boklet fix pediatric

Upload: livia-baransyah

Post on 30-Oct-2015

99 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

booklet

TRANSCRIPT

BookletSeminar Jurnal Trend dan Issue Keperawatan

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SKORING HEIKKINEN UNTUK PENILAIAN TERHADAP FUNGSI ANOREKTAL PADA PASIEN HISPRUNG SETELAH DILAKUKAN TINDAKAN DEFINITIF dan PENGARUH INFUS DEKSTROSA 2,5 % NACl 0,45% TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PERIOPERATIF PADA PASIEN PEDIATRI

Departemen PediatricRSSA - Jurusan KeperawatanFakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2013

-Dian, Dwica, Kriesty, Livia, Reny, Rudy-

Kelompok 5 Kepaniteraan Klinik RSSA Jurusan Keperawatan Fakultas KedokteranUniversitas BrawijayaMalang

Seminar Jurnal Trend dan Issue Keperawatan

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SKORING HEIKKINEN UNTUK PENILAIAN TERHADAP FUNGSI ANOREKTAL PADA PASIEN HISPRUNG SETELAH DILAKUKAN TINDAKAN DEFINITIF

Departemen PediatricRSSA - Jurusan KeperawatanFakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2013

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPenyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997;Fonkalsrud,1997). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 1993; Fonkalsrud, 1997; Lister, 1996). Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Hampir semua anak dengan penyakit hisprung didiagnosis selama 2 tahun pertama kehidupan (arif muttaqin, 2010). Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Kartono, 2004). Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan ( Holschneider dan Ure, 2005 ). Sedangkan Di RSUD Saiful Anwar pada Juni 2012 sampai Mei 2013 di Ruang Bedah Anak 15 didapatkan penderita Hisprung berjumlah 45 anak dengan presentase 6,8% dari total pasien. Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk,1990). Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan Hirschsprung ini telah pula diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection. Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik komplikai dini berupa infeksi, dehisensi luka, abses pelvik dan kebocoran anastomose, maupun komplikasi lanjut berupa obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis. Namun secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir sama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalaman operator yang mengerjakannya (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997, Teitelbaum,1999). Namun hingga saat ini, belum ada satupun parameter atau sistem penilaian fungsi anorektal yang diterima secara universal guna mengevaluasi tingkat keberhasilan tindakan bedah definitif (Heikkinen dkk,1997). Padahal keberhasilan mengembalikan fungsi anorektal tersebut ketingkat normal atau mendekati normal merupakan hakikat utama tujuan penatalaksanaan penyakit Hirschsprung. Menurut H.A.Heij, parameter terbaik untuk menilai fungsi anorektal adalah kemampuan untuk menahan defekasi sehingga diperoleh tempat dan waktu yang tepat untuk defekasi (Heij dkk,1995). Kartono mengusulkan empat katagori gangguan fungsi spinkter (kecipirit, kontinensia kurang, inkontinensia dan obstipasi berulang) tanpa membuat skala sehingga tidak dapat dipakai untuk menilai derajat kerusakan fungsi anorektal tersebut (Kartono,1993). Ludman L, dkk (2002) mengusulkan 3 parameter, yakni : frekwensi buang air besar, frekwensi kecipirit dan kekuatan otot spinkter ani (Ludman dkk,2002). Sedangkan sistem skoring yang dibuat oleh Hekkinen,dkk (1997) yang memuat 7 kriteria dengan masing-masing kriteria memiliki skor antara 0 dan 2, merupakan sisitem skoring yang paling banyak diterima saat ini namun belum universal dipakai (Heikkinen dkk,1997; Engum dkk,1996; Hung,1996; Reding,1997; Swenson, 2002) Sistem skoring menurut Hekkinen yang dipakai dalam penelitian ini. Jurnal ini dapat membuktikan keefektifan penggunaan sistem skoring menurut Hekkinen sehingga dapat digunakan oleh perawat untuk menilai kondisi atau prognosis terhadap fungsi anorektal dari pasien dengan penyakit hisprung yang telah menjalani tindakan definitif dengan tujuan untuk menentukan intervensi yang akan diberikan pada pasien dalam melatih kemampuan eliminasi alvi. 1.2 Rumusan MasalahBagaimana efektivitas penggunaan Skoring Hekkinen terhadap penilaian keberhasilan tindakan definitif dan prognosis pada pasien Hisprung?1.3 Tujuan Mengetahui efektivitas penggunaan Skoring Hekkinen terhadap penilaian fungsi anorektal setelah dilakukan tindakan definitif dan pronosis pada pasien Hisprung.

1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat praktisDiharapkan dapat memberikan sumbangan pengembangan ilmu keperawatan khususnya Keperawatan Anak tentang penerapan Skoring Hekkinen terhadap penilaian fungsi anorektal setelah dilakukan tindakan definitif dan pronosis pada pasien Hisprung.1.4.2 Manfaat teoriMeningkatkan pemahaman bagi mahasiswa keperawatan dan perawat tentang penerapan Skoring Hekkinen terhadap penilaian fungsi anorektal setelah dilakukan tindakan definitif dan pronosis pada pasien Hisprung.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Anorektal2.1.1 Anatomi AnorektalRektum menempati bagian posterior cavitas pelvis superior. Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimalterletak dirongga abdomen dan relative. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneumreflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Bagian terakhir dari usus (saluran anal), berfungsi sebagai pintu masuk ke bagianusus yang lebih proksimal. Saluran anal ini dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal daninternal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke luar. Spinkter ani eksterna terdiridari 3sling (atas, medial dan depan).Perdarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis(a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yangmerupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferioradalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektumbagian distal dan daerah anus (Yamada, 2000). Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus. Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Sehingga, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis) (Yamada,2000).2.1.2 Fungsi Saluran AnalPubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain Wexner, 2000). Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan: 1. Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik. 2. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter. 3. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri. 4. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud,1997).

