bab ii tinjauan pustaka a. chronic kidney disease (ckd) 1

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini akan menguraikan konsep-konsep teori yang mendukung dalam penelitian, meliputi: Chronic Kidney Disease (CKD), Hemodialysis, dan Pruritus pada klien CKD. A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan secara operasional oleh National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) sebagai kondisi dimana ginjal mengalami kerusakan selama 3 bulan atau lebih, yang dimanifestasikan dengan abnormalitas struktur atau fungsional ginjal, dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) hingga kurang dari 60mL/Min/1.73 m 2 , disertai dengan abnormalitas hasil pemeriksaan laboratorium darah, urine atau pemeriksaan imaging dan kondisi klien yang semakin memburuk (Shafi & Coresh, 2010). Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) merilis pedoman baru tentang stage CKD yang mengintegrasikan albuminuria sebagai penentu tingkat keparahan penyakit. Pedoman baru memurnikan definisi CKD sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal, selama > 3 bulan, dengan berdampak kepada kesehatan individu, serta mengklasifikasikan CKD berdasarkan kategori CGA yaitu: penyebab / Cause (C), GFR (G), dan albuminuria (A) (Lester & Robinson, 2014). 2. Klasifikasi CKD Klasifikasi CKD berdasarkan K/DOQI tahun 2002 menjadi tonggak sejarah evolusi nefrologi, akan tetapi saat ini klasifikasi tersebut 7

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab II ini akan menguraikan konsep-konsep teori yang mendukung dalam

penelitian, meliputi: Chronic Kidney Disease (CKD), Hemodialysis, dan Pruritus

pada klien CKD.

A. Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan secara operasional oleh

National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality

Initiative (K/DOQI) sebagai kondisi dimana ginjal mengalami kerusakan

selama 3 bulan atau lebih, yang dimanifestasikan dengan abnormalitas

struktur atau fungsional ginjal, dengan penurunan Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG) hingga kurang dari 60mL/Min/1.73 m2, disertai

dengan abnormalitas hasil pemeriksaan laboratorium darah, urine atau

pemeriksaan imaging dan kondisi klien yang semakin memburuk (Shafi

& Coresh, 2010).

Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) merilis pedoman

baru tentang stage CKD yang mengintegrasikan albuminuria sebagai

penentu tingkat keparahan penyakit. Pedoman baru memurnikan definisi

CKD sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal, selama > 3 bulan,

dengan berdampak kepada kesehatan individu, serta mengklasifikasikan

CKD berdasarkan kategori CGA yaitu: penyebab / Cause (C), GFR (G),

dan albuminuria (A) (Lester & Robinson, 2014).

2. Klasifikasi CKD

Klasifikasi CKD berdasarkan K/DOQI tahun 2002 menjadi tonggak

sejarah evolusi nefrologi, akan tetapi saat ini klasifikasi tersebut

7

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

8

mengalami pergeseran paradigma. Kidney Disease Improving Global

Outcomes (KDIGO) merilis pedoman baru tentang stage CKD

berdasarkan kategori CGA yaitu: penyebab / Cause (C), GFR (G), dan

albuminuria (A) (Lester & Robinson, 2014).

Gambar 2.1.

Klasifikasi CKD

Prognosis untuk CKD berdasarkan kategori GFR

dan albuminuria

KDIGO 2012

Kategori albiminuria persisten

Deskripsi dan skala

A1 A2 A3

Normal

sampai

penurunan

ringan

Penurunan

sedang

Penurunan

berat

<30mg/g

<3mg/mmol

30-300mg/g

3-30mg/mmol

>300mg/g

>30mg/mmol

Kat

ego

ri G

FR

(m

l/m

in/1

,73

m2)

Des

kri

psi

dan

skal

a

G1 Normal atau

tinggi >90

G2 Mengalami

penurunan ringan 60-89

G3a Penurunan ringan

sampai sedang 45-59

G3b Penurunan sedang

sampai berat 30-44

G4 Penurunan

berat 15-29

G5 Kidney

Failure <15

Keterangan: hijau: risiko rendah (bila tidak penanda lain dari penyakit ginjal,

bukan CKD); Kuning: moderat peningkatan resiko; Orange: berisiko tinggi;

Merah, risiko yang sangat tinggi.

Sumber : (Inker et al., 2014)

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

9

3. Epidemiologi

Perkiraan secara agregat menunjukkan bahwa CKD mempengaruhi

sebanyak 1 dari 10 orang dewasa (10%) atau lebih dari 500 juta orang di

seluruh dunia menderita CKD (Lester & Robinson, 2014). Di Indonesia

berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 jumlah

penderita CKD yang di diagnosa dokter sebanyak 0,2% dari jumlah

responden, sedangkan kejadian CKD di Jatim urutan kelima dengan 0,3

% setelah sulawesi Utara 0,4 % (Kemenkes RI, 2013).

4. Etiologi

CKD bisa diakibatkan dari penyakit ginjal mendasar sebagai hasil dari

baik secara acute kidney injury atau penyakit ginjal progresif yang

lambat (Shafi & Coresh, 2010). National Kidney Foundation membagi 2

kategori potensial resiko terjadinya CKD, yaitu: (Inker et al., 2014)

a. Faktor klinik

1) Diabetes

2) Hypertensi

3) Penyakit autoimun

4) Infeksi sistemik

5) Urinary Tract Infection

6) Batu ginjal

7) Obstruksi saluran kencing bawah

8) Neoplasma

9) Riwayat keluarga CKD

10) Recovery dari Acute Kidney Failure

11) Reduksi masa ginjal

12) Paparan obat

13) Berat Badan Lahir Rendah

b. Faktor sosialdemografis

1) Usia lanjut

2) Etnik atau suku

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

10

3) Paparan bahan kimia dan kondisi lingkungan

4) Penghasilan dan pendidikan rendah

5. Manifestasi klinis

CKD pada umumnya adalah silent condition, jika ada tanda dan gejala

umumnya tidak spesifik, seperti : kelemahan, nafsu makan menurun,

mual, perubahan buang air kencing (nokturia, poliuri, dan frekuensinya),

darah dalam urin atau urin berwarna gelap, urin berbusa atau berbuih,

nyeri pinggang, bengkak, tekanan darah tinggi, kulit pucat (Arici, 2014).

