bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1. Pengertian
Stres adalah suatu kondisi ketegangan fisik atau psikologis
disebabkan oleh adanya persepsi ketakutan dan kecemasan Kartono dan
Gulo (2000, dalam Safaria, 2009). Menurut Clonninger (1996, dalam
Safaria, 2009) mengemukakan stres adalah keadaan yang membuat
tegang yang terjadi ketika seseorang mendapatkan masalah atau
tantangan dan belum mempunyai jalan keluarnya atau banyak pikiran
yang mengganggu seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya.
Menurut Hardjana (1994, dalam Yosep, 2007). Stres sebagai keadaan
atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang mengalami stres
dan hal yang dianggap mendatangkan stres membuat orang yang
bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan atau kondisi dan
sistem sumber daya biologis, psikologis, dan sosial yang ada pada
dirinya.
Menurut Vincent Cornelli, sebagaimana di kutip oleh Grant Brencht
(2000, dalam Sunaryo, 2004) bahwa yang dimaksud” stres adalah
ganguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun
penampilan individu di dalam lingkungan tersebut. Stres adalah suatu
keadaan dimana beban yang di rasakan seseorang tidak sepadan dengan
kemampuan untuk mengatasi beban( Markam, 2003, dalam Sunaryo,
2004).
2. Model pendekatan stres
Menurut Yosep (2007), menyatakan bahwa beberapa model pendekatan
stres antara lain sebagai berikut :
9
a. Model Stimulus
Model ini menitikberatkan pada lingkungan dan menggambarkan
stres sebagai stimulus (variabel bebas). Menurut model ini,
seseorang individu bertemu secara terus-menerus dengan sumber
stressor yang potensial yang ada dalam lingkungan. Kelemahan
model ini ditunjukan oleh perbedaan individual.
b. Model Respon
Model ini memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stressor dan
menggambarkan stres sebagai suatu respon nonspesifik tubuh
terhadap tuntutan lingkungan. Respon ini umum disebut sebagai
General Adaptation Syndrome (GAS). Menurut Selye (Rice, 1992,
dalam Safaria, 2009) ada tiga tahap yang disebut sebagai sindrom
adaptasi umum, yaitu:
1). Reaksi alarm (alarm reaction)
Reaksi alarm terjadi ketika stimulasi pertama kalinya dari stressor
yang menimbulkan ketengangan yang diterima oleh reseptor.
Selama tahap ini, sistem simpatetik dan kelenjar-kelenjar tubuh
mulai mengeluarkan hormon-hormonnya untuk tujuan penciptaan
energi tubuh menghadapi tegangan. Jika ketegangan itu terus
terjadi maka tubuh akan memasuki tahap berikutnya.
2). Fase Resistensi (resistence)
Fase ini tubuh terus-menerus mengeluarkan energinya untuk
bertahan dan melawan ketegangan yang ada. Hormon-hormon
stres mulai meningkat kadarnya di dalam tubuh seperti adrenalin,
noradrenalin, dan kortisol. Semua hormon-hormon itu digunakan
untuk memberi energi pada tubuh untuk melawan ketegangan.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem-sistem pertumbuhan
dalam tubuh akan terganggu fungsinya, dan jika ketegangan
masih terus berlangsung tubuh akan masuk pada tahap terakhir.
10
3). Fase Kelelahan (exhaustion)
Fase ini tubuh telah kehabisan energi untuk terus-menerus
melawan ketegangan-ketegangan yang ada sehingga jika hal ini
terus berlangsung akan berdampak negatif karena rusaknya
sistem-sistem pertumbuhan di dalam tubuh.
c. Model Transaksional
Model yang menggambarkan stres sebagai suatu proses yang
meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi
hubungan antara individu dengan lingkungan .
