bab v analisis dan mitigasi - digilib.its.ac.id · bab v analisis dan mitigasi bab ini membahas...

25
BAB V ANALISIS DAN MITIGASI Bab ini membahas tentang dua hal yaitu mengenai analisa FMEA dan RCA, kemudian membahas tentang risk mitiigation. Risk mitigation berisi tentang rekomendasi kepada pihak perusahaan mengenai perbaikan sistem manajemen maupun fasilitas yang ada pada lantai produksi. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan identifikasi dan pengolahan data pada bab sebelumnya. 5.1 Analisis FMEA Berdasarkan identifikasi hazards yang telah dilakukan pada bab sebelumnya didapatkan bahwa bahaya pencemaran udara mempunyai nilai RPN yag tertinggi pertama sebesar 60, sedangkan tertinggi kedua dan ketiga adalah bahaya kebakaran dan uap panas release sebesar 48 dan 42. Pada tabel FMEA terdapat beberapa nilai RPN untuk bahaya pencemaran udara antara lain sebesar 10, 30, 50 dan 60. Perbedaan nilai tersebut dikarenakan adanya perbedaan untuk nilai occurrence. Besar kecilnya nilai occurrence tergantung pada frekuensi terjadinya failure mode, semakin sering failure tersebut terjadi maka semakin besar pula nilai occurrence-nya. Pencemaran udara dengan RPN sepuluh 10, didapatkan dari failure mode yaitu batang valve patah karena tertimpa benda berat dengan nilai occurrence sebesar 1. Sedangkan pencemaran udara dengan RPN 30, didapatkan dari failure mode yaitu suhu dan tekanan yang terlalu tinggi dengan nilai occurrence sebesar 3. Untuk pencemaran udara dengan nilai RPN 50 didapatkan dari failure mode pemutar valve pengatur udara dan pipa pemasukan air dingin terkorosi dengan nilai occurrence sebesar 5. Pemberian nilai ini dikarenakan peralatan atau mesin-mesin yang digunakan oleh Pabrik Gula Toelangan rata-rata umurnya sudah cukup lama ditambah dengan kondisi lingkungan yang lembab dan dingin

Upload: tranhanh

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB V ANALISIS DAN MITIGASI

Bab ini membahas tentang dua hal yaitu mengenai analisa FMEA dan RCA, kemudian membahas tentang risk mitiigation. Risk mitigation berisi tentang rekomendasi kepada pihak perusahaan mengenai perbaikan sistem manajemen maupun fasilitas yang ada pada lantai produksi. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan identifikasi dan pengolahan data pada bab sebelumnya. 5.1 Analisis FMEA Berdasarkan identifikasi hazards yang telah dilakukan pada bab sebelumnya didapatkan bahwa bahaya pencemaran udara mempunyai nilai RPN yag tertinggi pertama sebesar 60, sedangkan tertinggi kedua dan ketiga adalah bahaya kebakaran dan uap panas release sebesar 48 dan 42. Pada tabel FMEA terdapat beberapa nilai RPN untuk bahaya pencemaran udara antara lain sebesar 10, 30, 50 dan 60. Perbedaan nilai tersebut dikarenakan adanya perbedaan untuk nilai occurrence. Besar kecilnya nilai occurrence tergantung pada frekuensi terjadinya failure mode, semakin sering failure tersebut terjadi maka semakin besar pula nilai occurrence-nya. Pencemaran udara dengan RPN sepuluh 10, didapatkan dari failure mode yaitu batang valve patah karena tertimpa benda berat dengan nilai occurrence sebesar 1. Sedangkan pencemaran udara dengan RPN 30, didapatkan dari failure mode yaitu suhu dan tekanan yang terlalu tinggi dengan nilai occurrence sebesar 3. Untuk pencemaran udara dengan nilai RPN 50 didapatkan dari failure mode pemutar valve pengatur udara dan pipa pemasukan air dingin terkorosi dengan nilai occurrence sebesar 5. Pemberian nilai ini dikarenakan peralatan atau mesin-mesin yang digunakan oleh Pabrik Gula Toelangan rata-rata umurnya sudah cukup lama ditambah dengan kondisi lingkungan yang lembab dan dingin