2.2 Hirschprung2.2.1 DefinisiHirschprung atau mega colon aganglionik adalah penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya (aganglionik). Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.2.2.2 EpidemiologiInsiden terjadinya hirschprung adalah 1 anak pada setiap 5000 kelahiran. Penyakit hirschprung lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Kartono, 2004).2.2.3 EtiologiPenyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.

2.2.4 Tanda dan gejalaPada masa neonatal tanda dan gejala yang muncul adalah:a. Kegagalan mengeluarkan mekonium 24-48 jam setelah lahirb. Obstruksi usus parsial/ komplitc. Distensi abdomen (perut menggembung)d. Menolak minume. Diare encerf. Konstipasig. Berat badan menurunTanda dan gejala yang muncul pada anak:a. Konstipasib. Feses berbentuk kecil seperti peluruc. Diared. Muntahe. Masa fekal dapat dirabaf. Nutrisi tidak adekuatg. Anemiah. Kegagalan pertumbuhani. Kehilangan jaringan subkutan2.2.5 PatofisiologiIstilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon. Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar

Resiko volume cairan kurang dari kebutuhanPerubahan nutrisi kurang dari kebutuhanKegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexusSel ganglion pada kolon tidak ada/ sedikitKontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik abnormalPeristaltik tidak sempurnaSpinter rektum tidak dapat relaksasiObstruksi parsialFeses tidak mampu melewati spinker anirefluks peristaltikakumulasi benda padat, gas, cairmual dan muntahperasaan penuhobstruksi di colonGangguan defekasi konstipasiPathway:

Pelebaran kolon (Mega Colon) 2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :a Daerah transisi b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempitc Entrokolitis padasegmen yang melebard Terdapat retensi barium setelah 24 48 jam 2. Biopsi isapYaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa 3. Biopsi otot rektumYaitu pengambilan lapisan otot rektum4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase 5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus

6. Pemeriksaan colok anusPada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusuka

2.3 Tindakan Bedah Definitif2.3.1 Prosedur SwensonPada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.2.3.2 Prosedur duhammelProsedur ini untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya : Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian; Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis.2.3.2 Prosedur SoaveTujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.2.3.4 Prosedur RehbeinProsedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.2.3.5 Tindakan Bedah SementaraTindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).2.3.6 Komplikasi post operasiSecara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya: usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.

2.4 Skor HeikkinenHekkinen (1997) mengusulkan 7 parameter objektif untuk menilai fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor. Dikatakan normal apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 1013, kontinensia sedang jika skor antara 59, sedangkan inkontinensia apabila skor sama dengan atau kecil dari 4.Tabel 1. Skoring menurut HeikkinenNoYang diamatiSkor

1Frekuensi buang ari dalam 1 hari

a. 1-2 kali2

b. 3-5 kali1

c. Lebih daari 5 kali0

2Bentuk (konsistensi) tinja

a. Padat2

b. Lunak1

c. Cair0

3Buang air besar tanpa disadari

a. Tidak pernah2

b. Selalu, jika sedang stress1

c. Selalu, setiap waktu0

4Perasaan ingin buang air besar

a. Ada2

b. Terus menerus, meski feses sudah keluar1

c. Tidak pernah0

5Lamanya kemampuan menahan perasaan ingin buang air besar ke toilet

a. Beberapa menit2

b. Beberapa detik1

c. Tidak mampu0

6Kemampuan mengenali/ memisahkan bentuk feses

a. Mampu2

b. Mampu kalau sedang buang air besar saja1

c. Tidak mampu0

7Pemakaian obat-obat untuk memperlancar buang air besar

a. Tidak perlu2

b. Kadang-kadang1

c. Selalu0

2.5 Tahap Perkembangan Usia Toddler2.5.1 Perkembangan PsikososialErikson melihat periode 18 bulan sampai 3 tahun sebagai suatu waktu ketika tugas perkembangan berpusat pada Otonomy Vs rasa malu dan ragu.Toddler memulai perkembangan rasa Otonominya dengan cara menonjolkan diri mereka dengan seringnya mengatakan kata tidak. Mereka juga sering merasa putus asa karena pengekangan tingkah lakunya dan pada usia antara 1 sampai 3 tahun mereka memiliki suatu ciri khas tingkah laku, yang sering disebut Temper Tantrum. Periode perkembangan Otonomi adalah suatu waktu saat anak mulai mengadakan kontak sosial. Toddler menjadi sangat ingin tahu dan banyak bertanya. Pada usia ini anak menjadi lebih kreatif, meskipun produk yang dihasilkan dari aktivitasnya mungkin tak sempurna. Respon stress yang biasa muncul pada toddler adalah separation anxiety dan regression. Regresi atau kembali pada tingkatan perkembangan yang lebih awal dapat di lihat saat toddler ngompol, atau menggunakan bedak bayi. Perawat dapat membantu menjelaskan pada orang tua bahwa hal itu wajar dan itu menunjukkan bahwa toddler mulai mencoba untuk menentukan posisinya dalam keluarga. Kemampuannya untuk mengerti kata-kata lebih maju dari pada kemampuannya untuk mengekspresikan kata dan ide.2.5.2 Perkembangan Psikoseksual ( Fase Anal ) Fokus tubuh : Area anal Tugas perkembangan: Belajar untuk mengatur defekasi dan urinasi. Krisis perkembangan: Toilet training Keterampilan koping yang umum: Temper tantrum, negatifisme, bermain dengan feses dan urine, perilaku regresif, seperti menghisap ibu jari, mengeriting rambut menjadi simpul-simpul, menangis, iritabilitas, dan mencibir. Kebutuhan seksual: Sensasi menyenangkan berhubungan dengan fungsi eksretori, anak mengeksplorasi tubuh secara aktif. Bermain: Anak senang bermain dengan ekskreta ( feses ). Peran orang tua: Membantu anak mencapai kontinensia tanpa kontrol yang trelalu ketat atau overpermissive.Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet-anak harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi dan kemandirian.Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada cara di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif. Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan bahwa anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang tua bukan menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk kecelakaan. Menurut Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan bahwa-yg mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu memiliki, boros atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu ketat atau mulai toilet training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian kuat-analberkembang di mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.BAB 3PEMBAHASAN3.1 Analisis Jurnal3.1.1 Metodologi PenelitianPenelitian dilakukan selama 6 bulan.Populasi :

