bahan tambahan pangan berbahaya dalam pangan asal hewan

23
Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan Pendahuluan Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Masalah pentingnya keamanan pangan juga telah tercantum dalam Deklarasi Gizi Dunia dalam Konferensi Gizi Internasional pada tanggal 11 Desember 1992 „kesempatan untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan aman adalah hak setiap orang“ (ICD/SEAMEO TROPMED RCCN 1999). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, berada dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makan berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Setiap negara membutuhkan program keamanan pangan yang efektif untuk melindungi kesehatan bangsa dan berpartisipasi dalam produk perdagangan pangan internasional. Perdagangan merupakan pendorong penting bagi pengembangan ekonomi suatu negara dan dengan ekonomi global saat ini, tidak mungkin suatu negara tetap mengisolasi dari perubahan tuntutan persyaratan internasional tentang peraturan keamanan pangan. Berkaitan dengan pengaturan pangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan landasam hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Undang- undang ini juga merupakan acuan dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pangan. Agar Undang-undang Pangan ini dapat diterapkan dengan mantap, maka pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu peraturan pemerintah yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF). Hal tersebut berhubungan dengan faktor intrinsik pangan asal hewan yang

Upload: dwina-ramadhani

Post on 02-Jul-2015

710 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Pendahuluan

Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Masalah pentingnya keamanan pangan juga telah tercantum dalam Deklarasi Gizi Dunia dalam Konferensi Gizi Internasional pada tanggal 11 Desember 1992 „kesempatan untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan aman adalah hak setiap orang“ (ICD/SEAMEO TROPMED RCCN 1999). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, berada dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makan berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Setiap negara membutuhkan program keamanan pangan yang efektif untuk melindungi kesehatan bangsa dan berpartisipasi dalam produk perdagangan pangan internasional. Perdagangan merupakan pendorong penting bagi pengembangan ekonomi suatu negara dan dengan ekonomi global saat ini, tidak mungkin suatu negara tetap mengisolasi dari perubahan tuntutan persyaratan internasional tentang peraturan keamanan pangan. Berkaitan dengan pengaturan pangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan landasam hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Undang-undang ini juga merupakan acuan dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pangan. Agar Undang-undang Pangan ini dapat diterapkan dengan mantap, maka pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu peraturan pemerintah yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF). Hal tersebut berhubungan dengan faktor intrinsik pangan asal hewan yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, pangan asal hewan secara alami memiliki enzim-enzim yang dapat mengurai protein dan lemak sehingga terjadi autolisis. Oleh sebab itu, telah banyak cara atau metode yang dikembangkan untuk mengawetkan pangan dengan cara menghambat pembusukan dengan mengurangi atau menghilangkan mikroorganisme pembusuk dalam pangan asal hewan, bahkan juga dapat mengurangi dan menghilangkan mikroorganisme patogen.

Salah satu metode pengawetan pangan adalah pemakaian bahan tambahan pangan (BTP). Dari aspek keamanan pangan, pemakaian BTP yang salah dan berlebihan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan konsumen.

Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alamai bukan meruapakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk

Page 2: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Syah et al. 2005). Menurut Penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, antigumpal, pemucat, dan pengental.

Tujuan penggunaan BTP adalah untuk (1) mengawetkan makanan, (2) membentuk makanan lebih baik, lebih renyak dan enak di mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, (4) meningkatkan kualitas pangan, serta (5) menghemat biaya (Syah et al. 2005).

BTP digolongkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Pengelompokan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan dapat digolongkan sebagai: pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa serta aroma, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap dan pengental, pengeras, dan sekuestran (pengikat ion logam). BTP lain yang ditambahkan ke makanan adalah enzim, penambah gizi, dan humektan yaitu BTP yang dapat menyerap uap air sehingga mempertahankan kadar air pangan (Syah et al. 2005).

Berdasarkan fungsinya, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 235/Menkes/Per/VI/1979, BTP dapat dikelompokkan menjadi 14, yaitu: (1) antioksidan, (2) antikempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras, (11) pewarna alami dan sintetis, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) sekuestran, (14) BTP lain.

Pada pangan asal hewan yang segar, terutama daging, banyak digunakan bahan pengawet oleh pedagang untuk memperpanjang masa simpan. Di Eropa, pemakaian bahan pengawet pada daging segar tidak diperkenankan. Pendinginan adalah cara yang diperkenankan untuk mempertahankan kesegaran daging. Jika mengikuti konsep aman sehat utuh dan halal (ASUH) di Indonesia, penggunaan bahan pengawet pada daging juga tidak diperkenankan, karena tidak memenuhi prinsip utuh (tidak ada penambahan atau pengurangan bahan). Selain bahan pengawet, BTP yang mungkin diberikan pada pangan asal hewan segar antara lain antioksidan dan enzim pengempuk daging.

Dalam prakteknya saat ini banyak produsen atau pedagang yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan konsumen yang sebenarnya bukan untuk pangan atau dilarang digunakan untuk pangan. Pengaruh BTP terhadap kesehatan manusia umumnya tidak langsung dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu dekat, karena umumnya bersifat akumulatif (kronis). Praktek penggunaan BTP yang menyimpang oleh produsen atau pedagang pangan umumnya berkaitan dengan ketidak-tahuan produsen atau pedagang mengenai sifat dan keamanan BTP atau berkaitan dengan penghematan biaya produksi.