sehingga mempercepat proses perkaratan pada mesin. Pencemaran udara dengan nilai RPN 60 berasal dari failure mode adanya lumpur sungai yang mengendap di dalam pipa pemasukan air dingin dan nilai occurrence sebesar 6. Pemberian nilai occurrence sebesar 6 oleh perusahaan dikarenakan kemungkinan terjadinya endapan lumpur tersebut termasuk kegagalan sedang. Karena air yang dibutuhkan untuk mendinginkan tobong belerang diambil langsung dari sungai sehingga lumpurnya secara tidak langsung ikut masuk bersama dengan air sungai. Bahaya yang mempunyai nilai RPN tertinggi kedua adalah kebakaran dengan nilai RPN antara lain 8, 24, 40 dan 48. Failure mode pada masing-masing nilai tersebut sama dengan failure mode pada bahaya pencemaran udara. Tetapi untuk pencemaran udara nilai severity of effect sebesar 10 sedangkan pada kebakaran sebesar 8. Sedangkan bahaya yang memiliki nilai RPN tertinggi ketiga adalah uap panas release mempunyai nilai antara lain 7, 21, 28, 35 dan 42. Failure mode dari nilai RPN 7 adalah batang valve patah karena tertimpa benda berat, kaca penglihat tertimpa benda berat, pipa pemasukan uap tertimpa benda berat, pipa pemasukan air dingin tertimpa benda berat, laci pembakaran belerang tertimpa benda berat. Semua failure mode tersebut mempunyai nilai occurrence sebesar 1. Untuk nilai RPN sebesar 21 memiliki failure mode yaitu suhu dan tekanan pada laci pembakaran belerang yang terlalu tinggi denagn nilai occurrence sebesar 3. Nilai RPN sebesar 28 memiliki failure mode yaitu valve pada kompresor rusak dan memiliki nilai occurrence sebesar 4. Untuk nilai RPN sebesar 35, failure mode yang terjadi antara lain pemutar valve pengatur udara terkorosi, pipa pemasukan uap terkorosi dan pipa pemasukan air dingin terkorosi. Semua failure mode tersebut memiliki nilai occurrence sebesar 5. Sedangkan yang paling tinggi adalah nilai RPN sebesar 42, dengan failure mode yaitu adanya lumpur sungai yang mengendap dalam pipa pemasukan air dingin dengan nilai occurrence sebesar 6.

Meskipun dampak yang terjadi pada tiap kegagalan fungsi tersebut sama, tetapi jika nilai ocurence pada failure mode berbeda maka akan mengakibatkan perbedaan nilai RPN. Semakin besar nilai occurrence dan severity maka semakin besar pula nilai RPN yang akan dihasilkan. 5.2 Analisis RCA Berdasarkan RCA yang dibuat pada bab sebelumnya, maka dapat dianalisis bahwa penyebab resiko terjadinya pencemaran udara adalah dikarenakan gas SO2 dan SO3 release. Sifat dari dua gas ini adalah beracun dan bisa menyebabkan kematian jika terhisap oleh makhluk hidup. Selain itu gas ini dapat meluas sejauh 1000 km di sekitar pusat pencemaran. Jika dua gas ini bereaksi dengan awan maka akan mengakibatkan terjadinya hujan asam. Penyebab release-nya gas SO2 dan SO3 antara lain laci pembakaran damage, kaca penglihat pecah, pipa gas SO2 bocor, sublimator bocor, ruang sulfitasi bocor dan ruang sulfitasi meledak. Pada proses pemurnian gula pada ruang sulfitasi, digunakan gas SO2 yang dihasilkan pada mesin tobong belerang. Jika ruang sulfitasi rusak atau pecah akan mengakibatkan gas tersebut keluar ke udara bebas. Hal ini yang memicu terjadinya pencemaran udara. Sedangkan penyebab terjadinya kebakaran adalah laci pembakaran damage. Belerang dibakar dengan suhu dan tekanan yang tidak terlalu tinggi karena sifat belerang yang mudah terbakar. Jika suhu dan tekanan yang diberikan terlalu tinggi maka laci pembakaran akan pecah dan secara tidak langsung api akan menyembur keluar. Jika tidak segera ditangani maka kebakaran akan benar-benar terjadi. Uap panas release terjadi disebabkan kaca penglihat pecah, laci pembakaran damage dan pipa pemasukan uap bocor. Uap panas tersebut tidak masuk dalam kategori disaster karena dampaknya hanya pada operator mesin saja. Semua resiko bencana tersebut jika dilihat pada RCA, mempunyai penyebab asal yang sama yaitu tidak adanya jadwal

maintenance yang tetap pada saat buka giling sehingga mengakibatkan inspeksi yang dilakukan terlambat. 5.3 Analisis Risk Evaluation Berdasarkan risk matrix didapatkan bahwa pencemaran udara termasuk dalam level extreme risk. Level ini didapatkan dari dampak pencemaran udara adalah kematian dengan meluasnya gas beracun dan mengakibatkan kerugian finansial yang besar, sedangkan kemungkinan timbulnya dampak tersebut adalah bisa saja terjadi pada suatu waktu. Dampak kebakaran adalah terjadinya luka bakar, kapabilitas produksi yang mengalami penurunan karena aset yang terbakar, dan kerugian finansial yang cukup besar. Sedangkan kemungkinan terjadinya kebakaran termasuk dalam kategori bisa saja terjadi pada suatu waktu. Perpaduan dari kedua kategori tersebut menempatkan kebakaran dalam level high risk, disini kebijakan dari top manajemen sangat dibutuhkan. Sedangkan dampak dari uap panas release adalah diperlukan perawatan secara medis dan kerugian finansial yang tidak terlalu banyak. Dengan adanya pembagian tingkatan level untuk tiap resiko bencana tersebut, maka pihak perusahaan dapat mengantisipasi dan mempersiapkan segala sesuatu jika resiko bencana tersebut benar-benar terjadi. 5.4 Analisis CAR Checklist Dari hasil pengisian checklist mengenai sistem manajemen yang ada pada pabrik gula Toelangan maka didapatkan beberapa point jawaban yang termasuk dalam kategori empat (very capable) dan lima (fully capable). Beberapa point tersebut sebagian besar menyangkut masalah pendanaan perusahaan dan masalah keamanan perusahaan. Pendanaan perusahaan jika terjadi keadaan darurat sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah begitu juga dengan aset-aset pabrik gula Toelangan. Jika terjadi sesuatu pada

