beberapa aspek keamanan pangan asal

32
BEBERAPA ASPEK KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA1) PENDAHULUAN Produk ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan apabila tidak aman. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak bagi manusia merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kepanikan masyarakat akibat kasus penyakit sapi gila (mad cow) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya pada akhir tahun 1990-an, cemaran dioksin pada produk ternak di Belgia dan Belanda pada tahun 1999, dan kasus penyakit antraks pada domba dan kambing di Bogor pada tahun 2001, menggambarkan betapa pentingnya masalah keamanan pangan asal ternak karena tidak hanya berdampak terhadap kesehatan manusia, tetapi juga pada perdagangan domestik dan global serta perekonomian negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut (Darminto dan Bahri 1996; Putro 1999; Sitepu 2000; Noor et al. 2001). Pada akhir tahun 1960-an, perhatian masyarakat dunia terhadap berbagai residu senyawa asing (xenobiotics) pada bahan pangan asal ternak masih sangat sedikit. Pada saat itu perhatian masyarakat masih terpusat pada masalah residu pestisidapada buah dan sayuran. Baru setelah terungkapnya senyawa pestisida DDT, dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat-obatan lain pada produk ternak, upaya untuk mengawasi pangan asal ternak mulai mendapat perhatian khusus (Bahri 1994). Di Indonesia, data keberadaan berbagai residu obat hewan, terutama golongan antibiotik, sulfa, pestisida, mikotoksin, dan hormon pada susu, daging, dan telur telah banyak dilaporkan (Sudarwanto 1990; Bahri et al. 1992a, 1992b, 1994a; Sudarwanto et al. 1992; Maryam et al. 1995; Darsono 1996; Biyatmoko 1997; Dewi et al. 1997; Widiastuti 2000). Demikian pula cemaran kuman Salmonella pada berbagai komoditas ternak di Indonesia (Sri-Poernomo dan Bahri 1998). Untuk mendapatkan produk ternak yang aman perlu melalui proses yang panjang, dimulai dari farm (proses praproduksi) sampai dengan pascaproduksi. Dalam hal ini, faktor-faktor penting yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terdapat pada setiap

Upload: younk74

Post on 14-Jun-2015

1.030 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

BEBERAPA ASPEK KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA1)

PENDAHULUANProduk ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan apabila tidak aman. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak bagi manusia merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kepanikan masyarakat akibat kasus penyakit sapi gila (mad cow) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya pada akhir tahun 1990-an, cemaran dioksin pada produk ternak di Belgia dan Belanda pada tahun 1999, dan kasus penyakit antraks pada domba dan kambing di Bogor pada tahun 2001, menggambarkan betapa pentingnya masalah keamanan pangan asal ternak karena tidak hanya berdampak terhadap kesehatan manusia, tetapi juga pada perdagangan domestik dan global serta perekonomian negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut (Darminto dan Bahri 1996; Putro 1999; Sitepu 2000; Noor et al. 2001). Pada akhir tahun 1960-an, perhatian masyarakat dunia terhadap berbagai residu senyawa asing (xenobiotics) pada bahan pangan asal ternak masih sangat sedikit. Pada saat itu perhatian masyarakat masih terpusat pada masalah residu pestisidapada buah dan sayuran. Baru setelah terungkapnya senyawa pestisida DDT, dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat-obatan lain pada produk ternak, upaya untuk mengawasi pangan asal ternak mulai mendapat perhatian khusus (Bahri 1994).Di Indonesia, data keberadaan berbagai residu obat hewan, terutama golongan antibiotik, sulfa, pestisida, mikotoksin, dan hormon pada susu, daging, dan telur telah banyak dilaporkan (Sudarwanto 1990; Bahri et al. 1992a, 1992b, 1994a; Sudarwanto et al. 1992; Maryam et al. 1995; Darsono 1996; Biyatmoko 1997; Dewi et al. 1997; Widiastuti 2000). Demikian pula cemaran kuman Salmonella pada berbagai komoditas ternak di Indonesia (Sri-Poernomo dan Bahri 1998).Untuk mendapatkan produk ternak yang aman perlu melalui proses yang panjang, dimulai dari farm (proses praproduksi) sampai dengan pascaproduksi. Dalam hal ini, faktor-faktor penting yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terdapat pada setiap mata rantai proses tersebut. Pada makalah ini akan diulas berbagai aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia.

TUNTUTAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI ERA GLOBALISASI

Perundingan putaran Uruguai mengenai GATT yang diikuti oleh 125 negara pada tahun 1994 memiliki dampak yang sangat luas, antara lain mencakup kesepakatan mengenai aplikasi tindakan sanitary and phytosanitary (SPS). Kesepakatan ini mengatur tindakan perlindungan terhadap keamanan pangan dalam bidang kesehatan hewan dan tumbuhan yang perlu dijalankan oleh negara-negara anggota WTO. Tujuannya adalah untuk melindungi manusia dari risiko yang ditimbulkan oleh bahan makanan tambahan (aditif) dalam pangan, cemaran (kontaminan), racun (toksin) atau organisme penyebab penyakit dalam makanan atau dari penyakit zoonosis. Oleh karena itu, dalam perjanjian tersebut ditegaskan bahwa setiap negara harus melakukan upaya untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumen dan mencegah penyebaran hama dan penyakit pada hewan dan tumbuhan.

Page 2: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Dengan diberlakukannya persetujuan GATT dan berdirinya WTO serta terbentuknya perdagangan bebas ASEAN (AFTA) pada 2003 dan juga APEC (Asia Pacific) pada 2020 serta ASEM (Asia dan Eropa), maka persaingan untuk memasarkan produk dari dan ke dalam negeri maupun luar negeri akan makin ketat. Oleh karena itu, pangan termasuk yang berasal dari ternak, selain merupakan kebutuhan dasar kehidupan manusia juga sebagai komoditas dagang yang dituntut keamanannya agar mempunyai daya saing yang tinggi, yang pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.Pangan asal ternak mempunyai keterkaitan yang erat dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, yaitu daya intelektualnya melalui perbaikan gizi. Apabila pangan asal ternak tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan maka pangan tersebut tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian, tetapi juga mempengaruhi pertumbuhan fisik dan inteligensia masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan peternakan tidak hanya dituntut untuk meningkatkan kuantitas pangan, tetapi juga menyediakan bahan pangan asal ternak yang berkualitas dan aman bagi konsumen. Keadaan ini semakin mendesak dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen.

