bab iii metodologi penelitian 3.1 tipe...
TRANSCRIPT
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Tylor dalam
Moleong (2010) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
studi kasus retrospektif. Pendekatan retrospektif (penelusuran
ke belakang) digunakan untuk mengetahui kejadian-kejadian
yang dialami oleh partisipan pada masa lalu. Dengan kata lain,
efek berupa penyakit atau status kesehatan tertentu
diidentifikasi pada masa kini, sementara faktor risiko (kausa)
diidentifikasi dengan pertanyaan terkait masa lalu (Pratiknya,
1993).
Alasan penulis menggunakan pendekatan studi kasus
retrospektif adalah untuk mengetahui secara mendalam
pengalaman KDRT yang dialami oleh ibu hamil di Kab. TTS.
Selain itu, penulis juga melakukan penilaian DDST II (Denver
Development Screening Test) untuk mengetahui dampak dari
28
kekerasan dalam rumah tangga pada anak usia 0-6 tahun yang
ketika masih janin ibunya mengalami KDRT.
Data hasil wawancara dan penilaian DDST II pada
bagian pembahasan, digeneralisasikan sesuai dengan konteks
yang akan diteliti tanpa mengabaikan uniknya pengalaman,
budaya dan latar belakang masing-masing (Moleong, 2010).
3.2 Unit Analisa
Fokus yang ingin dipahami dalam penelitian ini yakni
KDRT pada ibu hamil berupa pelaku, penyebab, frekuensi, usia
kehamilan saat terjadinya KDRT, jenis-jenis KDRT, respon ibu
terhadap KDRT dan dampak KDRT terhadap ibu dan
perkembangan anak usia 0-6 tahun di Kab. TTS.
Tabel 3.1 Definisi dari Indikator Lapangan
No. Indikator Definisi 1. Kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT)
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman, pemaksaan, perampasan kebebasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.
2. Pelaku KDRT Pelaku KDRT adalah orang terdekat yang memiliki hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, anak dan pembantu rumah tangga yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
29
3. Penyebab KDRT Penyebab KDRT yaitu faktor yang memicu atau mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
4. Frekuensi KDRT Frekuensi KDRT adalah jumlah ulang terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga dalam satu bulan.
5. Usia kehamilan saat terjadinya KDRT
Usia kehamilan saat terjadinya KDRT yaitu waktu keberadaan janin di perut ibu dalam hitungan bulan ketika peristiwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi.
6. Jenis-jenis KDRT Jenis-jenis KDRT yaitu rupa, macam atau bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga.
7. Respon ibu terhadap KDRT
Respon ibu yaitu setiap reaksi atau tingkah laku yang pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga.
8. Dampak KDRT terhadap ibu
Dampak KDRT yaitu akibat atau efek negatif yang timbul, baik efek fisik maupun psikologis dari KDRT terhadap ibu hamil.
9. Perkembangan anak
Perkembangan anak adalah bertambahnya kemampuan (skill) anak dalam struktur dan fungsi tubuhnya yang meliputi kemampuan personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar.
10. Personal Sosial Personal sosial adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
11. Motorik Halus Motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak dalam mengamati dan melakukan gerakan-gerakan yang melibatkan aktivitas otot-otot kecil.
12. Bahasa Kemampuan bahasa adalah kemampuan dalam memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara dengan spontan.
30
13. Motorik Kasar Motorik kasar yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh.
3.3 Partisipan Penelitian/Sumber Data
Penelitian ini dilakukan di Kab. TTS. Pemilihan riset
partisipan dilakukan dengan melihat karakateristik yang telah
dibuat oleh peneliti. Adapun karakteristik partisipan yaitu
sebagai berikut:
1) Ibu yang pernah mengalami KDRT saat hamil;
2) Anak usia 0-6 tahun yang ketika masih janin ibunya
mengalami KDRT;
3) Bertempat tinggal di Kab. TTS; dan
4) Bersedia menjadi riset partispan.