perusahaan maka pemerintah yang akan menanggungnya. Menurut pihak manajemen, perusahaan hanya berkewajiban untuk mengalokasikan dana berdasarkan peraturan-peraturan dari pemerintah. Sistem manajemen mengenai keamanan, menurut pihak perusahaan sudah sangat bagus, hal ini bisa dilihat dari jumlah pos keamanan dan jumlah personel keamanannya (satpam). Pos keamanan terletak di dalam dan di luar pabrik untuk memudahkan pengawasan. Selain itu satpam juga ikut mengawasi berjalannya proses produksi, untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu baik pada operator maupun pada proses produksi itu sendiri. Karena kapabilitas dari pendanaan dan keamanan sudah bagus maka tidak dibutuhkan rekomendasi untuk kedua sistem manajemen tersebut. Sedangkan untuk kategori 1 (not capale), 2 (marginally capable) dan 3 (generally capable) masih memerlukan rekomendasi agar lebih baik dan dapat mencapai kapabilitas total. Berdasarkan diagram lingkaran pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan bahwa secara keseluruhan sistem manajemen penanganan bencana PG Toelangan berada pada kategori 3 (generally capable) sehingga untuk kesiapan dalam penanggulangan bencana masih memerlukan suatu perbaikan. Tetapi dari diagram lingkaran tidak dapat diketahui kesiapan pihak manajemen termasuk pada siklus yang mana saja, apakah masuk mitigasi, preparedness, respon atau recovery. Dengan mengelompokkan jawaban dari CAR checklist berdasarkan siklus disaster management maka dapat diketahui kesiapan pihak perusahaan termasuk dalam siklus yang mana. Berikut ini adalah urutan kriteria terbanyak pada tiap siklus : Mitigasi, terdiri dari :

1. Peraturan dan wewenang 2. Identifikasi bahaya dan pembobotan resiko 3. Pengurangan bahaya

Besarnya skor untuk masing-masing kategori : Generally capable : 3

Very capable : 6 Fully capale : 3 Berdasarkan skor tersebut, untuk masalah mitigasi sudah bagus dan hanya memerlukan sedikit perbaikan. Preparedness, terdiri atas :

1. Perencanaan 2. Komunikasi dan peringatan 3. Training 4. Komunikasi krisis, pendidikan umum dan informasi

Besarnya skor untuk masing-masing kriteria : Marginally capable : 2 Generally capable : 16 Very capable : 6 Fully capale : 5 Berdasarkan skor tersebut untuk masalah preparedness, kesiapan manajemen untuk meghadapi bahaya masih kurang dan membutuhkan perbaikan Respon, terdiri atas :

1. Operasi dan prosedur 2. Logistik dan fasilitas

Besarnya skor untuk masing-masing kriteria : Generally capable : 7 Very capable : 4 Fully capale : 3 Berdasarkan skor tersebut untuk masalah respon, kesiapan manajemen untuk meghadapi bahaya masih kurang dan membutuhkan perbaikan Recovery, terdiri atas :

1. Kegiatan latihan, evaluasi dan perbaikan 2. Keuangan dan administrasi

Besarnya skor untuk masing-masing kriteria : Marginally capable : 3

Generally capable : 3 Very capable : 2 Fully capale : 4 Berdasarkan skor tersebut, untuk masalah respon sudah bagus dan hanya memerlukan sedikit perbaikan. Dari hasil pengelompokan dapat dilihat bahwa untuk kesiapan menghadapi bencana mengenai sistem manajemen masih kurang baik baik kesiapan pra maupun pasca kencana. 5.5 Risk Mitigation Risk mitigation berisi tentang rekomendasi-rekomendasi yang diberikan kepada pihak perusahaan baik dalam bentuk struktural maupun dalam bentuk non struktural. Berikut ini adalah penjelasan mengenai rekomendasi tersebut. 5.5.1 Mitigasi struktural Berdasarkan RCA maka didapatkan bahwa sebagian besar kegagalan fungsi terjadi karena mesin atau alat yang sudah terkorosi karena faktor usia mesin itu sendiri dan juag karena material yang digunakan. Selain itu juga karena kurangnya frekuensi inspeksi sehingga perawatan terlambat. Beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan perbaikan yang bersifat struktural antara lain :

1. Penggantian termometer dan manometer yang ada pada juice heater secara berkala untuk menghindari kerusakan kedua komponen tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kenaikan suhu dan tekanan secara signifikan sehingga tidak mengakibatkan kerusakan pada komponen yang lain.

2. Pemberian buku panduan mengenai cara membaca skala pada termometer dan manometer dan diletakkan dekat dengan letak termometer dan manometer untuk mempermudah pengontrolan terhadap suhu dan tekanan pada juice heater.

