bahasa media massa
DESCRIPTION
nnnTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Media massa adalah sarana informasi dan komunikasi untuk umum dalam
bentuk cetak, elektronik, atau bentuk lain. Media massa merupakan sarana
publikasi berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, bahasa media massa akan
mencakup berbagai bidang kehidupan. Media massa sering dijadikan sebagai
barometer dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh
masyarakat. Di sini kami sebagai penyusun berada pada posisi menyanggah dari
apa yang di maksud tersebut. Menurut Hendry (narasumber Sekretaris Jenderal
Persatuan Wartawan Indonesia) menilai, ada sekitar 70 persen dari 851 media
yang kurang sehat dan tidak sehat menurut data Dewan Pers (2006). Di sini kami
ingin membuktikan bahwa tidak semua media massa merusak bahasa Indonesia
berdasarkan arguemen-argumen para ahli yang di perkuat dengan fakta dalam
kehidupan sehari-hari.
Media massa saat ini baik media elektronik maupun cetak dalam hal
penggunaan bahasa Indonesia masih kurang baik, terlihat dari bahasa yang
digunakan dalam media massa saat ini. contohnya “Nanti malam kita menonton”
seharusnya “Malam nanti kita menonton”. Inilah yang sekarang menjadi
permasalahan terkait dengan bahasa Indonesia yang penggunaannya dengan baik
dan benar menurun karena orang cenderung mengikuti bahasa yang ada pada
media massa.
Argumen-argumen dari beberapa orang yang mengatakan bahasa media
massa adalah bahasa yang tidak merusak bahasa Indonesia, melainkan bahasa
yang memperkaya bahasa Indonesia. Media massa juga termasuk salah satu media
dalam perkembangan teknologi di zaman era globalisasi sekarang ini, dimana
tidak hanya perkembangan teknologi saja, tetapi juga perkembangan bahasa-pun
turut berkembang lewat media massa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu bahasa media massa ?
2. Apa saja ciri-ciri bahasa media massa ?
3. Bagaimana dampak positif dan negatif dari bahasa media massa?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini di antaranya adalah :
1. Mengetahui pengertian bahasa media massa;
2. Mengetahui cirri-ciri bahasa media massa;
3. Mengetahui dampak positif dan negatif dari bahasa media massa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bahasa Media Massa
Bahasa Media massa atau bisa juga disebut bahasa jurnalistik adalah bahasa
yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga sebagai Bahasa
Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, atau disebut pula dengan
Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui
media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik seperti radio dan
TV, maupun komunikasi tertulis seperti media cetak. Dengan ciri khas singkat,
padat, dan mudah dipahami.
Ragam bahasa jurnalistik itupun memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang
dapat membedakan ragam bahasa jurnalistik dengan ragam bahasa yang lain. Dan
bahasa jurnalistik yang baik itu haruslah sesuai dengan norma tata bahasa yang
antara lain terdiri atas susunan-susunan kalimat yang benar dan pemilihan kata
yang tepat. Bahkan laras bahasa jurnalistik itupun termasuk dalam laras bahasa
baku. membedakan bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia itu hanyalah
terdapat pada penggunaannya saja. Karena bahasa jurnalistik itu digunakan
sebagai bahasa dalam penyampai informasi. Sehingga memiliki ciri khas
tersendiri dibandingkan dengan bahasa lain. Ciri khas dari bahasa jurnalistik itu
yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas dan menarik. Serta ditandai dengan
penghemataan kata-kata atau pemendekan kalimaat. Tergantung dengan jenis
tulisan apa yang akan diberitakan.
2.2 Ciri-Ciri Bahasa Media massa
Bahasa jurnalistik memiliki 16 ciri utama yang berlaku untuk semua
bentuk media massa. Yakni singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik,
demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata
dan istilah asing, pemilihan diksi atau kata yang tepat, kalimat aktif, menghindari
kata-kata teknis, dan sesuai dengan kaidah etika atau Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD). Berikut perinciannya:
1. Sederhana: selalu memilih kata atau kalimat yang mudah dimengerti oleh
sebagian besar khalayak atau pembaca
2. Singkat: langsung menuju kepada pokok masalah atau pembahasan.
Bahasa jurnalistik dilarang bertele-tele, tidak berputar-putar, dan tidak
menyulitkan pembaca dalam memahami maksud yang ingin disampaikan.