BAHAYA DAN DAMPAK NEGATIF PANGAN ASAL TERNAK YANG TERCEMAR

Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai, mulai dari praproduksi di produsen, pascaproduksi sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya tersebut meliputi: (1) penyakit ternak; (2) penyakit yang ditularkan melalui pangan atau yang disebut food borne diseases; serta (3) cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik lainnya. Kelompok pertama berupa penyakit ternak menular dan biasanya terjadi pada proses praproduksi, yaitu penyakit yang menyerang ternak pada proses pemeliharaan. Penyakit ini selain mempengaruhi kesehatan ternak juga menentukan mutu dan keamanan produknya. Beberapa penyakit ternak utama yang perlu mendapat perhatian adalah antraks, BSE, virus nipah (Encephalitis), tuberkulosis, radang paha, dan cysticercosis pada sapi. Kelompok kedua adalah penyakit bakterial yang ditularkan melalui pangan. Kejadian penyakit ini dapat timbul melalui infeksi bakteri atau intoksikasi dari toksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Beberapa penyakit bakterial yang dapat ditularkan melalui pangan adalah salmonellosis, enteritis Clostridium perfringens, intoksikasi Staphylococcus, campylobacteriosis, dan hemorrhagic colitis. Kelompok ketiga adalah cemaran (kontaminan) bahan kimia dan bahan toksik lainnya. Dalam hal ini, daging, susu, dan telur dapat tercemar obat-obatan, senyawa kimia, dan toksin baik pada waktu proses praproduksi maupun produksi. Residu obat seperti antibiotik dapat dijumpai pada daging bila pemakaian obat-obatan hewan tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong. Senyawa kimia dan toksin seperti pestisida, logam berat, dan mikotoksin/aflatoksin dapat mengkontaminasi pakan ternak dan pada gilirannya akan tertimbun dalam jaringan tubuh ternak.Dampak negatif terbesar dari cemaran pangan asal ternak adalah hambatan atau penolakan terhadap berbagai produk ternak oleh negara pengimpor. Hal seperti ini telah terjadi pada kasus penyakit sapi gila, di mana Pemerintah Inggris mengalami kerugian jutaan pound sterling karena ratusan ribu ekor sapi harus dimusnahkan untuk memberantas penyakit tersebut, selain

Page 3: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

kehilangan pasar luar negerinya. Kerugian seperti ini, dalam skala yang lebih ringan, juga terjadi pada wabah penyakit PMK di beberapa negara di Eropa, termasuk Inggris, pada awal tahun 2001 serta beberapa negara Amerika Latin (Argentina dan Brasil) dan Asia (Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia).Kasus cemaran dioksin pada daging, telur, dan susu serta produk olahannya asal Belgia dan beberapa negara Eropa lainnya (seperti Belanda) menyebabkan Belgia menderita kerugian yang cukup besar karena harus menarik produk yang tercemar serta mengganti kerugian yang diakibatkannya. Selain itu, Belgia juga dilarang mengekspor produk peternakannya dalam waktu yang cukup lama (Putro 1999). Pada awal tahun 1999, Malaysia mengalami kerugian jutaan dolar Amerika akibat wabah penyakit virus nipah yang menyerang ternak babi dan manusia. Sekitar satu juta ekor babi harus dimusnahkan untuk memberantas penyakit tersebut. Kerugian lain yang lebih besar adalah penutupan ekspor babi ke Singapura, dimana sebelumnya Malaysia merupakan pemasok utama (80%) kebutuhan daging babi Singapura. Kerugian lainnya berupa permasalahan sosial ekonomi sebagai efek multiplier dari wabah tersebut.Kasus penyakit antraks pada kambing/domba dan manusia di Kabupaten Bogor pada awal tahun 2001 telah menyebabkan terganggunya pasar lokal kambing/domba di wilayah Jabodetabek. Kelesuan pasar terutama terjadi menjelang Hari Raya Kurban sehingga sempat meresahkan sejumlah pedagang kambing/domba dan sapi di wilayah tersebut.Selain dampak terhadap perdagangan, dampak terhadap kesehatan manusia merupakan dampak negatif yang sangat penting dari pangan yang tercemar. Kasus penyakit sapi gila di Inggris dan beberapa negara Eropa telah menimbulkan kematian pada sejumlah orang. Dikhawatirkan hal tersebut akan terus berlangsung karena masa inkubasi penyakit baru akan terlihat setelah lebih dari 5 tahun. Masalah ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Eropa, terutama Inggris.Wabah penyakit virus nipah di Malaysiapada tahun 1998-1999 telah menyebabkan 100 orang meninggal, umumnya yang bekerja atau berhubungan dengan ternak babi yang terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit ini sangat fatal, menular langsung melalui kontak dengan bagian-bagian tubuh babi yang tertular (Anonimous 1999). Pengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi daging burung unta yang terinfeksi kuman antraks telah terjadi pada lebih dari 20 orang di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 1999-2000 (Hardjoutomo et al. 2000; Widarso et al. 2000). Demikian pula kematian beberapa orang di Kabupaten Bogor pada akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001 diduga kuat sebagai akibat mengkonsumsi daging kambing/domba yang terserang antraks (Noor et al. 2001).Dampak terhadap aspek sosial politik diperlihatkan pada kasus telur yang tercemar Salmonella di Inggris pada akhir tahun 1990-an, dan kasus cemaran dioksin pada produk ternak di Belgia. Kedua kasus tersebut menimbulkan keresahan yang luas pada masyarakat dan berakibat pada pengunduran diri beberapa pejabat teras di kedua negara tersebut. Dampak lain yang ditimbulkan adalah: (1) biaya perawatan korban yang ditanggung pemerintah maupun masyarakat; (2) penurunan produksi perusahaan, bahkan kasus antraks pada burung unta di Purwakarta menyebabkan tutupnya usaha peternakan tersebut; (3) kerugian pada peternak atau pengusaha akibat kematian ternak dalam jumlah besar, baik akibat penyakit maupun pemusnahan (stampingout); (4) menurunnya produktivitas manusia yang terserang penyakit tersebut; dan (5) kehilangan jiwa atau kematian.

Page 4: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

SITUASI DAN BEBERAPA FAKTOR PENTING DALAM KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIACemaran MikrobiologisCemaran kuman antraks pada daging terjadi akibat ternak terserang penyakit antraks pada praproduksi di tingkat peternak. Umumnya manusia terkena antraks karena mengkonsumsi produk ternak yang tertular antraks maupun akibat berhubungan (kontak langsung) denganagen penyakitnya pada saat ternak terkena antraks. Kasus antraks pada ternak di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1885 (Soemanegara 1958; Mansjoer 1961) dan antraks pada manusia sejak tahun 1922 (Soeparwi 1922) dan terakhir tahun 2000 (Widarso et al. 2000).Hasil pengamatan selama tahun 1989-1997 terhadap cemaran berbagai serotipe kuman Salmonella pada produk ternak diIndonesia cukup memprihatinkan karenajumlah kuman Salmonella yang dapat diisolasi cukup banyak, yaitu 828 kasus pada ayam, 233 kasus pada itik, 219 kasus pada telur, 95 kasus pada babi, dan 59 kasus pada sapi (Sri-Poernomo dan Bahri 1998). Data ini menunjukkan bahwa sanitasi ditingkat produsen dan pengolah produk ternak perlu ditingkatkan agar produk memiliki daya saing yang tinggi.Cemaran KimiawiCemaran kimiawi pada daging, susu, dan telur dapat terjadi akibat penggunaan obatobatan, bahan aditif, serta cemaran senyawa kimia dan toksin pada pakan. Pencemaran dapat terjadi baik pada proses praproduksi maupun produksi Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 229 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daging, telur, dan susu ditemukan residu obat seperti antibiotik golongan tetrasiklin dan sulfonamida (Tabel 1 dan 2). Umumnya golongan tetrasiklin lebih banyak ditemukan dengan kandungan yang cukup tinggi. Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan menyebabkan daging dan susu tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Penelitian juga menemukan cemaransenyawa pestisida dan aflatoksin pada daging, susu, dan telur (Tabel 3) akibat pakan yang. Pencemaran dapat terjadi pada waktu proses praproduksi maupun produksi.Beberapa Faktor PentingKualitas telur, daging, dan susu sangat dipengaruhi oleh proses yang menyertai penyediaan pangan asal ternak tersebut. Paling sedikit ada tiga proses utama yang merupakan mata rantai penyediaan produk peternakan, yaitu: (1) proses praproduksi; (2) proses produksi; dan (3) proses pascaproduksi (Gambar 1). Proses PraproduksiProses praproduksi penyediaan bahanpangan asal ternak meliputi budi daya difarm (peternakan) atau produsen. Pada tahap ini terdapat berbagai faktor dominan yang menentukan kualitas akhir produk Tabel 1. Residu obat hewan pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa. Jenis produk ternak dan JumlahSampel Jenis residu asalnya sampel positif (obat) Sumber (%) Susu individu (Jabar) 166 80,0 Antibiotik Sudarwanto (1990) Susu kandang (Jabar) 416 24,0 Antibiotik Sudarwanto (1990)Susu loper (Jabar) 128 34,4 Antibiotik Sudarwanto (1990) Susu pasteurisasi (Jabar) 31 41,0 Antibiotik Sudarwanto (1990) Susu segar/mentah (Jateng) 91 5,5 Tetrasiklin Bahri et al. (1992a)63,7 Klortetrasiklin Bahri et al. (1992a) 70,3 Oksitetrasiklin Bahri et al. (1992a) Susu /mentah (Jatim) 52 28,8 Tetrasiklin Bahri et al. (1992b) 19,2 Klortetrasiklin Bahri et al. (1992b) 71,2 Oksitetrasiklin Bahri et al. (1992b) Susu pasteurisasi 206 32,5 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)