3. Pemberian penyaring pada pipa pemasukan air dingin sehingga lumpur dari sungai tidak ikut masuk ke dalam pipa yang bisa mengakibatkan pipa tersumbat dan tidak bisa mengalirkan air dingin ke dalam laci pembakaran.

4. Pemberian alat pendeteksi suhu dan tekanan pada laci pembakaran selain kaca penglihat yang bisa mendeteksi suhu dan tekanan di dalam laci pembakaran. Pendeteksi bisa berupa alarm atau juga visual display yang bisa menunjukkan besarnya suhu dan tekanan dalam beberapa warna. Karena selama ini belum ada alat pendeteksi secara khusus. Sedangkan peluit bahaya yang dimiliki oleh pabrik berbunyi setelah terjadinya kerusakan mesin dan sebagainya. Hal ini tentu saja sangat merugikan jika yang terjadi adalah kebakaran atau uap panas release karena peringatan yang diberikan terlambat.

Gambar 5.1 Alat Pendeteksi Suhu dan Tekanan

5. Pemberian alat pendeteksi tingkat atau kandungan gas SO2 dan SO3 dalam laci pembakaran. Karena selama ini jika kandungan gas tersebut berlebih akan keluar dari sambungan-sambungan pipa sehingga bisa membuat operator sesak nafas.

6. Penyediaan alat pemadam kebakaran dan petunjuk pemakaian di sekitar stasiun pemurnian untuk mengantisipasi bahaya kebakaran.

5.5.2 Mitigasi Non Struktural Mitigasi non struktural dibuat berdasarkan hasil pengisian CAR checlist. Rekomendasi diberikan hanya pada point-point dari CAR checlist yang masuk dalam kategori jawaban marginally capable dan generally capable. Beberapa point dari CAR checklist tersebut dibagi ke dalam ruang lingkup mitigasi non truktural yaitu mengenai kelembagaan, perencanaan, penyusunan pedoman dan prosedur, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengkajian, serta peningkatan kewaspadaan. Kelembagaan Beberapa rekomendasi yang berhubungan dengan kelembagaan antara lain :

1. Pembentukan administrasi khusus pada setiap departemen yang mengurusi masalah keuangan, sehingga jika terjadi bencana atau keadaan darurat perusahaan dapat dengan mudah mengalokasikan dana dari pemerintah.

2. Pembentukan departemen yang khusus menangani masalah K3 dan pengadaan evaluasi keselamatan kerja setiap satu tahun sekali. Yang masuk dalam departemen ini adalah petugas K3 dan ahli K3 kimia (Kepnaker No 187/Men/1999 tanggal 29 september 1999 pasal 16). Pabrik gula Toelangan merupakan perusahaan yang mempunyai potensi bahaya sedang, sehingga dalam hal K3 harus :

mempunyai petugas K3 satu orang non shift atau tiga orang dengan kerja shift.

membuat dokumen pengendalian potensi bahaya menengah.

melaporkan setiap perubahan bahan kimia. melakukan pemeriksaan faktor kimia satu

tahun sekali. melakukan pemeriksaan faktor kimia satu

tahun sekali.

melakukan pengujian instalasi sekurang-kurangnya tiga tahun sekali.

3. Pembentukan struktur organisasi dalam tiap departemen sehingga mempermudah pembagian tanggung jawab jika perusahaan dalam keadaan darurat.

Perencanaan Rekomendasi yang bisa diberikan dalam hubungannya dengan perencanaan antara lain :

1. Pembuatan perencanaan secara tertulis mengenai jadwal dilakukannya perawatan selama buka giling. Saat ini perusahaan tidak mempunyai jadwal maintenance yang pasti selama buka giling. Perbaikan dilakukan hanya pada saat mesin rusak seningga dapat menyebabkan proses produksi terhenti. Selain itu, mesin yang berbahan baku dari logam besi sering terlambat dicat sehingga mesin terkorosi. Hal ini tentu saja sangat berbahaya jika logam tersebut bereaksi dengan senyawa kimia yang lain yang kemungkinan terjadinya bencana semakin. Perencanaan maintenance tersebut meliputi jadwal inspeksi untuk tiap mesin, jumlah personel yang dibutuhkan untuk melakukan inspeksi pada tiap stasiun kerja, pembuatan lembar pengendalian yang menunjukkan kondisi tiap mesin dan lembar absensi personel yang yang bertugas melakukan inspeksi. Dengan demikian berhentinya mesin secara mendadak tidak akan terjadi serta karyawan tidak ada yang terlambat melakukan inspeksi.

2. Pihak manajemen hendaknya membuat perencanaan mengenai sukarelawan yang dibutuhkan jika terjadi keadaan darurat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kurangnya personel saat keadaan darurat benar-benar terjadi. Perencanaan tersebut berupa rekrutmen, dana yang dibutuhkan untuk rekrutmen serta uang balas jasa yang diberikan kepada sukarelawan.

3. Pihak manajemen membuat perencanaan mengenai alokasi dana untuk tiap departemen. Dana tersebut digunakan baik untuk keadaan darurat maupun tidak sehingga tiap departemen bertugas untuk mengatur keuangannya sendiri.