3. Padat: Bahasa Jurnalistik harus sarat informasi, artinya
setiap kalimat dan paragraf memuat banyak informasi penting dan
menarik, serta layak untuk disajikan kepada pembaca
4. Lugas: tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau
penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan pembaca dalam
memahami maksud yang ingin disampikan dalam sebuah berita
5. Jelas: mudah dipahami atau ditangkap maksudnya, tidak baur, atau dengan
kata lain jelas susunan kalimat sesuai dengan kaidah subjek-predikat-
objek-keterangan (SPOK)
6. Jernih: tidak menyembunyikan sesuatu yang bersifat negatif seperti fitnah
atau prasangka
7. Menarik: mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca,
memicu selera baca, atau membuat pembaca penasaran sehingga timbul
rasa ingin terus membaca
8. Demokratis: bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta,
atau dapat diartikan penyamarataan status sosial. Bahasa jurnalistik
memperlakukan siapa pun secara sama rata, baik
itu presiden, buruh, petani, bahkan pemulung, semua diperlakukan sama
dalam hal teknis penyajian informasi
9. Populis:setiap diksi atau kata, istilah, atau kalimat apa pun bentuknya
harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak,
pendengar, pemirsa, atau pembaca
10.Logis: apa pun yang ada dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf dalam
karya jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal
sehat (common sense)
11.Gramatikal: kata, istilah, atau kalimat apapun yang dipakai dan dipilih
dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku
12.Menghindari kata tutur: menghindari bahasa sehari-hari secara informal,
misalnya kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan di warung
kopi, terminal, bus kota, atau di pasar
13.Menghidari kata dan istilah asing: tidak terlalu banyak menggunakan
istilah asing. Selain tidak informatif dan komunikatif juga
membingungkan pembaca
14.Pilih kata (diksi) yang tepat:Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus
produktif tapi juga tidak boleh keluar dari asa efektifitas, artinya
pemilihan setiap kata yang digunakan untuk sebuah berita harus tepat
15.Mengutamakan kalimat aktif: Kalimat aktif lebih disukai oleh pembaca
ketimbang kalimat pasif, maka disarankan menggunakan kalimat aktif
dalam bahasa jurnalistik
16.Menghindari kata atau istilah teknis: sederhana, mudah dipahami, ringan
dibaca, tidak membuat kening berkerut, Sebagai contoh, berbagai istilah
teknis dalam dunia kedokteran, Kalau pun tak terhindarkan, maka istilah
teknis tersebut harus disertai dengan penjelasan dan ditempatkan dalam
tanda kurung.
2.3 Contoh Kata dan Kalimat dalam Bahasa Jurnalistik
Merujuk pada prinsip bahasa jurnalistik yaitu singkat, padat, lugas,
sederhana, lancar, jelas, dan menarik, untuk itu dibuat ketentuan dalam bahasa
jurnalistik, antara lain:
1. Penggunaan kata harus ekonomis, Contohnya:
a. Melakukan pencurian = mencuri
b. Mengajukan saran = menyarankan
c. Melakukan pemerasan = memeras
2. Disarankan menggunakan kalimat aktif, contohnya:
a. Pemerintah mengatakan, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik
(Kalimat Aktif)
b. Harga Bahan Bakar Minyak akan dinaikkan pemerintah (Kalimat Pasif)
Dengan bahasa jurnalistik diharapkan sebuah informasi dapat mudah
dimengerti oleh mereka dengan ukuran intelektual yang minimal, sehingga
sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati
isinya. Walaupun demikian, pada intinya bahasa jurnalistik yang baik
haruslah sesuai norma-norma tata bahasa yangantara lain terdiri atas
susunan kalimat yang benar dan pemilihan kata yang tepat.
2.4 Penyimpangan Bahasa Media massa
Meskipun bahasa jurnalistik mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang telah
ditentukan, namun masih terlihat penyimpangan terhadap kaidah bahasa
jurnalistik yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Demikian pula
penyimpangan mengenai tataran tanda baca. Penyimapangan bahasa jurnalistik ini
sepertinya menjadi hal yang lazim, sehingga bahasa jurnalistik dianggap sebagai
perusak bahasa Indonesia. Mestinya bahasa junalistik tetap harus mengacu pada
kaidah bahasa yang telah baku, karena media massa sangat erat kaitannya dengan
masyarakat.