Tidak seperti penyakit kronis lainnya, CKD tidak menunjukan petunjuk

untuk diagnosis serta tingkat keparahan. Gejala khas dan tanda-tanda

uremia tidak pernah muncul di CKD tahap awal sampai terlihat pada

CKD tahap akhir seperti: (Arici, 2014)

a. secara umum (lemah, fatigue, tekanan darah tinggi, tanda-tanda

overload cairan, penurunan mental, cegukan keras, bau khas uremik)

b. kulit (tampak pucat, pruritus, uremic frost)

c. Paru (dyspnea, efusi pleura, edema paru, uremik paru)

d. Kardiovaskular (friction rub perikardial, gagal jantung kongestif)

e. Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan,

stomatitis, rasa tidak enak di mulut)

f. Neuromuskuler (kedutan otot, perifer sensorik dan motorik

neuropati, kram otot, gangguan tidur, hyperreflexia, kejang,

ensefalopati, koma)

g. Endokrin-metabolik (penurunan libido, amenore, impotensi)

h. Hematologi (anemia, perdarahan diatesis)

6. Management terapi CKD

Penggunaan terapi pengganti ginjal menjadi perlu ketika ginjal tidak bisa

lagi menghilangkan kotoran, mempertahankan elektrolit, dan mengatur

keseimbangan cairan. Hal ini dapat terjadi dengan cepat atau selama

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

11

periode waktu yang panjang dan kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal

dapat akut (jangka pendek) atau (jangka panjang) kronis. Terapi

pengganti ginjal yang utama termasuk berbagai jenis dialisis dan

transplantasi ginjal. Jenis dialisis termasuk hemodialisis, CRRT, dan PD

(Smeltzer et al., 2010)

B. Hemodialisis

1. Definisi dan tujuan hemodialisis

Hemodialisa merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

menggunakan selaput membran semi permiabel (dialiser), yang berfungsi

seperti nefron sehingga mengeluarkan produk sisa metabolisme dan

mengoreksi gangguan keseimbangan cairan elektrolit pada klien gagal

ginjal (Smeltzer et al., 2010; Thomas, 2014). Prosesnya dimana terjadi

difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu

kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainnya yaitu

cairan dialisat melewati membran semipermeabel dalam dialiser (Yeun &

Depner, 2010).

Tujuan hemodialisa untuk megendalikan uremia, kelebihan cairan dan

ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada klien CKD tahap

akhir.hemodialisa efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa

metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan

memperpanjang umur klien (Yeun & Depner, 2010).

2. Prevalensi hemodialisis

Menurut data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2014 terjadi

peningkatan klien pengguna hemodialisis dari tahun sebelumnya, yaitu

klien baru yang menjalani hemodialisis berjumlah 17.193 klien yang aktif

menjalani hemodialisis 11.689 orang. Sedangkan Jawa Timur menjadi

urutan kedua setelah Jawa Barat dengan jumlah klien baru 3.621 dan klien

yang aktif sebanyak 2.787 (PERNEFRI, 2014).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

12

3. Indikasi dilakukan hemodialisis

Hemodialisis diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hinggabeberapa

minggu) atau klien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan

terapi jangka panjang/ permanen. Secara umum indikasi dilakukan

hemodialisis pada gagal gginjal kronis adalah : 1) LFG kurang dari 15

ml/menit; 2) hiperkalemia; 3) asidosis; 4) kegagalan terapi konservatif; 5)

kadar ureum lebih dari 200 mg/ dl dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L; 6)

kelebihan cairan; 7) anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari (Smeltzer et

al., 2010).

4. Komplikasi hemodialisis

Komplikasi hemodialisis dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan

komplikasi kronis (Daugirdas, Blake, & Ing, 2015):

a) Komplikasi akut

Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram

otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, pruritus,

demam, dan menggigil. Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah

gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat

hemodialisis maupun sesudah hemodialisis. Komplikasi yang jarang

terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,

tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli

udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daugirdas et al.,

2015).

b) Komplikasi kronis

Adalah komplikasi yang terjadi pada klien dengan hemodialisis kronik

(Daugirdas et al., 2015). Penyakit jantung, anemia, perdarahan

diathesis karena uremia, komplikasi pada paru-paru, penyakit tulang,

gangguan syaraf, gangguan kulit terbanyak pruritus, gangguan

metabolisme karbohidrat dan lemak, mal nutrusi protein, gangguan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

13

fungsi gonat, gangguan metabolisme vitamin, abnormal sistem imun,

infeksi virus, Acquired polycystic kidney disease (Checherita, Turcu,

Dragomirescu, & Ciocalteu, 2010)

C. Pruritus Klien CKD

Pruritus pada penyakit Chronic Kidney Disease (CKD), secara klasik disebut

dengan Uremic Pruritus atau Renal Itch, komplikasi yang umum terjadi pada

klien CKD stadium akhir / end-stage renal disease (ERSD) (Azimi et al.,

2015). Penggunaan Uremic pada Uremic Pruritus menyebabkan

kontroversial, karena pruritus tidak ditemukan pada klien dengan Acute

Kidney Injury. Dalam hal ini penggunaan istilah “Chronic Kidney Disease

(CKD)-Associated Pruritus(CKD-aP)” bukan lagi “uremic pruritus” sebagai

nomenklatur yang lebih tepat (Azimi et al., 2015; T. Mettang, 2010; Patel et

al., 2007; Suzuki, Omata, & Kumagai, 2015).

1. Definisi Pruritus pada klien CKD

Secara umum pruritus pada CKD didefinisikan sebagai gejala yang

umum pada klien dengan hemodialisa yang kronis (M. J. Ko et al., 2013;

Lester & Robinson, 2014). Definisi lain Pruritus merupakan persepsi

sensorik yang tidak menyenangkan yang menyebabkan keinginan yang

kuat untuk menggaruk dan memiliki dampak yang tinggi pada kualitas

hidup (Grundmann & Ständer, 2010).

Pruritus didefinisikan sebagai rasa gatal setidaknya 3 periode dalam

waktu 2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang

terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur. Pruritus umumnya dialami sekitar

6 bulan setelah awal dialisis dan biasanya makin meningkat dengan

lamanya klien menjalani dialisis (C. J. Ko & Cowper, 2012). Dapat

disimpulkan pruritus pada klien CKD merupakan persepsi sensorik yang

menimbulkan rasa gatal yang terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

14

2. Manifestasi Klinik dan Klasifikasi Pruritus

Manifestasi klinis renal itch sangat bervariasi tergantung pada individu.

Rasa gatal ini bisa umum ataupun lokal dan dapat mempengaruhi setiap

area tubuh termasuk wajah atau kulit kepala. Distribusi Renal itch sering

terjadi dalam bentuk simetris, paling sering terjadi di punggung, perut,

lengan, dan kulit kepala (particularly vertex) (Azimi et al., 2015). Selain

itu, pruritus bisa terjadi singkat, hanya berlangsung beberapa menit, atau

dapat bertahan selama satu hari penuh. Dalam banyak kasus, pruritus

lebih parah pada malam hari (Patel et al., 2007).

Kulit bisa tampak normal atau menunjukkan bukti kerusakan kulit akibat

garukan seperti scabs nodular, jaringan parut, dan excoriations. Faktor

lingkungan juga telah terbukti memperburuk pruritus, seperti aktivitas,

kulit yang kering, panas, dan keringat (Makari, Cameron, & Battistella,

2013).