4. Pengidentifikasian hazards dan sumber daya yang dimiliki sebagai dasar untuk perencanaan tindakan preventif yang harus dilakukan.

5. Pembuatan perencanaan mengenai alur komunikasi dan informasi jika terjadi suatu bencana. Hal ini untuk memudahkan pihak perusahaan mengkoordinasi tiap departemen sehingga masing-masing departemen tersebut tahu apa yang harus dilakukan.

6. Pembuatan perencanaan pemulihan kondisi perusahaan dengan asumsi bencana sudah terjadi. Perencanaan tersebut meliputi pendataan kembali aset-aset perusahaan yang masih tersisa dan yang sudah rusak, pembangunan dilakukan sesuai dengan prioritas.

Penyusunan pedoman dan prosedur Pedoman dan prosedur dibuat untuk mempermudah perusahaan dalam mengatur kinerja dari karyawan serta untuk mengurangi resiko dari bencana yang akan terjadi. Beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan penyusunan pedoman dan prosedur tersebut antara lain :

1. Pembuatan prosedur untuk mengidentifikasi resiko bencana pada perusahaan. Identifikasi tersebut bisa menggunakan pendekatan berupa risk assessment atau metode yang lain disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Identifikasi tersebut dilakukan oleh staf departemen K3 dan kemudian dilakukan perankingan hazards sehingga bisa dilakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya

2. Pembuatan Material Safety Data Sheet (MSDS) yang berisi tentang informasi mengenai bahan kimia yang

digunakan dalam hal ini adalah belerang atau sulfur. Dengan adanya informasi tersebut maka diharapkan karyawan berhati-hati dalam menggunakan material tersebut karena sifatnya yang berbahaya. Sedangkan prosedur pembuatan MSDS harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Kepnaker No 187/Men/1999 tanggal 29 september 1999 pasal 4, MSDS minimal berisi tentang :

- identitas bahan dan perusahaan - komposisi bahan - identifikasi bahaya - tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan

(dalam hal ini adalah karyawan menghirup debu belerang dan keracunan gas SO2 dan SO3)

- tindakan mengatasi kebocoran gas dan tumpahan belerang

- penyimpanan dan penanganan bahan - penyediaan alat pelindung diri - sifat fisika dan kimia dari belerang - stabilitas dan rekatifitas bahan - informasi mengenai toksikologi - informasi ekologi - informasi limbah - pengangkutan bahan - informasi peraturan/RUU - informasi lain yang diperlukan

Pabrik gula Toelangan menggunakan belerang atau sulfur dalam proses produksinya. Belerang merupakan salah satu jenis dari material berbahaya, maka berikut ini adalah contoh dari MSDS untuk belerang :

MATERIAL SAFETY DATA SHEET SULFUR

Identifikasi produk : Belerang padat Perusahaan : Pabrik Gula Toelangan Sidoarjo Nomor Telepon Darurat : 031-8851002 Supplier : PT. XX Penyedia MSDS : Pabrik Gula Toelangan Sidoarjo Terakhir diedit : 28 Juni 2006 Penggunaan produk : bahan baku belerang padat digunakan dalam proses pembakaran belerang untuk membuat gas S02 yang digunakan dalam proses pemurnian nira

Bahan berbahaya

Prosentase berat

CAS Number

OELs

LD50/LC50 Species and Route

Sulfur Oral LD50 >8437 mg/kg

Perbafasan

1660 mg/m3/??/Hr

Nama dagang : Sulphur, flower of sulfur, brimstone Emegency overview : Sulfur padat relatif tidak berbahaya dan dampaknya relatif kecil terhadap lingkungan dan manusia. Tetapi jika belerang tersebut dibakar atau mengalami proses pembakaran akan menghasilkan gas beracun yaitu sulfur dioksida (SO2). Gas

BAGIAN 3. IDENTIFIKASI BAHAYA

BAGIAN 1. IDENTIFIKASI PRODUK DAN PERUSAHAAN

BAGIAN 2. KOMPOSISI BAHAN

ini sangat larut dalam air dan diperkirakan dapat tinggal di udara selama 2-4 hari dapat menyebar sampai jarak 1000 km. Pemakaian alat pelindung diri berupa pakaian pelindung dan masker sangat membantu operator yang berhubungan langsung dengan proses pembakaran belerang. Dampak terhadap kesehatan : Debu belerang atau sulfur bisa menyebabkan jika terkena mata, tingkat bahaya racunnya tidak tetap bisa menyebabkan iritasi pada mata, hidung, kerongkongan dan paru-paru. Jika belerang mengalami proses pembakaran, maka akan menimbulkan terbentuknya gas SO2 yang bersifat sangat beracun bagi tubuh,. Gas ini bisa menyebabkan penyakit pernafasan kronis, terutama bronchitis dan pembengkakan paru-paru. Dampak terhadap lingkungan : Terhadap tumbuhan dan hewan, tumbuhan akan terganggu pada konsentrasi 0.8 mg/m3 dengan pemaparan 8 jam. Tumbuhan lebih sensitif jika langit cerah, kelembaban relatif tinggi, kelembaban cukup dan suhu sedang. Sedangkan terhadap material, gas dari belerang ini akan menyebabkan korosi pada baja, besi, seng dan tembaga terutama kelembaban lebih dari 70 % disertai konsentrasi partikulat lebih dari 10%. Kontak dengan mata : basuh dengan air hangat termasuk di bawah kelopak mata selama kurang lebih 15 menit. Segera bawa ke poliklinik kesehatan perusahan tetapi jika rasa sakit tidak kunjung hilang segera bawa ke rumah sakit. Kontak dengan kulit : untuk sulfur kering , bersihkan baju yang sudah terkontaminasi dengan sbuh dan air hangat. Bawa ke rumah sakit jika iritasi bertambah parah.