Adapun beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia
baku, yaitu:
1. Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)
Kesalahan ini sering kali kita temukan dalam media massa, baik dalam
penulisan kata, seperti Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis kuatir, jadwal ditulis
jadual, sinkron ditulis singkron. Dan kesalahan tanda baca juga dapat ditemui
dalam penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda hubung, dan lain-lain.
Dalam memilih ejaan kata yang tepat kita harus memerlukan sedikit
ketelitian. Karena bahasa Indonesia banyak memiliki bentuk kembar, seperti kata
risiko-resiko, sekadar-sekedar, Senin-Senen, film-pilem, juang-joang. Memang
kata-kata seperti itu sering kali membuat kita bingung dan akhirnya kita membuat
kesalahan dalam penulisannya. Biasanya hal ini dikarenakan adanya pengaruh
dari bahasa daerah. Maka kita harus memilih ejaan yang sesuai dengan Ejaan
Yang Disempurnakan.
2. Penyimpangan Gramatikal
Penyimpangan gramatikal ini terdiri atas:
a. Kesalahan Pemenggalan
Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal
saja. Hal ini dikarenakan pemenggalannya menggunakan program
komputer bahasa asing. Dal hal ini bisa diatasi dengan program
pemenggalan bahasa Indonesia.
b. Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa
yang menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku
dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau
awalan dihilangkan. Misalnya: “Muluskan Boediono, Lobi Komisi IX”,
“Cemburu, Pelajar Bunuh Pelajar”, “Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak
Ditangkep Pulisi Karena Bawa Sajam”.
c. Kesalahan Sintaksis
Kesalahan ini yaitu berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat
yang kurang benar sehingga sering mengacaukan arti dari kalimat tersebut.
Hal ini disebabkan karena logika penulis yang kurang bagus. Contoh:
“Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat”.
Judul tersebut seharusnya ditulis, “Hasil Kerajinan Desa Kasongan
Banyak Diekspor Ke Amerika Serikat”.
3. Penyimpangan Semantik
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau
menimbulkan dampak buruk pemberitaan dan untuk melebih-lebihkan
(bombastis). Contoh: Penyesuaian tarif BBM merupakan kebijakan pemerintah
yang tidak populis. Pemakaian kata penyesuaian tarif, tidak dapat dimaknai dari
segi makna lugas saja melainkan juga harus dilihat dari makna figuratif (kias)
yang mengandung eufimismedengan alasan kesopanan.
4. Penyimpangan Dari Aspek Kewacanaan
Penyimpangan ini dapat diketahuai dari aspek kewacanaan dari
penggunaan bahasa yang dilihat dari makna bahasa yang berkaitan dengan
aktivitas dan sistem-sistem di luar bahasa. Contoh penyimpangan dari aspek
kewacanaan ini yaitu berita tentang tragedi kematian Munir (Pejuang HAM).
Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan, namun media massa
telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut
memiliki pendapat yang berbeda dari masing-masing media sehingga menjadikan
isi berita menjadi tidak realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga
membuat para pembacanya bingung.
Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau
kata-kata asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan
istilah asing tersebut telah bertaburan di media massa. Tetapi, penggantian istilah
asing yang tidak ada penggantinya dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan
kesulitan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan
penyuntingan atau editing baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata,
ejaan, serta pemakaian bahasa jurnalistikyang baik secara umum. Agar penulis
atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka mereka dapat
memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik
sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas
kata yang sama, yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik
antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
2.5 Dampak Bahasa Media Massa Terhadap Bahasa Indonesia
Banyak orang yang mengatakan bahwa bahasa dalam media massa
merusak bahasa Indonesia. Salah satu-nya dalam diskusi kelompok tentang
Bahasa Media Massa dalam Kongres IX Bahasa Indonesia, Kamis 30 Oktober,
2008 di Jakarta, Hendry (narasumber Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan
Indonesia) menilai, bahwa ada sekitar 70 persen dari 851 media yang kurang sehat
dan tidak sehat menurut data Dewan Pers (2006). Namun tidak semua bahasa
dalam media massa kurang sehat dan baik. Media massa juga mempunyai manfaat
dan peran penting dalam perkembangan bahasa dan pendidikan.