3. Prevalensi Pruritus

Berdasarkan Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS)

studi cross-sectional secara global kepada 18.801 klien hemodialisis

(HD) dan dari lebih dari 300 unit dialisis di 12 negara, 42% dari klien

HD mengalami pruritus sedang atau parah (Pisoni et al., 2006). rasa gatal

yang dirasakan setiap harianya telah dilaporkan oleh 84% klien HD yang

terdaftar dalam studi longitudinal yang lebih kecil dan sampai 59% dari

klien tersebut telah dilaporkan menderita itch berlangsung selama lebih

dari satu tahun. Prevalensi gatal kronis lebih tinggi pada klien HD (50-

90%), dibandingkan dengan klien dengan gangguan fungsi ginjal tetapi

tidak membutuhkan HD (15-49%). Intensitas dan prevalensi itch tidak

tergantung pada usia, jenis kelamin, etnis, atau durasi dialisis, meskipun

lebih umum pada mereka yang menjalani HD dibandingkan dengan

dialisis peritoneal (Azimi et al., 2015).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

15

Akhir-akhir ini, prevalensi pruritus uremik berkurang menjadi sekitar

20%-50-%. Kemungkinan disebabkan perbaikan teknik dialisis. Insidens

pruritus pada klien yang menggunakan membran permeabel (polisulfon)

lebih rendah dibandingkan dengan pada klien yang menggunakan.

membran dialisis yang kurang permeabel (cuprophane) (Pardede, 2010).

4. Patofisiologi Pruritus pada Klien CKD

Selama dua puluh tahun ini telah dikemukakan berbagai hipotesis

patofisiologi pruritus uremik. Konsep yang paling sering dikemukakan

adalah peran hormon paratiroid (paratiroid hormon=PTH), sebab pruritus

uremik lebih berat pada klien dengan hiperparatiroidisme dan akan

menghilang setelah dilakukan paratiroidektomi. Namun demikian,

beberapa laporan tidak mendukung teori ini, karena hal yang sama juga

terjadi pada presipitasi kristal kalsium fosfat pada peningkatan kadar

kalsium dan fosfat serum (Pardede, 2010). Meskipun paratiroid hormon

bukan zat pruritogenik jika disuntikkan ke kulit, tetapi peningkatan Ca x

P akan menyebabkan pruritus (Keithi-Reddy et al., 2007).

Berbagai faktor yang berperan dalam terjadinya pruritus uremik seperti

inervasi kulit abnormal, neuropati somatik, peningkatan kadar histamin,

reseptor opioid, serta faktor neurofisiologik (Keithi-Reddy et al., 2007).

Sel mast tersebar secara difus di sepanjang kulit dan sebagian besar

berdegranulasi. Sel mast pada dermis terletak berdekatan ke saraf aferen

C neuron terminal, dan interaksi antara struktur ini berperan penting

dalam mediasi pruritus. Sel mast akan melepaskan berbagai substansia

seperti histamin, protease, interleukin-2, dan tumor necrosis factor

(Keithi-Reddy et al., 2007). Histamin telah dikenal luas sebagai

pruritogenik yang secara langsung menstimulasi neuron terminal oleh

reseptor H1. Jumlah sel mast pada pruritus uremik lebih banyak

dibandingkan anak normal dan berkaitan dengan peningkatan kadar

hormon paratiroid plasma (Pardede, 2010).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

16

Kadar histamin pada klien pruritus uremik lebih tinggi dibandingkan

dengan pada klien non-pruritus. Kontroversi tentang sekresi histamin

oleh sel mast yang berproliferasi sebagai penyebab pruritus uremik sering

muncul. Terjadinya pruritus disebabkan lepasnya histamin dari sel mast,

didukung oleh penelitian tentang fototerapi ultraviolet-B yang dapat

menurunkan jumlah sel mast dan memperbaiki pruritus secara

bermakna. Tidak ada korelasi antara jumlah sel mast dermis dan kadar

histamin serum dengan derajat pruritus pada klien ERSD. Keadaan

inflamasi uremik juga menerangkan tingginya jumlah sel mast di dermis

(Keithi-Reddy et al., 2007).

Sitokin pruritogenik dapat diproduksi di kulit oleh berbagai sel

teraktivasi yang berdekatan dengan reseptor gatal. Meskipun interleukin-

1 bukan pruritogenik, tetapi dapat menyebabkan pelepasan pruritogenik.

Pada kulit klien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat

yang tinggi. Meningkatnya kadar ion divalen dapat menyebabkan

presipitasi kalsium atau magnesium fosfat yang menyebabkan pruritus.

Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf serta pelepasan

histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya pruritus

melalui degranulasi sel mast. Pruritus akan berkurang seiring dengan

penurunan kadar kalsium dan magnesium (Pardede, 2010).

Pada uremia, terdapat perubahan ekspresi relatif reseptor µ-opioid dan ҡ

-opioid pada limfosit. Ketidakseimbangan ekspresi subtipe reseptor

opioid berperan dalam patogenesis pruritus uremia. Substansia P

menstimulasi reseptor µ -opioid pada saraf perifer dan otak, dan

mengubah keseimbangan antara stimulasi µ -opioid dan ҡ -opioid untuk

menimbulkan gatal. Efek stimulasi reseptor µ -opioid dan substansia P

dihambat oleh antagonis ҡ -opioid dan nalfurafin. Penelitian pada hewan

coba dan klien ESRD telah membuktikan peranan reseptor µ -opioid

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

17

yang meyakinkan pada pruritus. Satu penelitian melaporkan adanya

enolase neuron spesifik intraepidermal-serat saraf immunoreaktif pada

klien uremia, sehingga menimbulkan dugaan terdapat inervasi abnormal

yang berkesinambungan sebagai penyebab pruritus pada penyakit ESRD

(Keithi-Reddy et al., 2007).

Xerosis (kulit kering) sangat sering ditemukan pada klien ESRD.

Meskipun kaitan antara xerosis kulit dengan ESRD tidak konsisten,

namun xerosis ditemukan dengan prevalensi yang tinggi pada klien

ESRD usia lanjut. Dengan bukti bahwa substansia tubuh terakumulasi

dan uremia merupakan keadaan inflamasi, maka pruritus uremik

dianggap sebagai suatu reaksi kulit terhadap proses inflamasi yang masih

berlangsung. Faktor lain penyebab pruritus pada klien ESRD adalah

kadar magnesium, aluminium, hipervitaminosis A, dan neuropati perifer.