Penyimpangan atau pelanggaran penggunaan BTP yang sering dilakukan oleh produsen pangan, yaitu: (1) menggunakan bahan tambahan yang dilarang penggunaannya untuk makanan, dan (2) menggunakan BTP melebihi dosis yang diizinkan (Syah et al. 2005).

Page 3: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

BTP yang diperkenankan digunakan untuk pangan telah diteliti dan diuji lama, terutama dari aspek toksisitasnya dan risiko terhadap kesehatan. Oleh sebab itu, setiap BTP telah ditetapkan nilai acceptable daily intake (ADI) dan batas maksimum penggunaannya oleh pemerintah atau organisasi internasional (Sinell 1992). Di tingkat internasional, masalah keamanan BTP (food additive) secara rutin dibahas oleh the Joint FAO/WHO Experts Committee on Food Additive (JECFA), yang merupakan forum internasional yang paling berwibawa di dunia dalam menyarikan pendapat dan pandangannya mengenai masalah keamanan BTP (Winarno 2004).

Dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, BTP diatur dalam Bagian Kedua Pasal 10, 11 dan 12. Pangan yang diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang atau melampaui batas maksimal yang ditetapkan. Pemerintah menetapkan BTP yang dilarang dan atau dapat digunakan, serta ambang batas maksimalnya (Pasal 10). BTP yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam pangan untuk diedarkan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Pemerintah (Pasal 11).

Bahan Tambahan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 menetapkan sejumlah BTP yang aman ditambahkan ke dalam pangan, serta menetapkan daftar BTP yang dilarang digunakan. BTP yang dilarang digunakan adalah: asam borat, asam salisilat, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin. Terkait dengan distribusi dan pengawasan bahan berbahaya tersebut, Menteri Perdagangan telah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Untuk zat pewarna sebagai BTP yang dilarang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985, yang menetapkan 30 zat pewarna tertentu yang dinyatakan berbahaya. Zat pewarna yang dilarang adalah auramine, alkanet, butter yellow, black 7984, burn umber, chrysbidine, chrysoine S, citrus red no. 2, chocolate brown FB, fast red E, fast yellow AB, guinea green B, indanthrene blue RS, magenta, metanil yellow, oil orange SS, oil orange XO, oil yellow AB, oil yellow OB, orange G, orange GGN, orange RN, orchil and orcein, ponceau 3R, ponceau SX, ponceau 6R, rhodamin B, sudan I, scarlet GN, violet 6B.

Bahan tambahan berbahaya yang sering digunakan oleh produsen pangan asal hewan segar sebagau bahan pengawet, antara lain: formalin untuk karkas ayam dan asam borat (boraks) untuk pembuatan baso.

Formalin

Formalin atau formaldehid adalah larutan 37% formaldehid dalam air, yang biasanya mengandung 10-15% metanol untuk mencegah polimerisasi. Formalin ditujukan sebagai bahan antiseptik, disinfektan, dan pengawet jaringan atau spesimen biologi dan pengawet mayat. Selain

Page 4: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

itu, formalin umum digunakan untuk pembersih lantai; pembasmi lalat dan serangga; bahan pembuatan sutra, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak; bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea; bahan pembuatan parfum; bahan perekat untu produk kayu lapis.

Penyalahgunaan penggunaan formalin dalam makanan sering ditemukan pada jenis makanan tahu, mi, kerupuk, ikan, karkas ayam.

Dalam dosis rendah, jika formalin tertelan akan menyebabkan iritasi lambung, sakit perut, disertai muntah-muntah, menimbulkan depresi susunan syaraf, serta kegagalan peredaran darah. Selain itu, formalin juga dapat menyebabkan alergi, kanker (bersifat karsinogenik), mutagen atau perubahan fungsi sel atau jaringan (bersifat mutagenik). Dalam dosis tinggi, formalin yang tertelan dapat menyebabkan kejang-kejang, kencing darah, tidak dapat kencing, muntah darah, dan akhirnya menyebabkan kematian.

Penggunaan formalin dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk pada organ tubuh, seperti kerusakan hati dan ginjal.

Asam Borat (Boraks)

Asam borat atau boraks atau boric acid merupakan senyawa berbentuk kristal putih, tidak berbau, serta stabil pada suhu kamar dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat. Umumnya boraks digunakan untuk mematri logam, pembuatan gelas dan enamel, pengawet kayu, pembasmi kecoa. Namun boraks sering disalahgunakan untuk campuran pembuatan bakso, kerupuk, dan mi.

Boraks biasanya bersifat iritan dan racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi susunan syaraf pusat, ginjal, dan hati. Jika tertelan akan menimbulkan kerusakan usus, otak atau ginjal. Jika digunakan berulang-ulang secara kumulatif akan tertimbun di otak, hati, dan jaringan lemak. Asam borat ini akan menyerang sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, diare, kejang perut, iritasi kulit, gangguan peredaran darah, koma, bahkan dapat menimbulkan kematian akibat gangguan peredaran darah.

Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah golongan antibiotik dengan spektrum luas, dan biasa digunakan unutk mengobati infeksi Salmonella, meningitis, dan infeksi riketsia yang resisten dengan tetrasiklin.

