bahan case sle pada anak

56
REFERAT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS PEMBIMBING: Dr. Riza Mansyoer, SpA Disusun Oleh: Isti Ansharina Kathin 030.05.122 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Koja Periode 7 Desember 2009 – 13 Februari 2010 1

Upload: luki-ertandri

Post on 24-Oct-2015

37 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

oke

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan Case SLE Pada Anak

REFERAT

SYSTEMIC LUPUS

ERYTHEMATOSUS

PEMBIMBING:

Dr. Riza Mansyoer, SpA

Disusun Oleh:

Isti Ansharina Kathin

030.05.122

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Koja

Periode 7 Desember 2009 – 13 Februari 2010

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

1

Page 2: Bahan Case SLE Pada Anak

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. karena atas berkah dan kasih

sayang-Nya maka tugas pembuatan referat yang berjudul Systemic Lupus Erythematosus

ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas wajib yang harus dikerjakan

dalam rangka kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak, periode 7 Desember

2009 – 13 Februari 2010.

Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.

Riza Mansyoer, SpA atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan dalam

membimbing dan mengarahkan saya sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini.

Terima kasih pula saya sampaikan kepada Dr. Bambang H. Sigit, SpA; Dr. Dewi Iriani

SpA; dan Dr. Yahya G. Lubis, SpA atas bimbingan yang telah diberikan selama

kepaniteraan klinik ini berlangsung.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-rekan

kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Koja periode 7 Desember 2009 – 13

Februari 2010 atas kebersamaan yang indah dan kerjasama yang terjalin selama ini.

Tidak lupa juga kepada kedua orangtua dan keluarga atas dukungan moril dan materil

yang telah diberikan terus menerus.

Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena

itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan referat ini.

Besar harapan saya, agar kiranya penyajian referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun

yang membacanya.

Jakarta, Januari 2012

Penulis

2

Page 3: Bahan Case SLE Pada Anak

DAFTAR ISI

1. Kata Pengantar .................................................................................................... i

2. Daftar Isi ............................................................................................................. ii

3. BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1

4. BAB II : PEMBAHASAN

A. Definisi .................................................................................................... 3

B. Etiologi .................................................................................................... 3

C. Epidemiologi ........................................................................................... 5

D. Patogenesis .............................................................................................. 5

E. Manifestasi Klinis ................................................................................... 9

F. Bentuk-Bentuk Lupus

F. 1. Nefritis Lupus ................................................................................ 13

F. 2. Lupus Diskoid ............................................................................... 19

F. 3. Sistem Saraf Pusat ......................................................................... 19

F. 4. Arthritis Lupus .............................................................................. 20

F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis) ......................................... 20

F. 6. Fenomena Raynaud ....................................................................... 21

F. 7. Gangguan Darah ............................................................................ 21

G. Lupus Neonatus ...................................................................................... 21

H. Penatalaksanaan ...................................................................................... 22

H. 1. Kortikosteroid ............................................................................... 23

H. 2. Hidroklorokuin .............................................................................. 25

H. 3. Asam Asetilsalisilat dan Obat-Obat AINS .................................... 25

H. 4. Obat-Obatan Imunosupresif ........................................................... 25

H. 5. Plasmapharesis ............................................................................... 26

H. 6. Splenektomi ................................................................................... 26

H. 7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca .............................. 26

I. Memonitor Perajalanan Penyakit .............................................................. 26

3

Page 4: Bahan Case SLE Pada Anak

I. 1. Proteksi Terhadap Matahari ............................................................ 27

I. 2. Imunisasi ......................................................................................... 27

I. 3. Diet dan Olahraga ........................................................................... 28

J. Prognosis ................................................................................................... 28

5. BAB III : KESIMPULAN ................................................................................... 30

6. Daftar Pustaka ...................................................................................................... 31

4

Page 5: Bahan Case SLE Pada Anak

BAB I

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit multiorgan yang

berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal,

otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi

oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai

dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti

sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ

yang terkena selama beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa

organ lain.1

SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat

menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ

penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada

keterlibatan beberapa organ.2

Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat

muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan

kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan

beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung maupun menyingkirkan

diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk

meminimalkan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya

lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2

Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya tidak dapat

diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia membutuhkan dukungan

keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam menjalani kehidupan dengan

penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur mengatakan bahwa SLE tidak ada

obatnya, namun hasil pengobatan jangka panjang pada anak dengan SLE dapat memberi

hasil yang baik apabila ditangani oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-

masing.2

Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada beberapa

pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan SLE.