Berdasarkan karakteristik tersebut, dengan
pertimbangan riset partisipan mampu melakukan komunikasi
interpersonal secara langsung, maka peneliti mengambil lima
orang ibu sebagai partisipan. Satu orang partisipan diambil
atas rekomendasi dari salah satu LSM yang bergerak dalam
membantu korban-korban KDRT (Sanggar Suara
Perempuan/SSP) karena menurut informasi, partisipan ini
mampu menceritakan masalah KDRT yang ia alami sedangkan
empat orang lainnya dipilih dengan cara pendekatan
kekeluargaan sehingga mereka dapat dengan leluasa
31
menceritakan kejadian KDRT yang mereka alami layaknya
bercerita kepada keluarga.
Dalam tahap pemilihan partisipan atau sumber data,
hanya lima kasus yang diambil dengan alasan sebagai berikut:
a. Ibu SL (36 tahun) dari desa Oinlasi, Kecamatan Mollo
Tengah. Ibu SL mengalami KDRT ketika sedang
mengandung anak keduanya. Diketahui ibu SL sering
mendapatkan perilaku kekerasan seperti dipukul,
ditendang, ditampar oleh suami selama hamil. Informasi
awal ini didapat melalui pendekatan dengan ibu AL yang
merupakan ibu kandung dari ibu SL.
b. Ibu NN (38 tahun) dari desa Nobi Nobi, Kecamatan
Amanuban Selatan. Ibu NN mengalami KDRT sejak
kelahiran anak pertamanya dan berlangsung sampai ia
melahirkan anak ketiganya. Diketahui saat mengandung
anak ketiga, ibu NN mendapatkan perilaku kekerasan
dari suaminya seperti dipukul, ditendang dan ditampar.
Informasi awal ini didapat ketika peneliti melakukan
pengambilan data di SSP dan atas rekomendasi dari
SSP, peneliti kemudian mengambil ibu NN sebagai riset
partisipan.
c. Ibu YA (16 tahun) dari Kelurahan Nonohonis. Ibu YA
mengalami KDRT pertama kali oleh kakak iparnya
32
sendiri. Saat itu ibu YA dipaksa untuk berhubungan
dengan bapak PM (kakak ipar) sehingga ibu YA hamil di
luar nikah. Saat bulan pertama kehamilannya, ibu YA pun
tidak mengetahui kondisinya bahwa ia sedang hamil. Ia
pun mendapatkan kekerasan dari kakak kandung
perempuannya karena perasaan cemburu. Informasi awal
ini didapat melalui pendekatan dengan ibu YS yang
merupakan kakak ipar perempuan dari ibu YA.
d. Ibu SS (36 tahun) dari desa Oepliki, Kecamatan
Noebeba. Ibu SS mengalami KDRT ketika sedang
mengandung anak kelimannya. Diketahui ibu SS sering
mendapatkan perilaku kekerasan seperti dipukul,
ditendang oleh suami selama hamil karena suami
menginginkan anak laki-laki namun ibu SS belum
memberikan anak laki-laki kepadanya. Informasi awal ini
didapat melalui pendekatan dengan bapak DS yang
merupakan kakak kandung dari ibu SS.
e. Ibu HT (40 tahun) dari desa Oepliki, Kecamatan
Noebeba. Ibu HT mengalami KDRT ketika sedang
mengandung anak bungsunya. Diketahui ibu HT sering
mendapatkan perilaku kekerasan seperti dipukul,
ditendang dan diusir oleh suami selama hamil karena
suami merasa ibu HT memiliki pria idaman lain. Informasi
33
awal ini didapat melalu pendekatan dengan bapak TS
yang merupakan adik ipar dari ibu HT.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan selama 3 bulan, dari
tanggal 04 Agustus 2012 sampai 30 Oktober 2012. Sebelum
mengambil data penelitian, peneliti meminta izin kepeda
Pemerintah Kab. TTS melalui Badan Kesatuan Bangsa, Politik
dan Persandian (Badan Kesbangpol). Peneliti diizinkan dengan
diberikan surat izin penelitian ke beberapa instansi yang
dijadikan sebagai tempat pengambilan data penelitian yaitu
Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Kab.
TTS, SSP Kab. TTS, Dinas Kesehatan Kab. TTS, dan RSUD
Kota SoE.