Anemia juga diduga sebagai faktor predisposisi penting meskipun belum

ada buktinya. Albumin serum umumnya ditemukan lebih rendah pada

klien dengan pruritus berat dibandingkan dengan tanpa gejala. Laporan

yang menyebutkan prevalensi HLAB35 yang tinggi pada klien ESRD

dengan pruritus mengindikasikan adanya predisposisi genetik (Keithi-

Reddy et al., 2007).

Xerosis terlihat pada sebagian besar klien pada HD dan dapat

menyebabkan pruritus. Xerosis kulit biasanya disebabkan karena retensi

vitamin A karena berkurangnya fungsi ginjal untuk mengsekresikan zat

ini. Maka vitamin A akan menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin

yang terlalu berlebihan ini akan menyebabkan atrofi kelenjar sebasea dan

kelenjar keringat sehingga kulit menjadi kering dan gatal (C. J. Ko &

Cowper, 2012).

Pada kulit klien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat

yang tinggi. Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf serta

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

18

pelepasan histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya

pruritus melalui degranulasi sel mast. Kalsium dan magnesium darah

dalam kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk

kristal. Kristal ini akan berdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan

terhadap serabut saraf c yang akan menyebabkan sensasi gatal. Kondisi

hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesium juga bisa

disebabkan karena hiperparatiroid sekunder (Azimi et al., 2015).

Terdapat dua konsep yang sering diajukan sebagai patofisiologi pruritus

pada klien CKD (T. Mettang, 2010):

1) The Immuno-hypothesis

Semakin banyak bukti yang menyebutkan bahwa pruritus uremik lebih

disebabkan kelainan sistemik dibandingkan dengan kelainan kulit.

Hipotesis imunologi didukung oleh berbagai bukti. Gilchrest GA dkk

melaporkan sejumlah klien pruritus uremik yang mengalami

perbaikan dengan sinar ultraviolet B, meskipun penyinaran hanya

dilakukan pada separuh badan. Observasi tersebut membuktikan

bahwa radiasi ultraviolet mempunyai efek sistemik. Sinar ultraviolet B

terbukti merupakan modulator diferensiasi limfosit Th1 dan Th2 dan

mengurangi ekspresi Th1. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

peningkatan dosis dialisis akan memperbaiki pruritus uremik.

Penurunan kejadian pruritus uremik juga dipengaruhi oleh semakin

baik modalitas dialisis, seperti meningkatnya penilaian terhadap

adekuasi dialisis, efikasi dialisis dengan penggunaan membran dialisis

high flux yang terdiri dari fiber sintetik seperti polisulfon atau

poliakrilnitrit.

Thalidomid dan takrolimus dilaporkan efektif dalam terapi pruritus

uremik. Thalidomid (yang digunakan sebagai imunomodulator untuk

mengobati reaksi (graft-versus-host) menekan produksi TNF-α dan

memacu diferensiasi limfosit Th2 dengan supresi sel Th-1 yang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

19

memproduksi interleukin-2 (IL-2). Takrolimus mensupresi

diferensiasi limfosit Th-1 dan produksi IL-2. Pada umumnya setelah

transplantasi ginjal, klien tidak mengalami pruritus uremik selama

mendapat terapi siklosporin meskipun transplan tidak berfungsi lagi.

Semua laporan ini menyimpulkan bahwa mekanisme imunologik

berperan penting dalam patogenesis pruritus uremik.

Gangguan sistem imun dengan proinflamatori turut berperan dalam

patogenesis pruritus uremik, faktor IL-2 yang disekresi oleh limfosit

Th-1 teraktivasi turut berperan. Telah dilaporkan bahwa pemberian

IL-2 intradermal menimbulkan efek pruritogenik yang cepat tetapi

lemah, IL-2 mempunyai kaitan kausal dengan sitokin pruritus uremik

dan diferensiasi sel T. Penelitian pendahuluan multisenter menetapkan

bahwa diferensiasi Th-1 lebih menonjol pada pruritus uremik

dibandingkan dengan tanpa pruritus uremik, yang dibuktikan dengan

pengukuran TNF-α intrasitoplasmik dalam sel CD4.

2) The opoid hypotesis

Konsep patogenetik yang mengubah sistem opiodergik berperan

dalam patofisiologi pruritus, pertama kali dilaporkan untuk pruritus

kolestatik, didukung oleh beberapa bukti. Pertama, beberapa obat

agonisreseptor-µ dapat menginduksi pruritus. Kedua, pada hewan

coba terbukti bahwa kolestasis berhubungan dengan peningkatan

tonus opioidergik. Ketiga, pemberian antagonis opiat sangat baik

dalam pengobatan pruritus kolestatik. Pruritus kolestatik dapat

dimediasi oleh perubahan patologis susunan saraf pusat. Hipotesis

didukung oleh temuan yang menyebutkan bahwa global down-

regulation reseptor µ terjadi pada otak tikus dengan kolestatik, klien

dengan kolestatik kronik, dan sindrom opiate withdrawl-like yang

dipresipitasi oleh pemberian antagonis opiat oral.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

20

Kasus pertama pada studi tentang keberhasilan pengobatan pruritus

uremik dengan antagonis opiat nalokson secara intravena. Pemberian

antagonis opiat pada pruritus uremik berdasarkan asumsi bahwa

peptida opiat endogen berperan dalam patogenesis pruritus uremik.

Pemberian naltrekson, antagonis reseptor-µ menyebabkan keluhan

pruritus berkurang secara bermakna, meskipun secara statistik tidak

bermakna. Aktivasi ekspresi reseptor-ҡ oleh sel dermal dan limfosit

dapat mengurangi pruritus. Dengan demikian, jika reseptor ini tidak

distimulasi atau reseptor- µ overexpressed, maka klien akan lebih

mengeluh pruritus.

Stimuli inflamatori yang disebabkan oleh uremia dan dialisis akan

menyebabkan peningkatan diferensiasi limfosit Th1 dan supresi itch-

reducing ҡ–receptor atau peningkatan µ-receptor di kulit klien yang

menjalani dialisis. Namun hingga saat ini, hipotesis ini belum dapat

dibuktikan. Imunomodulator dan obat antagonis reseptor-ҡ telah

terbukti sangat membantu pada pruritus yang berat.

Berdasarkan berbagai patogenesis, Keithi-Reddy SR (2007)

mengemukakan rangkaian patogenesis pruritus uremik.

a) Beberapa substansia menyebabkan lingkungan pruritogenik.

b) Pelepasan histamin oleh sel mast sebagai respons terhadap

substansia pruritogenik dan menstimulasi C-terminal ujung saraf.

c) Terjadi rangkaian sinyal dari ujung saraf yang mengaktivasi area

spesifik susunan saraf pusat dan menyebabkan persepsi pruritus.

