belinda lbm 5

28
1. Apa perbedaan dari scientifikasi jamu dan fitofarmaka? Perbedaan Fitofarmaka Saintifikasi Jamu Ramuan Ramuan (komposisi) hendaknya terd iri dari 1 (satu) simplisia/sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing- masing sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman. Tidak ada batasan berapa jumlah simplisia/ sediaan galenik yang digunakan dan telah digunakan secara turun temurun

Upload: belinda-putri-agustia

Post on 05-Sep-2015

265 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

herbal

TRANSCRIPT

SGD 15 HERBAL LBM 4

1. Apa perbedaan dari scientifikasi jamu dan fitofarmaka?PerbedaanFitofarmakaSaintifikasi Jamu

RamuanRamuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman.

Tidak ada batasan berapa jumlah simplisia/ sediaan galenik yang digunakan dan telah digunakan secara turun temurun

Dukungan penelitianAgar supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi: 1. Pemilihan. 2. Pengujian Farmakologik a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum terdapat petunjuk mengenai khasiat. b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan pemastian khasiat. 3. PengujianToksisitas a. Uji toksisitas akut. b. Uji toksisitas sub akut. c. Uji toksisitas kronik. d. Uji toksisitas spesifik: - Toksisitas pada janin. - Mutagenisitas. - Toksisitas topikal. - Toksisitas pada darah. - Dan lain-lain. 4. Pengujian Farmakodinamik 5.Pengembangan Sediaan (formulasi). 6. Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan. 1. Pengujian klinik.

Penelitian dibedakan menjadi 2 untuk formula turun temurun dan formula baru.Subjek penelitian adalah pasien yang berobat pada dokter saintifikasi jamu (SJ)

SediaanSediaan Oral :Serbuk ; Rajangan ; Kapsul (ekstrak ) ; Tablet ( ekstrak ) ; Pil ( ekstrak ) ; Sirup ; Sediaan terdispersi ( emulsi / suspensi ).Sediaan Topikal :Salep / Krim ( ekstrak ) ; Suppositoria ( ekstrak ) ; Linimenta ( ekstrak ) ; Bedak ; Param.

Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia kering (untuk dijadikan jamu godhogan), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya.

LevelSama dengan obat modernTidak seperti obat modern, tetapi sudah ada EBMnya

PhytopharmaceuticalScientific traditional herbal medicine

pengembangan obat dari tanaman dan senyawa alam lainnya sekarang menjadi daerah yang signifikan dari penelitian untuk pengembangan obat baru dengan dasar historis suara.

Can be reciped by doctor

terstandarisasi dengan uji klinik berjumlah 6 berupa fitofarmaka.

Terdiri dari tidak lebih dari 5 bahan herbal

Klinik Saintifikasi JamuHortus MedicusadalahKlinik Tipe A, merupakan implementasi Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu aman, bermutu dan berkhasiat. Bahan yang digunakan berupa simplisia yang telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji praklinik

http://www.uel.ac.uk/study/courses/phytopharmaceuticals.htm http://www.b2p2toot.litbang.depkes.go.id/v110606/index.php?mod=menu.page&id_menu=106

2. Tujuan dan ruang lingkup scientifikasi jamu?TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah: a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based ) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu. c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu. d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Ruang lingkup:Pasal 31) Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif.2) Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementer-alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup.Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010.

3. Kriteria/syarat dari scientifikasi jamu?Pasal 81) Klinik Jamu terdiri dari : a. Klinik Jamu Tipe A b. Klinik Jamu Tipe B 2) Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi : 1. Dokter sebagai penanggung jawab 2. Asisten Apoteker. 3. Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 4. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 5. Tenaga administrasi. b. Sarana yang meliputi: 1. Peralatan medis 2. Peralatan jamuMemiliki ruangan: a) Ruang tunggu. b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record). c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian. d) Ruang pemeriksaan/tindakan. e) Ruang peracikan jamu. f) Ruang penyimpanan jamu. g) Ruang diskusi. h) Ruang laboratorium sederhana.i) Ruang apotek jamu.

3) Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi: 1. Dokter sebagai penanggung jawab 2. Tenaga kesehatan komplementer _alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 3. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 4. Tenaga administrasi.

b. Sarana yang meliputi: 1. Peralatan medis. 2. Peralatan jamu. 3. Memiliki ruangan : a) Ruang tunggu dan pendaftaran. b) Ruang konsultasi, pemeriksaan/tindakan/penelitian dan rekam medis (medical record). c) Ruang peracikan jamu. 4) Tenaga pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) hanya merupakan tenaga penunjang dalam pemberian pelayanan jamu. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Klinik Jamu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 5 Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Harus aman, sesuai dg MMI, farmakope indo dan harus dibuktikan secara empiris.Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010.