Pada beberapa orang, kloramfenikol dapat menyebabkan ketidaknormalan produksi sel darah (blood dyscrasias) atau menyebabkan anemia aplastik akibat kerja kloramfenikol pada sumsum tulang. Kloramfenikol juga diketahui memiliki sifat karsinogenik. Oleh sebab itu, penggunaan kloramfenikol pada hewan produksi dilarang.

Pengawasan Bahan Tambahan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Page 5: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Dalam rangka menjamin pangan asal hewan yang aman dan layak (safe and suitable for human consumption) dianjurkan penerapan jaminan keamanan dan mutu pangan mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep ini dikenal dengan safe from farm to table concept. Pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaan pangan asal hewan diterapkan good practices. Good practices di peternakan dikenal sebagai good farming practices, saat pemerahan dikenal sebagai good milking practice, di rumah pemotongan hewan/unggas dikenal good slaughtering practices, di industri dikenal sebagai good manufacturing practices. Good practices tersebut merupakan dasar atau fondamen dari penerapan sistem jaminan keamanan pangan.

Pengendalian dan pencegahan pemakaian bahan tambahan yang berbahaya dalam pangan yang efektif dimulai dari komitmen dari produsen pangan. Selain itu, pemerintah berkewajiban mengatur dan mengawasi produksi, distribusi dan peredaran bahan kimia sehingga tidak masuk ke dalam rantai makanan. Hal itu didukung oleh pemberlakuan peraturan perundangan dan penegakan hukumnya. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain pengambilan contoh dalam rangka monitoring dan surveilen, inspeksi, audit dan sertifikasi. Konsumen perlu dilibatkan dalam pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya untuk pangan.

Di Indonesia, peraturan tentang bahan tambahan pangan telah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, serta untuk jenis BTP yang dilarang ditetapkan melalui Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, dan zat pewarna yang dilarang untuk makanan ditetapkan dalam Permenkes Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985.

Pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan yang perlu dilaksanakan oleh Pemerintah antara lain inspeksi, monitoring dan surveilens, akreditasi dan sertifikasi. Untuk itu diperlukan sistem keamanan pangan asal hewan yang merupakan bagian dari sistem kesehatan masyarakat veteriner (SISKESMAVET), yang harus didukung oleh organisasi, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, program yang baik, sistem informasi yang baik, serta dana yang rasional dan operasional.

Pengujian laboratorium terhadap bahan tambahan berbahaya dari contoh pangan asal hewan perlu menjadi program nasional yang terencana, rutin, berkesinambungan sebagai bagian dari program monitoring dan surveilens. Pengujian contoh sebaiknya dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Data hasil pengujian laboratorium uji harus senantiasa dianalisis menggunakan statistik untuk memperoleh kesimpulan yang sahih, serta diinformasikan melalui jejaring informasi laboratorium, yang selanjutnya dibuat kesimpulan secara nasional oleh pemerintah mengenai keberadaan, jenis, konsentrasi, dan penyebaran bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan.

BAHAN BACAAN

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 235/Menkes/Per/VI/1979 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Page 6: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Sinell H.-J. 1992. Einführung in die Lebensmittelhygiene. 3. überarbeitete Auflage. Verlag Paul Parey, Berlin.

Syah D. et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 2. M-Brio Press, Bogor. Diposkan oleh Suryadi di 00:46

Page 7: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Buku ini merupakan sumbangsih himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Dewasa ini, makin marak ditemukannya sejumlah zat berbahaya yang ditambahkan pada makanan yang menjadi konsumsi kita sehari hari. Bahan Tambahan Pangan atau BTP itu umumnya merupakan bahan tambahan pangan yang berbahaya bagi tubuh dan mempunyai dampak buruk bagi kesehatan dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kematian. Para produsen dan pembuat makanan itu menambahkan bahan tambahan pangan yang berbahaya pada makan yang mereka jual untuk memperlama umur dari makanan tersebut. Bahan tambahan pangan yang berbahaya itu antara lain adalah formalin, boraks, asam salisilat, kalium klorat dan masi banyak yang lain. Zat zat itu umumnya digunakan untuk pembuatan bahan peledak, korek api, pengawet kayu, pengawet jenazah, bahkan pembasmi kecoa. Bisa dibayangkan bagaimana bahayanya bahan bahan tersebut bila ikut dikonsumsi oleh manusia. Selain zat zat tersebut, produsen acapkali menambahkan zat perwarna kepada makanan. Penambahan ini dimaksudkan untuk membuat tampilan makanan menjadi semakin menarik. Dan juga untuk identitas dari pangan tersebut. Misalnya warna merah untuk makanan dengan rasa strawberry, oranye untuk makanan berasa jeruk dan lain sebagainya. Ada bahan pewarna yang alami seperti kunyit, daun suji tetapi penggunaan bahan alami akanmengakibatkan naiknya ongkos produksi dan juga sifat pewarna alami tidak homogen karena warna yang dihasilkan tidak stabil. Zat pewarna makanan yang berbahaya antara lain adalah alkanet, burnt umber, butter yellow, fast red e, rhodamine b. bahan pewarna ini bukan untuk pewarna makanan. Melainkan ada yang untuk tanah liat, untuk cat, tekstil, dan tinta. Bahan bahan ini semakin marak beredar luas. Oleh sebab itu kita harus bersikap kritis terhadap bahan tambahan pangan. Caranya antara lain adalah berusaha untuk tidak mengkonsumsi produk dengan BTP yang sama dalam jumlah besar secara terus menerus.