Page 5: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Susu mentah 22 59,1 Penisilin Sudarwanto et al. (1992) Daging ayam (Jatim) 60 13,2 Antibiotik Hartati et al. (1993) Hati ayam (Jatim) 40 82,5 Antibiotik Hartati et al. (1993) Hati ayam (Jatim) 30 76,7 Oksitetrasiklin Darsono (1996)Hati broiler (Jatim) 30 83,3 Oksitetrasiklin Darsono (1996)Daging ayam (Bali) 50 8,0 Sulfa Dewi et al. (1997)Telur ayam (Bali) 50 38,0 Sulfa Dewi et al. (1997)Daging ayam (Bogor) ? ? Tetrasiklin Biyatmoko (1997)Hati ayam (Bogor) ? ? Tetrasiklin Biyatmoko (1997)Daging ayam (Jabar) 93 70 Oksitetrasiklin Murdiati et al. (1998)30 Klortetrasiklin Murdiati et al. (1998)230 Sjamsul Bahriternak, yaitu: (1) pakan atau bahan pakan;(2) bahan kimia seperti pestisida dan desinfektan;(3) obat hewan; (4) status penyakithewan menular; dan (5) sistem manajemenyang diterapkan. Kelima faktortersebut memegang peranan penting dalammenghasilkan produk ternak yang bermutudan aman dikonsumsi.Pakan dan Bahan Pakan. Pakan memegangperanan terpenting atau kritisdalam sistem keamanan pangan asalternak. Pakan yang tercemar akan berinteraksidengan jaringan/organ di dalamtubuh ternak. Apabila cemaran senyawaTabel 2. Residu antibiotik pada susu, daging sapi, hati sapi, daging ayam, dan hati ayam dari berbagaisumber di Jawa, Bali, dan Lampung.Sampel positif (%)Jenis produk Sumber dan jumlahsampel Antibiotik Peni- Makro- Amino Tetrakeseluruhansilin lida glikosida siklinSusu Peternak (10) 63,6 18,2 18,2 18,2 54,5Koperasi (11) 63,6 54,5 18,2 0 54,5Pengolahan susu (3) 50,0 50,0 50,0 0 50,0Total (24) 62,5 37,5 20,8 8,3 54,2Daging sapi RPH (16) 87,5 87,5 0 0 0Ps. Tradisional (12) 100,0 100,0 0 0 8,3Supermarket (20) 100,0 100,0 18,8 0 18,8Distributor (8) 100,0 100,0 0 0 0Total (56) 96,5 96,5 5,3 0 7,0Hati sapi RPH (22) 100,0 100,0 4,5 0 0Ps. Tradisional (10) 100,0 100,0 11,1 0 22,2Supermarket (8) 100,0 100,0 12,5 0 12,5

Page 6: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Distributor (8) 87,5 87,5 0 0 0Total (48) 97,9 97,9 6,4 0 6,4Daging ayam RPU (16) 25,0 18,8 0 0 0Ps. Tradisional (12) 25,0 25,0 0 0 0Supermarket (12) 41,7 41,7 0 0 0Total (40) 30,0 27,5 0 0 0Hati ayam RPU (15) 100,0 100,0 6,7 0 13,3Ps. Tradisional (10) 100,0 100,0 10,0 30,0 10,0Supermarket (7) 100,0 100,0 0 14,3 0Total (32) 100,0 100,0 6,3 12,5 9,4Total sampel 200 80,0 76,5 6,5 3,0 11,5Sumber: INIANSREDEF (1999)Produsen/Peternak/FarmPraproduksiTransportasiProsesor (RPH) ProduksiDistributorPascaproduksiPengecerKonsumenGambar 1. Bagan rantai penyediaan produkternak (daging).tttttBeberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 231melalui air seni dan feses, tetapi sebagianlagi tetap tersimpan dalam jaringan/organtubuh yang selanjutnya disebut sebagairesidu. Apabila pakan yang dikonsumsiternak terkontaminasi senyawa kimia/toksik maupun obat hewan maka residudari senyawa kimia atau obat tersebut akanterakumulasi dalam jaringan/organ tubuhdengan konsentrasi yang bervariasi. Halini dapat dipahami sesuai dengan teoriproses farmakokinetik obat seperti yangTabel 3. Cemaran berbagai senyawa toksik (mikotoksin dan pestisida) pada susu, telur, daging dan hatiayam, serta daging dan hati sapi di Jawa.Jenis bahan pangan, asal, dan Jenis Kadar rata-rata/jumlah sampel aflatoksin kisaran (ppb) Sumber

Page 7: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Susu, Jabar (97) AFM1 0,4 Bahri et al. (1991)Susu, Boyolali (25) AFM1 1,69 Maryam et al. (1993)Susu, Ungaran (24) AFM1 0,99 Maryam et al. (1993)Susu, Solo (24) AFM1 1,09 Maryam et al. (1993)Susu, Bogor (12) AFM1 0,04-0,17 Bahri et al. (1994b)Telur ayam buras, Blitar (20) Ro 1,04 Maryam et al. (1994)Telur ayam ras, Blitar (40) AFB1Ro 0,22 Maryam et al. (1994)Ro 36 Maryam et al. (1994)Telur itik, Blitar (10) AFB1 0,371 Maryam et al. (1994)Ro 5 Maryam et al. (1994)Hati ayam broiler, Jabar (31) AFM1 12,071 Maryam (1996)Ro 54 Maryam (1996)Telur ayam ras, Bandung (20) AFM1 0,1230 Maryam et al. (1995)Ro 147 Maryam et al. (1995)Daging ayam broiler, Jabar (31) AFM1 7,360 Maryam (1996)Ro 34 Maryam (1996)Daging sapi, Jabar (30) AFB1 0,456-1 Widiastuti (2000)139AFM1 <0,1 Widiastuti (2000)Hati sapi, Jabar (20) AFB1 0,33-1,44 Widiastuti (2000)AFM1 <0,1 Widiastuti (2000)Daging Ayam, Jabar (61) Lindane 38 (62%)* Murdiati et al. (1998)Aldrin 18 (29%)* Murdiati et al. (1998)Endosulfan 15 (25%)* Murdiati et al. (1998)DDT 20 (33%)* Murdiati et al. (1998)Dursban 6 (10%)* Murdiati et al. (1998)Diazinon 3 (5%)* Murdiati et al. (1998)Heptachlor 37 (61%)* Murdiati et al. (1998)*Jumlah dan persentase positif dengan kadar masih berada di bawah BMRAFB1 = aflatoksin B1, Ro = aflatoksikol, AFM1 = aflatoksin M1toksik tersebut kadarnya cukup tinggi makadengan cepat akan mematikan ternak.Dalam jumlah kecil, cemaran tidak menimbulkanefek langsung, tetapi akan terusberada di dalam tubuh. Di dalam tubuh,sebagian senyawa kimia/toksik akandimetabolisme menjadi senyawa metabolityang kurang toksik dan sebagian lebihtoksik daripada senyawa induknya.Senyawa induk maupun metabolitsebagian akan dikeluarkan dari tubuh232 Sjamsul BahriTarget kerja (reseptor) Depot jaringanBebas Terikat Bebas Terikat

