek massa tubuh : 20,20
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/ menit, regular, isi cukup, equal
Suhu : 36,4oC
Pernapasan (Frekuensi dan tipe) : 22x/ menit, pernapasan abdominotorakal
Keadaan gizi : Cukup
Sianosis : Tidak ada
Edema umum : Tidak ada
Habitus : Atletikus
Cara berjalan : Normal
Mobilitas (Aktif / Pasif) : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : sesuai dengan usia pasien
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses pikir : Wajar dan cepat
| 7
Kulit
Warna : Putih Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Normal, merata Pembuluh darah : Teraba pulsasi
Suhu raba : Normotermi Lembab/ kering : Kering
Keringat Umum : -
Setempat : -
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Lapisan lemak : Tidak ada Edema : Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba membesar Leher : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar Ketiak : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah : Normal Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam
Mata
Exophthalmus : Tidak ada Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Tidak edem, tidak cekung Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis - / - Visus : Normal
Sklera : Ikterik -/- Gerakan mata : Aktif, normal
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Normal
Deviatio konjungae : Tidak ada Nystagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : - / - Selaput pendengaran : Utuh
Lubang : + / + Penyumbatan : - / -
Serumen : + / + Perdarahan : - / -
Cairan : - / -
Hidung
| 8
Bentuk : Normal
Septum : Tidak ada deviasi
Sekret : Tidak ada
Napas Cuping hidung : Tidak ada
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : T2-T2
Langit-langit : Normal, lengkap Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Normal, lengkap Trismus : Tidak ada
Faring : Hiperemis Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor, tidak kering, tidak tremor Gusi berdarah : Tidak ada
Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : Tidak taraba membesar
Dada
Bentuk : Simetris kanan dan kiri
Pembuluh darah : Tidak tampak
Buah dada : Simetris, tidak tampak kelainan
Paru-paru
Paru-paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kiri - Tidak ada penonjolan iga
- Fremitus taktil kanan = kiri
Tidak ada penonjolan iga
Fremitus taktil kiri = kanan
Kanan - Tidak ada penonjolan iga
- Fremitus taktil kanan = kiri
Tidak ada penonjolan iga
Fremitus taktil kanan = kiri
| 9
Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kiri - Suara vesikuler
- Ronki (-), Wheezing (+)
- Suara vesikuler
- Ronki (-), Wheezing (+)
Kanan - Suara vesikuler
- Ronki (-), Wheezing (+)
- Suara vesikuler
- Ronki (-), Wheezing (+)
Lain lain Batas paru hati: midclavicula kanan ICS 5
Jantung
Inpeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS 4, kuat angkat, reguler
Perkusi Batas kanan jantung Linea sternalis kanan
Batas kiri jantung 2 cm lateral linea midclavicula kiri
Batas atas jantung Sela iga 2 linea sternal kiri
Auskultasi Katup aorta - A2 > A1 reguler murni
- Murmur (-), Gallop (-)
Katup pulmonal - P2 > P1 reguler murni
- Murmur (-), Gallop (-)
Katup mitral - M 1 > M2 reguler murni
- Murmur (-), Gallop (-)
Katup trikuspid - T1 > T2 reguler murni
- Murmur (-), Gallop (-)
Pembuluh darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
| 10
Abdomen
Inspeksi : datar dan simetris.
Palpasi Dinding perut : tidak terdapat nyeri tekan.
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement - / -
Lain-lain : McBurney -, Murphy sign –, Rovsing sign –
Blumberg sign –
Nyeri ketuk CVA -/-
Perkusi : Timpani disemua lapang abdomen
Shiftting dullness (-)
Auskultasi : BU (+) normoperistaltik
Anggota Gerak
Lengan
Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Otot -Tonus
-Massa
Normotonus
Eutrofi
Normotonus
Eutrofi
Sendi Tidak bengkak Tidak bengkak
Gerakan Aktif Aktif
Edema Tidak ada Tidak ada
Lain- lain Tidak ditemukan krepitasi dan tanda radang
Tungkai dan kaki
Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot -Tonus
- Massa
Normotonus
Eutrofi
Normotonus
Eutrofi
Sendi Tidak bengkak Tidak bengkak
Gerakan Aktif Aktif
| 11
Edema Tidak ada Tidak ada
Lain- lain Tidak ditemukan krepitasi dan tanda radang
Refleks
Kanan Kiri
Refleks tendon +2 +2
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patella +2 +2
Archiles +2 +2
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit - -
Refleks patologis - -
Colok dubur (atas indikasi) : Tidak dilakukan
E. DIAGNOSA KLINIS
Asma bronkiale, Tonsilitis akut
Menurut anamnesis, data yang mendukung diagnosis adalah:
- Pasien merasakan sesak nafas saat aktivitas
- Pasien juga merasa sesak nafas pada malam hari dan kadang membangunkan pasien
dari tidurnya.
- Sesak napas yang dirasakan pasien dipengaruhi oleh lingkungan disertai dengan napas
berbunyi dan batuk.
- Tenggorokan yang sakit dan sulit menelan
Menurut pemeriksaan fisik, data yang mendukung diagnosis adalah:
- Pemeriksaan fisik paru pada auskultasi terdengar bunyi wheezing.
- Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan faring hiperemis dan tonsil membesar T2-
T2
| 12
Diagnosis Banding
PPOK
Data yang mendukung :
- Adanya sesak napas yang disertai mengi dan batuk
Data yang tidak mendukung :
- Batuk non produktif
- Belum dilakukan pemeriksaan spirometri
- Pasien tidak merokok
Gagal jantung kronik
Data yang mendukung:
- Pasien juga merasa sesak napas pada malam hari
- Sesak nafas yang dirasakan pasien sampai membangunkan pasien dari tidurnya.
- Pasien merasakan sesak saat beraktivitas
Data yang tidak mendukung:
- Sesak napas pasien dipoengaruhi lingkungan
- Kedua kaki pasien tidak membengkak
- Pasien buang air kecil berwarna kuning dan frekuansinya tidak berkurang
- Pasien tidak mengalami mual dan muntah
- Belum dilakukannya pemeriksaan penunjang Rontgen thorax.
F. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Uji darah lengkap (sudah dilakukan)
2. Pemeriksaan faal paru (belum dilakukan)
3. Pemeriksaan foto toraks (belum dilakukan)
4. Tes provokasi bronkus (belum dilakukan)
H.HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (23 September 2014, pukul 14:51)
| 13
Hematologi
Hemoglobin 16.3 g/dl L:12-17; P:11-15
Hematokrit 47% 37-54
Eritrosit 5.65 juta/ul 3.5-5.5
Trombosit 320 ribu/ul 150-350
Lekosit 9830/ul 5000-10000
Segment 61% 50-70
Limposit 30% 25-40
Monosit 7% 2-8
Eosin 1% 2-4
Basophil 1% 0-1
MCHC 35 g/dl 31-36
MCH 29 pg 27-32
MCV 83 fl 77-94
MPV 10 fl 6-12
Gambaran Eritrosit NORMAL
Trombosit CUKUP
I. RINGKASAN
Seorang pria berusia 29 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 5 hari yang
lalu terutama pada dini hari, bertambah berat apabila cuacanya dingin dan disertai napas yang
berbunyi. Sesak napas juga dirasakan saat sedang beraktivitas dan dipengaruhi oleh
lingkungan. Pasien lebih menyukai tidur dalam posisi setengah duduk. Selama sesak pasien
masih bisa mengucapkan kalimat namun terpatah-patah, sesak napas hanya kadang-kadang,
dan jarang sampai menggangu aktivitasnya. Pasien terbangun dimalam hari atau lebih awal
dan serangannya bisa 1-2 kali dalam sebulan, menggunakan obat semprot atau obat oral
untuk melegakan pernapasan hanya 1 kali dalam sebulan. Selama sebulan ini sesak napasnya
kurang terkontrol. Pasien sudah pernah mendapat pengobatan , tetapi pasien tidak teratur
dalam menjalani pengobatan. Pasien juga mengalami batuk, nyeri menelan, dan demam.
Pemeriksaan fisik:
- Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Tanda-tanda vital; tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/ menit,
| 14
pernapasan 22x/menit, dan suhu 36,4oC. Indeks massa tubuh 20,20 (masuk kategori
berat badan ideal), dan keadaan gizi juga cukup.
- Pada mulut didapatkan tonsil membesar dengan ukuran T2-T2
- Pada paru terdengar wheezing saat di auskultasi.
Pemeriksaan penunjang:
- Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan:
o Eritrosit 5.65 juta/ul
J. DIAGNOSIS KERJA
Asma Bronkiale, Tonsilofaringitis
Menurut anamnesis, data yang mendukung diagnpasienis adalah:
- Pasien merasakan sesak napas yang dipengaruhi oleh lingkungan
- Sesak napas disertai dengan napas yang berbunyi dan batuk
- Sesak napas dirasakan dari malam hari sampai dini hari
- Pasien menderita demam dan nyeri menelan
- Apabila terkena paparan debu, pasien langsung mengalami sesak.
Menurut pemeriksaan fisik, data yang mendukung diagnosis adalah:
- Tenggorokan : Tampak faring hiperemis, tonsil membesar dengan ukuran T2-T2
- Paru : pada auskultasi terdengar bunyi wheezing.
Menurut pemeriksaan penunjang, data yang mendukung diagnosis adalah:
Belum ditemukan data yang menunjang.
K.RENCANA PENGELOLAAN
Tatalaksana hari pertama pada pasien ini adalah:
Rawat inap
IVFD RL 500 cc q 12 jam
Nebulizer : Combivent (ipratrium bromide, salbutamol sulfat) + flexotid + NS 2 cc Q
8 Jam.
Injeksi Dexametason 3 x 1 ampul
| 15
Tablet Ambroxol 3 x 1
Terasma 3 x 10 cc
Diet biasa
O2 2-4 lpm
Tatalaksana hari kedua pasien ini adalah:
Tablet Ambroxol di stop.
Tablet meptin 2 x 1 (Prokaterol HCl)
Tablet zycin 1 x 500 mg (Azitromisin)
Tantum kumur 2 x 10 cc
Syrup Terasma 3x10 cc (Terbutaline sulfat)
Nebulizer :
Ventolin : 1 ampul (salbutamol sulfat, guainefenesin)
Flexotide : 1 ampul (flutkason propionate)
NS 2 cc Q 8 jam
Tatalaksana hari ketiga pasien ini adalah
Konsul dr. Abdi, spTHT
Tatalaksana hari keempat pasien ini adalah
Pulang berobat jalan
Diet biasa
Kontrol untuk 1 minggu
L. PENCEGAHAN
1. Mencegah sensitisasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya
asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap
rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah
perkembangan asma. Hipotesis hygiene untuk mengarahkan sistem imun bayi ke Th1,
respon nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.
2. Mencegah eksaserbasi
| 16
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor
seperti tungau, debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti
polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan
beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan
kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki control
asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor
lingkungan sehingga usaha menghindari allergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain
yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif,
obesitas, emosi-stress dan berbagai faktor lainnya.
M. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
N. FOLLOW UP
Tanggal Data Klinis Pemeriksaan
Penunjang
Diagnosis dan Tindakan
24
Septem
ber
2014
S: sesak napas disertai napas yang
berbunyi, terasa berat di bagian
dada, tenggorokan terasa sakit dan
sulit menelan.
O: K = CM; KU = tampak sakit
sedang; TD = 120/80 mmHg; HR
= 80 x/menit equal, kuat angkat,
regular; RR = 22 x/menit; S =
36,4oC
Mata: konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik
Tenggorok: T2-T2, faring
hiperemis
Leher: tidak teraba benjolan dan
Eritrosit 5.65 juta/ul Diagnosis: Asma Bronkiale
dan tonsilitis akut
Tatalaksana:
Nebulizer :
Combvent + flexotid
+ NS 2 cc Q 8 Jam.