5. Etiologi dan Faktor Resiko Pruritus

1) Etiologi

Tidak semua penyebab pruritus diketahui, beberapa keadaan turut

berperan, antara lain hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, akumulasi

toksin uremik, dan neuropati sensori uremik dini (Pardede, 2010).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

21

Pada CKD stadium akhir, pruritus dapat terjadi oleh berbagai sebab,

baik yang ada kaitannya dengan uremia maupun yang tidak berkaitan

dengan uremia. Penyebab pruritus pada CKD stadium akhir antara lain

(Keithi-Reddy et al., 2007):

a) Keadaan yang berkaitan dengan uremia:

1. Pruritus uremik

2. Xerosis kulit

3. Anemia karena penyakit ginjal kronik

4. Hiperparatiroidisme sekunder

b) Keadaan yang tidak berkaitan dengan uremia:

1. Hipersensitivitas karena obat

2. Penuaan

3. Hepatitis

4. Diabetes mellitus

5. Hipotiroidisme

6. Anemia defisiensi besi

7. Tumor limfoproliferatif

8. Hiperkalsemia

Salah satu faktor yang berperan pada terjadinya pruritus adalah toksin

uremik, yaitu substansia toksik yang berasal dari diet atau substansia

endogen yang terjadi karena gagal ginjal. Toksin uremik mempunyai

berat molekul 300-2.000 Dalton (mungkin juga hingga 4.000 Dalton)

dan terdiri dari berbagai substansia kimiawi heterogen. Beberapa di

antaranya adalah produk flora mikrobiologik dalam usus seperti dan

aromatik, indol. Urea merupakan substansia yang tidak bemuatan

(uncharge), tidak terikat dalam plasma, larut dalam air, mudah berdifusi

di antara kompartemen air, mudah didialisis, dan tersebar dalam cairan

tubuh. Selain toksisitas yang rendah, urea merupakan petanda yang baik

pada keadaan uremik karena merupakan degradasi produk protein.

Kreatinin tampaknya relatif non toksik (Pardede, 2010).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

22

Keadaan uremik ditandai dengan penimbunan toksin uremik yaitu

berbagai substansia yang dalam keadaan normal diekskresi atau

dimetabolisme oleh ginjal. Toksin uremik dibentuk dari:

a) Produk metabolik protein dan asam amino

1) Urea atau nitrogen ureum darah (blood urea nitrogen), kreatinin,

asam urat

2) Guanidin (metilgianidin, asam guanidinoasetat, asam

guanidinosuksinat)

3) Asam oksalat, fenol dan asam phyenolat, indol,

4) Furans (asam furan propanoat),

5) golongan amin: aliphatic amines (dimetilamin); aromatik (asam

hipurat); poliamin (spermin)

6) Peptida dan protein: mikroglobulin β-2

7) Produk metabolisme asam nukleat: asam urat, cyclic –AMP,

pirimidin

8) Elemen inorganik, H+, Na

+, Al

+, Mg2

+, K

+, Ca

+, PO4, SO4

9) Mioinositol -2,3-butylene glycol

b) Enzim: renin, ribonuklease, lisozim

c) Hormon: hormon paratiroid, glukagon, hormone pertumbuhan

(growth hormone), kalsitonin, hormon natriuretik

2) Faktor resiko pruritus

a) Usia

Berdasarkan penelitian kepada 100 responden di Iran didapatkan

kejadian pruritus pada klien CKD cenderung lebih banyak terjadi

pada usia > 50 tahun dibandingkan dengan usia < 50 tahun

(Mirnezami & Rahimi, 2010). pruritus uremik berat sangat jarang

ditemukan pada anak yang menjalani dialisis. Dari 199 anak yang

menjalani dialisis, hanya 9,1% mengalami pruritus dan intesitasnya

tidak berat (Pardede, 2010).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

23

b) Gender

Beberapa penelitian menunjukan bahwa pruritus paling banyak

dialami oleh jenis kelamin laki-laki (Keithi-Reddy et al., 2007;

Narita et al., 2006). Namun penelitian lain mengatakan bahwa

pruritus tidak ada hubungan antara usia (Wang & Yosipovitch,

2011).

c) Dialysis

Hasil penelitian studi longitudinal mengatakan 84% klien HD telah

dilaporkan menderita pruritus, 59% dari klien tersebut menderita

pruritus selama lebih dari satu tahun (Mathur et al., 2010).

Sedangkan klien HD kejadian pruritus sekitar 50-90% dibanding

klien CKD yang tidak HD (15-49%) (Azimi et al., 2015). Wang &

Yosipovich, 2011 dalam penelitiannya tidak ada hubungan kejadian

pruritus dengan durasi waktu HD, meskipun kejadian pruritus lebih

umum terjadi pada klien CKD dengan HD dibandingkan dengan

PD (Wang & Yosipovitch, 2011). Penelitian lain mengatakan

kejadian pruritus lebih tinggi pada klien CKD dengan PD

dibandingkan dengan HD (Min et al., 2016).

6. Dampak Pruritus bagi Klien CKD

Pruritus pada CKD sering terjadi pada punggung, perut, lengan dan kulit

kepala (Azimi et al., 2015). Intensitas gatal pada CKD lebih intens di

malam hari dan mengganggu tidur, hal yang memperparah gatal pada

keadaan kulit kering, keringat dan panas (Azimi et al., 2015). CKD

dengan pruritus memberikan dampak yang signifikan kepada fisik dan

psikologis klien sehinggan menjadi masalah kepada kualitas hidup klien

(T. Mettang, 2010), sebagai berikut:

a) Fisik

Rasa gatal dan garukan yang kronis berakibat kepada kulit klien

seperti: eksoriasi dengan atau tanpa impetigo (infeksi kulit), jaringan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

24

parut (deep scars), dan prurigo (papula) (Azimi et al., 2015; T.

Mettang, 2010).

Gambar 2.2

Dampak fisik pruritus

Keterangan: a) eksoriasi, b) deep scars, c) prurigo

Sumber : (T. Mettang, 2010)

Selain itu juga berdampak kepada:

1) Fatigue

Pruritus pada klien CKD memiliki dampak signifikan terhadap

fatigue pada siang hari, hal ini dikarenakan dampak dari kualitas

tidur klien pada malam harinya (Patel et al., 2007). Selain fatigue

diakibatkan dampak kualitas tidur klien, juga diakibatkan

manajemen terapi menggunakan gabapentin. Berdasarkan

penelitian 100-300 mg gababentin peroral mempunyai efek

kepada fatigue dan nausea (Tarikci et al., 2015).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

25

2) Kualitas tidur

Di Jepang, Studi longitudinal kepada 1.773 klien hemodialisis

untuk mengevaluasi keparahan derajat pruritus yang juga di

hubungankan dengan kualitas hidup dalam domain mood,

hubungan sosial dan tidur. Didapatkan 453 klien mengalami

pruritus dan 70% klien mengeluh gangguan tidur (Narita et al.,

2006).