Page 8: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Sirkulasi sistemikAbsorbsi Obat bebas EkskresiObat terikat MetabolitBiotransformasiGambar 2. Bagan proses farmakokinetik obat (Setiawati et al. 1987).sststtss stttsepertiga dari pabrik pakan yang diamatijuga membubuhkan obat koksidiostatselain antibiotik (Bahri et al. 2000). Keadaanini akan menambah jenis residu padaproduk ternak.Herrick (1993) melaporkan bahwasekitar 50% penyimpangan residu obatpada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinyawaktu henti pemberian obat.Spence (1993) juga melaporkan 15,6%peternak di Australia tidak mematuhiketentuan waktu henti obat. Di Indonesiahanya 8,16% peternak sapi perah yangmematuhi waktu henti obat dengan tidakmenjual susu segar ke koperasi selama 2-5hari setelah pengobatan (Bahri et al. 1993;Kusumaningsih et al. 1996). SelanjutnyaHerrick (1993) melaporkan bahwa pemakaianobat yang dilakukan oleh peternak telahmenyebabkan penyimpangan residu obatpada produk ternak lebih dari 60% (63%-65%). Keadaan ini kemungkinan besarberkaitan dengan dosis dan waktu hentiobat yang tidak dipatuhi. Hasil survei diAustralia yang dilaporkan Spence (1993)juga mengungkapkan bahwa 35,4% pemadijelaskanSetiawati et al. (1987) (Gambar2). Dengan demikian, senyawa kimia/toksik

Page 9: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

atau obat hewan yang semula hanya terdapatpada bahan pakan atau ransumternak, kini menyatu dengan produk ternaksehingga membahayakan kesehatanmasyarakat yang mengkonsumsinya.Obat Hewan pada Pakan. Hampir semuapabrik pakan menambahkan obat hewanberupa antibiotik ke dalam ransum jadi(Bahri et al. 2000). Hal ini berarti sebagianbesar pakan komersial yang beredar diIndonesia mengandung antibiotik. Hal inidiperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakanbahwa sebagian besar sampelpakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor,Tangerang, dan Bekasi positif mengandungresidu antibiotik golongan tetrasiklindan obat golongan sulfonamida (Balitvet1990, 1991; Murdiati dan Bahri 1991).Dengan demikian, apabila penggunaanransum tersebut kurang atau tidak memperhatikanaturan pemberiannya, dapatdiduga kuat produk ternak akan mengandungresidu antibiotik. Lebih-lebih lagiBeberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 233tercemar berbagai mikotoksin seperti aflatoksin,zearalenon, cyclopiazonic acid,dan okratoksin A (Ginting 1984a, 1984b;Widiastuti et al. 1988a, 1988b; Bahri et al.1994b; Maryam 1994). Dari berbagai mikotoksintersebut, yang paling dominanadalah aflatoksin, khususnya aflatoksin B1(AFB1). Cemaran mikotoksin pada pakanterjadi sepanjang tahun dengan kadar bervariasisehingga produk ternak, terutamadaging ayam, telur, dan susu perlu diwaspadaiterhadap residu mikotoksin. Bahri etal. (1994a) melaporkan adanya korelasipositif antara keberadaan AFB1 pada pakandan AFM1 pada susu yang dihasilkanternak.Kontaminan Lain pada Pakan. Berbagaikontaminan, baik berupa bahan kimiamaupun mikroorganisme, dapat mencemaripakan secara alami maupun nonalami.

Page 10: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Beberapa contoh adalah kasus dioksinpada daging ayam, babi, susu dan telur diBelgia, Belanda dan Perancis pada tahun1999 (Putro 1999). Sumber cemaran adalahsalah satu bahan pakan yang diproduksiperusahaan di Eropa. Cemaran lainnyaadalah jamur atau kapang yang banyakterjadi di daerah tropis yang memilikikelembapan tinggi seperti Indonesia.Kontaminasi logam berat, pestisida, dansenyawa beracun lainnya pada bahanpakan dapat terjadi setiap saat dan akanmempengaruhi keamanan produk ternak.Pengawasan Penggunaan Obat Hewan.Tidak semua ransum yang mengandungobat hewan mencantumkan penjelasantentang penggunaannya pada labelkemasan, seperti yang diatur dalam SKDirektur Jenderal Peternakan. Hal ini disebabkankurangnya pengawasan daripetugas yang ditunjuk. Selain tidak mencantumkanpenggunaan/penambahankaian obat antimikroba tidak dilakukansecara tepat. Kesalahan seperti ini kemungkinanjuga terjadi di Indonesiadengan persentase yang jauh lebih tinggi.Bahan baku pakan komersial sebenarnyatelah melalui proses pemeriksaansecara fisik, terutama bau, ketengikan, danjamur (Bahri et al. 2000), serta kandunganaflatoksin dan cemaran mikroba patogen.Namun, selain mengandung cemaran aflatoksin,logam berat dan mikroba, padabahan pakan atau pakan jadi juga ditemukansenyawa obat-obatan golonganantibiotik, koksidiostat, dan antijamuryang sengaja dicampur ke dalam pakanuntuk tujuan tertentu, seperti memacu pertumbuhan(Widiastuti et al. 1999).Residu antibiotik dalam pangan asalternak dapat mengakibatkan reaksi alergi,resistensi, dan kemungkinan keracunan.Diperkirakan 4-10% populasi manusia didunia alergi terhadap penisilin dan turunannya,

Page 11: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

padahal obat golongan penisilinmasih banyak digunakan baik pada manusiamaupun ternak (Sudarwanto 1990).Walaupun sebagian pabrik pakan, terutamapabrik besar, mencantumkan keterangantentang pencampuran obat hewandalam pakan, sebagian peternak belummengikuti petunjuk pemakaian sehinggawaktu henti penggunaan obat hewan seringtidak dipatuhi. Keadaan ini juga dibuktikandengan banyaknya daging danhati ayam serta susu sapi yang positip mengandungobat hewan golongan antibiotik(Balitvet 1990, 1991; Sudarwanto1990; Bahri et al. 1992a, 1992b; Sudarwantoet al. 1992; Hartati et al. 1993; Darsono1996; Murdiati et al. 1998; INIASREDEF1999).Mikotoksin pada Pakan. Selain kandunganantibiotik pada pakan ayam, ternyatapakan dan bahan pakan di Indonesia juga234 Sjamsul Bahrimempertahankan atau meningkatkanproduktivitas ternak. Obat hewan berupaantibiotik umumnya digunakan untukmengobati penyakit infeksi yang disebabkanoleh bakteri. Namun, antibiotik jugasering diberikan untuk memperbaiki penampilanternak, memacu pertumbuhan,serta meningkatkan reproduksi dan efisiensipenggunaan pakan (Bell 1986).Untuk memacu pertumbuhan kadangkadangjuga digunakan hormon trenbolonasetat seperti pada sapi potong di Australia.Pengamatan di lapang menunjukkanpemakaian antibiotik terutama pada peternakanayam pedaging dan petelur cenderungberlebihan dan kurang tepat, tanpamemperhatikan aturan pemakaian yangbenar (Bahri et al. 2000). Penggunaan obathewan yang kurang tepat kemungkinanberkaitan dengan pola pemasaran obathewan di lapangan. Sekitar 33,3% peternakayam petelur skala kecil dan 30,8% peternak