Menggunakan tabel Izaac-Michael, jumlah sampel dipilih secara non random.Kriteria Inklusi :Semua penderita HD yang telah dan akan menjalani tindakan bedah definitif di RSWS dan jejaringnyaBerusia sekurang-kurangnya 3 tahunTelah menjalani operasi definitif sekurang kurangnya1 bulanKriteria Eksklusi :Terdapat komplikasi penyakit beratMenderita kelainan bedah lain Hasil pemeriksaan patologi ditemukan tidak bebas aganglionik.Sejumlah 30 anak penderita penyakit Hisprung Sampel : 28 responden

Pasien diukur dengan skala atau Skor Heikkinen

KomplikasiPengeluaran mekoniumJenis tindakanPasien diukur dengan skala atau Skor Heikkinen

Penilaian fungsi anorektaljenis tindakan

Dokumentasi hasil

3.1.2 Pembahasan Jurnal Penilaian fungsi anorektal dibedakan antara masing-masing jenis tindakan definitif. Selain itu penilaian ini diperhitungkan atau dipengaruhi dengan beberapa faktor diantaranya pengeluaran mekonium, adanya komplikasi dari tindakan dan panjang reseksi kolon. Skoring yang dilakukan terhadap pasien Hirshprung Disease dengan pengeluaran mekonium < 24 jam didapatkan angka 16,70 % mengalami kontinensia sedang, sedangkan pada pasien pasien dengan pengeluaran mekonium > 24 jam didapatkan angka 18, 20 %. Pada keduanya tidak ditemukan adanya inkontinesia antara pengeluaran mekonium < 24 jam dan > 24 jam dengan demikian dapat dikatakan pada penelitian ini pengeluaran mekonium tidak memberi pengaruh terhadap hasil pasca tindakan bedah defenitif. Pada tindakan kolostomi yang dilakukan sebelum tindakan definitif didapatkan hasil kontinensia sedang sebesar 17,40 % sedangkan pada kasus tanpa kolostomi didapatkan 20 % kasus. Dengan hasil ini menunjukkan pula bahwa tindakan kolostomi tidak mempengaruhi hasil tindakan bedah definitif.Komplikasi enterokolitis didapatkan kontinensia sedang 29,40 % sedangkan tanpa enterokolitis tidak didapatkan adanya kontinensia sedang. Sehingga dapat menjelaskan bahwa adanya enterokolitis dapat mempengaruhi tindakan bedah definitif yang dilakukan. Pada komplikasi penurunan berat badan (hipothropis) didapatkan hasil kontinensia sedang 23,80 % dibandingkan dengan pasien pasien dengan euthropis tidak di dapatkan adanya kontinensia sedang. Dengan demikian hal ini dapat pula menjelaskan bahwa adanya penurunan berat badan dapat mempengaruhi tindakan bedah defnitif yang dilakukan.Bila mengamati hasil yang di dapatkan pada panjang reseksi yang dilakukan terhadap penderita Hirshprung Disease saat dilakukan operasi defenitif maka diperoleh hasil: Panjang reseksi < 10 cm atau sama kontinensia sedang 12,5 % sedangkan panjang reseksi > 10 20 cm dan > 20 cm masing dengan angka 25 % Maka hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin pendek reseksi yang dilakukan semakin baik fungsi anorektal pada pasien pasca tindakan bedah defenitif.Tabel 2. Hasil Pengukuran Skor Heikkinen terhadap fungsi anorektalParameterKriteriaSkor HeikkinenJenis TindakanTotal