b) Psikologi

Pruritus pada klien CKD berdampak psikologi klien hingga kepada

tingkat depresi. Penelitian cross-sectional kepada 980 klien dialisis

di Brazil menunjukan hubungan yang kuat kejadian pruritus dengan

kejadian depresi, sehingga menjadi perhatian khusus klien pruritus

CKD yang menjalani hemodialisis dalam menghadapi beban

psikologi yang tinggi (Lopes et al., 2012). Hasil penelitian yang

sama kepada 200 klien hemodialisis di Polandia kejadian pruritus

klien CKD mempunyai hubungan dengan kejadian depresi klien

(Suseł et al., 2014).

c) Mortalitas

Dalam studi International Dialysis Outcomes and Practice Patterns,

mengevaluasi lebih dari 18.000 klien pada terapi hemodialisis,

pruritus dikaitkan dengan risiko kematian lebih besar (17%),

dibanding klien hemodialisis yang tidak mengalami pruritus (Pisoni

et al., 2006). Sebuah studi prospektif yang melibatkan 321 klien HD

kronis menunjukkan menunjukkan bahwa peradangan dapat

menyebabkan peningkatan angka kematian pada klien yang paling

parah terkena dampak gatal (Chen et al., 2010).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

26

7. Manajemen Terapi Pruritus

Pengobatan pruritus uremik sangat sulit meskipun pengobatan dengan

obat tertentu kadang-kadang efektif. Sayangnya tidak ada antipruritus

yang berspektrum luas, berbagai obat topikal atau sistemik dapat

digunakan untuk menekan rasa gatal (M. Mettang & Weisshaar, 2010).

Beberapa pengobatan telah dicoba seperti eritropoietin, naltrekson, dan

pengobatan lain dengan hasil yang baik meskipun sering juga tidak

memberikan hasil. Pengobatan pruritus uremik kurang efektif disebabkan

patofisiologi pruritus uremik belum jelas (Pardede, 2010).

Klien dengan pruritus umumnya memerlukan suasana sejuk, yang dapat

dilakukan dengan 1) Menggunakan pakaian yang membuat sejuk, 2)

Mempertahankan lingkungan yang tidak terlalu kering, 3) Menggunakan

shower atau mandi hangat-hangat kuku, 4) Menghindari alkohol atau

makanan/minuman panas atau pedas. Klien diminta menggunting kuku

dan menggaruk dengan perlahan untuk mencegah kerusakan kulit.

Kelainan yang paling sering ditemukan pada pruritus uremik adalah

xerosis kulit, sehingga pemberian emolient sangat perlu. Pemberian

emolient seperti gel yang mengandung 80% air terbukti memberikan

hasil yang baik. Penelitian pada duapuluh satu klien tanpa kontrol, klien

diobati dengan sabun lunak dan emolient moistuirizing minimal dua kali

sehari; membaik dan di antaranya mengalami kesembuhan tanpa gejala

pruritus (Pardede, 2010).

Sinar ultraviolet memberikan hasil yang baik dan aman dalam

pengobatan pruritus uremik, telah dilaporkan dalam penelitian uji klinik

double blind. Mekanisme efek antipruritus sinar ultraviolet belum

diketahui, tetapi diduga terjadi melalui inaktivasi substansia pruritogenik

bersirkulasi, pembentukan photoproduct yang mengurangi pruritus,

mengubah konten ion divalen dalam kulit, dan menimbulkan degenerasi

saraf kulit. Sinar ultraviolet B menurunkan jumlah sel mast dermal

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

27

dengan mempercepat apoptosis (kematian sel), menyebabkan degenerasi

saraf, dan menurunkan konsentrasi ion divalen kulit. Pada pruritus

uremik, sinar ultraviolet B dilaporkan menyebabkan remisi sampai

delapan belas bulan (Pardede, 2010).

Faktor lain yang juga berperan dalam terjadinya pruritus adalah disfungsi

imun dan perubahan pola produksi limfokin, maka pasien diterapi dengan

obat yang mempengaruhi limfosit atau limfokin. Asam amino esensiel

seperti asam linoleat-J mengurangi proliferasi limfosit dan produksi

limfokin serta mengurangi beratnya pruritus. Penelitian prospektif

dengan metode randomized, double blind, placebo controlled, cross over

study, krim asam linolenik-J 2,2% dibandingkan dengan plasebo yang

diberikan tiga kali sehari selama dua minggu. Kemudian dilakukan terapi

silang untuk masing-masing kelompok. Terlihat efek antipruritus asam

linolenat-J yang baik (Pardede, 2010).

Capsaicin, adalah substansia yang diisolasi dari tanaman pepper genus

Capsicum, Capsaicin topikal dapat menghilangkan substansia P neuron

perifer C-fibres dan menghambat konduksi nyeri atau pruritus sehingga

mengurangi rasa nyeri dan gatal. Capsaicin secara bermakna efektif

dalam menghilangkan pruritus dan mempunyai efek antipruritus yang

lama hingga delapan minggu setelah pengobatan. Krim capsaicin 0,025%

atau 0,075% dioleskan 3-5 kali sehari (Keithi-Reddy et al., 2007).

Beberapa obat yang mengandung anestesi lokal (seperti benzokain,

lidokain atau tetrakain/ametokain) dapat digunakan untuk pengobatan

pruritus uremik. Strontium nitrat 10-20% topikal mempunyai efek

antipruritus dan efektif dalam mengurangi pruritus (Pardede, 2010).

Salep takrolimus mengurangi gejala klinis pruritus uremik membaik

secara dramatis, meskipun beberapa hari setelah salep dihentikan secara

perlahan pruritus timbul kembali. Tidak tampak efek samping selama dan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

28

setelah pemberian takrolimus. Tampaknya salep takrolimus aman dan

cukup efektif sebagai pengobatan jangka pendek terutama pada pruritus

berat, namun perlu waspada terhadap efek karsinogenik pada pemakaian

jangka lama. Salep takrolimus 0,03% diberikan 2 kali sehari selama 7

hari (T. Mettang, 2010).

Ketidakseimbangan stimulasi reseptor P-opioid dan N-opioid berperan

dalam patogenesis pruritus, sehingga manipulasi sistem opioid dapat

digunakan dalam tata laksana pruritus. Pemberian naltrekson secara

sistemik, suatu antagonis reseptor-P efektif dalam tata laksana pruritus.

Pada penelitian dengan metode placebo-control, double blind crossover

pada pasien pruritus uremik persisten yang resisten dengan hemodialisis

atau dialisis peritoneal, pemberian naltrekson menyebabkan perbaikan

pada 29,2 % pruritus uremik, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna

pada kelompok naltrekson dan plasebo. Naltrekson diberikan selama 4

minggu dengan dosis 50 mg/hari.10 Kejadian efek samping naltrekson

berupa gangguan saluran gastro-intestinal sangat tinggi, yaitu 9 di antara

23 pasien mengalami gangguan gastrointestinal, sehingga obat ini tidak

begitu disukai dalam pengobatan pruritus uremik (Keithi-Reddy et al.,

2007).