4. Apa saja tahapan2 scientifikasi jamu?

Keterangan: Studi etnomedisin dan etnofarmakologi pada kelompok etnis masyarakat tertentu. dapat diidentifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan ramuan tradisional yang dipakai indikasi dari tiap tanaman maupun ramuan, baik untuk tujuan pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. sebagai bahan dasar pembuktian ilmiah lebih lanjut.

Data dasar hasil studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini tentunya perlu dikaji oleh para ahli farmakologi herbal untuk dilakukan skrining guna ditetapkan jenis tanaman dan jenis ramuan yang potensial untuk dilakukan uji manfaat dan keamanan. Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti aman, maka dapat langsung pada tahap uji klinik fase 2 (WHO-TDR, 2005). Komnas SJ sepakat untuk uji klinik fase 2 dalam rangka melihat efikasi awal dan keamanan, cukup menggunakan pre-post test design (tanpa pembanding). Apabila pada uji klinik fase 2 membuktikan efikasi awal yang baik, maka dapat dilanjutkan uji klinik fase 3, untuk melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel yang lebih besar, pada target populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini sebaiknya menggunakan randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label randomized trial). Sebagai pembanding (kontrol) bisa menggunakan obat standar bila Jamu dipakai sebagai terapi alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada obat standar, bila Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik Saintifikasi Jamu adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai nilai manfaat dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan Jamu Saintifik menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban untuk mengikuti tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk formula jamu baru (bukan turun-temurun), maka tahapan uji klinik sebagaimana obat modern tetap harus diberlakukan, yakni uji pre-klinik, uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3. Namun demikian, uji untuk melihat profil farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu dilakukan, baik pada uji pre-klinik maupun uji klinik fase 1. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh manusia (WHO-TDR, 2005). Dengan demikian, untuk formula baru yang belum diketahui profil keamanannya, maka harus dilakukan tahapan uji klinik yang runtut, mulai uji pre-klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik fase 3. Bila uji klinik fase 3 menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, maka formula tersebut dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal. Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia kering (untuk dijadikan jamu godhogan), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal, campuran estrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya, yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang manfaat dan keamanan jamu, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif, paliatif, maupun rehabilitatif.Siswanto, 2012, Saintifi kasi Jamu sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti Ilmiah Ketua Komisi Nasional Saintifi kasi Jamu, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

5. Bagaimana kemajuan scientifikasi jamu di indonesia saat ini?REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perkembangan produk herbal (Jamu) di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, mengatakan pada 2010 lalu nilai pasar jamu di Indonesia mencapai Rp 10 triliun. Jumlah ini naik signifikan pada 2012 hingga Rp 13 Triliun."Pangsa jamu kita mencapai 21 persen dari total pasar farmasi nasional," katanya saat menyampaikan pidato pada Rapat Senat Terbuka Milad UAD ke 54, Sabtu (27/12).Menurutnya, kekayaan alam Indonesia berupa jamu memang sangat banyak. Setidaknya ada 24.927 tumbuhan lokal di 26 provinsi di Indonesia yang berkhasiat obat. Selaaian itu masih ada 13.665 jenis ramuan tradisional yang juga berkhasiat obat. Ini kekayaan yang luar biasa dan belum dimanfaatkan secara optimal.Meski begitu kata dia, pemerintah sudah melakukan beberapa upaya pengembangan jamu tersebut. Pertama pada 2008 teelah dilakukan deklarasi jamu brand Indonesia oleh presiden, pada 2010 dilakukan peluncuran saintifikasi jamu oleh Kementrian Kesehatan, 2011 Menko Perekonomian juga meluncurkan roadmap pengembangan jamu 2011-2025, dan 2012-2014 dimunculkan diskusi intensif tentang ikonisasi jamu.Selain itu pada 2014 ini juga sudah dikeluarkan peraturan pemerintah nomer 103 tentang pelayanan kesehatan tradisional. Peraturan ini dijadikaan acuan bagi praktisi pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia. Aturan-aturan itu menurutnya, sudah cukup menjadi payung hukum dan panduan untuk pengembangan jamu di Indonesia. "Tinggal bagaimana para akademisi, peneliti dan perekayasa bisa melakukan percepatan penguatan industri jamu nasional ini dengan pengebangan dan penerapan teknologi yang tepat katanya.Pengembangan teknologi untuk kemajuan jamu di Indonesia sendiri kata Unggul harus memperhatikan beberapa hal. Pertama teknologi yang dikembangkan harus menghasilkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan kontinyu. Teknologi untuk ektraksi yang siap untuk skala komersiap, teknologi pengembangan formula dan bentuk sediaan jamu dan adanya inkubasi teknologi. Untuk pengembangan jamu itupun kata dia, dibutuhkan sinergi ABG (akademisi, bisnis dan goverment) sebagai skema sinergi tepat. Sinergi ketiga pihak ini harus dilandaskan pada basis inovasi teknologi agar kemajuan jamu Indonesia tercapai secara signifikan.http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/12/28/nha3t6-nilai-pasar-produk-jamu-indonesia-capai-rp-13-triliun