DuhamelSwensonSoavePSRHD

TindakanNormal311537,5%

Kontinensia baik322646,4%

Kontinensia sedang211117,9%

Mekonium24 jamNormal2001

Kontinensia baik000233,3%

Kontinensia sedang001016,7%

KolostomiadaNormal311334,8%

Kontinensia baik322447,8%

Kontinensia sedang211017,4%

Tidak adaNormal000240%

Kontinensia baik000240%

Kontinensia sedang000120%

Komplikasi enterokolitisAdaNormal011011,8%

Kontinensia baik322318,8%

Kontinensia sedang211129,4%

Tidak adaNormal300327,7%

Kontinensia baik000327,3%

Komplikasi penurunan berat badanHipotropis Normal311233,3%

Kontinensia baik211542,9%

Kontinensia sedang211142,9%

EutropisNormal000342,9%

Kontinensia baik111157,1%

Panjang reseksi kolon10 cmNormal110543,8%

Kontinensia baik001643,8%

Kontinensia sedang001112,5%

10-20 cmNormal110025%

Kontinensia baik311062,5%

Kontinensia sedang100012,5%

>20 cmNormal101025%

Kontinensia baik010050%

Kontinensia sedang100025%

Dari hasil penelitian dengan menghitung skor dari fungsi anorektal disimpulkan bahwa tindakan bedah definitif yang dilakukan memberikan perbaikan terhadap fungsi anorektal. Lama Pengeluaran mekonium dan tindakan kolostomi tidak mempengaruhi fungsi anorektal terhadap tindakan bedah definitif yang dilakukan. Komplikasi enterokolitis dan penurunan berat badan memberi pengaruh fungsi anorektal terhadap tindakan bedah definitif yang dilakukan. Semakin pendek reseksi yang dilakukan pada tindakan bedah definitif semakin baik fungsi anorektal.3.2 Efektifitas Penggunaan Skoring Heikkinen Terhadap Penilaian Fungsi Anorektal pada Pasien HisprungBerdasarkan wawancara kepada beberapa perawat dan dokter di ruangan bedah anak RSUD Saiful Anwar, sampai saat ini belum pernah digunakan skor Heikkinen atau skoring kuantitatif lainnya dalam menilai fungsi anorektal pada pasien hisprung. Sampai saat ini masih berpedoman pada klinis pasien yaitu kemampuan dalam mengeluarkan feses secara mandiri tanpa bantuan atau pemberian obat golongan laxative. Dengan kondisi tersebut maka pasien dikatakan berhasil dalam tindakan definitif yang telah dilakukan. Penggunaan skoring Heikkinen dapat dilakukan dengan wawancara terhadap orang tua dan anak atau dengan observasi langsung karena pada poin pertanyaan pada skoring ini terdapat 1 poin yang dapat dinilai secara langsung saat pengamatan yaitu pertanyaan kedua mengenai bentuk feses. Skoring Heikkinen dapat digunakan pada anak usia minimal toddler yaitu >18 bulan dimana menurut tahap perkembangan Sigmund Freud yaitu pada fase anal, anak usia ini mulai dapat mengungkapkan keinginan termasuk untuk buang air besar. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian sistem skoring fungsi anorektal menurut Heikkinen dapat dipergunakan secara luas guna menilai fungsi anorektal menggunakan parameter yang mudah dinilai dan dimengerti serta bersifat kuantitatif (skala) dengan hasil klasifikasi yang telah ditentukan berdasarkan total skoring.3.3 Implikasi KeperawatanPeran perawatDengan mengetahui skor penentuan fungsi anorektal pada penyakit hirschprung, perawat dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: Perawat sebagai pelaksana Perawat dapat menghitung skor fungsi anorektal untuk menilai keberhasilan dari tindakan definitive yang dilakukan pada penderita hirschprung Perawat dapat berkolaborasi dengan tim medis untuk menentukan intervensi yang dapat dilakukan setelah memperoleh skor fungsi anorektalPerawat sebagai edukator Memberi tahu pasien dan keluarga tentang manfaat dan perkembangan dari tindakan definitive yang dilakukan

BAB IVPENUTUP

4.1 Kesimpulan1. Pasien dengan hisprung setelah tindakan definitif dapat memiliki prognosis yang baik terhadap elominasi alvi. Hal ini dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi dan panjang reseksi kolon serta adanya penurunan berat badan. 2. Skoring heikkinen dapat digunakan untuk mengukur secara kuantitatif fungsi anorektal pasien hisprung dengan poin pertanyaan yang dapat dievaluasi melalui wawancara pada orang tua dan observasi langsung pada pasien.

4.2 SaranSkoring Heikkinen diharapkan dapat dijadikan salah satu parameter untuk mengukur fungsi anorektal pada pasien yang akan dan telah dilakukan terapi definitif dalam menilai prognosis eliminasi alvi. Dengan rekomendasi tersebut maka perawat dapat menilai secara mandiri dan kuantitatif berdasar respon pasien sehingga dapat menentukan intervensi dan edukasi secara tepat pada pasien maupun keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

0. Bharucha, AE., Arnold W, Paul E dan Satish R. 2006. Functional Anorectal Disorders. Gastroenterology 1300. Irawan, Budi. 2003. Pengamatan Fungsi Anorektal Pada Penderita Penyakit Hirschsprung Pasca Operasi Pull-Through. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6218/1/bedah-budi%20irawan.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei 2013.0. Groenendjik, AG., Erwin B., Guy EB., Jan-Paul WR., dan Gouke JB. 2008. Anorectal Testing and Anal Endosonography in The Diagnostic Work-Up of Patients with Primary Pelvic Organ Prolapse. Gynecol Obstet Invest 67:187.0. Hidayat, Muhammad, dkk. 2009. Anorectal function of hirsphrungs Patients after definitive surgery. http://med.unhas.ac.id/jurnal/attachments/article/87/4-A.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei 2013.

LAMPIRAN FORMAT SKOR HEIKKINENSkor Heikkinen

NAMA PASIEN : NOMOR REGISTER :NoYang diamatiSkor

1Frekuensi buang air dalam 1 hari

d. 1-2 kali2

e. 3-5 kali1

f. Lebih dari 5 kali0

2Bentuk (konsistensi) tinja

d. Padat2

e. Lunak1

f. Cair0

3Buang air besar tanpa disadari

d. Tidak pernah2

e. Selalu, jika sedang stress1

f. Selalu, setiap waktu0

4Perasaan ingin buang air besar

d. Ada2

e. Terus menerus, meski feses sudah keluar1

f. Tidak pernah0

5Lamanya kemampuan menahan perasaan ingin buang air besar ke toilet

d. Beberapa menit2

e. Beberapa detik1

f. Tidak mampu0

6Kemampuan mengenali/ memisahkan bentuk feses

d. Mampu2

e. Mampu kalau sedang buang air besar saja1

f. Tidak mampu0

7Pemakaian obat-obat untuk memperlancar buang air besar

d. Tidak perlu2

e. Kadang-kadang1

f. Selalu0

Total Skor

INTERPRETASI:

