bahan dk p2

58
IMUNISASI DEFINISI Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya. 3 Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak- anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak. 1 Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan memberikan imunoglobulin. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel

Upload: beby

Post on 19-Dec-2015

239 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

dk

TRANSCRIPT

IMUNISASI

DEFINISI

Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara

aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang

serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti

kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan

kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari

penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3

Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem

kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan

terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak

cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan

lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat

membahayakan kesehatan dan hidup anak.1

Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan

memberikan imunoglobulin.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan

paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan

telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun

memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan

infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan

kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya

namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit

yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh

dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk

tersebut.

Vaksinasi mempunyai keuntungan :

Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.

Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.

Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh

lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit

tersebut secara almiah.

Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid

yang diubah ( dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas

atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin

diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara

aktif terhadap penyakit tertentu.

Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional,

upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh

kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer,

pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.

Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya

sakit atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita

cedera dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi

komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa,

cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya

gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup

mandiri tanpa bantuan orang lain.

KEBERHASILAN IMUNISASI

Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik

pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

Status imun pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan

akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa

fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi

campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan

membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang

mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi

keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya

kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur

beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA

FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI

setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena

itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau

sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan

diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi

neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap

antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus

akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila

imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan

imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat

obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita

penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit

keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya

defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat

menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada

individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis

milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti

makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral

spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,

imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena

terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar

komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya

respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor genetik pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.

Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,

dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah

terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena

itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa

sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung

sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat

menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi

pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.

Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping

sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas

sistemik saja.

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons

imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun

yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel

imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,

karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.

Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons

imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat

kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera

dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga

tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa

yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah

suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal

sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster )

sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons

imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan

mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan

mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen

secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel

imunokompeten lainnya.

Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik

dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated )

atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh

dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan

organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan.

Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh

mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob,

atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin

BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai

mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia

avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN

1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan

memproduksi interleukin.

2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori

3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk

mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya

polimorfisme MHC.

4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular

dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat

merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk

antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.

Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus

hidup.

JENIS VAKSIN

Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )

Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )

Vaksin hidup attenuated

Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau

bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih

memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan

menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.

Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya

dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai

sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus

vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan

media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak

pada tahun 1954.

o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus

berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.

o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau

cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh

( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.

o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama

dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak

membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan

dan infeksi dengan virus liar.

o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi

bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio

hidup.

o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat

mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan

tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan

mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam

tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.

o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila

kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan

dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,

polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).

Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated

o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus

dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif

dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).

o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh

dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan

penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat

mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak

dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat

diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.

o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada

dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu

atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah

dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang

mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami,

respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya

sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap

antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.

o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit

masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin

bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling

banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap

komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk

perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,

hepatitis A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,

pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.

Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan

haemophilus influenzae tipe b.

Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan

pneumokokus ).

VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN

Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan

perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan

tubuh kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1

Gambar 11

Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah

dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1

1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)

Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita

tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh

bentuk kekebalan non-spesifik :

- Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang

berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas

bagian bawah.

- Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin -

berperan sebagai antibakteri

- Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan

memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.

- Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-

spesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag)

akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.

2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)

Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T

dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh

mikroorganisme, melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang

sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat

merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen

akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular.

Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah

bentuk dan fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi

antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan

sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka

semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori

telah mengenali antigen tersebut.

Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang

merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini

selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi

antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3

1. Kekebalan pasif

Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat

bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak

berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang

secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.

2. Kekebalan aktif

Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan

berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap

antigen tertentu.

Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat

dibuat dari2 :

Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)

Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)

Vaksin rekombinan

Virus – like particle vaccine.

Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium

dengan cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin

mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh

menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak

menyebabkan penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin

hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam

tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang

kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya

sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Vaksin

hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak,

gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever)

dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus

dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan

penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional,

organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang

dimaksukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman

pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka

seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak

menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk

patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel

virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Kemudian

dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni

misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.

Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses

rekayasa genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus.

Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen

vius hepatitis B ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian

menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.

Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip

dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16

untuk mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus

HPV yang diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip

dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo – particles of HPV

tipe 16).

PEMBERIAN IMUNISASI

Tata cara pemberian imunisasi

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai

berikut :

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila

tidak divaksinasi.

Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila

terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.

Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan

dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab

dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.

Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.

Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.

Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan

dengan baik.

Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.

Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya

perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.

Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan

pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up

vaccination ) bila diperlukan.

Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai

pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan

posisi bayi/anak penerima vaksin.

Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau

pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang

biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.

Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan

klinis.

Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas

Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.

Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan

vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

Penyimpanan

Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus

didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT,

Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular

Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus

lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke

arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.

Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan

pada sudut 900.

Tempat Suntikan yang Dianjurkan

Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi

pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam

batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling

tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang

lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12

bulan adalah :

Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap

suntikan secara adekuat.

Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila

disuntikkan di daerah gluteal

Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat

suntikan yang menahun.

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN

Subkutan

Perhatian

Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR,

varisela, meningitis

Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarumBayi (lahir s/d12 bulan)

Paha anterolateral

Jarum 5/8’’-3/4Spuit no 23-25

Arah jarum 45o

Terhadap kulit1-3 tahun paha

anterolateral/Lateral

Jarum 5/8’’-3/4Spuit no 23-25

Cubit tebal untuk suntikan subkutan

lengan atasAnak > 3 tahun Lateral

lengan atasJarum 5/8’’-3/4Spuit no 23-25

Aspirasi spuit sebelum disuntikanUntuk suntikan multipel diberikan pada ekstremitas berbeda

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN

Intramuskular

Perhatian:

Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.

Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarumBayi (lahir s/d 12 bulan

Otot vastus lateralis pada paha daerah anterolateral

Jarum 7/8’’-1’’ Spuit n0 22-25

1. Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencpai otot

1-3 tahun Otot vastus lateralis pada paha daerah anterolateral sampai masa otot deltoid cukup besar (pada umumnya umur 3 tahun

Jarum 5/8’’-1 ¼’’ (5/8 untuk suntikan di deltoid umur 12-15 bulanSpuit no 22-25

2. Suntik dengan arah jarum 80-90o.

lakukan dengan cepat1. Tekan kulit sekitar tepat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukan

Anak > 3 tahun Otot deltoid, di bawah akromion

Jarum 1’’-1 ¼’’Spuit no 22-25

2. Aspirasi spuit sblm vaksin disuntikan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalam vena.Apabilaterdapat darah, buang dang ulangi dengan suntik yang baru.3. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian sekstremitas berbeda

Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan

memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang

berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi

tersebut di bawah ini :

Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat

( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).

Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya

neomisin ).

Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau

kemoterapi.

Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun

( leukimia, kanker, HIV/AIDS ).

Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan

imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).

Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup

( vaksin campak, poliomielitis, rubela ).

Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.

Menderita penyakit susunan syaraf pusat

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti

kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter

atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-

data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang

membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan

senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.

Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :

o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang

o Tanggal melakukan vaksinasi

o Efek samping bila ada

o Tanggal vaksinasi berikutnya

o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1

Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si

penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan

pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut

kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization

(AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin

meningkatnya teknik pemberian vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat

diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja

terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban

untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi

orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan

mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.

Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang

berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek

samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program,

reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum,

reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi

suntikan, dan reaksi vaksin.

Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan

teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi

dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin

membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi

vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.

Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin,

tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan

kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan

akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan

karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan

melakukan teknik penyuntikan secara benar.

Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi

terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi

efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul

umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot).

Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya

reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang

terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya

hanya 1/1000.000 dosis.

Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek

samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas

gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat

ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka dapat

dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik saja.

Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin

dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian

vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan

Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang

berkedudukan di setiap provinsi.

VAKSINASI YANG DIANJURKAN1

Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada

masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi

bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem

kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam

pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi

nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi

nasional)

Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010- Tuberculosis- Hepatitis B- DPT (Difteri, tetanus,

- MMR (campak, gondong, rubella)

- Haemophilus influenza tipe B

pertusis)- Poliomielitis- Campak

- Demam tifoid- Varisela- Hepatitis A- Influenza- Pneumokokus- Rotavirus- Yellow fever- Japannesse encephalitis- Meningokokus

Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – I katan Dokter Anak

Indonesia, 2010)1

1. Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4

Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak

berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi

masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang

memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah

infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier).

Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek

(perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang

bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG

sangat bermanfaat bagi anak.

Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.

Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada

umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun

yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).

Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak

0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan.

WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid

kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal

di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang

tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat

(dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan

sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien

imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau

pada infeksi HIV).

KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul

dalam waktu 1 – 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan

menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk

sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan

kering.

2. Vaksinasi Hepatitis B1,3

Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi

bayi dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai

jenis pilihan vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi

dan dosis serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel

2.

Nama Dagang

Produsen Cara Pemberian

Dosis Interval Pemberian

Engerix B GSK IM AnakDewasa

10 mcg20 mcg

Bulan ke-0,1,6

Euvax Sanofi pasteur

IM AnakDewasa

10 mcg20 mcg

Bulan ke-0,1,6

HB VAX II

MSD IM AnakDewasa

10 mcg20 mcg

Bulan ke-0,1,6

Hepavax Gene

Kalbuitech IM AnakDewasa

10 mcg20 mcg

Bulan ke-0,1,6

Hepatitis B

Bio Farma IM Anak 10 mcg20 mcg

Bulan ke-0,1,6

Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian

Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)

Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam

(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak

pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir

diberikan dengan jadwal berikut :

1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam

2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan

3. Dosis ketiga : umur 6 bulan

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi

hepatitis B, maka secepatnya diberikan.

Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga

hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam

12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu

singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6

bulan).

Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan

bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2

hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin

Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.

3. Vaksinasi DTP1,3

Vaksinasi Difteri

Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat

pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan

dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada

beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi

yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan

untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun

diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau

vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis

vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi

terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun

untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.

Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,

melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan

selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1

tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun

setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).

Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah

suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar

hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10

tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).

Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau

minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan

untuk memberikan booster setiap 10 tahun.

Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan

menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis

pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan

dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.

KIPI dan Kontra Indikasi

Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi

lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam

yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).

Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang

pada pemberian vaksin yang pertama.

Vaksinasi Pertusis

Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari

ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,

sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis

diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi

berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan

sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan

pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua

diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).

Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan

merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis

yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin

dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau

lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata

efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah

(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat

mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan

tingkat keparahan pertusis.

KIPI

Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri

pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang

demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa

jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi

ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).

Kontra indikasi

Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan

ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu

mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai

riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik-

hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan

riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

Vaksinasi Tetanus

Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.

DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan,

6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).

Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami

demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan

pertumbuhan.

KIPI

KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa

nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,

Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk

suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular

atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2

Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3

bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak

kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun

setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat

usia prasekolah (5-6 tahun).2

Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan

booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10

tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah

10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3

kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan

perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2

Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka

sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang

lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.

Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,

penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya

bisa dikendalikan.2

Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara

intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.

4. Vaksinasi Polio1,3

Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan

IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut,

sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan

suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio

oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi

dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi

nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status

imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun

(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang

pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan

jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan

jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh

terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat

pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.

Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan

dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua

calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes

OPV.

KIPI

Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian

vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan

gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan

diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam

pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita

HIV, dan alergi pada vaksin polio.

OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV

berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan

melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk

bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.

5. Imunisasi Campak1,3

Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.

Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan

campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin

diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2

jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan

dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak

yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang

dicampur dengan garam aluminium).

Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1

a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti

bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan

insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi

ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya

tetapi hal ini bukan kontra indikasi

b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak

SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang

c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin

d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya

Kontraindikasi :

Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh

pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang

memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah,

alergi terhadap protein telur.

KIPI

- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam

dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung

selama 2 hari

- Kejang demam

- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan

berlangsung selama 2-4 hari

- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya

diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

6. Vaksinasi MMR1,3

Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi

Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak)

dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang

membahayakan bagi kesehatan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit

campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada

usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular

atau subkutan dalam.

Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :

Galur virus yang dilemahkan

Campak Gondongan RubellaEdmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3

Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia

Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang

dibentuk melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi

yang diperoleh setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak

dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang

sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak

dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi

darah.

KIPI

Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi

1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.

7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3

Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul

Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).

Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua

vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia

2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan.

Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-

OMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5

tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara

intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan

mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis

PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.

Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2

kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali

suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini

diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua

atau ketiga.

Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh

vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat

suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila

seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat

alergi yang mengancam jiwa.

8. Vaksinasi Pneumokokus 1,3

Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang

disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah

vaksin pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin

jenis ini kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun

karena fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan

kekebalan dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin

pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini

dapat diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka

belum matur. Vaksin ini mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak

mengakibat kematian pada anak usia < 5 tahun.

Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di

daerah deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan

sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan

hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus

pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih

dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis

minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap

sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang

waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir.

Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan

mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung

kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan

menurun, mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi

ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua,

namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.

Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat

diberikan, yaitu:

Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.

Kontraindikasi relatif:

- Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih

kurang baik

- Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.

9. Vaksinasi Influenza1,3

Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza

virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.

Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak

berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah

berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.

KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak,

nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala

tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.

10. Vaksinasi Tifoid1,3

Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10

a. Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan.

Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin

oral diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul

dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap

5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.

Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak

boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang

dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang

kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh

kepada orang yang alergi gelatin.

KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah,

diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih

tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin

tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama.

Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.

b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella

typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml

mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan

larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,

monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC

dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih.

Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular

atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk

dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.

Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan

sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.

KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri

otot tempat suntikan.

11. Imunisasi Hepatitis A1,3

Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat

memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20

tahun. Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan

tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan

dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua

diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak

diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung

diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90%

dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia,

disuntik secara intramuskular di deltoid.

Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal (bulan ke-)

Havrix (Glaxo SmithKline)

2 - 18 th 720 ELISA units

0,5 Dua dosis : 0 dan 6-12

> 18 th ELISA units 1 Dua dosis : 0 dan 6-12

Vaqta (Merck) 2 - 18 th 25 U 0,5 Dua dosis : 0 dan 6-18

> 18 th 50 U 1 Dua dosis : 0 dan 6-12

Twinrix (GlaxoSmithKline)

> 17 tahun 720 ELISA units

1 Tiga dosis : 0, 1, dan 6

Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin (Craig &

William S 2004)

KIPI

Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal

tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping

akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di

tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek

samping berat sesudah pemberian dosis pertama.

12. Vaksinasi Varisela1,3

Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal

dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang

diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin

ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika

mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.

Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia),

vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis.

Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah

varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization

Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP)

merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih

timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah

dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia

12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara

subkutan.11

KIPI

Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%)

yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam

sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak

kemerahan dan lenting ringan.

Kontra indikasi

Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,

gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah

diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan

alergi neomisin.

13. Vaksinasi Rotavirus1,3

Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare

rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan

usus), maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin

rotavirus, yaitu ;

- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung

strain manusia P(8)G1.

- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-

sapi P(8)G1-G4.

Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman

dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan

bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan

adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%

Nama Vaksin RotavirusSasaran imunisasi Bayi sedini usia 4 mingguMacam vaksin Rotarix, RotategDosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosisJadwal Pemberian Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg :

usia (4,8,12) mingguCara Pemberian OralEfektivitas Belum diketahui secara pastiKontraindikasi - Sebaiknya tidak diberikan bersama-sama

dengan vaksin polio oral- Adanya infeksi bakteri patogen di Usus

KIPI Diare, muntah, demam

Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus

14. Vaksin Japanesse Encephalitis1

Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian

vaksin JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan

pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis

yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis

penguat dapat diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di

daerah rawan terinfeksi virus JE.

KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat

penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia

pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan

penggunaan vaksin masih belum diatur.

Nama Vaksin Vaksin Japannesse encephalitisIndikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau

yang akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan penyakit JE

Dosis dan jadwal

1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak berumur sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang sama

Efektivitas 90%KIPI Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam,

sakit kepala, menggigil, mual dan muntahKontraindikasi Alergi

Tabel 6 . Vaksinasi Japannesse encephalitis

15. Vaksinasi Meningitis1

Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin

meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini

hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C).

Namun, vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat

melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan

W-135.

Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal

polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 (

Meningococcaal conjugated vaccine A,C, Y, W-135).

Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak

perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria

meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta

turis yang hendak masuk ke daerah endemik.

Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)

Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak

usia 2-10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan

bagi anak usia kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang

lebih dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin jenis MCV4, namun jika tidak

tersedia vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4) juga dapat digunakan.

Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di

bawah kulit). Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%-100% dan akan

bertahan selama 3-5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3

tahun, sehingga diperlukan imunisasi ulangan setiap 3-5 tahun.

KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri

dan kemerahan pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi

jarang terjadi (kurang dari 0,1/100.000).

Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)

MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat

lebh baik daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan

yang lebih lama. Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama

pada usia 11-12 tahun. Pertimbangan pemberian vaksin untuk anak usia di atas

11 tahun adalah karena respon kekebalan yang terbentuk terhadap vaksin ini

tidak optimal, sehingga daya perlindungan yang didapatkan tidak maksimal.

Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan

boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang

berbeda.

Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin dan

dapat bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian

ulangan, tetapi untuk yang menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan

tubuh yang terbentuk akan lebih cepat menurun dalam 3 tahun pertama.

Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan secara terus menerus.

Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada

usia kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4

tahun, maka ulangan diberikan setelah satu tahun.

KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan

dengan vaksin jenis MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa

rasa sakit dan tibul kemerahan pada tempat suntikan yang akan hilang dalam 1-

2 hari. Efek lain yang dapat timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar,

tetapi angka kejadiannya sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). Guillain-

Barre Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping yang

ditakutkan, namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh

diberikan pada seseorang dengan riwayat alergi dengan bahan vaksin, alergi

latex, dan pada orang dengan infeksi akut, serta pada wanita hamil.

16. Vaksin Yellow Fever1

Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan

Amerika Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah

10 hari setelah mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh

International Certificate of Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin

demam kuning berupa virus hidup yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin

disuntikkan di bawah kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan

sangat efektif dalam memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Vaksin

tidak direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan orang

yang sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh.,

KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan.

Sekitar 2%-5% penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang

terjadi 5-10 hari setelah mendapatkan vaksinasi.

17. Vaksinasi HPV

Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru

untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin,

satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18

telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi

persisten.

Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan

atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan

ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan

bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya

untuk 5 tahun.

Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun

panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan

vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap

infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum

individu terpapar infeksi HPV.

Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada

lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam

DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010

2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi

di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005

3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.

Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.

4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.

Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK

Respiratologi PP IDAI; 2007.

5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis

MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.

6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization.

Page 235-258.

7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak

Indonesia, 2008 Available from :

http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008-

idai/