Lebih lanjut tentang: Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan

Page 8: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Edukasi tentang Bahan Tambahan Makanan Berbahaya pada jajanan dan makanan instan kepada Masyarakat Kota di Karangasem Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta#

1 Dec

Susi Ari Kristina., S.Farm., M.Kes.*, Yuli Nurul Laili Efendi’, Freeda J. Nasifash”, Khafidoh Kurniasih^, Rakhmi Amalia Nst’

# Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdiaan Masyarakat Didanai DIKTI 2010* Bagian Farmasetika Fakultas Farmasi UGM’ Farmasi Bahan Alam Fakultas Farmasi UGM” Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi UGM^ Farmasi Sains dan Industri Fakultas Farmasi UGM

A. LATAR BELAKANGMakanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat terus meningkat karena makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat.Data hasil survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (1999) menunjukkan bahwa persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan penduduk perkotaan untuk makanan jajanan meningkat dari 9,19% pada tahun 1996 menjadi 11,37% pada tahun 1999. Selain itu, kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi remaja perkotaan menyumbang 21% energi dan 16% protein. Sementara itu kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi anak usia sekolah menyumbang 5,5% energi dan 4,2% protein.Akibat kemajuan teknologi pangan dewasa ini, tingginya kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap berbagai jenis makanan yang praktis karena semakin sibuk sehingga tidak sempat memasak, dan terjaminnya kebutuhan berbagai jenis makanan dalam jumlah besar sepanjang tahun tanpa menjadi busuk dan masih layak untuk dikonsumsi, semua hal tersebut mendorong produksi dan penggunaan bahan tambahan makanan (BTM).Penggunaan BTM tidak hanya dimanfaatkan oleh industri pangan saja, tetapi juga oleh ibu rumah tangga dengan berbagai alasan dan tujuan. Dari hasil survey dilaporkan bahwa ibu-ibu yang tinggal di wilayah kumuh lebih banyak menggunakan penyedap rasa (MSG) dan pemanis buatan (gula biang), sedangkan bahan pengembang dan bahan untuk perbaikan teskstur seperti pengempuk, perenyah, dan lain sebagainya lebih banyak digunakan ibu-ibu di wilayah menengah. Sedangkan bahan pewarna dan pengawet sering digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga dikedua wilayah tersebut (Winarno dan Rahayu, 1994).Penelitian LKJ menunjukkan setidaknya terdapat 47 produk makanan anak-anak yang mengandung bahan pemanis dan pewarna buatan yang berbahaya dan beberapa di antaranya merupakan jajajan produk merek terkenal. Pemanis tiruan yang dibubuhkan antara lain aspartame, siklamat, dan sakarin. Sedangkan pewarna yang sering dipakai adalah rhodamin B

Page 9: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

dan kuning metanil (Lembaga Konsumen Jakarta, 2005).Pengamatan secara kualitatif terhadap jenis pemanis makanan jajanan menunjukkan bahwa pemanis yang digunakan pada sebagian besar makanan jajanan adalah campuran pemanis sintetis sakarin dan siklamat. Pemanis sakarin dan siklamat tersebut terdapat pada berbagai jenis makanan jajanan. Sedangkan untuk pemanis jenis dulcin tidak ada karena di Indonesia sudah dilarang beredar berdasarkan Permenkes No 722/MenKes/Per/IX/1988 (Depkes RI, 2007).Di Yogyakarta sendiri, dari semua jajanan yang ada, 40-50% mengandung pemanis buatan dari jenis sakarine dan siklamat, serta 50% mengandung pewarna sintesis (Anonima, 2008).Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pewarna yang digunakan pada makanan jajanan tidak mengandung pewarna sintetis yang berbahaya menurut daftar zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988).Walaupun pewarna tersebut diizinkan tetapi penggunaannya hendaknya dibatasi. Penggunaan tartrazine menyebabkan reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak. Erythrosine menyebabkan reaksi alergi pada pernapasan, hiperaktif pada anak, tumor tiroid pada tikus, dan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Fast Green FCF menyebabkan reaksi alergi dan produksi tumor. Sunset Yellow menyebabkan radang selaput lendir pada hidung, sakit pinggang, muntah-muntah, dan gangguan pencernaan. Sedangkan rhodamin B bila dikonsumsi bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati, bahkan kanker hati. Konsumsi Rhodamin B dalam jangka waktu lama mengakibatkan akumulasi dalam tubuh dan terjadi penumpukan lemak. Dampaknya baru akan kelihatan setelah puluhan tahun kemudian (Anonimb, 2007).Berdasarkan penelitian Stevenson di Inggris pada 300 anak berusia 3-9 tahun, penggunaan zat warna c(warna kuning), ponceau 4R (warna merah), tdan tambahan lain seperti sodium benzoat menimbulkan efek merugikan dalam tubuh, salah satunya hiperaktivitas anak (Anonimc, 2008).Secara umum, pemanis dan pewarna tersebut bisa menimbulkan alergi seperti batuk, tenggorokan sensitif, dan yang paling parah adalah gangguan sirkulasi darah. Anak-anak yang sensitif terhadap fenilalanin dalam aspartame akan mengalami hiperaktif atau cacat mental. Sementara ini, percobaan konsumsi siklamat dan sakarin untuk binatang menyebabkan kanker kandung kemih. Sedangkan aspartame di laboratorium Ramajimie Foundation di Bologna Italia terbukti menimbukan kanker pada tikus percobaan. Jika pada binatang percobaan saja berbahaya, pada manusia juga tentu berbahaya (Nurhasan, 2006).Oleh karena banyak munculnya berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh konsumsi makanan yang dicampur dengan bahan tambahan makanan terutama BTM sintetis, maka perlu dilakukan sosialisasi yang lebih masif kepada masyarakat tentang bahan tambahan makanan tersebut.Lokasi edukasi bahan tambahan makanan ini di lakukan di Kabupaten Sleman. Dipilih Masyarakat desa Karangasem Kecamatan Depok. Pemilihan masyarakat ini berdasarkan letak daerah yang sangat mudah diakses oleh berbagai transportasi sehingga pendistribusian berbagai bahan makanan sangat mudah dilakukan, termasuk makanan-makanan instan dan jajanan yang kemungkinan besar mengandung bahan tambahan makanan. Selain itu, sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa Karangasem ini mempunyai mobilitas tinggi sehingga dimungkinkan konsumsi makanan instan juga tinggi karena tidak sempat memasak makanan sendiri.Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan edukasi tentang bahan tambahan pangan berbahaya terhadap masyarakat kota di desa Karangasem kabupaten Sleman provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta agar masyarakat terhindar dari bahaya bahan tambahan pangan berbahaya tersebut.