Page 12: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

ayam pedaging skala kecil tidak mempunyaidokter hewan, tetapi mendapatobat langsung dari distributor atau importirsehingga penggunaan obat-obatancenderung tidak mengikuti aturan yangbenar (Kusumaningsih et al. 1997). Seharusnyahanya peternak besar dan memilikitenaga dokter hewan yang bolehberhubungan langsung dengan distributoratau importir obat hewan. Herrick (1993)dan Spence (1993) melaporkan, walaupunpeternak mengetahui waktu henti obat,sebagian dari mereka tidak mematuhinya.Kusumaningsih et al. (1996) mengungkapkanhanya 20% peternak sapi perah diJawa Barat yang mengetahui jenis obatyang digunakan oleh petugas Dinas Peternakanatau koperasi. Kemudian dari 20%tersebut hanya 14,28% yang mengetahuiwaktu henti obat, dan yang mematuhiwaktu henti obat dengan tidak menjualobat hewan, diduga pemeriksaan/analisiskandungan obat hewan yang dicampurkandalam ransum pakan masih jarang dilakukan,sehingga kadar sebenarnya dariobat hewan dalam ransum kurang diketahui.Keadaan ini menyulitkan petugasdalam mengamankan produk ternak dariresidu obat hewan yang berasal dari pakan/ransum. Hal ini diperkuat oleh kenyataanbahwa institusi yang memiliki wewenangmelakukan pengujian mutu pakan belumdapat menjalankan tugas dan fungsi sebagaimanamestinya untuk menganalisiskandungan obat hewan maupun senyawasenyawakimia/bahan beracun lainnyadalam ransum ternak (Bahri et al. 2000).Pengamatan di lapang menunjukkanbahwa pemakaian antibiotik pada peternakanayam niaga, khususnya ayam pedaging,kurang terawasi oleh pihak yangberwenang. Dengan kata lain, peran pengawasanobat hewan belum berjalanseperti yang diharapkan. Oleh karena itu,

Page 13: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

kedudukan pengawas obat hewan berdasarkanSK Mentan No. 808/1994 perludikaji kembali agar tugas dan fungsinyadapat berjalan sebagaimana mestinyasehingga pemakaian obat hewan sesuaidengan ketentuan. Kondisi ini akan menjaminkeamanan produk ternak dari residuobat hewan/antibiotik. Mungkin perludibedakan antara pengawas untuk obathewan yang langsung diberikan pada ternakdengan pengawas untuk obat hewanyang dicampur dalam ransum, karenapengawasan untuk obat hewan yang dicampurdalam ransum lebih rumit sehinggamemerlukan pengawasan khu-sus.Penggunaan obat hewan untuk keperluanpengobatan, pencegahan penyakitmaupun sebagai pakan tambahan tidakdapat dihindari pada proses praproduksiternak. Bahkan sering kali penggunaanobat hewan merupakan keharusan untukBeberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 235Untuk sapi, kerbau, domba, dan kambing,pemeriksaan kesehatan antemortumsangat penting untuk mencegah hewanyang terinfeksi penyakit berbahaya sepertiantraks ikut terpotong karena akan membahayakanpetugas, mencemari lingkungansetempat, dan produk ternaknya membahayakanmasyarakat yang mengkonsumsinya.Diduga kasus antraks padamanusia di Kabupaten Bogor terjadi karenakambing dipotong secara perorangan dantidak diawasi petugas (dokter hewan)berwenang sehingga pemeriksaan antemortumterabaikan. Oleh karena itu, pemeriksaankesehatan ternak pada pengamatanantemortum menjadi sangat pentingsebelum dilaksanakan pemeriksaanlebih lanjut.Pemeriksaan Postmortum. Setelah pemeriksaanantemortum, pada proses penyembelihanharus dilanjutkan dengan pemeriksaanpostmortum untuk mengamati kemungkinan

Page 14: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

adanya kelainan pada organ/jaringan tubuh akibat penyakit yang belumdapat teramati pada pemeriksaan antemortum.Pemeriksaan yang lebih detaildiperlukan seperti untuk keperluan ekspor,meliputi pemeriksaan kandungan mikrobiologis,residu bahan hayati, bahan kimia,logam berat, antibiotik, hormon dan obatobatanlain. Daging unggas yang mengandungresidu bahan kimia, logam berat,antibiotik, hormon, dan obat lain dengankadar di atas batas ambang dilarang untukdiedarkan/dikonsumsi. Ditemukannyaberbagai residu obat hewan dan hormonpada produk peternakan oleh Balitvet(1990), Sudarwanto (1990), Bahri et al(1992a, 1992b), Darsono (1996), Dewi et al.(1997), dan Widiastuti (2000) menunjukkanbahwa pengawasan residu pada pemeriksaanpostmortum belum berjalansebagaimana mestinya.susu ke koperasi selama 2-5 hari setelahpengobatan hanya 8,16%.Proses ProduksiProses produksi yang berkaitan dengankeamanan pangan asal ternak terutamaterjadi pada tempat pemotongan, yaitu dirumah potong hewan untuk daging atautempat pemerahan untuk susu. Oleh karenaitu, proses produksi daging dan sususejak pemotongan atau pemerahan sampaisiap santap merupakan proses yangpanjang dan terdapat beberapa titik kritisbagi keamanan bahan pangan tersebut. Halini karena adanya ancaman kontaminasipada daging atau susu karena lingkunganyang kurang higienis dan sanitasi yangkurang baik, serta tidak terlindunginyadaging atau susu oleh pembungkus apapun. Ancaman tersebut dapat berupa kontaminasimikroba, bahan kimia berbahayadan beracun, dan pengaruh fisik lain yangdapat mengganggu dan membahayakankesehatan manusia.

Page 15: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Adanya Rumah Potong Hewan (RPH)atau Rumah Potong Unggas (RPU) merupakansalah satu upaya implementasikeamanan pangan seperti yang dimaksuddalam UU Pangan. Sebagai tindak lanjutdalam mewujudkan upaya keamananpangan asal unggas, telah diberlakukanSNI 01-6-6160-1999 tentang kriteria RPU.Pemeriksaan Antemortum. Sesuai denganperaturan yang berlaku, hewan yang akandipotong antara lain harus bebas penyakitmenular serta telah melalui pemeriksaanlaboratorium bila perlu, dan pemantauanterhadap penggunaan antibiotik sertaobat-obatan lain dalam pakan. Bila hal inidilaksanakan maka produk ternak akanterjamin keamanannya.236 Sjamsul BahriBatas Maksimum Residu dalam BahanMakanan Asal Hewan.Penetapan batas maksimum cemaranmikroba dan residu dalam bahan makananasal ternak yang tertuang dalam SNI bertujuanuntuk: (1) memberikan perlindungankepada konsumen dan masyarakat terutamadalam aspek keamanan dan kesehatan;(2) mewujudkan jaminan mutubahan makanan asal hewan; dan (3) mendukungperkembangan agroindustri danagribisnis. SNI tersebut memuat sembilanjenis cemaran mikroba pada daging, susudan telur, serta 314 jenis residu yang meliputipestisida, logam berat, antibiotik,hormon, serta obat-obatan dan bahankimia lainnya.PERMASALAHAN DAN STRATEGIPENGAMANANKeberadaan berbagai residu antibiotik,sulfonamida, hormon, pestisida, logamberat, dan mikotoksin pada produk ternakdi Indonesia menggambarkan adanyapermasalahan pada proses praproduksidan pascaproduksi, terutama pengawasandan penerapan peraturan yang belum