Proses pengambilan data awal dilakukan dengan
meminta data KDRT tahun 2007-2011 di Bagian
Pemberdayaan Perempuan Sekretariat daerah Kab. TTS dan
SSP Kab. TTS. Selain meminta data kekerasan, peneliti juga
melakukan pengambilan data di Dinas Kesehatan Kab. TTS
dan RSUD Kota SoE terkait dengan gangguan perkembangan
anak di Kab. TTS. Atas rekomendasi dari SSP, peneliti
kemudian mengambil satu klien SSP sebagai riset partisipan
34
sedangkan empat orang lainnya dipilih dengan cara
pendekatan kekeluargaan.
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan
wawancara mendalam, pengukuran antropometri, observasi,
studi literatur dan penilaian DDST II yang dilakukan bersama-
sama dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman
wawancara mendalam, lembar penilaian DDST II, kamera
digital, tape recorder dan buku catatan penelitian.
Pengumpulan data diawali dengan melakukan
observasi umum dan wawancara pendahuluan untuk
mengambil data mengenai identitas ibu dan anak, riwayat
keluarga, riwayat tumbuh kembang anak, pola aktivitas ibu dan
anak, status kesehatan ibu dan anak, status gizi ibu dan anak,
pola asuh makan dan pola asuh kesehatan serta kesehatan
lingkungan pada lima orang riset partisipan.
3.4.1 Wawancara Mendalam
Setelah melakukan wawancara pendahuluan,
peneliti kemudian melakukan wawancara mendalam (In-
depth Interview). Wawancara mendalam dilakukan
dengan bantuan pedoman wawancara pada lima orang
ibu yang selama hamil pernah mengalami KDRT.
Wawancara mendalam ini digunakan untuk mendapatkan
35
data-data mengenai pelaku KDRT pada ibu hamil, faktor-
faktor penyebab KDRT pada ibu hamil, frekuensi kejadian
KDRT pada ibu hamil, umur kehamilan saat ibu
mengalami KDRT, jenis-jenis KDRT pada ibu hamil,
dampak KDRT pada ibu hamil serta respon ibu hamil saat
mendapatkan KDRT.
3.4.2 Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri dilakukan untuk menilai
status gizi pada anak. Penilaian status gizi ini dilakukan
karena perkembangan kognitif, personal sosial (Nilawati,
2006), motorik (Sutrisno, 2003) dipengaruhi oleh status
gizi. Penilaian ini menggunakan pengukuran antropometri
berdasarkan umur yakni Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) dan Berat
Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB). Setelah
melakukan perhitungan, peneliti kemudian melakukan
klasifikasi dengan melihat batas ambang dan istilah
status gizi berdasarkan Antropometri menurut WHO
(2005). Batas ambang dan istilah status gizi untuk indeks
BB/U, TB/U, dan BB/TB dapat dilihat pada tabel berikut:
36
Tabel 3.2 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri Menurut WHO, 2005
Indikator Status Gizi Keterangan
Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk
> +2 SD < -3 SD <-2 SD s/d ≥ - SD < -3 SD
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Normal Pendek
≥ 2 SD < -2 SD
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus
> +2 SD < -2 SD s/d ≥ -2 SD -2 SD s/d ≥ -3 SD < -3 SD
Sumber : Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001.