5

Page 6: Bahan Case SLE Pada Anak

Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang menunjang,

imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak

dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien dengan mempertimbangkan

keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang berkembang. Pasien harus

diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek sampingnya,

serta hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan

kepada pasien dan keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan

kemampuannya dalam mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta

kemampuan dalam mengambil keputusan.3

6

Page 7: Bahan Case SLE Pada Anak

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang

berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah ’lupus eritematosus sistemik’ dapat

diartikan secara bahasa sebagai ’gigitan serigala’, mungkin istilah ini muncul dari

adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan

penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat

didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun

ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan

jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan

penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena

beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan

diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The

Great Imitators). 2,4,5

B. ETIOLOGI

Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara

genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit

autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau

beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan

munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a

muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-

amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan

SLE. Keluarga maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap

penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal:

imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia,

RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.4

Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan

pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun,

7

Page 8: Bahan Case SLE Pada Anak

hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini

belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan tetapi belum merupakan

suatu hipotesis yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE merupakan

multifaktor.1

Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7

1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:

- SLE ditemukan pada 70% kembar identik

- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat

- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat

2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:

- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan

pasca pubertas

- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita

SLE. Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan

membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE

bertambah jelek.

3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE

adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-

obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari

90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut:

hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide

(digunakan untuk irama jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk

epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-

penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini

diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE

yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan

biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan

4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena

ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel

miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih

tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.

8

Page 9: Bahan Case SLE Pada Anak

C. EPIDEMIOLOGI

Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang

pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.

SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17%

orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5%

diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun,

sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE

dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria

maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3

kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini

tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan

perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal

etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika,

Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,3,4

D. PATOGENESIS 1,8

SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang,

yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis

lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang

ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen

jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu

terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti

DNA single stranded (ss-DNA).

Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang

bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen

membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan.

Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang

menimbulkan lesi di tempat tersebut.

Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-

50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan

9

Page 10: Bahan Case SLE Pada Anak

kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit

genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2)

dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).

Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan

interaktif.

Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan

peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang

memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel

B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi

sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas

tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik

selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus

atau bakteri.

Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen

dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi

disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-

antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan

antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan

antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka

akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur

determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja

salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan

pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen

dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang

kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh

kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara

autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi

yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan

kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh

kompleks imun.

10

Page 11: Bahan Case SLE Pada Anak

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi

terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling

sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi

terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer

anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat

sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah

destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc

imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia

autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat

berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi

terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan

trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai

pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai

sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan

pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu

penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat

ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada

adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal,

tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks

imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk

aktivasi komplemen.

Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,

beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan

afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA

dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade

komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan

makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam

11

Page 12: Bahan Case SLE Pada Anak

deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi

yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau

kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh

penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi

ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal

glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus,

tanpa intervensi kompleks imun.

Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+

yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat

perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung

untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.

Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi

pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan

apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi

peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis

akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel

apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada

CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.

Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun

mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.

Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti

anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa

menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang

menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk

mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen

merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar

hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin

yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16

alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan

trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan

12

Page 13: Bahan Case SLE Pada Anak

menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi

prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi

genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan

juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular

mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.

E. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam,

fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak

tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak

biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan

bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan

lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam

malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya

sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat

memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit

dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak

mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam

malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus

pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh,

bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi

pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki. 2,4,7

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

13

Page 14: Bahan Case SLE Pada Anak

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat 

menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada

lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna

merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal,

tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien

dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE. 7

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia.

Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis

sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula

ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak

spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis

dari SLE daripada demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang

ditemukan. Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya

dihubungkan dengan krioglobulin. 2,4

Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit

lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis

dengan ’suspect infeksi virus’ sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan,

walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan

kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu

pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan

adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau

vaskulitis sistemik). 2

14

Page 15: Bahan Case SLE Pada Anak

Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5

Keadaan umum

Mudah lelahDemam dan malaisePenurunan berat badanLimfadenopati

Kulit

Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitasAlopesiaLesi diskoidLesi pada kukuLupus tumidusLupus kutaneus subakutPurpura vaskulitis

Muskuloskeletal

Arthritis / arthralgia non-erosifTenosinovitisMiopatiNekrosis avaskular

Sistem Pencernaan

Ulserasi oral dan nasalAnoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difusDismotilitas esofagusKolitisHepato-splenomegaliPankreatitisProtein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

Kardiovaskuler

Fenomena RaynaudPerikarditisLesi valvularLesi vaskulitikTrombophlebitisKelainan konduksi jantungMiokarditisEndokarditis Libman-SacksAccelerated coronary artery diseaseGangren perifer