Menurut Prof Dr Mikihiro Moriyama, dosen bahasa Indonesia pada
Nanzan University di Nagoya, Jepang, “ Pada masa pemerintahan orde baru,
Indonesia hanya menggunakan bahasa resminya yaitu bahasa Indonesia yang
digunakan di ruang publik, sedangkan bahasa asingnya hanya bahasa Ingris ”. Ia
juga berkata “ Namun, sekarang di media massa, khususnya televisi, kita bisa
mendengar berita dalam bahasa Jawa, Sunda, juga bahasa Mandarin, padahal dulu
semasa Orba bahasa Mandarin tidak diperkenankan digunakan di ruang publik ”.
Dan menurut Prof.Dr. Hendry H Hoed bahwa “ bahasa media massa tidak
merusak bahasa Indonesia, melainkan memperkaya bahasa Indonesia karena
penggunaan bahasa media massa di sesuaikan dengan karakteristik masing-
masing dari pembaca, tetapi bahasanya masih terpaku pada kode etik jurnalistik”.
Misalnya pada media cetak berupa Koran Kompas yang bahasanya di sesuiakan
dengan pembacanya, seperti orang yang bekerja di kantor. Berbeda dengan Koran
kompas yang menggunakan bahasa intelektual majalah Gaul yang bahasanya
menggunakan bahasa gaul kerena di sesuaikan dengan pembacanya, seperti anak
remaja.
Bahasa dalam media massa juga mempunyai fungsi sebagai media
pembelajaran di sekolah. Karena menurut Ari Subagyo, Koordinator Bidang
Litbang Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Cabang Daerah Istimewa
Yogyakarta bahwa “Bahasa media massa disadari atau tidak menjadi salah satu
acuan dalam penggunaan bahasa, baik Indonesia, daerah maupun bahasa asing
dengan baik dan benar, oleh karena itu fungsi atau peran media massa tidak
sebatas menyebarluaskan informasi, kontrol sosial, sumber gagasan, dan mendidik
masyarakat, tetapi lebih dari itu juga memberi pembelajaran dalam penggunaan
bahasa dengan baik dan benar.
Selain itu, Ia juga mengatakan “Mendidik masyarakat melalui media
massa tidak sebatas untuk membuka wawasan dan mewujudkan masyarakat
"melek" informasi, namun lebih dari itu juga terkait dengan bahasa. Sebab, bahasa
yang digunakan media massa terutama media cetak, sudah lazim dijadikan acuan
masyarakat dalam berbahasa, bahkan bisa dijadikan bahan pelajaran di sekolah”.
Sedangkan banyak orang menilai bahasa dalam media itu kurang baik dan
benar dan terlau vulgar dan bebas. Seperti menurut Sasongko Tejo, Ketua Umum
FBMM Indonesia mengatakan “Sebagian besar media massa belum memiliki
komitmen dan perhatian soal kebahasaan. Lebih banyak (media massa) yang
berorientasi kepada pasar”. Namun pada dasarnya bahasa dalam media massa
yang salah adalah kesalahan narasumber dan wartawan. Menurut TD Asmadi,
Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Pusat mengatakan “Banyak
kesalahan bahasa di media massa yang dilakukan tidak saja oleh nara sumber,
tetapi justru dari pemahaman wartawannya”. Jadi, apa yang diomongkan nara
sumber tanpa dipahami makna bahasanya langsung dikutip dan ditulis wartawan,
sehingga justru terjadi kesalahan bahasa pada media massa
Selain itu, TD Asmadi menilai “Media massa terjebak dengan penggunaan
bahasa teknis instansi misalnya di kepolisian seperti TKP (tempat kejadian
perkara), curanmor (pencurian kendaraan bermotor), maupun raskin (beras untuk
warga miskin). Keadaan itu jelas akan mempengaruhi pengembangan Bahasa
Indonesia di media massa yang menyebabkan menjadi kurang baik”.