Sementara itu, untuk status gizi ibu saat hamil,
peneliti mengkaji berat badan dan tinggi badan ibu
selama trimester satu, dua dan tiga dengan melihat
kembali buku kehamilan ibu ataupun melakukan
pengambilan data di posyandu atau bidan tempat ibu
melakukan pemeriksaan selama kehamilannya. Status
gizi ibu ditentukan menggunakan rumus berat badan
ideal ibu hamil yang dikembangkan oleh Ali (2009) yakni:
Keterangan:
BBIH : Berat badan ideal ibu hamil yang akan dicari
BBI : Berat badan ibu sebelum hamil
UH : Usia kehamilan dalam minggu
BBIH = BBI + (UH 0,35)
37
0,35 (kg) : Tambahan berat badan dalam kilogram
per minggu
Selain digunakan untuk menilai status gizi pada
ibu dan anak, pengukuran antropometri juga digunakan
untuk menentukan angka kecukupan gizi pada ibu dan
anak. Perhitungan angka kecukupan gizi (1) serta tingkat
kecukupan gizi (2) menggunakan rumus sebagai berikut:
(1)
Keterangan:
AKGi : Angka kecukupan gizi energi atau
protein pada individu
Ba : Berat badan individu yang ditimbang
Bs : Berat badan rata-rata berdasarkan umur
tertentu dan tercantum dalam DKG (Daftar
Kecukupan Gizi)
(2)
AKGi : Ba x AKG
Bs
TKGi : AKGi x 100%
AKG
38
Keterangan:
TKGi : Tingkat kecukupan gizi individu
AKGi : Angka kecukupan gizi energi atau protein
pada individu
AKG : Angka kecukupan gizi menurut DKG
(3)
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal,
dengan kategori:
Tingkat konsumsi baik : > 100%
Tingkat konsumsi kurang : 60% - 99%
Tingkat konsumsi buruk : < 59%
3.4.3 Penilaian DDST II (Denver Development Screening
Test)
Penilaian dilakukan dengan mengunakan formulir
DDST II. Penilaian DDST II dilakukan pada anak yang
ketika janin ibunya mengalami KDRT. Sebelum
melakukan penilaian DDST II, peneliti melakukan tahap
perkenalan dengan anak. Tahap perkenalan meliputi
menanyakan nama, umur, ataupun aktivitas yang
dilakukan setiap hari. Peneliti kemudian melakukan
TKG rata-rata: TKG1 + TKG2 + TKG3 + TKG3 + TKG5
5
39
pendekatan dengan anak sekitar 3 kali untuk masing-
masing anak. Hal ini dilakukan agar anak mengenal
peneliti dan merasa nyaman dengan peneliti.
Pada saat melakukan pendekatan, peneliti
mengajak anak untuk bermain bersama. Permainan yang
dilakukan adalah beberapa item yang akan diujikan pada
saat penilaian DDST II. Setelah anak merasa nyaman
dengan peneliti, peneliti kemudian melakukan kontrak
waktu dengan ibu atau pengasuh agar menyediakan
waktu untuk dilakukan penilaian DDST II.
Penilaian DDST II dimulai dengan menyiapakan
alat-alat yang dibutuhkan yakni 1) alat peraga berupa:
benang woll, kismis atau manik-manik, mainan yang
berbunyi, balok kayu (kubus) yang berwarna, botol kecil,
bell kecil, bola tenis, pensil warna, cangkir plastik dan
kertas kosong, 2) lembar formulir DDST II, 3) panduan
cara melakukan dan menilai perkembangan anak
(Lampiran 10 dan 11).
Langkah pertama penilaian DDST II yakni peneliti
menuliskan nama, nomor urut, tanggal lahir, dan tanggal
tes pada lembar formulis DDST II. Kemudian peneliti
melakukan perhitungan umur anak dengan rumus
sebagai berikut:
40
Anak dengan kelahiran normal
Contoh 1:
Th bln hari
Tanggal test 08 7 15
Tanggal lahir 06 3 10
Umur anak 2 4 5
Contoh 2:
Th bln hari
Tanggal test 08 6 12
Tanggal lahir 05 8 28
Umur anak 2 9 14
Anak dengan kelahiran prematur
Pada anak dengan kelahiran prematur, waktu empat
minggu sama dengan satu bulan dan tujuh hari sama
dengan satu minggu.
41
Contoh:
1) Anak lahir prematur enam minggu sebelum taksiran
partus,
Th bln hari
Tanggal test 08 8 20
Tanggal lahir 08 6 1
Umur anak 2 19
6 minggu prematur 1 14
Umur anak 1 5
2) Apabila umur anak lebih dari dua tahun maka cara
penilaian seperti anak kelahiran normal.
Setelah menentukan umur anak, peneliti membuat
garis dari atas ke bawah sesuai umur kronologis untuk
memotong garis horizontal tugas perkembangan anak
pada formulir DDST II.
Sebelum melakukan penilaian, peneliti terlebih
dahulu menjelaskan tujuan dilakukannya penilaian DDST
II dan kegunaannya kepada ibu atau pengasuh. Setelah
ibu mengerti, peneliti kemudian menanyakan kondisi fisik
anak, apakah anak dalam keadaan sehat atau tidak agar
mencegah terjadinya penyimpangan hasil karena kondisi
anak yang tidak sehat. Apabila anak dalam keadaan
42
sehat, tidak merasa takut dan bersedia mengikuti
penilaian DDST II maka kegiatan penilaian dapat
dilanjutkan.