Sistem Pernapasan

Pleuritis, efusi pleuraSubklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasisPerdarahanParu menyusut (disfungsi diafragma)Pneumotoraks

Sistem Persarafan

MigrainDepresi / cemasPsikosis organikKejangNeuropati saraf pusat dan saraf tepiKhoreaKelainan serebrovaskular

15

Page 16: Bahan Case SLE Pada Anak

Sistem PenglihatanRetinopati, cotton wool spotsPapiloedema

GinjalGlomerulonefritisHipertensiGagal ginjal

HematologiAnemia hemolitik dengan Coomb’s positifTrombositopeniaSindrom antifosfolipid

Endokrin Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat.

Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan

diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk

klasifikasi SLE.

Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk

Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2

Ruam malar (butterfly rash)

Ruam diskoid-lupus

Fotosensitif

Ulkus pada oral atau nasal

Arthritis non-erosif

Nefritis

Proteinuria >0,5 g/hari

Silinder selular

Ensefalopati

Kejang

Psikosis

Pleuritis atau perikarditis

Kelainan hematologi

Anemia hemolitik

Leukopenia

Limfopenia

16

Page 17: Bahan Case SLE Pada Anak

Trombositopenia

Pemeriksaan imunoserologis positif

Antibodi terhadap dsDNA

Antibodi terhadap Smith nuclear antigen

Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:

Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin

Lupus antikoagulan

Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan

Tes antinuklear antibodi (ANA) positif

Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit,

diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%.

F. BENTUK-BENTUK LUPUS

F. 1. Nefritis Lupus

Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada

suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan

pemeriksaan biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan

ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun pada pemeriksaan

urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL). 5,8

Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi

anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu

glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis,

atau hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat

yaitu sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang

progresif, atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1

Diagnosis 1

Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE

pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi

pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.

17

Page 18: Bahan Case SLE Pada Anak

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan

laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+),

peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50),

peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA double-

stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria,

proteinuria, dan macam-macam silinder, antara lain: torak, sel darah merah, dan sel

darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan

dapat mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m2.

Pemeriksaan darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau

leukopenia, dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu

diperiksa uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL dengan

anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik dan umumnya progresif.

Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan serologi

terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang

perlu dilakukan pada pasien nefritis lupus ataupun lupus eritematosus sistemik pada

umumnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE1

1. Urinalisis

2. Darah tepi, termasuk LED

3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu

4. Pemeriksaan fungsi ginjal

- darah ureum dan kreatinin

- klirens ureumdan kreatinin

5. Kimia darah

- albumin, globulin, kolesterol

6. Pemeriksaan khusus

- sel LE

- komplemen darah (C3, C4, CH50)

- C-reaktif protein (CRP)

- Antibodi anti ds-DNA

- Uji coombs

18

Page 19: Bahan Case SLE Pada Anak

- Uji serologi sifilis

- Serum imunoglobulin, terutama IgG

- krioglobulin

7. Biopsi ginjal

Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti

fosfolipid).

Gambaran Patologi Anatomi (PA)1

Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.

Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1

Tipe I Normal

a. Normal pada semua pemeriksaan

b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan

deposit pada pemeriksaan mikroskop imun

Tipe II Glomerulonefritis mesangial

a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan

b. Hiperselular sedang

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental

a. Dengan lesi nekrosis aktif

b. Dengan lesi sklerosis aktif

c. Dengan lesi sklerosis

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus

a. Tanpa lesi segmental

b. Dengan lesi nekrosis aktif

c. Dengan lesi sklerosis aktif

d. Dengan lesi sklerosis

Tipe V Glomerulonefritis membranosa

a. Murni

b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)

19

Page 20: Bahan Case SLE Pada Anak

Tipe VI Glomerulonefritis sklerosis kronik

Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada

pasien SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi,

peningkatan kadar ureum/kreatinin darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan

untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan klasifikasi pasien NL, 3.

Menetapkan jenis pengobatan, 4. Menetapkan prognosis, 5. Menilai keberhasilan

pengobatan (dengan biopsi ulang).

Tipe I Glomerulus normal

Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel

mesangial pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan

pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq,

kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop elektron dapat ditemukan

deposit elektron dense di mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6% NL.

Tipe II Glomerulonefritis mesangeal

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel

mesangial yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan

elektron kelainan yang ditemukan sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada 20%

NL.

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial dan

endotel yang bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat (fokal)

dapat terlihat nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal.

Pada pemeriksaan dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan deposit granular

IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgM dan IgA di daerah mesangial dan beberapa

dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit electron dense

20

Page 21: Bahan Case SLE Pada Anak

pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III

ditemukan pada 23% NL.