BAGIAN 4. TINDAKAN P3K

Pernafasan : Pindahkan operator yang menghisap gas dan debu belerang dari sumber kebocoran atau tumpahan dan segera berikan udara segar Pencernaan : Jika tertelan, tidak ada penelitian secara spesifik yang menujukkan belerang berbahaya jika ditelan. Tetapi untuk berjaga-jaga segera hubungi dokter. Prosedur untuk membersihkan : kontrol sumber tumpahan atau kebocoran jika memungkinkan sehingga lebih aman. Isolasi area tumpahan atau kebocoran dan jangan perbolehkan personel selain yang berhak untuk masuk ke dalam area kebocoran atau tumpahan. Bersihkan tumpahan atau kebocoran dengan segera dan cari penyebab kebocoran Kembalikan material yang belum terkontaminasi ke dalam proses jika memungkinkan. Letakkan material yang sudah terkontaminasi ke dalam container terpisah. Personal Precaution : pakaian dan sarung tangan pelindung serta acid respirator sangat direkomendasikan bagi operator yang terkena debu dan gas sulfur. Kacamata pengaman juga dibutuhkan untuk melindungi mata ddari debu dan gas sulfur. Enviromental Precaution : Gas dan debu belerang dapat berakibat buruk bagi lingkungan dan dapat mengakibatkan pencemaran udara serta korosi bagi beberapa material. Selain itu jika bereaksi dengan air hujan akan mengakibatkan terjadinya hujan asam yang bisa berakubat fatal bagi kelangsungan hidup makhluk hidup Pakaian pelindung : sarung tangan dan pakaian yang menutupi semua anggota badan untuk menghindari kontak kulit dengan gas

BAGIAN 6. PENYEDIAAN ALAT PELINDUNG DIRI

BAGIAN 5. TINDAKAN MENGATASI KEBOCORAN DAN TUMPAHAN

atau debu belerang. Kacamata pelindung dan masker juga dibutuhkan untuk menghindarkan operator dari menghisap gas atau debu. Sepatu boot juga sebaiknya dipakai sehingga seluruh badan dapat terlindungi. Ventilasi : Gunakan ventilasi yang baik untuk mengatur konsentrasi dari das SO2. Graunded ventilation system diusahakan terpisah dengan exhaust ventilation system. Letakkan dust collector di luar ruangan jika memungkinkan. Berikan udara yang cukup untuk menggantikan udara yang sudah terhisap oleh exhaust system. RespiratoryProtection : Jika debu atau gas SO2 tidak dapat dikontrol sampai pada level tertentu maka gunakan penggunaan alat respirator yang sudah disetujui oleh NIOSH (kombinasi dari 42CFR84 Class N, R or P-95 particulate filter dan sebuah acid gas cartridge) Bentu dan warna : kuning baik yang cair maupun solid Bau : Seperti telur busuk Tekanan uap : 1 mmHg pada 183.8oC Titik didih : 444.9oC Titik leleh : 119oC Titik nyala : 405oC Density : 2.07 Density cair : 1.803 Stabilitas dan reaktivitas : sulfur bersifat stabil jika berada pada temperature dan tekanan di bawah normal. Ketidaksesuaian bahan : oksida, logam alkali, hydrogen, fluorin

BAGIAN 7. SIFAT FISIKA DAN KIMIA BELERANG

BAGIAN 8. STABILITAS DAN REAKTIVITAS

Dekomposisi produk yang berbahaya : belerang yang bereaksi dengan panas. Secara Umum : Sulfur murni padat sebenarnya tidak berbahaya. Sedangkan sulfur cair berbahaya jika berada pada temperatur lebih dari 122oC. Kombinasi dari panas dan sulfur padat atau sulfur kering bisa mengakibatkan terbentuknya gas SO2. Gas ini bisa mengakibatkan iritasi pada mata dan sesak nafas. Jika gas sudah mencapai level tinggi bisa mengakibatkan terjadinya pingsan atau bahkan kematian. Mata/Kulit : Kontak dengan sulfur kering bisa mengakibatkan iritasi sedangkan kontak sulfur cair bisa mengakibatkan kulit terasa panas dan terbakar. Inhalation : Debu sulfur bisa mengiritasi tenggorokan, penderita asma juga bisa meninggal jika sedikit saja menghirup gas SO2 ini. Pencernaan : Tertelan sulfur kering mengakibatkan iritasi pada mulut dan kerongkongan sakit. Sulfur insoluble pada air dengan suhu 20oC. Tidak ada efek atau dampak secara langsung dari tumpahan sulfur. Akan tetapi kontak dengan sulfur dalam waktu yang cukup lama sulfur akan teroksidasi tergantung pada keadaan lingkungan sekitar. Jika ternyata sulfur tidak bisa dikembalikan ke dalam proses, maka material tersebut harus dibuang dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan operaturan perundang-undangan.