Page 10: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Diperkirakan organ pencernaan manusia semasa hidupnya mengolah makanan sebanyak 100 ton (100.000kg). Jumlah tersebut tidak semuanya merupakan zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh akan tetapi juga ikut serta zat-zat berbahaya terutama Food Additive atau Bahan Tambahan Makanan (BTM).BTM adalah semua yang bukan bagian dari bahan makanan yang diolah seperti pemanis, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, pewarna, pengawet, pengental/pengemulsi, anti bakteri, pemutih, pengeras, pengatur keasaman dan lainnya. Saat ini hampir semua jenis makanan dan minuman yang diproses dari pabrik dan juga yang tersedia di restoran-restoran menggunakan BTM untuk meningkatkan kepuasan konsumen.Beberapa contoh BTM yang oleh riset dinyatakan berpeluang menyebabkan kanker, tumor atau penyakit lainnya:

NOBahan TambahanMakanan

Pemakaiaan(Contoh)

Dampak(Jika Berlebihan/Pemakaian Jangka Panjang)

1 SakarinSoft Drink, Permen, makan ringan lainnya

Tumor kantong Kemih, beracun bagi janin, kanker

2 Siklamat Minuman beralkohol Tumor

3 Nitrit/Nitrat Makanan kalengan Kanker

4 Sulfit Jus Buah, sosis, acarSesak nafas, Sesak dada, gatal-gatal dan bengkak

5 BHA/BHT Makanan AwetanKelainan Kromosom Sel, menurunkan antioksidan alami tubuh.

6 Benzoat Minuman, MakananPembesaran ginjal dan hati, menurunkan berat badan

7 Sulfit Makanan Kalengan Menurunkan daya guna protein dan Lemak

8Pewarna Merah/Amaranth

Makanan, Minuman kanker

Meskipun dosis penggunaan setiap BTM ditetapkan pada kadar aman bagi manusia, namun kelebihan dosis dapat terjadi karena konsumsi makanan hasil olahan pabrik setiap harinya sangat beragam. Kelebihan dosis dan perbedaan daya tahan tubuh menentukan tingkat dampak negatif BTM bagi kesehatan. Meninggalkan makanan/minuman hasil olahan pabrik atau sajian restoran tentu tidak mungkin dilakukan, oleh karena itu mengurangi frekuensi mengkonsumsi makanan yang mengandung BTM, menjaga kesehatan organ pencernaan dengan mengkonsumsi serat yang cukup serta makanan bersifat prebiotik dapat mengurangi tertinggalnya zat-zat berbahaya dari makanan dalam tubuh.Selain upaya tersebut, perlu mengimbangi zat-zat berbahaya tersebut dengan perlindungan alami seperti bahan-bahan antioksidan. Bahan-bahan antioksidan tersedia banyak pada sayur-sayuran, buah dan biji-bijian. Contoh antioksidan pada bahan makanan adalah vitamin E, Tokoferol, Asam Ascorbat, Flavonoid dan lain-lain. Namun Antioksidan dalam bahan alami terikat sangat kuat dengan senyawa lain yang sangat sulit dipisahkan oleh proses pencernaan sehingga efisiensinya kurang dalam tubuh.Saat ini senyawa-senyawa antioksidan sudah dibuat dalam bentuk produk suplemen. Berdasarkan riset direkomendasikan kriteria dalam memilih produk antioksidan tersebut yaitu:

Page 11: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Pastikan bahwa antioksidan yang dipilih bukan dari bahan sintesis tetapi 100% alami yang mengandung multiantioksidan.