Penilaian dilakukan dalam keadaan santai serta
memberikan posisi yang aman dan nyaman bagi anak.
Dengan membuat suasana tes menyenangkan bagi anak,
penilaian dimulai dari item yang telah dicapai oleh anak
kemudian dilanjutkan ke item lain terutama yang
mendekati garis umur sampai semua item pada batas
umur selesai. Ketika melakukan penilaian, peneliti
memberikan nilai sesaat setelah anak melakukan item
pada lembar formulir DDST II. Pemberian nilai yang
dilakukan yaitu:
a. “P” untuk Pass = Lulus
Anak sukses melakukan item tersebut atau
pengasuh melaporkan bahwa anak dapat melakukan
item tersebut (khusus item yang bertanda L).
b. “F” untuk Fail = Gagal
Anak tidak dapat melakukan item dengan baik atau
orang tua/pengasuh melaporkan bahwa anak tidak
dapat melakukan item tersebut (khusus item yang
bertanda L).
43
c. “NO” untuk No Opportunity = Tidak ada kesempatan
Anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan
item karena ada hambatan (khusus item yang
bertanda L).
d. “R” untuk Refusal = Menolak
Anak menolak untuk mencoba item tersebut.
Penolakan dapat dikurangi dengan mengatakan
pada anak apa yang harus dilakukan (khusus item
tanpa tanda L).
e. “B” untuk By Report = Dengan bantuan orang tua
Anak melakukan tes dengan bantuan orang tua.
Apabila anak dapat melakukan berarti lulus (P)
sedangkan apabila anak tidak dapat melakukannya
berarti gagal (F).
Langkah selanjutnya yaitu peneliti melakukan
penilaian per item. Penilaian per item meliputi:
a. Penilaian item “lebih” (advance). Nilai lebih tidak
perlu diperhatikan dalam penilaian tes secara
keseluruhan karena item biasanya hanya dapat
dilakukan oleh anak yang lebih tua.
b. Penilaian item “OK“ atau normal. Nilai tidak perlu di
perhatikan dalam penilaian test secara keseluruhan.
Nilai OK dapat diberikan pada anak dalam kondisi
berikut:
44
1) Anak “gagal” atau “menolak” melakukan tugas
untuk item di sebelah kanan garis usia. Kondisi
ini wajar karena item di sebelah kanan garis
usia pada dasarnya merupakan tugas untuk
anak yang lebih tua.
2) Anak “lulus”, “gagal”, atau “menolak”
melakukan tugas untuk item di daerah putih
kotak (daerah 25% - 75%). Jika anak lulus, hal
ini dianggap normal. Sementara itu, jika anak
tidak lulus maka anak dianggap normal karena
masih ada rentang usia untuk belajar.
c. Penilaian item P = peringatan (C=caution)
Nilai “Peringatan” diberikan jika anak “gagal” atau
“menolak” melakukan tugas untuk item yang dilalui
oleh garis usia pada daerah gelap kotak (daerah
75%-90%). Hal ini karena hasil riset menunjukkan
bahwa sebanyak 75%-90% anak di usia tersebut
sudah berhasil (lulus) melakukan tugas tersebut.
Dengan kata lain, mayoritas anak sudah bisa
melaksanakan tugas dengan baik.
d. Penilaian item T = “Terlambat” (D = Delayed)
Nilai “terlambat” diberikan jika anak “gagal” atau
“menolak” melakukan tugas untuk item di sebelah kiri
garis usia sebab tugas tersebut memang ditujukan
untuk anak yang lebih muda. Seorang anak
seharusnya mampu melakukan tugas untuk
kelompok usia yang lebih muda, yang tentunya
berupa tugas-tugas yang lebih ringan. Jika tugas
untuk anak yang lebih muda tidak dapat dilakukan
atau ditolak, anak tentu akan mendapatkan penilaian
T (terlambat). Huruf T ditulis di sebelah kanan item
45
dengan hasil penilaian “terlambat”. Perlu diperhatikan
bahwa ada dua macam T. Pertama, terlambat karena
anak mengalami kegagalan (G). T jenis ini
memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian
akhir “suspek/gangguan perkembangan”. Kedua,
terlambat karena anak menolak melaksanakan tugas
(M). T jenis ini memungkinkan anak mendapat
interpretasi penilaian akhir “Tak dapat diuji”.
e. Penilaian item “Tak ada kesempatan” (No
Opportunity). Nilai “NO” ini tidak perlu diperhatikan
dalam penilaian tes secara keseluruhan. Nilai “tak
ada kesempatan” diberikan jika anak mendapat skor
“NO” atau tidak ada kesempatan untuk mencoba
atau melakukan item.