SKOR 14

Normal

SKOR 10-13

Kontinensia Baik

SKOR 5-9Kontinensia Sedang

SKOR 4Inkontensia

Seminar Jurnal Trend dan Issue Keperawatan

PENGARUH INFUS DEKSTROSA 2,5 % NACl 0,45% TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PERIOPERATIF PADA PASIEN PEDIATRI

Departemen PediatricRSSA - Jurusan KeperawatanFakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2013

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangGlukosa merupakan suatu metabolit yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Pada pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin yang diberikan harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai cadangan glikogen di hepar ,sehingga bila asupan peroral terhenti selama beberapa waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama bagi sel otak. Pada anak yang puasa akan terjadipemecahan glikogen di hati dan otot menjadi asam laktat dan piruvat, setelah 12-18 jam puasa, hampir seluruh simpanan glikogen dalam hepar mengalami deplesi. Sehingga untuk menghindari hal tersebut pada pasien pediatri kita biasanya menggunakan infus yang mengandung dekstrosa (smith, 1996)Pada keadaan normal , pemberian glukosa secara intravena pada anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit. Hal ini berhubungan dengan kemampuan tubuh memetabolisir glukosa. Pemberian glukosa sendiri akan meningkatkan pelepasan insulin endogen. Pemberian glukosa yang berlebihan akan menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan termogenesis, dan peningkatan produksi CO2 (Robert, 2001). Hiperglikemia yang terjadi dapat memperburuk outcome neurologis Kadar glukosa darah yang tetap dalam batas normal saat anestesi merupakan tujuan pemberian cairan intraoperatif pada bedah anak (Bell , 1997 ; Robert, 2001)Setiap tindakan operasi akan menyebabkan terjadinya suatu stress operasi(stress psikologi, stress anestesi dan stress pembedahan). Pada periode perioperatif peningkatan glukosa darah bisa berasal dari stress psikologi dan stress anestesi. Pemberian cairan intraoperatif yang mengandung glukosa berlebihan cenderung menyebabkan hiperglikemia (Paediatric Surgery, 2005). Pada stress operasi glukosa meningkat paling sedikit dua kali lipat. Penurunan insulin terjadi pada tahap awal, selanjutnya meningkat karena peningkatan level growth hormone. Glukagon dan kortisol menginduksi glukoneogenesis. Juga terjadi penurunan toleransi terhadap pembebanan glukosa, akibat dari penurunan sekresi insulin dan resistensi perifer terhadap aksiaksi itu. Kedua efek tersebut disebabkan oleh peningkatan sekresi katekolamin yang juga meningkatkan lipolisis. Hiperglikemia adalah khas dan menggambarkan peningkatan produksi hepatic dan juga peningkatan pemakaian oleh jaringan perifer. Hiperglikemia yang terjadi dapat menimbulkan kerusakan otak, medulla spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma, melambatkan pengosongan lambung, melambatkan penyembuhan luka dan kegagalan fungsi sel darah putih (Pradian,2004). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fikri (2011), pemberian cairan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % tidak menyebabkan keadaan hipoglikemia pada puasa preoperasi pasien pediatric, akan tetapi pasien mengalami hiperglikemi. Dan penelitian lain yang dilakukan Pradian (2004) menyebutkan pemberian cairan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,225 % ternyata masih menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan dan hiperglikemia pasca operasi dapat meningkatkan kadar glukosa darah yang signifikan dan hiperglikemia pasca operasi . Pemberian Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % yang mengandung kadar glukosa lebih rendah, tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi pada pasien pediatri.Berdasarkan paparan diatas, pemberian Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % dapat dijadikan alternative pemberian cairan pada pasien pediatrik perioperatif, dengan memperhatikan ketepatan indikasi dan kontraindikasi pasien serta waktu dan dosis pemberiannya di RSU dr. Saiful Anwar Malang. 1.2 Rumusan MasalahBagaimana efektivitas pemberian Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % dalam mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi?1.3 Tujuan13.1 Tujuan UmumMengetahui efektivitas pemberian Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % dalam mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi.1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi kadar glukosa darah pemberian Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % pada saat menjelang awal, selama dan akhir operasib. Mengidentifikasi kadar glukosa darah pemberian Dekstrosa 5% NaCl 0,45 % pada saat menjelang awal, selama dan akhir operasi c. Analisis komperatif kadar glukosa darah pemberian Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % dengan pemberian Dekstrosa 5% NaCl 0,45 % pada saat menjelang awal, selama dan akhir operasi1.4 Manfaat 1.4.2 Manfaat praktisDiharapkan dapat memberikan sumbangan pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam pemberian cairan saat menjelang awal, selama dan akhir operasi pada perawatan pasien pediatrik 1.4.2 Manfaat teoriMemberikan pengetahuan baru dalam manajemen cairan pasien pediatrik terhadap pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1 Cairan Tubuh Manusia2.1.1 Kompartemen Cairan TubuhTubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair- Distribusi dari tubuh bayi :1. Zat padat : 20 % dari berat badan2. Zat cair : 80 % dari berat badan Zat Cair ( 80 % BB ) terdiri dari :1. Cairan intrasel : 40 % BB2. Cairan ekstrasel : 40 % BB terdiri dari :- Cairan intravaskuler : 5 % BB- Cairan interstitial : 35 % BB- LCS, sinovial, gastrointestinal dan intraorbital.Bayi mempunyai cairan ekstrasel lebih besar dari intrasel. Perbandingan iniakan berubah sesuai perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel 2 kali cairan ekstrasel. Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritascairan ekstrasel, konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam-basa.Fungsi ginjal sempurna setelah anak mencapai umur 1 tahun, sehinggakomposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada saat terapi cairan.2.1.2 Kebutuhan Air Dan Elektrolit Setiap HariBayi dan anak :Air : 0-10 kg : 4 ml/kg/jam (100ml/kg) 10-20 kg : 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg diatas 10 kg(1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg) > 20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg diatas 20 kg(1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg).Na+ : 2 mEq/kgK+ : 2 mEq/kgHasil metabolisme : Anak : 12-14 th = 5-6 ml/kg/hari7-11 th = 6-7 ml/kg/hari5-7 th = 8-8,5 ml/kg/hariBalita = 8 ml/kg/hari2.1.3 Cairan Infus IntravenaPenggunaan terapi cairan intravena (intravenous fluid therapy) membutuhkan peresepan yang tepat dan pengawasan (monitoring) ketat.Infus cairan intravena(intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh,melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.2.1.4 Jenis Cairan Infus Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasiion Na+lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluhdarah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritasrendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju.Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cucidarah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar guladarah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluhdarah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairantubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehinggamenarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, danmengurangi edema (bengkak).Penggunaannya kontradiktif dengan cairanhipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