Injeksi Dexametason
3 x 1 ampul
Tablet Ambroxol 3 x
1
Terasma 3 x 10 cc
O2 2-4 lpm
| 17
perbesaran KGB
Paru: I gerakan dada statis
dinamis simetris, tidak terlihat
retraksi
Pa gerakan dada statis dinamis
simetris, VF kanan = kiri, tidak
teraba retraksi dan nyeri tekan
Pe Sonor, BPH ics 6 midclav
kanan
Aus Bunyi suara nafas
vesikuler, Rh -/-, Wh +/+
Cor: I Ictus cordis tidak
terlihat
Pa Ictus cordis teraba ics 4
Pe Batas kanan: sternalis
kanan; batas kiri: midclavicula
kiri; batas atas: ics 2 sternal kiri
Aus BJ I-II murni regular
tanpa murmur dan gallop
Abd: I datar,tidak tampak
pembuluh darah kolateral
Pa tidak terdapat nyeri tekan,
hati dan lien tidak teraba
Pe timpani
Aus bising usus +,
normoperistaltik
Eks: tidak ada edema, deformitas,
tanda radang maupun krepitasi
25
Septem
ber
2014
S: kadang-kadang masih terasa
sesak, tenggorokan masih terasa
susah menelan
O: K = CM; KU = tampak sakit
sedang; TD = 120/90 mmHg; HR
Tidak diperiksa Diagnosis: asma bronkiale,
tonsilitis akut
Tatalaksana:
Terapi lanjut
Konsul ke dr.Abdi,
| 18
= 79 x/menit equal, kuat angkat,
regular; RR = 21 x/menit; S =
36,4oC
Mata: konjungtiva tidak anemis,
sklera tampak ikterik
Tenggorok: T2-T2, faring
hiperemis
Leher: tidak teraba benjolan dan
perbesaran KGB
Pulmo: sonor, Rh -/-, Wh -/-
Cor: BJ I-II murni regular
Abd: nyeri tekan - , hepar dan lien
tidak teraba membesar
Eks: tidak ada krepitasi,
deformitas, tanda radang, edema
spTHT
26
Septem
ber
2014
S: sudah mulai membaik, tidak
ada keluhan
O: K = CM; KU = tampak sakit
sedang; TD = 120/70 mmHg; HR
= 80 x/menit equal, kuat angkat,
regular; RR = 20 x/menit; S =
36,5oC
Mata: konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik
Tenggorok: T2-T2, faring
hiperemis
Leher: tidak teraba benjolan dan
perbesaran KGB
Pulmo: sonor , Rh -/-, Wh -/-
Cor: BJ I-II murni regular
Abd: datar,tidak ada nyeri tekan,
hepar lien tidak teraba membesar
Eks: tidak ada krepitasi,
Tidak diperiksa Diagnosis: asma bronkiale,
tonsillitis akut
Tatalaksana:
Pulang berobat jalan
| 19
deformitas, tanda radang, edema
O.PEMBAHASAN
PEMBAHASAN 1: FAKTOR-FAKTOR PENCETUS TERJADINYA ASMA
Genetik
Telah diterima secara umum bahwa ada kontribusi herediter pada etiologi asma, pola
herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan secara sederhana cara pewarisannya
seperti autosomal dominan, resesif atau sex-linked. Namun dari studi genetik telah
menemukan multiple chromosomal region yang berisi gen-gen yang memberi kontribusi
asma. Kadar serum IgE yang tinggi telah diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q, 11q
dan 12q. Secara klinik ada hubungan kuat antara hiperresponsif saluran nafas dengan
peningkatan kadar IgE dan bukti terbaru menunjukkan coinheritance dari gen untuk atopi dan
airway hypereactivity (AHR) dijumpai pada kromosom yang sama. Gen yang menentukan
spesifisitas dari respons imun mungkin juga penting pada pathogenesis asma.
Alergen
Asma akibat alergi bergantung pada respons IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B
diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast.
Sebagian besar alergen yang mencetuskan asma bersifat airborne dan supaya dapat
menginduksi keadaan sesitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah yang banyak
dalam periode tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan
memperlihatkan respons yang sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang menganggu
sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas. Mekanisme imunologik
kelihatannya berhubungan sebab akibat dengan perkembangan asama pada 25 sampai 35
persen dari semua kasus dan mungkin berperan pada sepertiga kasus yang lain. Prevalensi
yang lebih tinggi telah dinyatakan, tetapi sulit diketahui bagaimana menginterpretasikan data
karena faktor yang bercampur baur. Asma alergi biasanya bersifat musiman dan biasanya
lebih sering ditemukan pada anak dan orang dewasa muda. Bentuk tidak musiman mungkin
disebabkan alergi terhadap bulu, kotoran hewan, tungau debu, jamur, dan antigen lain yang
ditemukan secara terus menerus di lingkungan. Pajanan terhadap antigen secara khusus akan
menimbulkan respon cepat dengan obstruksi jalan napas terjadi dalam beberapa menit dan
kemudian hilang. Pada 30 sampai 50 persen pasien, serangan bronkokonstriksi kedua yang
| 20
disebut sebagai reaksi terlambat, timbul 6 sampai 10 jam kemudian. Pada kelompok
minoritas, hanya rekasi terlambat yang terjadi. Dahulu diperkirakan bahwa reaksi terlambat
penting bagi perkembangan peningkatan reaktivitas jalan napas yang terjadi setelah pajanan
terhadap antigen. Data terakhir menujukkan bahwa pemikiran tersebut tidak benar.
Rangsangan farmakologik
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asma adalah
aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindroma
pernapasan sensitive-aspirin khusus terutama mengenai orang dewasa, walaupun keadaan ini
juga dapat dilihat pada masa anak-anak. Masalah ini biasanya berawal dengan rhinitis
vasomotor perennial yang diikuti dengan rinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru
kemudian muncul asma progresif. Pada pajanan terhadap jumlah aspirin yang sangat kecil
sekalipun, pasien secara khusus akan mengalami kongesti mata dan hidung disertai episode
obstruksi jalan napas akut, bahkan sering berat. Prevalensi sensitivitas aspirin pada pasien
asma bervariasi dari penelitian ke penelitian, tetapi bnayak peneliti menduga bahwa 10
persen merupakan gambaran yang masuk akal. Ditemukan reaktivasi silang yang besar antara
aspirin dan senyawa anti-inflamasi non steroid lain. Indometasin, fenoprofen, naproksen,
natrium zomepirak, ibuprofen,asam mefenamat dan fenilbutazon secara khusus penting
dalam hal ini. Sebaliknya asetaminofen, natrium salisilat, kolin salisilat salisilamid dan
propoksilen dapat ditoleransi dengan baik. Frekuensi reaksi silang yang sebenarnya terhadap
tartazin dan bahan pewarna lain pada pasien asma senstif –aspirin bersifat tersembunyi, akan
tetapi pada tartazin dan bahan pewarna lain yang cenderung menimbulkan masalah dapat
ditemukan secara luas di lingkungan dan mungkin tanpa diketahui ditelan oleh pasien yang
sensitif.