Contoh penilaian per item:
a. Advance
P
b. OK/Normal
F
c. Caution
F
P
R
46
d. Delayed
F
Langkah terakhir dari penilaian DDST II yaitu
peneliti melakukan intepretasi hasil penilaian per item.
Interpretasi hasil hasil penilaian per item yang dilakukan
yaitu:
a. Normal
1) Tidak ada “delayed” dan maksimal satu “caution”.
2) Tingkah laku baik pada saat dilakukan skrining.
b. Abnormal (Gangguan Perkembangan)
1) Bila didapati 2 atau lebih “delayed” pada 2 sektor
atau lebih.
2) Bila dalam 1 sektor atau lebih didapati 2 atau lebih
“delayed” plus satu sektor atau lebih dengan satu
“delayed” dan pada sektor yang sama tersebut
tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan
dengan garis vertikal usia.
3) Rescreaning dilakukan dalam 1-2 minggu untuk
mengesampingkan faktor-faktor yang
memengaruhi penilaian seperti lemah, sakit dan
takut.
47
c. Questionable (Meragukan)
1) Bila pada 1 sektor didapati 2 “delayed” atau lebih.
2) Bila pada 1 sektor didapati 1 “delayed” dan pada
sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak
yang berpotongan dengan garis vertikal.
d. Untestable
1) Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan
hasil tes menjadi abnormal atau meragukan.
2) Satu atau lebih skor “refusal” ada pada sebelah
kiri garis umur atau lebih satu item “refusal” yang
menyentuh garis umur pada daerah 75%-90%.
3) Reascreaning dilakukan dalam 1-2 minggu untuk
mengesampingkan faktor-faktor yang
memengaruhi penilaian seperti lemah, sakit dan
takut (Soetjiningsih, 1995).
3.4.4 Observasi
Peneliti melakukan observasi untuk melihat
secara langsung kondisi kehidupan sosial (interaksi sosial
dan aktivitas sosial) dari riset partisipan, melihat hal-hal
yang kurang atau tidak diamati oleh orang lain khususnya
orang-orang yang berada di lingkungan tempat riset
partisipan tinggal. Dengan observasi, peneliti dapat
48
menemukan hal-hal yang sedianya tidak terungkap oleh
responden dalam wawancara karena bersifat sensitif
atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama
keluarga (Sugiyono, 2009).
3.4.5 Studi Literatur
Peneliti mengumpulkan data sekunder berupa data-
data dari Komisi Nasional Perempuan, Biro Pemberdayaan
Perempuan Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur,
Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan dan SSP Kab. TTS
melalui laporan tahunan tentang angka kejadian kekerasan
terhadap perempuan di Indonesia khususnya di Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Selain itu peneliti juga
mengumpulkan data-data sekunder dari Dinas Kesehatan
Kab. TTS dan RSUD Kota SoE tentang data gangguan
perkembangan anak usia 0-6 tahun di Kab. TTS.
3.5 Analisa Data
Proses analisa data dimulai dengan penyusunan data
wawancara pendahuluan mengenai identitas ibu dan anak,
riwayat keluarga, riwayat tumbuh kembang anak, pola aktivitas
ibu dan anak, status kesehatan ibu dan anak, status gizi ibu
49
dan anak, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan serta
kesehatan lingkungan pada lima orang riset partisipan. Data
yang telah disusun kemudian diketik dikomputer agar hasil
dokumentasi mudah dibaca oleh peneliti.