Integrasi pelayanan kesehatan tradisional dalam pelayanan kesehatan formal merupakan suatu program pemerintah utamanya Kementerian Kesehatan, melalui Bina Kestradkom sebagai leading pelayanan dan Badan Litbangkes sebagai leading penemuan evidence base, disertai dukungan seluruh unit kerja terkait di Kementerian Kesehatan dan unit kerja lain di Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir berkembang pesat mengenai penggunaan jamu di masyarakat, baik masyarakat sebagai pengguna maupun masyarakat profesi tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan. Dari kalangan profesi tenaga kesehatan, perhatian terhadap obat tradisional mulai dirasakan, dengan berdirinya berbagai perhimpunan tenaga dokter seminat, misalnya PDHMI, PKKAI, PERDESTI dll, yang intinya menggunakan tanaman obat/obat tradisional sebagai modalitas terapi. Pada tahun 2010 terjadi suatu terobosan dengan diterbitkannya Permenkes 003/PERMEN/I/2010 mengenai Saintifikasi Jamu dalam penelitan berbasis pelayanan. Di tahun yang sama, dilakukan pemetaan dokter praktik jamu se Jawa Bali, dan didapatkan 159 dokter dari profesi seminat, dan sebanyak 76,9 % melakukan praktik dengan obat tradisional atau jamu, sebagai alternatif maupun sebagai komplementer. Meskipun pelayanan jamu sudah banyak digunakan oleh tenaga kesehatan profesional , namun banyak tenaga profesional kesehatan yang menyangsikan terhadap keamanan dan kemanfaatan pengobatan dengan jamu dalam pelayanan kesehatan formal. Hal ini terkait dengan adanya Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan harus memenuhi stanfar pelayanan medis, yang pada prinsipnya harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine) . Di pihak lain, bukti-bukti ilmiah tentang mutu, keamanan dan kemanfaatan jamu dinilai belum adekuat untuk dapat dipraktikkan pada pelayanan kesehatan formal. Dengan kata lain, pengobatan jamu masih memerlukan bukti ilmiah yang cukup untuk dapat digunakan oleh tenaga kesehatan profesional, serta ditambah bahwa saat ini belum ada payung hukum yang pasti. Hingga tahun 2012 pemerintah melalui Badan Litbang Kesehatan, telah memberikan diklat penelitian berbasis pelayanan kepada 200 dokter puskesmas dan RS CAM (Complementer Alternatif Medicine), Puskesmas, Klinik Mandiri, dan akan bertambah setiap tahun. Keadaan lain, Bina Yankestradkom, dalam renstranya mempunyai cakupan kab/kota yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional sebanyak 30 % atau 150 kabupaten dan 300 di wilayah perkotaan di tahun 2012 dan mencapai 50 % di tahun 2014. Pesatnya kemajuan teknologi harus dimanfaatkan sebesar besarnya, salah satunya penggunaan komputer dalam bidang pelayanan kesehatan. Salah satu hal yang menjadi penilaian atas kualitas dari pelayanan di sebuah klinik dapat dilihat dari pelayanan yang diberikan kepada pasiennya dan keahlian dokter dalam mendiagnosa penyakit pasien. Jamu registri, merupakan suatu sistem pencatatan penggunaan jamu dan pelayanan dokter dengan jamu pada dokter di klinik Saintifikasi Jamu, Rumah Sakit dan Puskesmas yang telah memiliki pelayanan kesehatan tradisional, maupun pada dokter praktik Mandiri.https://www.ina-registry.org/index.php?act=news&id=7

6. Apa syarat dokter yg dapat meresepkan scientifikasi jamu?Bagian KetigaKetenagaanPasal 111) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (2) harus memiliki: a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya. b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN.