Pasien yang sensitive terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat
setiap hari. Setelah mejalani bentuk terapi ini, tolerasi silang juga akan terbentuk terhadap
agen anti-inflamasi non steroid lain. Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat
menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan
leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin. Hipersensitivitas cepat kelihatannya
tidak terbentuk.
Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien
asma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktivitas jalan napas dan harus
dihindarkan pada pasien ini. Bahkan agen beta1 selektif memiliki agen ini, khsusunya pada
| 21
dosis yang lebih tinggi. Sesungguhnya, penggunaan stetempat penghambat beta1 di mata pada
terapi glaukoma berhubungan dengan asma yang semakin memburuk.
Obat sulfat, sperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit dan sulfat
dioksida, yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen
sanitasi dan pengawet, juga dapat menimbulkan obstruksi jalan napas akut pada pasien yang
sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung
senyawa ini, misalnya salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur. Eksaserbasi asma
pernah dilaporkan setelah penggunaan larutan mata topical yang mengandung sulfit,
glukokortikoid intravena dan beberapa larutan bronkodilator inhalan. Insidensi dan
mekanisme kerja fenomena ini masih belum diketahui. Bila timbul kecurigaan, diagnpasienis
dapat dipastikan dengan provokasi oral maupun inhalasi.
Lingkungan dan polusi udara
Lingkungan penyebab asma biasanya berhubungan dengan keadaan iklim yang menyebabkan
konsentrasi polutan atmosfer dan antigen. Keadaan ini cenderung ditemukan pada daerah
yang padat industri ataupun daerah kumuh yang padat penduduknya dan sering berhubungan
dengan perubahan suhu atau situasi yang berhubungan dengan massa udara yang terhambat.
Pada keadaan seperti ini, walaupun penduduk dapat mengalami gangguan pernapasan, pasien
dengan asma dan penyakit penyakit pernapasan lain cenderung menderita lebih berat. Polutan
udara yang diketahui memiliki efek seperti ini adalah ozon, nitrogen dioksida dan sulfur
dioksida. Yang dibutuhkan kemudian adalah konsentrasi tinggi dan dapat menimbulkan efek
yang paling berat selama periode ventilasi yang banyak.
Faktor pekerjaan
Asma yang berkaitan dengan kerja merupakan masalah kesehatan yang bermakna dan
obstruksi jalan napas akut dan kronik dilaporkan terjadi setelah pajanan terhadap sejumlah
besar senyawa yang dapat dihasilkan dari pekerjaan atau pajanan terhadap garam logam
(misalanya platinum, krom dan nikel), debu kayu dan sayuran (misalnya pohon ek, pohon
cedar merah Barat (western red cedar), padi-padian, tepung, kacang kastor, biji kopi hijau,
mako, gum akasia, gum karay, dan tragacanth), bahan farmasi (misalnya antibiotika,
piperazin dan simetidin), bahan kimia industri dan plastik (misalnya toluene diisodianat,
asam fitalat anhidrat, asam trimelitat anhidrat, persulfat, etilendiamin, parafenilendiamin, dan
bebrbagai bahan pewarna), dan serangga. Penting untuk mengetahui bahwa pajanan terhadap
| 22
bahan kimia yang merangsang, khususnya bahan kimia yang digunakan pada cat, pelarut dan
plastic, juga dapat terjadi selama istirahat atau aktivitas yang tidak tidak berhubungan dengan
kerja.
Infeksi
Infeksi jalan napas merupakan rangsangan yang paling umum menbangkitkan eksaserbasi
akut asma. Penelitian yang dilakukan dengan baik memperlihatkan bahwa virus jalan napas
dan bukan bakteri ataupun alergi merupakan faktor etiologik yang utama. Pada anak-anak
yang lebih muda, agen infeksi yang paling penting adalah respiratory syncitial virus (virus
sinsitial pernapasan) dan virus parainfluenza. Pada anak yang lebth tua dan orang dewasa,
rhinovirus dan virus influenza merupakan pathogen utama. Koloni kecil pada saluran
trakeobronkial sudah cukup untuk mencetuskan episode akut bronkospasme dan serangan
asma terjadi hanya bila gejala infeksi jalan napas yang sedang berlangsung ditemukan atau
gejala tersebut sudah ada. Mekanisme bagaimana virus menginduksi timbulnya asma tidak
diketahui tetapi mungkin bahwa hasil perubahan akibat radang mukosa jalan napas mengubah
pertahanan pejamu dan menyebabkan saluran trakeobronkial lebih rentan terhadap
rangsangan eksogen. Bukti yang mendukung bahwa konsep ini diperoleh dari bukti bahwa
respons jalan napas bahkan dari individu normal (bukan pasien asma) terhadap rangsangan
secara perlahan akan meningkat setelah infeksi virus. Peningkatan respon jalan napas, yang
berhubungan dengan batuk dan yang lebih jarang mengi, dapat berlangsung dari 2 sampai 8
minggu setelah infeksi baik pada individu normal maupun pasien asma.
Exercise
Exercise merupakan salah satu penyebab episode akut asma yang paling sering ditemukan.
Rangsangannya berbeda dengan penyebab alami lain seperti antigen atau infeksi virus yatiu
exercise tidak menimbulkan cacat yang lama dan juga tidak mengubah reaktivitas jalan
napas. Timbulnya bronkospasme akibat latihan fisis mungkin berpengaruh pada beberapa
pasien asma dan pada beberapa pasien mungkin merupakan mekanisme pencetus tunggal
yang akan menimbulkan gejala asma. Bila pasien tersebut dirawat dalam waktu yang cukup,
pasien tersebut sering mengalami episode berulang obstruksi jalan napas yang tidak
bergantung pada exercise , jadi awitan masalah ini kadang-kadang dapat bertindak sebagai
manifestasi pertama sindroma asma yang menyeluruh. Ditemukan interaksi yang bermakna
antara ventilasi yang diperoleh dari exercise, suhu, dan kandungan air udara yang diinspirasi
| 23
dan besarnya obstruksi pasca exercise. Jadi untuk kondisi udara yang diinspirasi secara sama,
berlari akan menyebabkan serangan asma yang lebih berat dibandingkan berjalan.