Dan mengapa bahasa media massa saat ini terkesan vulgar, terbuka dan
banyak menggunakan bahasa pasar?. Karena hal tersebut adalah tuntutan
perkembangan teknologi dan kecepatan pada media untuk menyampaikan
informasi yang mudah di serap oleh masyarakat selain itu juga di latar belakangi
oleh kebebasan pers. Hal ini menurut Arwan Tuti Artha, redaktur senior
Kedaulatan Rakyat Yogyakarta bahwa “Pada zaman orde baru, menurut dia
hampir tidak ditemukan koran dengan judul berita yang bombas. Sebab, masih
ada kontrol dari penguasa pers di Indonesia."Pers dikontrol menandakan pers
belum bebas, tetapi pers diminta untuk bertanggung jawab, namun, kata dia,
setelah tidak lagi dalam kekuasaan orde baru, kebebasan pers lebih diutamakan”.
Sedangkan penggunaan bahasa pasar dalam media massa hanya untuk
menyampaikan informasi dengan mudah yang dapat di pahami oleh berbagai
lapisan masyarakat. Menurut Arifin Asydhad, Wakil Pemimpin Redaksi
Detik.com dalam diskusi di Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, Jumat 23
Oktober 2009. Mengatakan “Walau ia mendukung penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, akomodasi terhadap bahasa pasar terpaksa dilakukan,
Seiring kecepatan penyampaian informasi dan demi kecepatan pembaca dalam
memahami konten yang disampaikan.
Selain Arifin, Rosihan Anwar, wartawan senior bahwa “Bahasa jurnalistik
tidaklah memiliki cara yang khusus, tetapi tetap mengikuti perkembangan
pemakaian kata dan istilah yang ada, dikenal dan dipakai dalam masyarakat.
Istilah-istilah bahasa pasar itu lebih gampang dipahami oleh masyarakat”.
Jadi berkat media massa masyarakat dapat mendengarkan berita-berita
dalam bahasa-bahasa tradisional. Selain pendapat di atas terdapat pendapat lain.
Menurut Tirto Suwondo (Kepala Balai Bahasa Yogyakarta), “Pers atau media
massa berperan besar memasyarakatkan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Pers atau media massa merupakan tempat pembelajaran Bahasa
Indonesia yang cukup memadai dan baik bagi masyarakat, karena antara balai
bahasa dan FBMM (Forum Bahasa Media Massa) memiliki kesamaan dalam
mengemban tugas memasyarakatkan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa junalistik
itu merupakan bahasa yang digunakan oleh para pewarta berita dalam
menyampaikan infomasi atau berita khususnya media massa. Dan penggunaan
bahasa Indonesia dalam ragam jurnalistik secara umum masih belum sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini karena para redaktur
dan editor surat kabar masih belum sepenuhnya berpedoman pada Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), serta masih kurangnya pengetahuan para wartawan
mengenai pemakaian ejaan dan tata tulis yang sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia. Sehingga mengakibatkan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam
media massa. Seperti, penyimpangan klerikal (ejaan dan tanda baca),
penyimpangan gramatikal (pemenggalan, morfologis, dan sintaksis), dan
penyimpangan semantik serta penyimpangan dari aspek kewacanaannya.
Dan penggunaan bahasa yang belum sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia tersebut dapat berpengaruh pada penggunaan dan pengembangan
bahasa Indonesia di masyarakat. Karena media massa yang beredar di masyarakat
memberikan banyak konstribusi yang besar terhadap upaya memasyarakatkan
bahasa Indonesia yang baik dan benar melalui tulisan-tulisannya, khususnya pada
halaman utama dan terakhir yang biasa pertama kali dibaca oleh pembaca.
Daftar Pustaka
Muna. 2013. Bahasa Media Massa Tidak Merusak Bahasa Indonesia. [online]
dalam mbakmuna01.blogspot.com/2013/10/bahasa-media-massa-tidak-
merusak-bahasa.html. Diakses pada 10 Maret 2015.
Panggabean, Jason Walker. 2013. Bahasa Jurnalistik dan Media Massa Dalam
Perkembangan Bahasa. [online] dalam jasonwalkerpanggabean . blospot .
com /2013/09/makalah-bahasa-jurnalistik-dan-media.html