2.2 GLUKOSA2.2.1 Definisi Glukosa Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan (Murray R. K. et al., 2003). 2.2.2 Metabolisme glukosa Semua sel dengan tiada hentinya mendapat glukosa ; tubuh mempertahankan kadar glukosa dalam darah yang konstan, yaitu sekitar 80-100 mg/dl bagi dewasa dan 80-90 mg/dl bagi anak (Cranmer H. et al.,2009). Proses ini disebut homeostasis glukosa. Kadar glukosa yang rendah, yaitu hipoglikemia dicegah dengan pelepasan glukosa dari simpanan glikogen hati yang besar melalui jalur glikogenolisis dan sintesis glukosa dari laktat, gliserol, dan asam amino di hati melalui jalur glukonoegenesis dan melalui pelepasan asam lemak dari simpanan jaringan adiposa apabila pasokan glukosa tidak mencukupi. Kadar glukosa darah yang tinggi yaitu hiperglikemia dicegah oleh perubahan glukosa menjadi glikogen dan perubahan glukosa menjadi triasilgliserol di jaringan adiposa. Keseimbangan antarjaringan dalam menggunakan dan menyimpan glukosa selama puasa dan makan terutama dilakukan melalui kerja hormon homeostasis metabolik yaitu insulin dan glukagon ( Ferry R. J., 2008). Metabolisme glukosa dapat terjadi di di hati, jaringan lain (usus), otak dan jaringan saraf, di sel darah merah, otot dan jaringan adiposa2.2.3 Glikogen 2.2.3.1 Pembentukan glikogen Sintesis glikogen berawal dengan fosforilasi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat oleh heksokinase atau, di hati, glukokinase. Glukosa 6-fosfat diubah menjadi glukosa 1-fosfat oleh fosfoglukomutase, suatu reaksi yang reversibel. Sintesis glikogen memerlukan pembentukan ikatan -1,4glikosidat untuk menyatukan residu-residu glikosil dalam suatu rantai yang panjang. Sebagian besar sintesis glikogen berlangsung melalui pemanjangan rantai polisakarida molekul glikogen yang sudah ada di mana ujung pereduksi glikogen melekat ke protein glikogenin (Raghavan V. A. et al., 2009). 2.2.3.2 Metabolisme GlikogenGlikogen merupakan bentuk cadangan karbohidrat yang utama di dalam tubuh dan. Unsur ini terutama terdapatdalam hepar ( sampai 6 % ) dan otot yang jarang melampaui jumlah 1 %. Pengaturan sintesis glikogen di jaringan yang berbeda bersesuaian dengan fungsi glikogen di masing-masing jaringan. Glikogen hati berfungsi terutama sebagai penyokong glukosa darah dalam keadaan puasa atau saat kebutuhan sangat meningkat. Jalur penguraian serta sintesis glikogen diatur oleh perubahan rasio insulin/glikogen, kadar glukosa darah, epnefrin sebagai respon terhadap olahraga, hipoglikemia, situasi stres, dan apabila terjadi peningkatan kebutuhan yang segera akan glukosa darah (Aswani V., 2010). Glikogen hepar sebagian besar berhubungan dengan simpanan dan pengiriman heksosa keluar untukmempertahankan kadar glukosa darah , khususnya pada saat-saat sebelum sarapan.S etelah 12-18 jam puasa, hampir seluruh simpanan glikogen dalam hepar mengalamideplesi, sedangkan glikogen otot baru mengalami deplesi yang berarti setelahseseorang melakukan olahraga yang berat dan lama.

Gambar 1. Metabolisme glikogen2.3.3.3 Glikolisis Glikolisis berlaku di hati menghasilkan piruvat untuk berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis asam lemak serta sumber ATP. Pengaturan glikolisis berlangsung melalui kerja insulin dan glukagon. Glukokinase adalah enzim hati yang diinduksi oleh insulin yang berfungsi melakukan fosforilasi glukosa. Enzim ini paling aktif selepas makan, saat kadar glukosa di vena porta hepatis tinggi2.2.3.4 GlukoneogenesisGlukoneogenesis mencakup semua mekanisme dan lintasan yangbertanggungjawab untuk mengubah senyawa-senyawa nonkarbohidrat menjadiglukosa atau glikogen.Substrat utama untuk glukoneogenesis adalah asam-asamamino glukogenik, laktat, gliserol dan propionate.Hepar dan ginjal merupakanjaringan utama yang terlibat, karena kedua organ tersebut mengandung komplemenlengkap enzim-enzim yang diperlukan. Glukoneogenesis memenuhi kebutuhan tubuh akan glukosa pada saat karbohidrat tidak tersedia dengan jumlah yang mencukupi didalam makanan2.2.3.5 HiperglikemiaHiperglikemia (kadar glukosa darah > 180 sampai 200 mg/dL) seringdisebabkan oleh defisiensi insulin, resistensi reseptor insulin atau pemberian glukosayang berlebihan. Stress periopeatif dapat meningkatkan glukosa darah baik itu daristress psikhologi preoperatif, stress anestesi dan stress pembedahan2.2.3.6 HipoglikemiaHipoglikemia adalah kadar glukosa darah yang rendah ( GDS< 80 mg/dL). Penderita hipoglikemia biasanya berkurang kesadarannya sampai hilangkesadaran sama sekali. Hipoglikemia biasanya terjadijika seorang memiliki cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen). Hipoglikemia lebih berbahaya dibandingkan dengan hiperglikemia karenakadar glukosa darah yang terlalu rendah selama lebih dari enam jam dapat menyebabkan kerusakan tak terpulihkan (irreversible) pada jaringan otak dan saraf.