Nalfurafin, suatu agonis reseptor N-opioid telah dicoba dalam

pengobatan pruritus uremik. Pada penelitian metaanalisis, multisenter,

randomized, coubleblind, placebo-controlled terhadap pasien yang

mengalami pruritus intraktabel, pasien mendapat nalfurafin 5 Pg atau

plasebo secara intravena tiga kali seminggu selama 2-4 minggu. Terlihat

efek nalfurafin yang berbeda bermakna dibandingkan dengan plasebo.

Transplantasi ginjal merupakan satu-satunya terapi definitif untuk

pruritus uremik refrakter berat pada pasien PGSA, namun hal ini sering

tidak mampu laksana dan tidak dapat dilakukan dengan segera. Oleh

sebab itu, tata laksana yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

29

dialisis, pemberian eritropoietin dan suplementasi besi, serta pengobatan

hiperparatiroidisme sekunder untuk mempertahankan kadar kalsium dan

fosfor dalam keadaan normal (Keithi-Reddy et al., 2007)

Keithi-Reddy SR dkk (2007) membuat daftar pilihan terapi pada klien

pruritus uremik (Keithi-Reddy et al., 2007):

1) Dialisis: transplantasi ginjal, dialisis efisien, eritropoietin

2) Terapi topikal: emolient kulit, capsaicin, steroid topical

3) Terapi fisik: fototerapi, akupunktur, sauna

4) Terapi sistemik: antagonis μ-reseptor dan k-agonis, diet rendah

protein, minyak primrose, lidokain dan mexilitin, antagonis opioid,

activated charcoal, kolestiramin, antagonis serotonin,

paratiroidektomi, thalidomid, nikergolin, nalfurafin.

Modifikasi teknik dialisis, Pengenalan penggunaan membran dialisis

biokompatibel telah menurunkan prevalensi pruritus di HD pasien.

Namun, masih tetap belum jelas apakah perubahan dalam terapi dialisis

termasuk perubahan membran dialisis dapat mengurangi pruritus atau

tidak. Hiroshige et al. menganalisis data dari 59 pasien HD, yang tidak

memiliki gangguan dalam metabolisme kalsium dan fosfat, dan

menemukan bahwa lebih dari 60% dari mereka yang menderita pruritus

kemungkinan berhubungan dengan uremia kronis. Blood Urea Nitrogen

(BUN) dan plasma β2-mikroglobulin, yang keduanya merupakan faktor

biokimia yang berkaitan dengan prevalensi pruritus dan efisiensi dialisis,

diinvestigasi dan dihitung dengan cara kinetika urea. nilai signifikan lebih

tinggi dari BUN dan plasma β2-mikroglobulin telah diamati sebelum sesi

dialisis pada pasien pruritus dengan efektivitas dialisis lebih rendah

seperti yang diperkirakan oleh Kt/V urea dan Normalized Protein

Catabolic Rate (nPCR). Setelah 3 bulan tanpa mengubah teknik dialisis,

16 pasien dengan rata-rata Kt / V urea dan nPCR 1,28 dan 1,22 g / kg /

hari, masing-masing, mengalami penurunan yang signifikan pada tingkat

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

30

pruritus seperti yang diperkirakan oleh skor pruritus, dari 12,6 ± 5,1-6,3 ±

3,2 (P <0,001) (Suzuki et al., 2015).

Sebagian besar klien dengan hemodilisis mengalami xerosis (kulit kering)

yang menyebabkan gatal (C. J. Ko & Cowper, 2012). Salah satu penangan

xerosis dengan pemberian emolien, fungsi emolien sendiri melembabkan

kulit, anti inflamasi, antimitotik dan anti pruritus (Movita, 2014). Istilah

pelembab dan emolien sering dikacaukan sehingga timbul bermacam

definisi. Istilah pelembab menggambarkan terjadinya penambahan air ke

kulit, sehingga menurunkan kekasaran kulit atau peningkatan kadar air

secara aktif ke kulit. Sedangkan emolien merupakan bahan oklusif yang

membantu hidrasi kulit dengan cara mengoklusi permukaan kulit dan

menahan air di stratum corneum (Partogi, 2008).

Emolien telah terbukti bermanfaat pada klien CKD dengan pruritus.

Secara umum, emolien diusulkan sebagai pengobatan lini pertama. Di

antara emolien, gel air telah terbukti menurunkan pruritus;. Dalam studi,

20 klien HD dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok diperlakukan

dengan gel berair yang mengandung 80% air dan kelompok lain tidak

menerima pengobatan emolien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gel

berair yang mengandung kadar air yang tinggi secara efektif

meningkatkan rasa gatal pada klien HD dengan uremik pruritus ringan.

Selain itu, meningkatkan ketidaknyamanan psikologis juga (Suzuki et al.,

2015).

Di sisi lain, dilaporkan metode pengobatan yang paling umum digunakan

oleh klien Polandia dengan Atopik Dermatitis untuk mengurangi atau

meringankan gatal adalah sebagai berikut: emolien (80,9%), anthistamin

(77,5%), kortikosteroid topikal (68,5%), udara dingin (37,1% .), mandi

dingin (23,6%) dan relaksasi (20,2%) 7,8 Namun, emolien memberikan

efek antipruritus jangka panjang hanya dalam 26% dari klien, dan 62%

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

31

dari subyek disebutkan hanya pengurangan jangka pendek pruritus; dalam

lebih 4%, emolien tidak di berpengaruh pada gatal sama sekali (8% tidak

beropini apapun mengenai penggunaan emolien) (Szepietowski & Reich,

2010).

Akupunktur dapat didefinisikan sebagai stimulasi titik anatomi pada tubuh

dengan menggunakan berbagai teknik untuk tujuan terapeutik. Teknik

akupunktur yang telah paling sering dipelajari secara ilmiah meliputi

menusuk kulit dengan jarum logam atau dengan benda keras yang

dimanipulasi oleh tangan atau dengan stimulasi listrik. Akupunktur telah

dipraktikkan di China dan negara-negara Asia lainnya selama ribuan

tahun, dan merupakan salah satu komponen kunci dari pengobatan

tradisional di daerah Asia Timur, meskipun dikembangkan dengan cara

yang berbeda di setiap daerah (Suzuki et al., 2015). Baru-baru ini, kim

dkk (2010) berdasarkan studi dapat disimpulkan bahwa akupuntur dapat

mengurangi mempunyai efektifitas menurunkan pruritus (Kim, Lee, &

Choi, 2010). Sepertihalnya akupuntur dengan metode menusuk kulit

dengan jarum, akupresur dengan memanipulai titik anatomi dengan benda

keras menunjukan signifikan menurunkan pruritus pada pasien

hemodialisis (Akça, Taççi, & Karatas, 2013).