BAGIAN 9. INFORMASI TOKSIKOLOGI

BAGIAN 10. INFORMASI EKOLOGI

BAGIAN 11. INFORMASI LIMBAH

Sulfur dipindahkan atau dialirkan ke dalam proses produksi dalam bentuk padat. Undang-undang nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah no 12 tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Keputusan Kepala Bapedal No 5 tahun 1995 tentang Simbol dan Label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Kepnaker No 187/Men/1999 tanggal 29 september 1999 pasal 4 tentang pembuatan MSDS bagi perusahaan yang menggunakan material berbahaya.

3. Pembuatan label pada setiap material berbahaya yang digunakan dalam proses produksi sehingga karyawan dapat lebih berhati-hati. Berdasarkan Kepnaker No 187/Men/1999 tanggal 29 september 1999 pasal 5, minimal label harus mempunyai :

nama produk identifikasi bahaya tanda bahaya dan artinya, contohnya adalah

untuk gas SO2 dan belerang yang memiliki sifat kimia beracun, mudah mengkorosi dan mudah terbakar maka simbol yang digunakan adalah sebagai berikut :

BAGIAN 12. PENGANGKUTAN BAHAN

BAGIAN 13. INFORMASI PERATURAN

Gambar 5.2 Tanda Bahaya

uraian resiko dan penanggulangannya tindakan pencegahan instruksi dalam hal terkena atau terpapar instruksi kebocoran instruksi penyimpanan referensi nama, alamat dan no telepon pabrik pembuat atau

distributor 4. Pembuatan prosedur yang mambantu pengaturan

sukarelawan saat terjadinya bencana. Prosedur ini berisi tentang penempatan sukarelawan pada titik-titik rawan terjadinya bencana dan tindakan yang harus dilakukan oleh sukarelawan pada saat terjadinya bencana kebakaran, uap panas release dan pencemaran udara.

5. Pembuatan prosedur penggunaan alat pemadam kebakaran (APAR) dan diletakkan dekat dengan alat pemadam kebakaran tersebut sehingga mempermudah karyawan dalam mengoperasikan alat tersebut. Berikut ini adalah contoh prosedur cara pemakaian alat pemadam

kebakaran berdasarkan standard NFPA (National Fire Protection Association) 10 : PULL (tarik pin segel sehingga segel dari

pemadam akan putus AIM

- arahkan ke sumber api - jangan diarahkan pada nyala api yang

sedang berkobar - pastikan tidak ada orang di depan kita

pada saat memadamkan api - jangan melawan arah angin

SQUEEZE (tekan pengatup)

SWEEP

- sapukan dari samping ke samping pada sumber api

- gunakan pemadam mulai jarak yang aman kemudian bergerak maju

- patikan api terlihat padam, dan area sekitar tidak timbul nyala lagi.

Agar karyawan mengetahui cara atau praktek

penggunaan alat pemadam kebakaran tersebut maka ada baiknya jika dikutsertakan pula gambar dari tiap langkah di atas :

(langkah 1) (langkah 3)

(langkah 4)

Gambar 5.3 Prosedur Penggunaan APAR

6. Pembuatan prosedur P3K untuk kebakaran, uap panas release dan pencemaran udara.

Tingkatan I, ciri-ciri luka bakar pada tingkat ini antara lain :

- luka tampak kemerahan dan bengkak - rasa nyeri - hanya mengenai kulit lapisan atas

Yang harus dilakukan pada saat operator menderita luka bakar pada tingkatan ini adalah :

- siram atau rendam luka bakar tersebut dalam air dingin

- tutup luka dengan kain steril atau kain bersih - berikan salep pendingin (kalu ada) - balut luka tetapi jangan terlalu erat - berikan banyak minum - jaga penderita agar jangan sampai kedinginan

- periksa kesadaran, nadi dan luasnya luka Tingkatan II, ciri-ciri dari luka bakar ini :

- timbul rasa nyeri - terbentuk gelembung (melepuh) Tindakan P3K yang harus dilakukan pada prinsipnya sama dengan penanganan luka bakar pada tingkat I, hanya saja gelembung tidak boleh dipecahkan.

Tingkatan III, ciri-ciri dari luka bakar ini antara lain : - terbentuk gelembung melepuh - luka tampak hitam keputih-putihan - bisa terjadi hitam seperti arang - sampai ke dalam kulit lapisan dalam Tindakan P3K pada tingkatan ini sama dengan tindakan medis pada luka bakar tingkatan II.