Mengandung banyak jenis Antioksidan (multi AO) Merupakan antioksidan analog (AOA) dengan berat molekul rendah yang bekerja seaktif

antioksidan (AO) molekul tinggi (AO enzimatik alami dalam tubuh) Dalam bentuk terlipolisasi/emulsifikasi dengan lemak tak jenuh, yang mudah diserap

pada tingkat sel. Mampu memperbaiki induksi SOD alami tubuh.

Kriteria antioksidan tersebut dapat ditemukan pada Niwana SOD. Produk antioksidan yang merupakan hasil riset bertahun-tahun oleh Prof. Yuki Niwa (seorang pakar antioksidan terkenal).

Bahan-bahan tambahan adalah substansi atau bahan-bahan yang ditambahkan pada makanan yang di hasilkan atau diproduksi. Cakupan ini mencakup berbagai unsure antara lain: vitamin dan mineral pada makanan yang melalui proses fortifikasi, preservatives (bahan-bahan pengawet) yang menjaga makanan dari terjadinya spoiling (membusuk), gula dan makanan lainnya yang dibumbui (bumbu alam dan buatan/artificial), dan pewarna tambahan untuk membuat makanan terlihat menggoda, lezat atau enak.

Fortifikasi adalah upaya meningkatkan mutu gizi makanan dengan menambahkan zat gizi tertentu pada makanan. Zat gizi tersebut tidak terdapat dalam makanan itu sendiri.

Beberapa bahan tambahan ada yang bagus untuk kita, terutama vitamin dan mineral. Tapi Anda mungkin bertanya-tanya tentang keamanan dari bahan-bahan tambahan lainnya, khususnya bahan-bahan tambahan dengan nama yang lebih sering terdengar di rumah kimia dari golongan bahan kimia dari piring anda.

Menurut undang-undang federal, sebagian besar bahan tambahan makanan harus terbukti aman sebelum produsen makanan dapat memasukkan bahan tambahan tersebut ke dalam makanan yag mereka produksi. Dengan pengecualian bahwa bahan-bahan tambahan tersebut telah digunakan dalam waktu yang lama dengan tanpa adanya atau timbul masalah yang nyata. Bahan-bahan tambahan yang lama ini berkisar antara gula dan garam sampai sodium nitrite dan potassium nitrite, bahan-bahan pengawet dalam hot dogs dan daging makan siang (hamemwors/ luncheon meats).

Beberapa bahan tambahan diantaranya dapat menimbulkan kekhawatiran. Sodium nitrat dan sodium nitrite di dalam hot dogs, luncheon meats, dan ikan yang di proses dengan pengasapan meskipun hanya berpotensi kecil bisa menjadi penyebab kanker karena bahan-bahan kimia yang disebut nitrosamines yang dihasilkan selama proses memasak.

Penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa bahan-bahan tambahan lainnya dapat menyebabkan kanker. Termasuk enam pewarna makanan buatan (biru # 1, biru # 2, dan biru # 3, hijau # 3, merah # 3, kuning # 6), dua pemanis buatan (sakarin ata saccharine and acesulfame K, atau acesulfame potassium/kalium), dan potassium bromate dalam produk tepung terigu (gandum) putih.

Page 12: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Beberapa bahan tambahan makanan lainnya bisa menyebabkan alergi atau reaksi buruk lainnya. Monosodium glutamate (MSG), suatu penambah cita rasa, dapat mengakibatkan sakit kepala, mual dan sesak nafas pada beberapa orang. Cochineal (zat pewarna merah masakan) dan carmine (pewarna merah tua), adalah warna-warna artificial yang dibuat dari serangga yang di lumat, menyebabkan berbagai reaksi alergi, dari hanya penyakit gatal dengan bintik-bintik merah dan bengkak sampai shock anaphylactic.

Meskipun bahan-bahan tambahan lainnya aman dikonsumsi, adanya daftar panjang bahan tambahan makanan dalam bahan-bahan makanan yang dibungkus (bentuk bungkusan dari pabrik) adalah sebuah tanda merah yang perlu diperhatikan. Sebaiknya pilihlah makanan-makanan yang mengandung lebih sedikit bahan-bahan tambahan makanan untuk mengurangi risiko yang merugikan kesehatan anda.

Kisruh penarikan mi instan produksi Indofood di Taiwan terjadi karena negara tersebut mempersoalkan zat pengawet yang salah satunya bernama nipagin atau methyl p-hydroxybenzoate.

Padahal, Codex Alimentarius Commission (CAC), badan yang didirikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengatur standar pangan, telah memperbolehkan pemakaian zat pengawet ini dalam batas-batas tertentu. 

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menyatakan bahwa Indonesia berpatokan pada CAC dan mengizinkan penggunaan nipagin dalam batas tertentu.

Menurut BPOM, penggunaan nipagin pada mi instan yang beredar di Indonesia saat ini masih dalam batas kendali. Hasil uji sampel kecap pada mi instan yang mengandung nipagin dalam lima tahun terakhir menunjukkan, tidak ada dari kandungan zat pengawet tersebut yang melebihi batas maksimal.