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial

dan endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel

epitel glomerulus dan pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih

dari 50%. Juga dapat terlihat nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di

glomerulus. Membran basal glomerulus menebal dan menunjukkan gambaran lesi

wire loop eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang besar dan

difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler

glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan terlihat gambaran

deposit granular di mesangium dan sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3,

C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.

Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan

mikroskop elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah

subendotel, kadang juga subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.

Tipe V Glomerulonefritis membranosa

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati

membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan

membran basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada

pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq,

disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron,

ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-

kadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.

Tipe VI Glomerulosklerosis

Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang

bersifat ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks

21

Page 22: Bahan Case SLE Pada Anak

mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis

interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.

Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya

antara lain sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi

glomerulus dari tipe yang ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari

bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV bila tidak diobati, sedangkan dengan

terapi tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II mesangial atau tipe V

membranosa yang lebih ringan.

Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena

dapat dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan

membedakan NL dengan granulopati idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit

granuler pada pertemuan daerah dermis dan epidermis. Deposit tersebut dengan

teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA. Ada

laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran

deposit di kulit, tetapi ini belu dapat dikonfirmasi peneliti lain.

Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis1

Pada umumnya, terdapat kerelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis.

Pasien dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II)

menunjukkan presentasi klinis yang ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan

fungsi ginjal yang normal. Gambaran PA proliferatif difus (tipe IV) biasanya

menunjukkan gambaran PA glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik dengan

hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai

gagal ginjal progresif (glomerulonefritis progresif cepat). Pasien dengan gambaran

PA tipe V GN membranosa menunjukkan gambaran klinis sindrom nefrotik yang

bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal yang perlahan-lahan

(progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan stadium lanjut NL yang

diakhiri dengan gagal ginjal terminal.

F. 2. Lupus Diskoid

22

Page 23: Bahan Case SLE Pada Anak

Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit

diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent

keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan

banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya

pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan

dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid

akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang

menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun

presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian

dari dokter yang merawat. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya

antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan

leukopeni ringan. Bukti klinis dan laboratoris lain yang menunjukkan adanya

penyakit sistemik penting untuk memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8

F. 3. Sistem Saraf Pusat

Gejala SSP muncul pada 20 – 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat

melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit

lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien

yang akan berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari

disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti

nyeri kepala dan kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 – 60%

pasien SLE dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih

besar daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus

SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif,

infeksi, dan metabolik. Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli

psikiatri.

Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan

dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi

kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan

dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari

SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini

23

Page 24: Bahan Case SLE Pada Anak

harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh

trombosis vena serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis

bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah

diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. 3,8

F. 4. Arthritis Lupus

Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri

tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul

poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih

mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak

seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan

pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan

radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan

pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian

dapat menjadi LES. 3

F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)

Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura

pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura

adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan

perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai perikarditis,

dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi

perikardial pada pemeriksaan fisik. 7,8

F. 6. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.

Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi

komplemen lokal.8

F. 7. Gangguan Darah

24

Page 25: Bahan Case SLE Pada Anak

Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan

retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm3 pada >  1 pemeriksaan, 3) Limfopenia <

1500/mm3 pada >  2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya

intervensi obat.8

G. LUPUS NEONATUS 6,9

Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu

dengan SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau

blokade jantung kongenital, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya

Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan oleh faktor-faktor maternal pada janin,

tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.

Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal

Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :

1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum

ibu.

2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi

jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup

(0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi

tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung

kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut

tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan

wanita.

Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti

SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya

saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester

ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi

jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat

menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer

antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau

plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh

25

Page 26: Bahan Case SLE Pada Anak

karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita

SLE dan ingin hamil.7

H. PENATALAKSANAAN

Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir

ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena

penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat

menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal

ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria

(hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid. 1

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ

yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari

pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter

laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.

Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps.

Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting

dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling

memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem

pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas

sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk

pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan

dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa

harus direncanakan sejak remaja.2,3

H. 1. Kortikosteroid

Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun

efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik

untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak,

bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya

26

Page 27: Bahan Case SLE Pada Anak

itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi

yang dijalaninya. 1,2

Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah

muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan

penyakit anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada

pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2

Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari

atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila

terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen

darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6

minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-

0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps,

pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila

timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1

Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah

peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan

dosis  tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa

mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak

SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang

lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa

dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan

defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada

10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang.8

Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid.

Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat

diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak

dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi

BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif

seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping

kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.

27

Page 28: Bahan Case SLE Pada Anak

Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2

Efek samping Rekomendasi

Peningkatan nafsu makan dan berat badan,

moon face

Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi bila

perlu

Acne Krim anti-acne topikal

Gangguan mood Diskusikan dengan anak dan angota keluarga yang lain

bahwa terkadang perubahan mood ini sulit untuk

dikontrol.

Pertumbuhan lebih lambat Beri pengertian tentang kearusan anak mengejar

ketinggalan dalam pertumbuhannya

Osteopenia Suplemen kalsium dan vitamin D

Avaskular nekrosis (AVN) Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan kepada

dokter ahli ortopedi

Mudah terkena infeksi Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak tidak

sedang menderita cacar

Tekanan darah meningkat Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu

Katarak Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.

Konsultasikan kepada dokter spesialis mata

Peningkatan resiko atherosklerosis Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid maupun

hidroklorokuin.

H. 2. Hidroklorokuin

Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus

derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada

beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan

resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma

dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang

Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi

dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2

H. 3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS

28

Page 29: Bahan Case SLE Pada Anak

Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai

profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi

antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.

Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada

muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi

kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis. 2

H. 4. Obat-obatan Imunosupresif

Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi

dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan

azatioprin.

Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:

- Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk

mengontrol penyakit

- Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya

hipertensi

- Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi

kortikosteroid dan sitostatik.

Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan

penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi

yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada

hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya

komplikasi sistitis hemoragik.

Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid

sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL

proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750

mg/m2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB).

Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2.

Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis

diturunkan 125 mg/m2.1

29

Page 30: Bahan Case SLE Pada Anak

H. 5. Plasmapharesis

Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada

manfaatnya terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan

siklofosfamid. Namun ini bukanlah terapi yang efektif.2

H. 6. Splenektomi

Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar

untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal

ini meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella

dan pneumokokus.2

H. 7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca

Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik

lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang

tinggi dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan

terakhir. 2

I. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT

Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan

kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan

laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan

laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4, anti

ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan urinalisis.

Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai

terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol.

Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya

adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the

European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus

Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG).

Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit.2

30

Page 31: Bahan Case SLE Pada Anak

I. 1. Proteksi Terhadap Matahari

Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama

UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala

sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama.

Jadi, untuk menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien

atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang

menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki

resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan

lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu

menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar

matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena awan tidak dapat

menghilangkan sinar UV. 2,4

I. 2. Imunisasi 2

Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada

anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun

tidak boleh yang mengandung vaksin hidup.

- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah

terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine)

sehingga harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid dimulai.

- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE

ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi

pada anak dengan SLE.

- Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza

memiliki respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari

anak yang normal.

- Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap

anak dengan SLE.

I. 3. Diet dan Olahraga 2,10

31

Page 32: Bahan Case SLE Pada Anak

Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet

khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat

penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau

makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan

berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga

diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi

tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan

kekambuhan.

J. PROGNOSIS 8

Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi

oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley,

bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru

yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis

yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa

faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi

spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti

misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin),

garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta kehamilan.

Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari

bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral.

Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah

pengobatan.

SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab

kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi

maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini

kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis

lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.

Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,

misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular

serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat

32

Page 33: Bahan Case SLE Pada Anak

pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit

lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival)

penderita lupus lebih panjang.

Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya

akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu

sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan

terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.

Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian

kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol,

dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.

Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti

melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88%

dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka

panjang dan menetap.

BAB III

KESIMPULAN

Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang dicirikan

oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu antibodi terhadap

double stranded DNA. SLE delapan kali lebih banyak pada wanita daripada pria.

Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus, sinar ultraviolet dan obat-

obatan, semuanya dapat berperan.

33

Page 34: Bahan Case SLE Pada Anak

Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi SLE.

Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE secara

langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun.

Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari paparan

cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba serta

memonitor kondisinya pada dokter.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic

Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health

18:2. Published by Elsevier Ltd.

34

Page 35: Bahan Case SLE Pada Anak

3. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood.

From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS.

4. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton & Lange.

5. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric Nephrology

3rd Edition. USA: Oxford University.

6. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada

Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi Feto

Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.

7. Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available on:

http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus. Accessed at:

January, 17th 2010.

8. Judarwanto, Widodo. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Available

on: http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at: January, 17th 2010.

9. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta:

EGC

10. Anonim. 2008. Lupus Eritematosus Sistemik. Available on:

http://www.klikdokter.com/sle. Accessed at: January, 17th 2010.

35