2.3 PERIOPERATIF BEDAH ANAKPengertian perioperatif yaitu preoperatif, selama operatif dan pasca operatif.Pemberian cairan pada disiplin ilmu bedah meliputi preoperatif, selama operatif danpasca operatif.Pemberian cairan preoperatif pada kasus bedah anak elektif umumnya tidak banyak masalah.Kita hanya memberikan cairan sebagai rumatan selama bayidan anak puasa untuk persiapan dilakukannya anestesi. Kebutuhan rumatan cairan inidapat dihitung dengan melihat berat badan dan disesuaikan dengan umur, sertadiperhitungkan faktor-faktor yang berpengaruh atas kehilangan insensibel ( paru dankulit) dan kehilangan oligatorik ( urin dan tinja ). Pemberian cairan selama operatifsebetulnya menjadi tanggungjawab anestesi.Selama operasi kehilangan cairan danelektrolit dikarenakan penguapan luka operasi, perdarahan dan kerusakan jaringan. Menurut Shine, William dan Brown menganjurkan pemberian cairan yang mengandung dekstrosa. Pemberian cairan pasca operatif tergantung dari pemberiancairan sebelum dan selama operasi.Bila dikerjakan optimal, maka penderita pascaoperatif hanya memerlukan cairan rumatan dan ditambah kehilangan cairan yangmasih mungkin terjadi.2.3.1 Puasa Pada PediatriBeberapa penelitian telah menemukan bahwa tidak ada perbedaan padavolume residual lambung atau pH pada anak, sehingga diperbolehkan untuk berpuasa2-3 jam sebelum operasi ( boleh minum air putih atau juice apel ). Pada pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin yang diberikan harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai cadangan glikogen di hepar ,sehingga bila asupan peroral terhenti selama beberapa waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama bagi sel otak. Pada anak yang puasa akan terjadi pemecahan glikogen di hati dan otot menjadi asam laktat dan piruvat. Sehingga untuk menghindari hal tersebut pada pasien pediatri kita biasanya menggunakan infus yang mengandung dekstrosa (Smiths, 1996)

2.4 Pengaruh Anestesi Terhadap Metabolisme GlukosaEfek zat anestesi terhadap metabolisma karbohidrat, lemak dan protein dapat sebagai akibat peningkatan kadar katekolamin, glukagon dan kortisol, sehingga terjadi mobilisasi karbohidrat dan protein yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Kortisol, glukagon dan epinefrin meningkatkan pemecahan glikogen menjadiglukosa, respon ini dengan cepat menurunkan cadangan glikogen setelah injury.Glukosa juga dihasilkan oleh glukoneogenesis dari alanin dan asam-asam aminolainnya yang dilepaskan oleh pemecahan otot skelet.2.5 Pengaruh Stress Operasi Terhadap MetabolismeglukosaRespon stres adalah suatu keadaan dimana terjadi perubahan-perubahanfisiologis tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan jaringan yang ditimbulkan olehkeadaan- keadaan seperti syok, trauma, operasi, anestesi, gangguan fungsi paru,infeksi dan gagal fungsi organ yang multipel .Pada respon stres akan dilepaskan hormon-hormon yang dikenal sebagai neuroendokrin hormon yaitu : ADH,aldosteron, angiotensin II, cortisol, epinephrin dan norepinephrin. Aldosteron mempunyai efek untuk meretensi Na+ dan mengeksresikan K+melalui urine. Sehingga pasien-pasien post operasi mempunyai kecenderunganuntuk terjadinya hipervolume, hipernatremia dan hipokalemi. Kortisol, glukagon danepinephrin akan bekerja secara sinergitik dan menyebabkan peningkatanglukoneogenesis dan menurunnya uptake di sel dan jaringan, hal ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia.

BAB 3METODOLOGI PENELITIAN3.1 Metodologi PenelitianPenelitian dilakukan dari tanggal 1 Januari 2007 sampai dengan 30 April 2007

Populasi :Pasien pediatrik perioperatif RS.Dr. Kariadi Semarang

Kriteria Inklusi :Usia antara 1bulan 1 tahunStatus fisik ASA I-IIMenjalani operasi dengan anestesi umumLama operasi tidak lebih dari 3 jamBeratbadan normal.Kriteria Eksklusi :Mengalami hipoglikemia atau hiperglikemia saat akan dilakukan penelitianMendapat transfusi selama operasi berlangsungPasien sakit beratRandomized control trial dengan double blind. Pengukuran atau observasi dilakukan selama dan setelah perlakuan.Sampel :48 pasien

Kontrol/ Kel I (24 pasien) Perlakuan / Kel II (24 pasien) (infus D5% NS 0,45 %) (infus D2,5% NS 0,45 %)

Pengukuran Gula Darah sebelum induksi, pasca induksi, 30 -150 menit (pasca induksi))