Hasil wawancara mendalam dengan kelima orang riset
partisipan dalam tape recorder kemudian diketik dalam
transkrip wawancara. Untuk memudahkan pembuatan transkrip
wawancara peneliti menggunakan istilah riset partisipan 1
(RP01) sampai riset partisipan 5 (RP05) untuk subjek
penelitian. Dengan menggunakan teknik coding, peneliti
membuat code untuk setiap hasil wawancara mendalam dari
setiap riset partisipan. Code menggunakan angka Arab diikuti
istilah RP01 – RP05 untuk setiap pertanyaan dan pernyataan
dalam transkrip wawancara misalnya 01 RP01. Angka 01
menunjukkan pertanyaan atau pernyataan pertama yang
diberikan sedangkan RP01 menujukan riset partisipan pertama.
Setelah melakukan coding, selanjutnya transkrip wawancara
tersebut dipelajari untuk pembuatan kategori, sub-tema dan
tema sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Tema yang muncul yaitu gambaran kekerasan dalam rumah
tangga pada ibu hamil dengan sub-tema antara lain pelaku
KDRT pada ibu hamil, faktor penyebab KDRT pada ibu hamil,
frekuensi KDRT pada ibu hamil, usia kehamilan saat ibu
50
mengalami KDRT, jenis-jenis KDRT pada ibu hamil, dampak
KDRT pada ibu hamil, dan respon ibu hamil ketika mengalami
KDRT.
Selain pembuatan tema, peneliti juga melakukan
skoring pada lembar DDST II dan melakukan interpretasi dari
hasil skoring tersebut. Hasil interpretasi DDST II kemudian di
kelompokan dan disajikan dalam bentuk tabel untuk masing-
masing anak. Data hasil dokumentasi, pembuatan tema,
interpretasi hasil penilaian DDST II dan observasi kemudian
dilihat, dibaca dan dideskripsikan dalam bentuk narasi.
3.6 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi.
Triangluasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang telah
didapat untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Teknik triangulasi yang akan digunakan ialah
pemeriksaan sumber lainnya (Moleong, 2005).
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif (Patton dalam Moleong, 2005).
51
Pada penelitian ini, triangulasi data dilakukan pada
keluarga dalam hal ini kepada orang tua/mertua, kakak/adik,
dan saudara ipar yang mengetahui kejadian KDRT yang
dialami oleh riset partisipan. Triangulasi ini dilakukan pada
waktu yang berbeda dengan menggunakan indikator
pertanyaan yang sama dengan riset partisipan.
3.7 Etika Penelitian
Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan
penelitian memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude)
serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian (Jacob,
2004). Prinsip-prinsip etika penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu:
a. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for
human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak dari riset
partisipan untuk mendapatkan informasi yang terbuka
berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki
kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian
(autonomy).
Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip
menghormati harkat dan martabat manusia, adalah:
52
peneliti mempersiapkan formulir persetujuan riset
partisipan (informed consent) yang terdiri dari:
1) Penjelasan manfaat penelitian,
2) Penjelasan kemungkinan risiko dan
ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan,
3) Penjelasan manfaat yang akan didapatkan,
4) Persetujuan riset partisipan dapat menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan peneliti
berkaitan dengan prosedur penelitian,
5) Persetujuan riset partisipan dapat
mengundurkan diri,
6) Jaminan anonimitas dan kerahasiaan.
b. Menghormati privasi dan kerahasiaan riset partisipan
(respect for privacy and confidentiality)
Setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu
termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada
dasarnya penelitian akan memberikan akibat
terbukanya informasi individu termasuk informasi yang
bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang
menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain,
sehingga peneliti memperhatikan hak-hak dasar individu
tersebut. Dalam penelitian ini peneliti tidak menampilkan
informasi mengenai identitas baik nama maupun alamat
53
lengkap riset partisipan untuk menjaga anonimitas dan
kerahasiaan identitas riset partisipan. Sebagai
pengganti identitas, peneliti menggunakan inisial untuk
nama dan nama Desa atau Kecamatan sebagai alamat
riset partisipan.
c. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and
inclusiveness)
Prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan
dan adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan,
penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional,
berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor
ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas,
psikologis serta perasaan religius riset partisipan.
d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang
ditimbulkan (balancing harms and benefits) (Milton,
1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004)
Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan
prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang
bermanfaat semaksimal mungkin bagi riset partisipan
dan dapat digeneralisasikan ditingkat populasi
(beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang
merugikan bagi riset partisipan (non-maleficence).