Page 16: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Permasalahan pada proses praproduksimerupakan penyebab utama keberadaanberbagai residu tersebut. Pada umumnyapeternak kurang memahami bahaya residudan waktu henti obat. Oleh karena itu,perlu dilakukan pengawasan yang ketatdalam pemakaian obat hewan pada pakan,baik pada produsen pakan maupun penggunaannyaoleh peternak/farm. Selain itu,secara terus-menerus perlu diupayakanpeningkatan pengetahuan peternak dalampenggunaan obat hewan dan sanitasiSarana dan Prasarana. Beberapa mikroorganismeyang sering mengkontaminasiproduk ternak pada proses produksi adalahSalmonella sp., Camphylobacter sp.,Clostridium sp., dan E. coli dari berbagaiserotipe. Data cemaran Salmonella sp.pada berbagai produk ternak di Indonesiatelah dilaporkan oleh Sri-Poernomo danBahri (1998).Pengamatan terhadap dua RPU moderndan dua RPU tradisional di Jabodetabekmenunjukkan bahwa RPU modern telahmemenuhi semua persyaratan dalam SNItentang RPU, sedangkan RPU tradisionalsebagian besar belum memenuhi persyaratantersebut (Bahri et al. 2000). Dikhawatirkandaging ayam dari RPU tersebuttidak cukup aman dari cemaran mikrobaseperti E. coli maupun Salmonella spp.Dapat dibayangkan bagaimana RPU, TPAilegal atau tempat-tempat pemotonganayam milik perorangan yang tidak diketahuipetugas pengawas. Kemungkinan besardaging ayam yang dihasilkan sangatdiragukan higiene dan keamanannya.Proses PascaproduksiUntuk melindungi kosumen dari bahayacemaran mikroba dan residu dalam produkternak, telah dibentuk tim penyusun ambangbatas cemaran mikroba dan residudalam bahan makanan asal ternak dengan

Page 17: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

harapan Indonesia memiliki standar ambangbatas cemaran sendiri. Pada tahun1996 dikeluarkan Keputusan BersamaMenteri Kesehatan dan Menteri Pertaniantentang Batas Maksimum Residu Pestisidapada Hasil Pertanian. Kemudian pada tahun2000 terbit SNI No.01-6366-2000 tentangBatas Maksimum Cemaran Mikroba danBeberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 237paui batas maksimum yang diperbolehkan.Permasalahan ini perlu diupayakan pemecahannyadengan meningkatkan kemampuaninstitusi/laboratorium pengujiatau memberdayakan laboratorium yangsudah teruji/terakreditasi.Upaya lain untuk mengatasi masalahresidu pada produk ternak adalah perlunyadibentuk tim untuk merencanakan programnasional monitoring/surveilans residu secaraterkoordinasi. Program ini mencakupbimbingan dengan memberikan informasibalik, baik kepada pemerintah maupunpeternak. Untuk memudahkan pemeriksaanresidu, terutama untuk keperluanekspor, harus ada data dari perusahaanpeternakan mengenai jenis obat yang diberikankepada ternak selama proses praproduksisehingga pemeriksaan residulebih terarah dan efisien. Pada tahap awal(jangka pendek), pengawasan residu lebihdiarahkan kepada obat bahan kimia yangmendapat perhatian dari negara pengimpor,selain obat atau senyawa yang banyakdigunakan di Indonesia serta yangbatas toleransinya harus nol.Keamanan pangan dimulai sejak ternakdipelihara di peternakan/peternak. Olehkarena itu, keamanan dan kualitas ternakserta produknya sangat bergantung padakeamanan pakan dan sumber-sumber pakan,air, serta lingkungan. Produk ternakrelatif aman dikonsumsi bila dalam prosespraproduksi dilakukan hal-hal berikut: (1)pengontrolan penyakit secara biologis

Page 18: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

dengan menghindari penggunaan bahanbahankimia/obat-obatan berbahaya secaraberlebihan; (2) penggunaan pakanbebas dari cemaran mikrobiologis, bahankimia, dan bahan berbahaya lainnya; (3)menggunakan sumber air bebas cemaranlogam berat berbahaya maupun mikrolingkunganusaha agar produk ternak yangdihasilkan memiliki daya saing yang tinggi.Adanya berbagai residu pada organhati ternak menggambarkan bahwa organternak tersebut cukup riskan untuk dikonsumsi.Oleh karena itu, kebiasaanmasyarakat Indonesia mengkonsumsi hatiperlu mendapat perhatian sehingga kebiasaantersebut tidak diteruskan. PenentuanBMR pada produk ternak di Indonesiaperlu ditinjau kembali sehingga tidakdisamakan dengan ketentuan yang berlakudi negara lain karena adanya perbedaanpola konsumsi. Demikian pula penentuanacceptable daily intake (ADI) terhadapresidu perlu ditinjau ulang perhitungannya,disesuaikan dengan pola konsumsimasyarakat Indonesia terhadap produkternak.Perbedaan yang sangat mencolokantara negara maju dan negara berkembangantara lain adalah kemampuan dalammendeteksi senyawa berbahaya pada produkternak. Dalam hal ini, negara-negaramaju dapat dengan mudah mendeteksikeberadaan berbagai senyawa/cemarandalam produk ternak, sedangkan kemampuannegara berkembang sebaliknya.Sementara itu, jenis cemaran di negaramaju cenderung lebih sulit dideteksi,seperti pada kasus BSE, dioksin, hormon,dan produk-produk hasil rekayasa genetik.Pengujian residu pada produk ternakdi Indonesia belum banyak dilakukan, baikoleh laboratorium yang berwenang maupunlaboratorium lembaga penelitian, terutamaterhadap residu mikotoksin, pestisida, dan

Page 19: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

hormon karena keterbatasan dana dan kemampuan,terutama SDM dan fasilitas.Apabila pengujian dilakukan secara teraturtidak tertutup kemungkinan akan diperolehkandungan residu yang melam238Sjamsul Bahriuntuk obat hewan yang langsung diberikankepada ternak karena penggunaan obathewan dalam ransum lebih kompleks danperedarannya lebih luas, menjangkaumasyarakat peternak di berbagai pelosoktanah air. Penyimpanan, distribusi, danpenanganan pakan berbeda-beda sehinggaobat hewan yang dicampur dalampakan diperkirakan potensinya berbedadengan obat sejenis yang tidak dicampurdalam pakan dan disimpan dengan caradan pada tempat yang semestinya.Pengawasan pakan, terutama terhadapkandungan obat hewan, cemaran mikroba,dan cemaran mikotoksin serta senyawakimia lainnya, belum sesuai dengan ketentuanSNI tentang pakan. Hal ini karenaketerbatasan kemampuan laboratoriumpenguji mutu pakan.Pengujian residu pada produk peternakanbaru dilakukan pada residu obathewan tertentu. Residu aflatoksin dansenyawa kimia lain belum mendapatperhatian, padahal di lapangan cukupbanyak terjadi cemaran aflatoksin padapakan. SNI tentang pakan juga mencantumkanbahwa kadar aflatoksin merupakansalah satu persyaratan mutu yang perludiuji. Demikian pula pengujian residupestisida, logam berat, hormon, dansenyawa-senyawa kimia lainnya belumbanyak dilakukan.Lembaga pengujian residu perlu ditingkatkanperan dan kemampuannyadengan meningkatkan SDM, fasilitas, dansarana laboratorium sehingga laboratoriumdapat menjalankan fungsinya secaraprofesional. Pada masa mendatang mungkin