Lalu apa sebenarnya zat bernama methyl p-hydroxybenzoate yang ditemukan dalam kecap mi instan Indofood yang dicemaskan Pemerintah Taiwan itu?

Menurut informasi yang dikutip Badan Pengawas Makanan dan Obat Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA), nipagin merupakan zat tambahan untuk mencegah jamur dan ragi. Methyl p-hydroxybenzoate adalah salah satu dari jenis parabens atau pengawet yang banyak digunakan untuk kosmetik dan obat. 

Nipagin memiliki nama lain, yakni methylparaben dengan rumus kimia  CH3(C6H4(OH)COO). Jenis paraben lain yang juga banyak digunakan adalah propylparaben dan butylparaben.

Page 13: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Menurut FDA, untuk suatu produk biasanya paraben yang digunakan berjumlah lebih dari satu jenis. Pengawet ini biasanya digabung dengan pengawet lain untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai jenis mikroorganisme.

Methylparaben adalah jenis paraben yang dapat dihasilkan secara alami dan ditemukan dalam sejumlah buah-buahan, terutama blueberry dan jenis paraben lainnya. Sejauh ini, belum ada bukti bahwa methylparaben dapat menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan pada konsentrasi tertentu dalam penggunaan perawatan tubuh atau kosmetik.

FDA menilai, methylparaben sebagai pengawet yang aman atau generally regarded as safe (GRAS) untuk kosmetik. Di Eropa, methylparaben digunakan sebagai pengawet makanan yang mendapat persetujuan Uni Eropa dengan kode E-218.

Methylparaben juga dapat dimetabolisme oleh bakteri tanah sehingga benar-benar terurai. Methylparaben mudah diserap dari saluran pencernaan atau melalui kulit. Hal ini dihidroliskan menjadi asam p-hidroksibenzoat dan cepat dikeluarkan tanpa akumulasi dalam tubuh.

Di setiap negara, batas maksimum pemakaian nipagin berbeda. Di Amerika Serikat, Kanada, dan Singapura, kadar maksimum nipagin adalah 1.000 mg per kg. Adapun nipagin di Hongkong 550 mg per kg. Di Indonesia, Badan POM telah menetapkan batas maksimal penggunaan nipagin 250 mg per kg.

Penggunaan bahan tambahan makanan jenis apa pun, baik untuk pengawet, pemanis, perisa, pewarna, penguat rasa, maupun jenis lainnya mengandung risiko bagi tubuh. Konsumsi bahan-bahan tersebut diperbolehkan dalam jumlah tertentu.

”Konsumen harus cerdas, jangan asal ambil makanan tanpa membaca kandungan bahan makanan yang tertera pada label,” kata Ahli Analisis dan Keamanan Pangan dari Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Rahmana Erman Kartasasmita saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/10/2010) kemarin.

Menurut dia, batas atas konsumsi sejumlah bahan tambahan makanan (BTM) di Indonesia jauh lebih ketat dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Namun, itu tak membuat industri di sana langsung menggunakan BTM hingga batas tertinggi karena konsumen di negara-negara itu cenderung menghindari makanan yang mengandung BTM.

Kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Konsumen tak mengecek akibat ketidakmengertiannya dan tak mempelajari tulisan pada label makanan. Hal ini menuntut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bekerja lebih keras mengawasi dan mengatur penggunaan BTM.

Ahli Kimia Pangan dari Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, Umar Santoso, menambahkan, BPOM harus memastikan agar semua industri, baik industri besar maupun rumah tangga yang memproduksi makanan olahan, mematuhi batasan penggunaan BTM.

Page 14: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

”Kepatuhan pada regulasi keamanan pangan di Indonesia sangat rendah. Padahal, itu sangat vital,” ujarnya.

Kesadaran akan pentingnya keamanan pangan harus menjadi perhatian utama industri, konsumen, dan pemerintah karena kecurangan dalam penggunaan BTM bisa berdampak luas. Menurut Umar, tindakan preventif BPOM masih sangat kurang dan dinilai hanya bereaksi saat terjadi kasus.

Secara terpisah, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyarankan masyarakat mengutamakan konsumsi makanan segar daripada produk instan terus-menerus. ”Kita harus makan aneka ragam makanan yang sehat dan harus makan sayur dan buah,” ujarnya.

Nipagin

Menkes menambahkan, nipagin (methyl parahydroxybenzoat ) adalah bahan pengawet makanan yang dipakai di berbagai jenis makanan. Penggunaannya diatur dalam Codex Alimentarius Commission.

Sesuai Codex, jumlah asupan nipagin dalam tubuh per hari (acceptable daily intake) adalah 10 miligram per kilogram berat badan. Jika berat badan seseorang 50 kilogram, konsumsi aman nipagin 500 mg per hari.

Jika berat kecap dalam mi instan 4 gram dan kandungan nipaginnya 1 mg, maka 500 mg nipagin itu setara 2 kg kecap. Jumlah kecap sebanyak itu tidak mungkin dikonsumsi seseorang dalam satu hari.

Penggunaan nipagin pada makanan sebenarnya dapat dihilangkan dengan teknologi temperatur ultratinggi. Namun, itu akan membuat nilai ekonomi barang menjadi tinggi. ”Hingga kini belum ada laporan keracunan, apalagi kematian akibat penggunaan nipagin,” ujar Rahmana.