Sebaliknya, untuk exercise yang diberikan, inhalasi udara dingin selama melakukan latihan
akan meningkatkan respon secara bermakna, sementara udara panas, lembab akan
menghambatnya bahkan menghilangkannya. Akibatnya aktivitas seperti bermain ski,
melintasi alam atau berseluncur di es lebih bersifat merangsang dibandingkan berenang di
dalam kolam renang air hangat yang terletak didalam gedung. Mekanisme bagaimana
exercise akan menghasilkan obstruksi mungkin berhubungan dengan hyperemia yang
disebabkan oleh suhu dan pengisian darah ( engorgement) mirovaskuler dinding bronkus dan
kelihatannya tidak mengikutsertakan kontraksi otot polos pasien.
Stres emosional
Banyak data obyektif yang tersedia memperlihatkan bahwa faktor psikologis dapat
berinteraksi dengan diatesis asma baik untuk memperberat atau memperbaiki proses
penyakit. Jalur dan gambaran interaksi bersifat kompleks tetapi dapat diterima pada lebih dari
setengah pasien yang diteliti. Perubahan ukuran jalan napas kelihatannya dicetuskan melalui
perubahan aktivitias saraf vagus eferen, tetapi endorfin juga dapat berperan. Variabel yang
paling sering diteliti telah disebutkan dan bukti penelitian saat ini menyatakan bahwa faktor
psikologi cukup berperan pada beberapa pasien asma yang telah diseleksi. Bila pasien yang
memberikan respon secara psikis diberikan saran yang sesuai. Pasien sebenarnya dapat
menurunkan atau meningkatkan efek farmakologis rangsangan adrenergik dan kolinergik
pada jalan napasnya. Batasan yang menyebabkan faktor psikologi dapat berperan pada
perangsangan dan/atau kelangsungan eksaserbasi akut masih belum diketahui tetapi mungkin
bervariasi dari pasien ke pasien dan pada beberapa pasien dari satu episode ke episode lain.
Pembahasan : Pada pasien ini yang menjadi pencetus terjadinya asma ialah faktor
exercisenya. Latihan fisik yang dilakukan pasien seperti treadmill dimana terjadinya
bronkospasme.
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas
kronis. Hal ini didefinisikan adanya riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas,
sesak dada dan batuk yang bervariasi dari waktu dan intensitas, terjadi secara bersamaan
dengan variabel hambatan aliran udara ekspirasi. [GINA 2014]
| 24
PEMBAHASAN 2: PERBEDAAN ANTARA ASMA DAN COPD
COPD adalah penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan
keterbatasan aliran udara terus-menerus yang biasanya progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi kronis, partikel berbahaya atau gas yang ditingkatkan dalam saluran udara
dan paru-paru. Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi terhadap keseluruhan kerasnya
dalam pasien [GOLD 2014]
| 25
PEMBAHASAN 3: KLASIFIKASI ASMA DAN PENANGANANNYA MENURUT
GINA
Klasifikasi Asma Menurut GINA
Pengobatan Asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma)
Asma akan mempunyai dampak terhadap kehidupan pasien, keluarganya maupun
masyarakat. Sampai sejauh ini belum ada cara untuk menyembuhkan asma, namun dengan
penatalaksanaan yang baik tujuan untuk dapat memperoleh control asma yang baik, pada
sebagian kasus dapat tercapai. Dalam uraian berikut, akan dibahas mengenai tujuan
penatalaksanaan asma, tes kontrol asma (TKA), obat-obat asma, serta komponen-komponen
yang berperan dalam mencapai keberhasilan pengobatan.
| 26
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk :
- Mencapai dan mempertahankan control gejala-gejala asma
- Mempertahankan aktivitas yang normal termasuk olahraga
- Menjaga fungsi paru senormal mungkin
- Mencegah eksaserbasi asma
- Menghindari reaksi samping (adverse reaction) obat asma
- Mencegah kematian karena asma
Untuk mencapai tujuan diatas GINA merekomendasikan 5 komponen yang saling terkait
dalam penatalaksanaan asma :
- Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter
- Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko
- Penilaian, pengobatan, dan pemantauan keadaan kontrol asma
- Atasi serangan asma
- Penatalaksanaan keadaan khusus
1. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter
Kerjasama yang baik antara dokter-pasien, akan mempercepat tujuan penatalaksanaan
asma. Dengan bimbingan dokter, pasien didukung untuk mampu mengontrol
asmanya. Pasien akan mampu mengenal kapan asmanya memburuk, mengetahui
tindakan sementara sebelum menghubungi dokter, kapan harus menghubungi
dokternya, kapan harus segera mengunjungi instalasi gawat darurat dan akhirnya akan
meningkatkan kepercayaan diri dan ketaatan berobat.
2. Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko
Untuk mencapai kontrol asma diperlukan identifikasi mengenai faktor-faktor yang
dapat memperburuk gejala asma atau lebih dikenal sebagai faktor pencetus.
Menghindari faktor pencetus diharapkan dapat mengurangi gejala dan serangan asma.
Berbagai alergen, baik yang didalam rumah maupun diluar rumah patut untuk
diidentifikasi dan selanjutnya dihindari. Alergen yang sering didapatkan di dalam
rumah antara lain tungau, debu, bulu binatang, dan kecoa. Alergen yang sering
didapatkan diluar rumah antara lain polusi udara dan lingkungan kerja. Perlu
| 27
diidentifikasi juga faktor-faktor pencetus lain seperti infeksi virus influenza,
ketegangan jiwa, rinosinusitis, refluks gastroesofagal.
3. Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma
Tujuan terpenting dari penatalaksanaan asma adalah mencapai dan mempertahankan
control asma. Dulu GINA menyandarkan pengobatan pada klasifikasi derajat berat
asma, yang terdiri dari asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat. Selain aplikasinya rumit, klasifikasi tadi hanya pendapat para ahli dan
belum pernah divalidasi. Sehingga menuai berbagai kritik. Derajat berat asma juga
dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu atau pengaruh pengobatan. Oleh
karena itu sekarang diperkenalkan istilah kontrol asma yang lebih mengarah kepada
upaya pencegahan dengan cara mengendalikan gejala klinik penyakit termasuk juga
perbaikan fungsi paru. GINA membagi tingkat kontrol asma menjadi tiga tingkatan
yaitu terkontrol sempurna, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol yang juga belum
divalidasi. Berbagai alat tingkat kontrol asma saat ini telah dikembangkan baik yang
menggunakan fungsi paru sebagai salah satu komponen pengkurun kontrol maupun
yang tidak, dan semuanya telah divalidasi. Salah satu diantaranya adalah Tes Kontrol
Asma (TKA), yang tidak menggunakan fungsi paru, mudah pemakaiannya dan praktis
karena sebagian besar dokter di negeri kita tidak menggunakan fungsi paru dalam
prakteknya. TKA ini telah pula divalidasi di Indonesia. Pertanyaaan-pertanyaan untuk
TKA beserta interpretasinya dapat dilihat di tabel 1.
| 28
Pada sebagian besar pasien dengan intervensi obat asma dan hubungan dokter
pasien yang baik, tujuan diatas dapat tercapai. Pengobatan merupakan proses yang
berkesinambungan. Bila dengan obat yang diberikan saat ini asma belum terkontrol,
dpasienis atau jenis obat ditingkatkan. Seperti diketahui pada panduan
penatalaksanaan asma yang baru, terdapat 5 tingkatan pengobatan asma. Bila kontrol
asma dapat tercapai dan dapat dipertahankan terkontrol paling tidak selama 3 bulan
maka tingkatan pengobatan asma dapat dicoba untuk diturunkan. Sebaliknya bila
respons pengobatan belum memadai tingkatan pengobatan dinaikkan. Pada tingkat
berapa pengobatan untuk mencapai kontrol dimulai, tergantung berat atau tidaknya
kontrol asma. Bila dianggap ringan tingkat 2, yang agak berat tingkat 3.
Pengukuran kontrol asma
Pada penyakit-penyakit kronik sasaran pengobatan umumnya sudah jelas, sehingga
pengobatan ditujukan kepada sasaran tersebut. Sebagai contoh hipertensi dikatakan
terkontrol bila tekanan darah ≤ 140/90 mmHg, diabetes mellitus terkontrol bila kadar
HbA1C ≤ 6.5% atau dislipidemia dianggap terkontrol bila kadar LDL kolesterol ≤
100 mg/dl. Namun asma sebagai penyakit multidimensi persepsi tentang kontrol asma
belum ada kesepakatan, sehingga tidak mengherankan bila sebagian besar asma tidak
terkontrol. Oleh karena itu para ahli berupaya mencari alat ukur yang diperkirakan
dapat mewakili kontrol asma secara keseluruhan mulai dari pengukuran salah satu
variabel sampai kepada gabungan beberapa variabel. Sejauh ini paling tidak terdapat 5
alat ukur berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru, tetapi yang
lazim dipakai adalah tes kontrol asma seperti terlihat pada gambar 2.
| 29
Asthma Control Test (Tes Kontrol Asma) diperkenalkan oleh Nathan dkk yang berisi
5 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga
nilai terendah ACT adalah 5 dan tertinggi 25, Interpretasi dari skor tersebut adalah :
bila kurang atau sama dengan 19 berarti asma tidak terkontrol, sedangkan di
bawah 15 dikatakan terkontrol buruk
20-24 dikatakan terkontrol baik
25 dikatakan terkontrol total atau sempurna
Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya asma. Bila gejala
asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat berikutnya. Tetapi
| 30
sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik pengobatan, ketaatan berobat
serta pengendalian lingkungan (penghindaran alergen atau faktor pencetus) telah
dilaksanakan dengan baik.
Setelah asma terkendali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan, dapat dicoba
menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum
yang dapat mengendalikan gejala.
Akhir-akhir ini diperkenalkan terapai anti IgE untu asma alergi yang berat.
Penelitian menunjukkan bahwa anti IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian
obat anti asma, kunjungan ke gawat darurat karena serangan asma akut, dan
kebutuhan rawat inap.
| 31
Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui
perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi penyakitnya, mengenal tanda-
tanda dini serangan asma, dan dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut.
Dengan menggunakan peak flow meter pasien diminta mengukur secara teratur
setiap hari dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai
terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.
4. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat
yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan
dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma
akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang
terpajan faktor pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
Mengatasi hipoksemia
Mengembalikan fungsi paru kea rah normal secepat mungkin
Mencegah terjadinya serangan berikutnya
Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya menganai cara-cara
mengatasi dan mencegah serangan asma
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat
beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis,
nilai APE, dan bila mungkin analisis gas darah seperti terlihat pada tabel 2. Hal
lain yang juga perlu diketahui apakah pasien termasuk pasien asma yang berisiko
tinggi untuk kematian karena asma, yaitu pasien yang :
Sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik
Riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat darurat karena asma
dalam setahun terakhir.
Gangguan kejiwaan atau psikososial
Pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan.
| 32
Pengobatan Asma Akut
Prinsip pengobatan asma akut adalah memelihara saturasi oksigen yang cukup
(Sa O2 ≥ 92% ) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran napas dengan
pemberian bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium bromida) dan
mengurangi inflamasi serta mencegah kekambuhan dengan memberikan
kortikosteroid sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai Sa
O2 ≥ 92%, sehingga bila penderita telah mempunyai Sa O2 ≥ 92% sebenarnya tidak
lagi membutuhkan inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan obat
anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma
ringan atua sedang, pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk
mengatasi serangan. Obat-obat anti-asma yang lain seperti antikolinergik hirup,
teofilin, dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat alternatif karena mula kerja yang
lama serta efek sampingnya yang lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat,
dosis agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan
pemberian kombinasi Ipratropium bromide dengan salbutamol, karena dapat
mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respons terhadap agonis beta 2 hirup
tidak memuaskan. Dosis prednisolon yang diberikan berkisar antara 0,5-1 mg/kgBB
atau ekuivalennya. Perbaikan biasanya terjadi secara bertahap. Oleh karena itu
pengobatan diteruskan untuk beberapa hari. tetapi bila tidak ada perbaikan atau
minimal, pasien segera dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih baik.