Page 20: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

diperlukan laboratorium pengujiswasta lain yang memenuhi standar, terakreditasi,dan profesional.Sampai saat ini belum ada peraturanyang mengharuskan importir dan atauprodusen produk ternak memeriksakanorganisme patogen; (4) membatasi petugaspeternakan/farm ke luar masuk farmsetiap saat untuk menghindari stres padaternak dan mencegah penularan/kontaminasipenyakit; dan (5) lingkungan peternakanbukan merupakan daerah wabahpenyakit tertentu.Sesungguhnya strategi utama untukmenjamin produk pangan asal ternak berkualitasdan aman dikonsumsi adalahdengan menerapkan sistem jaminan mutudan keamanan berupa Hazard AnalysisCritical Control Point (HACCP) padasetiap mata rantai proses penyediaan panganasal ternak. Analisis risiko perluditerapkan pada bahan pangan asal ternakyang akan diimpor dari negara-negarayang dicurigai tertular atau tercemar penyakithewan tertentu.PENUTUPHampir semua ransum ternak komersialmengandung obat hewan, terutama golonganantibiotik, tetapi tidak semua perusahaanpakan mencantumkan penjelasanpenggunaannya. Dengan kondisi peternakyang umumnya kurang mengetahui waktuhenti obat dan bahaya yang ditimbulkanmaka berbagai residu obat hewan dapatdijumpai pada produk ternak.Pengawasan mutu pakan yang beredarperlu ditingkatkan, termasuk terhadap obathewan yang dicampur dalam ransumternak. Demikian pula pemakaian obathewan yang diberikan langsung kepadaternak perlu diawasi, baik untuk pengobatanmaupun pencegahan. Pengawasansekaligus diikuti dengan penertiban pemakaianobat hewan di lapangan.

Page 21: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Perlu dipertimbangkan agar pengawasuntuk obat hewan yang dicampur dalamransum dibedakan dengan pengawasBeberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 239Bahri, S., T.B. Murdiati, R. Maryam, danYuningsih. 1992b. Senyawa GolonganTetrasiklin pada Susu Sapi Rakyat diBeberapa Desa Kabupaten Pasuruan,Jawa Timur. Laporan Intern BalaiPenelitian Veteriner, Bogor.Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B.Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari.1993. Sistem Penyebaran dan PemasaranObat Hewan di DKI Jakarta Rayadan Jawa Barat. Laporan Penelitian,Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor.Bahri, S. 1994. Residu obat hewan padaproduk ternak dan upaya pengamanannya.Kumpulan makalah LokakaryaObat Hewan. Asosiasi Obat HewanIndonesia (ASOHI), Jakarta, 16-18November 1994.Bahri, S., Ohim, dan R. Maryam 1994a.Residu aflatoksin M1 pada air susu sapidan hubungannya dengan keberadaanaflatoksin B1 pada pakan sapi. KumpulanMakalah Kongres NasionalPerhimpunan Mikologi KedokteranManusia dan Hewan Indonesia 1 danTemu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. hlm.269-275.Bahri, S., Yuningsih, R. Maryam, dan P.Zahari. 1994b. Cemaran aflatoksin padapakan ayam yang diperiksa di laboratoriumtoksikologi Balitvet tahun 1991-1998. Penyakit Hewan 26(47): 39-42.Bahri, S., A. Kusumaningsih, T.B. Murdiati,A. Nurhadi, dan E. Masbulan. 2000.Analisis Kebijakan Keamanan PanganAsal Ternak (Terutama Ayam Ras Petelurdan Broiler). Laporan Penelitian.Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor.

Page 22: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Balitvet. 1990. Residu pestisida, hormon,antibiotika, dan standarisasi kualitasbroiler untuk ekspor. Laporan Penelitian.Balai Penelitian Veteriner, Bogor.produk yang akan diedarkan di Indonesiaterhadap cemaran mikroba dan berbagairesidu, sehingga menyulitkan petugasberwenang dalam mengawasi keamananproduk-produk tersebut untuk dikonsumsi.Oleh karena itu, perlu dibuat peraturanagar produk ternak yang beredar diIndonesia, terutama yang diimpor, melampirkanhasil uji terhadap cemaran mikrobadan residu yang dikeluarkan oleh laboratoriumyang terakreditasi. Hal ini sesuaipula dengan SNI tentang batas maksimumcemaran dan residu.Dengan ditemukannya berbagai residupada produk ternak, terutama pada organhati, maka kebiasaan mengkonsumsi hatiterutama pada anak balita perlu dihilangkan.Penghitungan acceptable dailyintake dan BMR untuk kondisi masyarakatIndonesia juga perlu ditinjau ulangdisesuaikan dengan pola konsumsi masyarakat.Untuk itu perlu dilakukan penelitianatau pengkajian untuk memperoleh angkayang sesuai bagi masyarakat Indonesia.DAFTAR PUSTAKAAnonimous. 1999. Outbreak of Hendralikevirus in Malaysia and Singapore1998-1999. Centre for Disease Controland Prevention (CDC) 8(13): 265-269.Bahri, S., P. Zahari, R. Maryam, dan Ng.Ginting. 1991. Residu aflatoksin M1 padasusu sapi asal beberapa daerah di JawaBarat. Makalah disajikan pada KongresXI dan Konferensi Ilmiah Nasional VPDHI, Yogyakarta, 11-13 Juli 1991.Bahri, S., R. Maryam, Yuningsih, dan T.B.Murdiati. 1992a. Residu Tetrasiklin,Khlortetrasiklin dan Oksitetrasiklinpada Susu Segar asal Beberapa DATIII di Jawa Tengah. Laporan Intern Balai

Page 23: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Penelitian Veteriner, Bogor.240 Sjamsul BahriPoerwakarta, Jawa Barat. Makalahdisajikan pada Seminar dan PameranTeknologi Veteriner, Jakarta, 14-15Maret 2000.Hartati, T., Sarmanu, S. Prawesthirini, danM. Ivone. 1993. Pemeriksaan residuantibiotika pada ayam pedaging dibeberapa pasar di wilayah KotamadyaSurabaya. Media Kedokteran Hewan9(1): 36-43.Herrick, J.B. 1993. Food for thought forfood animal veterinarians. Violativedrug residues. JAVMA 03: 1122-1123.INIANSREDEF. 1999. Case Study onQuality Control of Livestock Productsin Indonesia. Indonesia InternationalAnimal Science Research and DevelopmentFoundation (INIANSREDEF).Report prepared for Japan InternationalCooperation Agency (JICA).Kusumaningsih, A., T.B. Murdiati, dan S.Bahri. 1996. Pengetahuan peternak sertawaktu henti obat dan hubungannyadengan residu antibiotika pada susu.Media Kedokteran Hewan 12(4): 260-267.Kusumaningsih, A., E. Martindah, dan S.Bahri. 1997. Jalur pemasaran obathewan pada peternakan ayam ras dibeberapa lokasi di Jawa Barat dan DKIJaya. Hemerazoa 79 (1-2): 72-80.Mansjoer, M. 1961. Anthrax in man andanimals in Indonesia. Comm. Vet. Bogor5: 61-79.Maryam, R., S. Bahri, P. Zahari, Y. Sani, danS. Yuliastuti. 1993. Residu aflatoksinM1 pada susu. Laporan Penelitiaan.Balai Penelitian Veteriner, Bogor.Maryam, R. 1994. Kontaminasi asam siklopiazonat(CPA) dan aflatoksin padajagung. Kumpulan Makalah KongresNasional PMKI I dan Temu Ilmiah,Bogor, 21-24 Juli 1994. hlm. 289-293.