Fungsi nipagin hanya menahan laju pertumbuhan mikroba yang membuat makanan cepat rusak. Penggunaan nipagin berlebih tidak memperpanjang daya tahan makanan jika jumlah mikroba dalam makanan itu telah berlebih sejak awal.

Untuk mempertahankan hidupnya, manusia tidak lepas dari makanan. Guna makanan untuk mendapatkan energi, memperbaiki sel-sel yang rusak, pertumbuhan, menjaga suhu dan menjaga agar badan tidak terserang penyakit, makanan yang bergizi merupakan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Untuk maksud tersebut kita memerlukan zat aditif.

Zat aditif pada makanan adalah zat yang ditambahkan dan dicampurkan dalam pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Jenis-jenis zat aditif antara lain pewarna, penyedap rasa, penambah aroma, pemanis, pengawet, pengemulsi dan pemutih.

Zat aditif pada makanan ada yang berasal dari alam dan ada yang buatan (sintetik). Untuk zat aditif alami tidak banyak menyebabkan efek samping. Lain halnya dengan zat aditif sintetik.

Page 15: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Bahan pengawet

Pengawet adalah bahan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan mikroorganisme. Zat pengawet dimaksudkan untuk memperlambat oksidasi yang dapat merusak makanan. Ada dua jenis pengawet makanan yaitu alami dan sintetik (buatan). Pengawet yang paling aman adalah bahan-bahan alam, misalnya asam cuka (untuk acar), gula (untuk manisan), dan garam (untuk asinan ikan/telur). Selain itu beberapa bahan alam misalnya saja penambahan air jeruk atau air garam yang dapat digunakan untuk menghambat  terjadinya proses reaksi waktu coklat (browing reaction) pada buah apel.

Keuntungan zat aditif

Penggunaan zat aditif memiliki keuntungan meningkatkan mutu makanan dan pengaruh negatif bahan tambahan pangan terhadap kesehatan.

Agar makanan dapat tersedia dalam bentuk yang lebih menarik dengan rasa yang enak, rupa dan konsentrasinya baik serta awet maka perlu ditambahkan bahan makanan atau dikenal dengan nama lain “food additive”.

Penggunaan bahan makanan pangan tersebut di Indonesia telah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang, Peraturan Menteri Kesehatan dan lain-lain disertai dengan batasan maksimum penggunaannya. Di samping itu UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 10 ayat 1 dan 2 beserta penjelasannya erat kaitannya dengan bahan tambahan makanan yang pada intinya adalah untuk melindungi konsumen agar penggunaan bahan tambahan makanan tersebut benar-benar aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan.

Namun demikian penggunaan bahan tambahan makanan tersebut yang melebihi ambang batas yang ditentukan ke dalam makanan atau produk-produk makanan dapat menimbulkan efek sampingan yang tidak dikehendaki dan merusak bahan makanan itu sendiri, bahkan berbahaya untuk dikonsumsi manusia. Semua bahan kimia jika digunakan secara berlebih pada umumnya bersifat racun bagi manusia. Tubuh manusia mempunyai batasan maksimum dalam mentolerir seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan yang disebut ADI atau Acceptable Daily Intake. ADI menentukan seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan setiap hari yang dapat diterima dan dicerna sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan.

ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen dan sebagai standar digunakan berat badan 50 kg untuk negara Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Satuan ADI adalah mg bahan tambahan makanan per kg berat badan. Contoh: ADI maksimum untuk B-karoten = 2,50 mg/kg, kunyit (turmerin) = 0,50 mg/kg dan asam benzoat serta garam-garamnya = 0,5 mg/kg.

Untuk menghitung batas penggunaan maksimum bahan tambahan makanan, digunakan rumus sebagai berikut

BPM = ADIxB x1.000 / K (mg / kg)

Page 16: Bahan Tambahan Pangan Berbahaya Dalam Pangan Asal Hewan

Di mana BPM = batas penggunaan maksimum  (mg/kg)

B = berat badan (kg)

K = konsumsi makanan (gr)

Contoh: Hitung BPM bahan tambahan makanan yang mempunyai ADI 2 mg untuk konsumsi makanan harian yang mengandung bahan tersebut (1 kg) dan bobot badan 60 kg ?

Jawab

BPM = ADIxB x1.000 / K (mg / kg)

= 2 x 60 x 1.000 /1.000

= 120 mg/kg

Jadi batas penggunaan maksimum bahan tambahan makanan yang mempunyai ADI 2 mg untuk 1000 gr makanan yang dikonsumsi konsumen yang berbobot 60 kg adalah 120 mg/kg. Perlu diingat bahwa semakin kecil tubuh seseorang maka semakin sedikit bahan tambahan makanan yang dapat diterima oleh tubuh.

Pada pembahasan berikut disajikan pengaruh negatif dan bahan tambahan pangan langsung yang meliputi: monosodium glutamat, sakarin dan siklamat, zat antioksidan, tartrazin, asam benzoat, kalium sorbat, natrium nitrit dan zat penambah gizi serta batasan penggunaan senyawa-senyawa tersebut yang aman bagi kesehatan manusia. (fn/k2m/ct) www.suaramedia.com