Pasien harus segera dirujuk bila :
Pasien dengan risiko tinggi untuk kematian karena asma
Serangan asma berat APE < 60 % nilai prediksi
Respons bronkodilator tidak segera dan bila ada respon hanya bertahan kurang
dari 3 jam
Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid.
Gejala asma makin memburuk.
| 33
5. Penatalaksanaan asma pada kondisi khusus
Beberapa keadaan pada asma yang perlu mendapat perhatian khusus apabila pasien
asma juga mengalami kehamilan, pembedahan, rhinitis, sinusitis, refluks
gastroesofagal, dan anafilaksis.
Kehamilan
Asma yang tidak terkontrol akan berdampak pada janin, menyebabkan kematian
perinatal, prematuritas dan berat lahir rendah. Secara umum dapat dikatakan wanita
hamil dengan asma yang terkontrol prognosisnya sama dengan wanita hamil yang
tidak asma. Oleh karena itu pemakaian obat-obat antiasma untuk memperoleh kontrol
asma dapat diterima, meskipun keamanannya pada kehamilan belum terbukti.
Dengan demikian penatalaksanaan asma pada kehamilan ditujukan untuk memperoleh
kontrol asma.
Pembedahan
Komplikasi pembedahan juga ditentukan oleh beratnya asma sewaktu operasi.
Lokasi operasi dimana daerah torak dan abdomen atas mempunya risiko yang paling
besara serta jenis anestesi dengan intubasi mempunyai risiko yang lebih tinggi.
Penilaian sebaiknya dilakukan beberapa hari sebelum operasi, agar bila terjadi
kelainan dapat diatasi sebelum operasi. Kortikosteroid sistemik oral dapat diberikan
bila pada fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi. Demikian pula pasien asma
yang 6 bulan terakhir mendapat kortikosteroid sistemik, perlu mendapat perlindungan
dengan 100 mg hidrokortison sebelum operasi. Steroid mulai dikurangi 24 jam setelah
operasi.
Rinitis dan Sinusitis
Pada pasien asma perlu dipikirkan adanya rhinitis, sinusitis dan polip hidung,
dan sebagainya karena mempunyai hubungan yang erat. Sekitar 70-80% pasien asma
mempunyai gejala rhinitis, sebaliknya sekitar 30% pasien rhinitis mempunyai asma.
Untuk kepastian diagnosis sinusitis dianjurkan pemeriksaan CT scan sinus paranasal.
Perlu diwaspadai adanya asma, rhinitis dan polip hidung yang paling sering disertai
alergi terhadap asam asetil saliksilat. Infeksi saluran napas atas yang disebabkan virus
sering terjadinya serangan asma. Pengobatan tidak berbeda dengan serangan asma
yang disebabkan oleh faktor pencetus lainnya.
| 34
Refluks Gastroesofagal
Refluks gastroesofagal perlu dipikirkan terutama pada pasien asma yang sulit
dikontrol. Penanganan keadaan ini diharapkan mengurangi gejala asma. Pengobatan
yang dianjurkan yaitu porsi makanan yang sedikit tetapi sering, hindari makan atau
minum sebelum tidur, hindari makanan yang berlemak, alkohol, teofilin, dan agonis
beta2 oral. Berikan “Proton Pump Inhibitor” atau antagonis H2 serta tidur dengan
tempat tidur bagian kepala yang ditinggikan.
Anafilaksis
Kejadian anafilaksis terjadi pada pasien asma, sehingga pada serangan asma resisten
terhadaap pengobatan perlu dicari gejala-gejala lain anafilaksis. Sekali didiagnosis
anafilakasis ditegakkan, pengobatan utamanya adalah epinefrin, atau adrenalin 0,3 ml
IM yang dapat diulangi beberapa kali.
Langkah- langkah Pengobatan
STEP 1 : Inhaler pada saat dibutuhkan
Pilihan Utama : penggunaan hanya jika saat dibutuhkan short acting beta2 agonist
(SABA)
SABAs efektif untuk meredakan dengan cepat gejala asma. Namun tidak ada bukti
yang cukup menyatakan bahwa pengobatan asma menggunakan SABA sendiri cukup.
Jadi pilihan ini ditujukan untuk pasien yang hanya sesekali mengalami serangan
(contoh : kurang dari 2x selama sebulan) serangan hanya berdurasi sebentar (beberapa
jam), tanpa bangun pada malam hari dan fungsi paru normal. Gejala yang lebih sering
muncul , atau munculnya faktor eksaserbasi seperti FEV1 <80% , atau diprediksi
mendapat serangan kembali dalam waktu urang dari 12 bulan, maka merupakan
indikasi untuk penggunaan controller secara reguler.
Pilihan lain :
Dosis reguler kortikosteroid inhalasi sebaiknya ditambahkan pada SABA yang hanya
dipakai jika dibutuhkan.
STEP 2: Pengobatan controller ditambah dengan SABA bila dibutuhkan
Pilihan utama: Secara reguler menggunakan ICS dosis rendah ditambah dengan
SABA bila dibutuhkan.
| 35
Pengobatan dengan kortikosteroid inhalasi dalam dosis rendah dapat mnegurangi
gejala asma, meningkatkan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkan resiko eksaserbasi dan angka masuk RS serta kematian akibat asma.
Pilihan lain :
Leukotriene receptor antagonist (LTRA) lebih tidak efektif dibanding ICS. Mungkin
dapat berguna pada pemberian di tahap- tahap awal untuk beberapa pasien yang tidak
bisa atau menolak memakai ICS. Obat ini ditujukan untuk pasien yang tidak bisa
menerika ICS dan pasien dengan rhinitis alergi. Pada pasien dewasa atau remaja yang
sebelumnya tidak menggunakan controller treatment , kombiasi dosis rendah ICS
/LABA sebagai terapi rumatan inisial dapat mnegurangi gejala dan memperbaiki
fungsi paru dibanding jika hanya menggunakan ICS sendiri. Pada pasien yang asma
nya disebabkan oleh alergi (contoh alergi pollen) dengan tidak ada gejala asma
diantaranya ICS sebaiknya dimulai secepatnya
STEP 3: satu atau dua controllers ditambah dengan reliever sesuai kebutuhan
Pilihan utama (untuk dewasa/ remaja) : kombinasi dosis rendah ICS/LABA sebaga
terapi pemeliharaan ditambah dengan SABA seperlunya ATAU konbinasi dosis
rendah ICS/formoterol (budesonide atau beklometason) sebagai dosis pemeliharaan
dan sebagai reliever.