Page 24: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Maryam, R., Indraningsih, Yuningsih, T.B.Sastrawihana, dan I. Noor. 1994. ResiduBalitvet. 1991. Residu antibiotik padadaging ayam broiler dan pakannya diJawa Barat. Laporan Penelitian. BalaiPenelitian Veteriner, Bogor.Bell, I. 1986. Rational chemotherapeutics.In Poultry Health. The Post-GraduateCommittee in Veterinary Science. TheUniversity of Sydney in Associationwith Australian Veterinary PoultryAssociation. Proceedings No. 92: 429-467.Biyatmoko, D. 1997. Telaah Tingkat ResiduAntibiotika Golongan Tetrasiklin padaKarkas dan Hati Ayam Broiler yangDiperdagangkan di Kotamadya Bogor.Tesis Magister Sains, Institut PertanianBogor.Darminto dan S. Bahri. 1996. “Mad Cow”dan penyakit sejenis lainnya padahewan dan manusia. Jurnal Penelitiandan Pengembangan Pertanian 15(4):81-89.Dewi, A.A.S., N.L.P. Agustini, dan D.M.N.Dharma. 1997. Survei residu obat preparatsulfa pada daging dan telur ayamdi Bali. Buletin Veteriner 10(51): 9-14Darsono, R. 1996. Deteksi residu oksitetrasiklindan gambaran patologi anatomihati dan ginjal ayam kampung dan ayambroiler yang dijual di lima pasar KodyaSurabaya. Media Kedokteran Hewan12(3): 178-182.Ginting, Ng. 1984a. Aflatoksin di dalambahan baku pakan dan pakan ayampedaging: I. Di daerah Bogor. PenyakitHewan 16(27): 152-155Ginting, Ng. 1984b. Aflatoksin pada pakanayam pedaging di Daerah KhususIbukota Jakarta Raya dan KotamadyaPontianak. Penyakit Hewan 16(28): 212-214.Hardjoutomo, S., M.B. Poerwadikarta, dan

Page 25: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

K. Barkah. 2000. Antraks di Indonesia:Kejadian antraks pada burung unta diBeberapa aspek keamanan pangan asal ternak ... 241Sitepu, M. 2000. Sapi Gila (Bovine SpongiformEncephalopathy/BSE), Keterkaitandengan Berbagai Aspek. GramediaWidasarana Indonesia. Jakarta.Soemanegara, R.Md.T. 1958. Ichtisarsingkat dari penyakit radang limpa,penyakit ngorok dan radang paha diIndonesia. Hemera Zoa 65: 95-109.Soeparwi, M. 1922. Over een MiltvvuurruitbraakBij Mensch en Dier. Ned. Ind. Bl.v. Diergeneesk. 33: 163.Spence, S. 1993. Antimicrobial residuessurvey. Prespective 18: 79-82.Sudarwanto, M. 1990. Residu antibiotikadi dalam air susu ditinjau dari kesehatanmasyarakat veteriner. Kumpulan MakalahSeminar Nasional PenggunaanAntibiotika dalam Bidang KedokteranHewan, Jakarta, 9 Januari 1990.Sudarwanto, M., W. Sanjaya, dan P. Trioso.1992. Residu antibiotika dalam susupasteurisasi ditinjau dari kesehatanmasyarakat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia2(1): 37-40.Sri-Poernomo and S. Bahri. 1998. Salmonellaserotyping conducted at the BogorResearch Institute for VeterinaryScience during April 1989-March 1996.p. 133-142. Proceedings of the 3rd Asia-Pacific Symposium on the ThypoidFever and Other Salmonellosis. Denpasar,Bali, 8-10 December 1997.Widarso, H.S., T. Wandra, dan W.H. Purba.2000. Kejadian luar biasa (KLB)anthraks pada burung unta di KabupatenPurwakarta bulan Desember 1991dan dampaknya pada masyarakat.Makalah disajikan pada Seminar danPameran Teknologi Veteriner, Jakarta14-15 Maret 2000. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.

Page 26: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney,Salfina, and D.R. Stoltz. 1988a. Corn asa source of mycotoxins in Indonesianaflatoksin dan pestisida pada bahanpangan asal ternak. Laporan Penelitian.Balai Penelitian Veteriner, Bogor.Maryam, R., S. Bahri, dan P. Zahari. 1995.Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatokoldalam telur ayam ras dengan khromatograficair kinerja tinggi. hlm. 412-416.Prosiding Seminar Nasional TeknologiVeteriner untuk Meningkatkan KesehatanHewan dan Pengamanan BahanPangan Asal Ternak, Cisarua, Bogor,22-24 Maret 1994.Maryam, R. 1996. Residu aflatoksin danmetabolitnya dalam daging dan hatiayam. hlm. 336-339. Prosiding TemuIlmiah Nasional Bidang Veteriner,Bogor, 12-13 Maret 1996.Murdiati, T.B. dan S. Bahri. 1991. Polapenggunaan antibiotika dalam peternakanayam di Jawa Barat, kemungkinanhubungannya dengan masalahresidu. hlm. 445-448. Prosiding KongresIlmiah ke-8 ISFI, Jakarta 4-6 November1991. ISFI.Murdiati,T.B., Indaningsih, and S. Bahri.1998. Contamination at animal productsby pesticides and antibiotics. In I.R.Kennedy, J.H. Skerritt, G.I. Johnson,and E. Highley (Eds.). Seeking AgriculturalProduce Free of Pesticide Residues.ACIAR Proceedings No. 85: 115-121.Noor, S.M., Darminto, dan S. Hardjoutomo.2001. Kasus antraks pada manusia danhewan di Bogor pada awal tahun 2001.Wartazoa 11(2): 8-14.Putro, S. 1999. Pencemaran Dioksin padaDaging Ayam di Belgia. Laporan AtasePertanian Indonesia di Belgia.Setiawati, A., S.B. Zunilda, dan R. Setiabudy.1987. Pengantar farmakologi.

Page 27: Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal

Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi3. Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia, Jakarta.242 Sjamsul Bahripoultry and the effectiveness of visualexamination methods for detectingcontamination. Mycopathology 102: 45-49.Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney,Salfina, and D.R. Stoltz. 1988b.Cyclopiazonic acid in combination withaflatoxin, zearalenon and ochratoxin Ain Indonesian corn. Mycopathology104: 153-156.Widiastuti, R., T.B. Murdiati, Indraningsih,Yuningsih, dan Darmono. 1999. Residuantibiotika dan hormon pertumbuhandalam produk peternakan. LaporanPenelitian. Balai Penelitian Veteriner,Bogor.Widiastuti, R. 2000. Residu aflatoksin padadaging dan hati sapi di pasar tradisionaldan swalayan di Jawa Barat. hlm.609-613. Prosiding Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner, Bogor, 18-19Oktober 1999. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.