7. Syarat uji klinik?Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja didasarkan pada hasil yang diperoleh dari uji klinik tetapi juga perlu mengingat faktor-faktor lain yang secara objektif dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu uji klinik.Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen berikut:1) Seleksi/pemilihan subjekDalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria pemilihan pasien, yakni:a. Kriteria pemasukan (inclusion criteria), yakni syarat-syarat yang secara mutlak harus dipenuhi subjek untuk dapat diikutsertakan dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik klinis (termasuk gejala dan tanda-tanda penyakit) maupun laboratoris, derajat penyakit (mis. ringan, sedang atau berat), asal pasien (hospitalatau community-based), umur dan jenis kelamin.b. Kriteria pengecualian (exclusion criteria), merupakan kriteria yang tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek-\subjek tertentu dalam penelitian.Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek mengingat pertimbangan risiko yang mungkin lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat tidak dilibatkan dalam penelitian.Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang dipilih benar-benar merupakan indikasi utama pemakaian obat yang diujikan.2) Rancangan uji klinikUntuk memperoleh hasil optimal dari suatu uji klinik perlu disusun rancangan (design) penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan etis dengan tetap mengutamakan segi keselamatan dan kepentingan pasien.Rancangan uji klinik disini dimaksudkan untukuji klinik fase III, yang secara garis besar membandingkan dua atau lebih perlakuan/pengobatanuntuk melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru dengan menggunakan satu (atau lebih) parameter pengukuran. Dua rancangan uji klinik yang baku dan umum digunakan yakni rancangan paralel/rancangan antar subjek (Randomized Controlled Trial/RCT-Parallel Design) dan rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT cross over design).Berikut dijelaskan secara ringkas kedua jenis rancangan tersebut:a. Rancangan paralel/rancangan antar subjek (RCT-parallel design)Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak subjek-subjek yang dilibatkan dalam penelitian dibagi dua atau lebih kelompok pengobatan. Jumlah subjek dalam tiap-tiap kelompok pengobatan harus seimbang atau sama. Masing-masing kelompok akan memperoleh pengobatan/perlakuan yang berbeda,sesuai dengan jenis obat/perlakuan yang diujikan. Selanjutnya hasil pengobatan pada masing-masing kelompok dibandingkan (Gambar 1).pengobatan Apasien memenuhi pengacakan kriteria pengobatan.b. Rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT-cross-over design)Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk pengobatan/perlakuan secara selang-seling yang ditentukan secara acak. Untuk menghindari kemungkinan pengaruh obat/perlakuan yang satu dengan yang lainnya, setiap subjek akan memperoleh periode bebas pengobatan (washed-out period).3) Jenis perlakuan atau pengobatan dan pembandingnyaDalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya harus didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan, waktu dan cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan pengobatan, hendaknya dipertimbangkan segi-segi teknis yang berkaitan dengan ketaatan pasien (patients compliance) serta ketentuan -ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai contoh disini adalah jika frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari 4 kali/hari) maka kemungkinan ketaatan pasien juga makin berkurang. Penjelasan lain meliputi obat-obat apa yang boleh dan tidak boleh diminum selama uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga harus dijelaskan, apakah pembanding positif (obat standard yang telah terbukti secara ilmiah kemanfaatannya) atau negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah obat, dalam arti tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak dianjurkan untuk penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal dan serius.Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pembanding positif hendaknya merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) dari indikasi yang dimaksud. Sebagai contoh, jika obat baru yang diuji indikasikan untukmengobati tifus abdominalis, maka pembandingnya (kontrol positif) adalah kloramfenikol (drug of choice untuk tifus).4) Pengacakan (randomisasi) perlakuanRandomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam uji klinik terkendali (randomize-controlledtrial-RCT), dengan tujuan utama menghindari bias (pracondong). Dengan pengacakan sebelum uji klinik maka,setiap subjek (pasien) akan memperoleh kesempatan yang sama dalam mendapatkan perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain setiap subjek mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan obat uji atau pembandingnya. subjek-subjek yang memenuhi kriteria pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap kelompok perlakuan, di mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis seimbang. Dengan adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian kemanfaatan obat uji dan pembandingnya dapat dijamin seobjektif mungkin.5) Besar sampelSalah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam uji klinik adalah besar sampel atau jumlah subjek yang diperlukan dalam uji klinik. Beberapa faktor berikut perlu dijadikan salah satu pertimbangan dalam penentuan jumlah sampel:a. Derajat kepekaan uji klinikJika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2 obat yang diuji tidak begitu besar, maka diperlukan jumlah sampel yang besar.b. Keragaman hasil.Makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam kelompok yang sama, maka makin sedikit jumlah subjek yang diperlukan.c. Derajat kebermaknaan statistik.Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari uji klinik, maka makin besar pula jumlah subjek yang diperlukan.Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel antara lain, apabila kita ingin membandingkan 2 jenis obat, A dan B, di mana diperkirakan bahwa prosentase kesembuhan setelah pemberian obat A adalah 95%, sementaraprosentase kesembuhan pada pemberian obat B 90%. Dengan menentukan (kesalahan tipeI) dan (kesalahan tipe II), maka digunakan cara penghitungan sbb,P1x (100-P1) + P2x (100-P2)n (per group) =------------------------------------------------------x f (,)(P1-P2)2di mana,n=jumlah sampel per perlakuanP1=prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 1, misalnya pada contoh diatasadalah 95%P2=prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 2, misalnya pada contoh diatas adalah 90%= kesalahan tipe I, misalnya 0,05=kesalahan tipe II, misalnya 0,1f (, ) = 10,5Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah,95 x (100-95) + 90 (100-90)n (per group)=--------------------------------------------x 10,5(95 -90)295 x 5 + 90 x 10=---------------------------------------------x 10,5(5)2=578 pasienSehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156 atau dibulatkan menjadi 1200.6) Penyamaran/pembutaan (blinding)Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah merahasiakan bentuk terapi yang diberikan. Dengan penyamaran, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama penyamaran ini adalah untuk menghindari bias (pracondong) pada penilaianrespons terhadap obat yang diujikan. Penyamaran dapat dilakukan secara: Single blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien. Double blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang diuji maupun pembandingnya. Triple blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analisis tidak diberitahu identitas obat yang diuji dan pembandingnya.Dengan teknik penyamaran/pembutaan ini bukan berarti tidak ada kontrolnterhadap pelaksanaan uji klinik.Kesehatan dan keselamatan pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh penanggung jawab medik, sehingga sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diharapkan (adverse effects) dapat segera dilakukan penanganan secara medik.7) Penilaian responsPenilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan harus bersifat objektif, akuratdan konsisten. Oleh sebab itu respons yang hendak diukur harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh jika yang diuji obat antihipertensi, maka penurunan tekanan darah hendaknya diukur secara objektif (dengan alat ukur yang sama, misalnya sphigmomanometer air raksa dengan satuan mmHg) oleh pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi yang sama pula.Empat kategori utama yang umum digunakan untuk menilai respons terapetik adalah:a. Penilaian awal (baseline assessment) sebelum perlakuan.Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis hendaknya dicatat secara seksama berdasarkan parameter-parameter yang telah disepakati. Sebagai contoh adalah tekananndarah, yang hendaknya telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.b. Kriteria-kriteria utama respons pasien.Disini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria utama yang harus dinilai. Jika yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka kriteria utama penilaian adalah penurunan panas, terjadi tidaknya kejang atau gejala lain sebagai manifestasi demam, dan sebagainya.c. Kriteria tambahan.Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu obat/perlakuan, tetapi juga menilai segi keamanan pemakaiannya. Untuk itu diperlukan kriteria tambahan. Dengan kriteria tambahan ini kita dapat menilai apakah obat yang diuji disamping memberi kemanfaatan klinis yang besar juga terjamin keamanannya.Kriteria tambahan ini umumnya berupa efek samping, mulai derajat ringan sampai berat, baik yang mengancam kehidupan (lifethreatening) maupun tidak.d. Pemantauan pasien.Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun terapetik (secara umum) akan sangat ditentukan oleh ketaaan pasien, maka faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien untuk berperan serta dalam penelitian hendaknyadapat dikontrol sebaik mungkin.8) Analisis dan interpretasi dataAnalisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung pada metode statistika yang digunakan. Sebagai contoh, jika kriteria untuk penilaian hasil diekspresikan dalam bentuk "ya" atau "tidak" (misalnya sembuh-tidak sembuh; hidup-mati; berhasil-gagal) maka salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat (Chi-square). Untuk menguji ada tidaknya perbedaan angka rata-rata (mean) antara 2 kelompok uji, maka digunakan uji-t (Students t-test). Metode statistika yang akan digunakan untuk analisis data uji klinik harus sudah disiapkan saat pengembangan protokol, untuk menghindari ketidaktepatan uji statistika dan interpretasi hasil.Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta.Hoan Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting, Khasiat, penggunaan dan efek sampingnya : Elexmedia Computindo.Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta.

8. Tahapan2 uji klinik?

Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase:1. Fase I calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang sehat2. Fase II calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efi kasi pada penyakit yang diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.3. Fase III efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding efeknya pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang.Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter.4. Fase IV setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pascapemasaran yang diamati pada pasien dalam berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan pada jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase ini dievaluasi, masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan.Sebagai contoh cerivastatin, suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal. Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan janin. Sedangkan troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.Prof Dr Ellin Yulinah, Farmakolog Institut Teknologi Bandung. http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=1467http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=141