Sedangkan untuk korban keracunan akibat gas SO2 release maka tindakan P3K-nya antara lain :

Korban sadar : - tanyakan apa yang tejadi - jika mulut tidak ada tanda terbakar,

usahakan korban muntah/beri minum - jika ada tanda terbakar pada mulut maka

jangan diusahakan muntah, beri susu/air, kirim ke rumah sakit dan perhatikan pernafasannya

Korban tidak sadar : - jika bernafas, letakkan korban pada

posisi miring tertelungkup - jika tidak bernafas, lakukan pernafasan

buatan - kirim korban ke rumah sakit (bawa sisa

racun dan pembungkusnya) 7. Pembuatan prosedur pencarian dan penyelamatan korban

bencana sehingga pencarian korban lebih terstruktur. Dalam prosedur ini harus tercantum berapa anggota yang

dibutuhkan, metode apa yang digunakan untuk melakukan pencarian dan anggota ditempatkan pada titik pencarian mana saja.

Pendidikan dan pelatihan Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan untuk meningkatkan ketrampilan serta untuk melatih kesiapan karyawan dalam menghadapi bencana. Saat ini pelatihan di pabrik gula Toelangan juga sudah dilaksanakan tetapi hanya dua tahun sekali. Selain itu, menurut pihak manajemen pelatihan yang ada sekarang ini lebih cenderung mengenai leadership daripada mengenai kesiapan menghadapi bencana. Berikut ini adalah rekomendasi terhadap perbaikan metode pelatihan :

1. Pengadaan pelatihan mengenai kesiapan terhadap bencana sebanyak dua kali setahun dengan anggota pelatihan, isi pelatihan dan metode pelatihan yang berbeda-beda. Misalnya untuk setengah tahun pertama, pelatihan diikuti oleh staf departemen instalasi dengan penggunaan risk assessment untuk mengidentifikasi suatu resiko bencana. Sedangkan untuk setengah tahun kedua, pelatihan diikuti oleh staf departemen K3 dengan penggunaan readiness assessment untuk menilai bagaimana kesiapan pihak menejemen dalam menghadapi terjadinya suatu bencana. Hal tersebut dilakukan secara bergantian dengan isi pelatihan yang berbeda-beda sehingga semua staf departemen bisa siap-siaga jika sewaktu-waktu terjadi bencana.

2. Penyebarluasan selebaran yang berisi informasi bahaya pabrik gula kepada masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pabrik. Isi dari selebaran tersebut berupa informasi mengenai bahaya apa saja yang ada pada pabrik gula Toelangan, tindakan apa yang seharusnya dilakukan masyarakat jika suatu bencana benar-benar terjadi dan pentingnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana.

3. Pihak perusahaan sebaiknya mengikutsertakan simulasi dalam setiap pelatihan yang diadakan. Misalnya pada saat dilaksanakan pelatihan denagn topik penanggulangan kebakaran, maka harus ada simulasi bagaimana cara menggunakan alat pemadam kebakaran serta pertolongan pertama pada korban kebakaran. Dengan adanya simulasi ini diharapkan peserta pelatihan yaitu karyawan dari pabrik gula bisa mengerti dan memahami serta mempraktekkan secara langsung teori yang mereka dapatkan dari pelatihan.

4. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat yang berisi bantuan kepada masyarakat yang terkena imbas dari bencana yang ditimbulkan oleh paihak perusahaan. Bantuan tersebut dapat berupa materi, bahan makanan maupun perawatan medis.

5. Pengadaan pelatihan berkenaan dengan kecepatan karyawan jika peluit bahaya berbunyi berdasarkan prosedur yang sudah ada sehingga dampak dari bencana bisa diminimalisasi.

Penelitian dan pengkajian Rekomendasi dalam hal penelitian adalah pihak perusahaan hendaknya melakukan penelusuran tentang bencana-bencana yang pernah terjadi pada pabrik gula Toelangan. Dengan adanya data tersebut maka dapat dibuat rencana penagulangan bencana dan pengurangan resiko bencana. Selain itu dari data historis tersebut dapat diperkirakan berapa besar kerugian yang akan diderita oleh pihak perusahaan, sehingga bisa diperkirakan seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk mengganti kerugian secara materi. Perkiraan dana juga termasuk kerugian materi yang dialami masyarakat jika bencana tersebut juga melibatkan masyarakat di sekitar pabrik Peningkatan kewaspadaan

Peningkatan kewaspadaan bisa dilakukan dengan beberapa cara antara lain :

1. Penambahan personel pada pos keamanan yang rawan terjadinya bencana

2. Pembuatan checklist yang berisi deskripsi tugas dan absensi anggota keamanan

3. Penambahan peluit bahaya jika sewaktu-wakru salah satu peluit bahaya tidak berfungsi

4. Pemasangan early warning system (EWS) berupa alarm yang berbunyi secara otomatis jika terjadi sesuatu hal yang melebihi ambang batas. Misal untuk kebakaran, maka EWS akan berbunyi karena adanya kenaikan suhu yang signifikan hingga melebihi temperatur normal. Sedangkan untuk indikasi pencemaran udara, maka EWS akan berbunyi jika kandungan gas SO2 dalam udara sudah melebihi ambang batas.