STEP 4 : Dua atau lebih controllers ditambah dengan reliever sesuai kebutuhan
Pilihan utama (dewasa/ remaja): kombinasi dosis rendah ICS/ formoterol sebagai
terapi pemeliharaan dan reliever ATAU kombinasi dosis medium ICS/LABA
ditambah SABA bila perlu.
Untuk orang dewasa dan remaja dengan eksaserbasi ≥1 dalam tahun yang sama,
kombinasi ICS/ formoteril sebagai pemeliharaan dan reliever lebih efektif untuk
mengurangi eksaserbasi dibanding kombinasi ICS/LABA dengan dosis yang sama.
Obat yang dapat digunakan sebagai kombinasi antaralain budesonide/formoterol atau
beclometasone/formoterol dalam dosis rendah.
Pilihan lain:
Kombinasi ICS/LABA dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada dewasa dan remaja,
tapi peningkatan dosis ICS biasanya tidak memberikan manfaat yang berbeda jauh,
dan resiko efek samping meningkat. Dosis tinggi hanya direkomendasikan selama 3-
| 36
6 bulan saat pengendalian asma saat penggunaan dosis medium ICS dan LABA dan/
atau dengan controller (contoh : LTRA atau teofilin kerja lambat). Teofilin sebaiknya
tidak digunakan pada anak- anak. Budesonide dosis sedang atau tinggi, efektivitasnya
akan bertambah dengan penggunaan 4x sehari, tetapi kepatuhan bisa menjadi
persoalan. Untuk jenis kortikosteroid inhalasi lainnya 2x sehari sudah cukup baik.
STEP 5: Penatalaksaan tingkat lebih dan/ atau pengobatan tambahan
Pasien dengan gejala persisten atau eksaserbasi meskipun sudah menggunakan inhaler
dengan benar dan sudah patuh dengan langkah 4, harus dirujuk ke spesialis yang
mendalami manajemen asma berat.
Opsi pengobatan pada step 5 antaralain:
Pengobatan anti imunoglobulin E (anti- IgE), omalizumab; ini diindikasikan
untuk pasien dengan asma alergi yang sedang atau berat.
Pengobatan berdasarkan pemeriksaan sputum: pasien dengan gejala persisten
dan/ atau eksaserbasi walaupun sudah memakai dosis tinggi ICS atau ICS/LABA,
pengobatan bisa didasarkan pada eosinofilia (>3%) yang ditemukan pada sputum.
Pada asma berat, strategi ini berhasil menurunkan angka eksaserbasi dan
menurununkan kebutuhan ICS.
Bronchial thermoplasty : dapat dipertimbangkan pada penderita asma dewasa.
Meskipun belum banyak bukti yang menunjang dan efek jangka panjangnya belum
diketahui.
Penambahan kortikosteroid oral dosis rendah (≤7.5mg/ hari ekuivalen dosis
prednison) mungkin efektif pada beberapa orang dewasa dengan asma berat, tapi
seringpula muncul efek samping. Cara ini perlu dipertimbangkan pada orang dewasa
yang gejalanya tidak terkontrol dengan baik dan/atau sering berulang. Pasien – pasien
ini perlu dipantau berkala untuk mencegah terjadinya osteoporosis
A. Golongan obat relievers
- Short acting β-agonis : adrenergik β2- stimulan, simpatomimetik; albuterol/
salbutamol, fenoterol, levalbuterol, terbutaline. Dosis pre simptomatik dan
premedikasi sebelum melakukan kegiatan 2 puffs MDI atau 1 inhalasi DPI.
Untuk serangan asma 4-8 puffs setiap 2- 4 jam, boleh diberikan setiap 20
| 37
menit x3 dalam pengawasan medis atau setara dengan 5 mg salbutamol
nebulizer
- Long acting β-agonis : salmeterol, formoterol
- Antikolinergik : Ipratropium bromida (IP), oxitropium bromida. IP- MDI
diberikan 4-6 puffs atau setiap 20 menit di bagian emergensi. Nebulizer 500µg
setiap 20 menit x3 lalu dilanjutkan dengan 250-500 µg untuk anak- anak.
B. Golongan obat controllers
- Inhaled corticosteroids (ICS): budometasone, budesonide ciclesonide,
flunisolide, triamcinolon. Dosis awal tergantung pada kontrol asma, lalu
dititrasi turun selama 2-3 bulan sampai mencapai dosis efektif minimal.
- Natrium kromoglikat: cromolin, cromones. Nebulizer 20mg 3-4x sehari
- Long acting β2-agonists : beta adrenergik, aimpatomimetik, LABAs;
formoterol (F), salmeterol (Sm). Dosis inhalasi DPI- F: inhalasi (12 µg) dua
kali sehari, MDI- F: 2 puffs bid. DPI- Sm 1 inhalasi (50 µg) bid, MDI- Sm 2
puffs bid.
Pembahasan : Pada pasien ini belum bisa diketahui klasifikasi asmanya karena kadar
dari FEV nya tidak diketahui. Dan pasien belum dilakukan pemeriksaan spirometri.
PEMBAHASAN 4: KOMPLIKASI YANG PALING BERAT DARI PENYAKIT
ASMA
1. Pneumotoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal napas
6. Bronchitis
7. Fraktur iga
| 38
Pembahasan : Pada pasien ini belum terdapat tanda dan gejala adanya komplikasi yang berat
dari penyakit asma
DAFTAR PUSTAKA
1. Maranatha D. Asma Bronkial. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya
: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair - RSUD Dr.Soetomo; 2012.h.55-73
2. Mcfadden ER, JR. Penyakit Asma. Dalam : Asdie AH. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC; 2000.h.1311-8
3. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta : EGC; 2009.h.105-15
4. Sundaru H, Sukamtu. Asma Bronkial. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Bukur Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing; 2014.h.478-88
5. Rani AA. Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta : Perguruan Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia; 2008.h. 291-3
6. Global Initiative for Asthma. Asthma COPD and Asthma-COPD Overlap Syndrome
(ACOS). 2014. Telah diunduh dari http://www.ginasthma.org
| 39