Analisa Perbandingan

Dokumentasi Hasil

3.2 Hasil PenelitianBerdasarkan hasil penelitian pada kedua kelompok, nampak bahwa dari waktu prainduksi sampai sesaat setelah induksi terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna secara statistik. Sedangkan pada waktu 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit dan 150 menit pasca induksi terjadi kenaikan kadar glukosa darah yang bermakna secara statistikBAB 4PEMBAHASAN 4.1 Analisis jurnal

4.2 Pengaruh pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % terhadap kadar glukosa darah pada pasien pediatric perioperatif.Glukosa merupakan suatu metabolit yang penting bagi kelangsungan hidup manusia . Pada pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin yangdiberikan harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai cadangan glikogen di hepar ,sehingga bila asupan peroralterhenti selama beberapa waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama bagi sel otak. Pada anak yang puasa akan terjadi pemecahan glikogen di hati dan otot menjadi asam laktat dan piruvat. Sehingga untuk menghindari hal tersebut pada pasien pediatri kita biasanya menggunakan infus yang mengandung dekstrosa.Pada keadaan normal , pemberian glukosa secara intravena pada anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit. Hal ini berhubungan dengan kemampuan tubuh memetabolisir glukosa. Pemberian glukosa yang berlebihan akan menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan termogenesis, dan peningkatan produksi CO2. Pemberian glukosa sendiri akan meningkatkan pelepasan insulin endogen. Hiperglikemia yang terjadi dapat memperburuk keluaran neurologis serta memperlama penyembuhan luka operasi setelah operasi. Hiperglikemia dapat disebabkan karena stress perioperatif (stress psikhologi preoperatif, stress anestesia dan stress pembedahan). Respon stres adalah suatu keadaan dimana terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh keadaan keadaan seperti syok, trauma, operasi, anestesi, gangguan fungsi paru, infeksi dan gagal fungsi organ yang multiple .Pada respon stres akan dilepaskan hormon-hormon yang dikenal sebagai neuroendokrin hormon yaitu : ADH, aldosteron, angiotensin II, cortisol, epinephrin dan norepinephrin. Hormonhormon ini akan berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologik tubuh yang penting dan merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk melindungi fungsi fisiologik tubuh. Pada pasien yang mengalami anestesi dan pembedahan seharusnya kecepatan pemberian glukosa ini lebih rendah lagi karena adanya stres pembedahan yang meningkatkan pelepasan hormone katabolik, disertai pengaruh hormone katabolik, disertai pengaruh obat anestesi yang menekan pelepasan insulin dari sel - pancreas. Pada hasil penelitian juga disebutkan, pada kelompok yang diberi cairan infuse Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % tidak menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan dan tidak menyebabkan hiperglikemia pasca operasi. Hali ini dapat disebabkan pada pemberian Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % menyumbang kurang lebih 20 KKal (per 100 ml nya) sedangkan infuse Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % menyumbang kurang lebih 10 KKal (per 100 ml nya) sehingga pengurangan kadar glukosa setengah dari cairan yang biasa dipakai (5 % NaCl 0,45 %) mampu menghindari hipoglikemi akibat puasa, memelihara kadar glukosa dalam darah dalam batas normal dalam periode intraoperatif, dan juga mampu mencegah terjadinya hiperglikemia pasca operasi.

BAB 5PENUTUP

5.1 Kesimpulan1. Kadar glukosa darah dari waktu prainduksi sampai sesaat setelah induksi terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna secara statistik (p = 0,762, p = 0,714). Sedangkan pada waktu 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit dan 150 menit pasca induksi terjadi kenaikan kadar glukosa darah yang bermakna secara statistik (p= 0,000)2. Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5% NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi pada pasien pediatri5.2 SaranPemberian cairan Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % diharapkan dapat dijadikan salah satu pertimbangan pemberian cairan pada pasien pediatrik perioperatif mengingat dapat mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi pada pasien pediatrik

DAFTAR PUSTAKA

1. Smiths. Anestesia for infants and children, 6 thed, St. Louis: Mosby; 1996: 319-20.2. Robert K. Fluid and electrolytes : Parenteralfluid therapy.Pediatrics in review; 2001 : 22(11).3. Bell C. The pediatric anestesia handbook,2nd ,St louis: Mosby; 1997 : 73-80.4. Barash P. Clinical anestesia, 4th ed,Philadelphia : lipincott Company; 2001: 1201-2.5. Paediatric Surgery chapter 15.(2005, Oktober17).Primary surgery volume one:non trauma.http://www.meb.uni-bonn.de/dtc/primsurg/index.html6. Pradian E. The Effect of Dextrose to Blood ofGlucose and Ketone Bodies Level in PediatricPatient underwent Labioplasty. The IndonesianJournal of Anaesthesiology and CriticalCare,Bandung ; 2004 : 109-117.7. Berry FA. Hypoglycemia and hyperglycemia:is there a problem? Eg J Anesth 2002; 18: 157-62Stoelting RK. Pharmacology and physiologyin anesthetic practice.3rd ed , Lippincott Raven,Philadelphia, New York, 1999: 302-118. Intravenous Fluids. Clinical PracticeGuidelines. Royal Childrens HospitalMelbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm .9. Elizabeth M. Molyneux, F.R.C.P.C.H.,F.F.A.E.M., and Kath Maitland, M.R.C.P.,Ph.D. (2005, September 1). IntravenousFluids Getting the Balance Right. http://www.nejm.org/intravenous fluids-getting the balance right.htm.10. Waxman K. Physiologic response to injury.In : Shoemaker WC, Holbrook PR,AyresSM,Grenvik A. Critical care. W.B.Saunderscompany, Philadelphia, London ,Toronto,2000 : 277-82.11. Oczenski W,Krenn H, Dahaba AA, Binder M.Hemodynamic and Cathecolamine StressResponses to Insertion of the Combitube,Laryngeal Mask Airway or TrachealIntubation. Anesth Analg 1999 , 88:1389-94.

32