8. Penilaian pruritus pada CKD

Penilain pruritus pada penelitian ini ditujukan untuk panduan

menetapkan partisipan. Pruritus digolongkan berdasarkan derajat

keluhan, frekuensi, dan distribusinya. Dalam studi klinis, tingkat

keparahan pruritus yang diukur menggunakan Visual Analog Scale

(VAS) skor, skala 10-point, dengan 0 'menunjukkan tidak ada pruritus

dan "10" menunjukkan pruritus sangat parah (Makari et al., 2013).

Beberapa peneliti melaporkan keluhan pruritus berdasarkan intensitas

(tidak ada, ringan, berat) dan frekuensi (tidak ada, kadang-kadang, setiap

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

32

hari). Namun, kebanyakan keluhan pruritus hanya dibedakan berdasarkan

ada atau tidaknya pruritus.

VAS paling sering digunakan dalam mengukur pruritus, akan tetapi VAS

hanya menilai tingkat keparahan pruritus tanpa menilai aspek lain dari

pruritus. Untuk itu, saat ini telah dikembangkan kuisioner yang

multidimensi berguna sebagai outcome dalam uji klinis yaitu 5-D itch

scale, terdapat 5 dimensi yaitu degree, duration, direction, disability dan

distribution. 5-D itch scale instrumen baru untuk mengukur pruritus dari

waktu kewaktu, sudah melalui uji validitas dan reabilitas, dan mudah

digunakan (Elman, Hynan, Gabriel, & Mayo, 2011).

Skor dari masing-masing lima domain dapat tercapai secara terpisah dan

kemudian dijumlahkan bersamaan untuk memperoleh total skor 5-D. skor

5-D secara potensial bisa berkisar antara 5 sampai (tidak ada pruritus)

dan 25 (pruritus paling parah). skor item tunggal domain (duration,

degree dan direction) yang sama dengan nilai yang ditunjukkan di bawah

pilihan responden. Dalam domain disabilitas mencakup empat item yang

menilai dampak dari gatal-gatal pada kegiatan sehari-hari: tidur, rekreasi

/ kegiatan sosial, pekerjaan rumah tangga / tugas dan pekerjaan / sekolah.

skor untuk domain disabilitas dicapai dengan mengambil score tertinggi

pada salah satu dari empat item. Untuk domain distribusi, jumlah bagian

tubuh yang terkena dihitung (potensial sum 0-16) dan jumlah tersebut

diurutkan dalam lima bins skor: jumlah 0-2 = skor 1, jumlah 3-5 = skor 2,

jumlah 10/06 = skor 3, jumlah 11-13 = skor 4, dan jumlah 14-16 = skor 5

(Elman, Hynan, Gabriel, & Mayo, 2011).

D. Keterkaitan penelitian dengan nursing theory

Cara pandang manusia sebagai makhluk yang holistik dan memiliki

kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan teori

keperawatan yang dikemukakan oleh Calista Roy. Dalam konsepnya, Roy

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

33

menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan

cara mempertahankan perilaku secara adaptif. Manusia adalah sebagai

sebuah sistem adaptif yang menerima input rangsangan dari lingkungan

luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Manusia memiliki fungsi

fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Kebutuhan

dasar ini meliputi kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan

istirahat proteksi, penginderaan, cairan dan elektrolit, persarafan

(neurologi), fungsi endokrin (Alligood, 2014).

Manusia juga dipandang memiliki konsep diri yang berhubungan dengan

psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual

manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas

psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep

diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the

personal self. Physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya

berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkan

personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral-

etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan

atau takut menjadi beban emosional dan merupakan hal yang berat dalam

area ini. Oleh sebab itu manusia juga membutuhkan interaksi satu sama lain

yang fokusnya adalah untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih

sayang, perhatian dan saling menghargai (Alligood, 2014).

Menurut Roy, lingkungan digambarkan sebagai dunia didalam dan diluar

manusia. Lingkungan merupakan stimulus/rangsangan/input bagi manusia

sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus

eksternal dan internal. Lingkungan didefinisikan sebagai segala kondisi,

keadaan disekitar dan mempengaruhi keadaan, perkembangan dan perilaku

manusia sebagai individu atau kelompok. Selanjutnya dijelaskan bahwa

kesehatan didefinisikan sebagai keadaan dan proses menjadi manusia

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

34

secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan. Dalam model adaptasi

keperawatan konsep sehat dan sakit dihubungkan dengan kemampuan

beradaptasi (Alligood, 2014).

Peran keperawatan sebagai disiplin ilmu dan praktek sangat dibutuhkan

dalam membantu klien beradaptasi. Sebagai ilmu, keperawatan

mengobservasi, mengklasifikasikan dan menghubungkan proses yang

secara positif berpengaruh pada status kesehatan. Sebagai disiplin

praktek keperawatan menggunakan pendekatan pengetahuan untuk

menyediakan pelayanan kepada indivdu untuk beradaptasi terhadap

stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Ketika stressor

yang tidak biasa atau koping mekanisme yang lemah membuat upaya

individu menjadi koping yang tidak efektif, saat inilah individu

memerlukan seorang perawat. Pendekatan holistik keperawatan dilihat

sebagai proses untuk mempertahankan keadaan baik dan tingkat

fungsi yang lebih tinggi. Bagaimanapun aktivitas keperawatan tidak

hanya diberikan ketika manusia sakit saja (Alligood, 2014).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Chronic Kidney Disease (CKD) 1

35

E. Kerangka Teori

Sumber: (Azimi et al., 2015; Keithi-Reddy et al., 2007; T. Mettang, 2010;

Mirnezami & Rahimi, 2010; Pardede, 2010; Patel et al., 2007).

Pruritus

Klien CKD dengan

hemodialisis

Komplikasi pada

dermatologi

Pruritus

psikologis

Faktor penyebab:

hiperparatiroidisme sekunder,

kelainan divalention, histamin,

sensitisasi alergi, proliferasi

sel mast kulit, anemia

defisiensi besi,

hypervitaminosis A, xerosis,

neuropati dan perubahan

neurologis, keterlibatan sistem

opioid (understimulation dari

reseptor κ atau berlebih dari

reseptor μ), sitokin, asam

empedu serum, oksida nitrat

Faktor resiko:

Usia, gender, dan

dialisis

Fisik

Depresi Gangguan

Tidur

Fatigue

Kualitas hidup

Manajemen

terapi

1. Terapi

dialisis

efektif

2. Terapi

farmakologi

3. Terapi fisik

eksoriasi

dengan atau

tanpa impetigo

(infeksi

kulit), jaringan parut

(deep scars),

dan prurigo

(papula)