Menurut Sarafino (dalam Lukaningsih, 2011). mendefinisikan stres
sebagai kondisi yang disebabkan oleh transaksi individu dengan
lingkungannya yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-
tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Dari definisi tersebut,
Sutherland & Cooper menyimpulkan (dalam Yosep, 2007) :
1) Penilaian Kognitif (cognitive appraisal), stres adalah
pengalaman subjektif yang (mungkin) didasarkan atas persepsi
terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan.
2) Pengalaman (experience), suatu situasi yang tergantung pada
tingkat keakraban dengan situasi, keterbukaan semula
(exposure), proses belajar, kemampuan nyata dan konsep
reinforcement.
3) Tuntutan (demand), tekanan, tuntutan, keinginan atau
rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya yang
mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat diterima.
4) Pengaruh interpersonal (interpersonal influence), ada tidaknya
seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi
pengalaman subjektif, respon dan perilaku koping.
11
3. Sumber-sumber stres (Stressor)
Stressor adalah variabel yang dapat diidentifikasikan sebagai
penyebab timbulnya stres, datangya stressor dapat sendiri-sendiri atau
dapat pula bersamaan. Sumber stressor dapat berasal dari dalam tubuh
dan diluar tubuh, sumber stres dapat berupa biologik/fisiologik (Rasmun,
2004).
Apabila ditinjau dari penyebab stres, menurut Sri Kusmiati dan
Desminiarti (1990, dalam Sunaryo, 2004), dapat digolongkan sebagai
berikut.
a. Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperature yang terlalu tinggi
atau rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang, atau
tersengat arus listrik.
b. Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat, obat-obatan, zat
beracun, hormone, atau gas
c. Stres mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasite
yang menimbulkan penyakit.
d. Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan,
organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak
normal.
e. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga
tua.
f. Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan
interpersonal, social, budaya, atau keagamaan.
Adapun menurut Brench Grand (2000, dalam Sunaryo, 2004). stres
ditinjau dari penyebabnya hanya dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
a. Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam
kehidupan, seperti kematian, perceraian, pensiun, luka batin, dan
kebangkrutan.
12
b. Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari,
seperti pertengkaran rumah tangga, beban pekerjaan, masalah apa
yang akan dimakan, dan antri.
4. Tahapan stres
Menurut Dr. Robert J. Van Amberg, (1979 dalam Sunaryo, 2004).
sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dadang Hawari 2001 bahwa
tahapan stres sebagai berikut:
a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai
perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu
menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang
dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.
b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun
pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore,
lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut
tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk,
dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak
memadai.
c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti
defekasi tidak teratur (kadang-kadan diare), otot semakin tegang,
emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle
insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late
insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.
d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti
tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan
terasa sulit dan menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin
terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi
dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.
e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan
kelelahan fisik dan mental (physical and psychological exhaustion),
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan
13
ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan
cemas, bingung, dan panik.
f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-
tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar,
dingin, dan banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps
(Sunaryo, 2004).
5. Dampak stres
Stres dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu. Dampak
tersebut bisa merupakan gejala fisik maupun psikis dan akan
menimbulkan gejala-gejala tertentu. Reaksi dari stres bagi individu dapat
digolongkan menjadi beberapa gejala (Rice, 1992, dalam Safaria, 2009),
yaitu sebagai berikut: (1) Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit
kepala, sembelit, diare, sakit pinggang, urat tegang pada tengkuk,
tekanan darah tinggi, kelelahan, sakit perut, maag, berubah selera makan,
susah tidur, dan kehilangan semangat, (2) Gejala emosional, berupa
keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah
tersinggung, sedih, dan depresi, (3) Gejala kognitif, berupa keluhan
seperti susah berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, mudah lupa,
melamu secara berlebihan, dan pikiran kacau, (4) Gejala interpersonal,
berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis, agresif, minder,
kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan mudah mempersalahkan
orang lain, (5) Gejala organisasional, berupa meningkatnya keabsenan
dalam kerja/kuliah, menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan
kerja, ketidakpuasan kerja dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.
6. Cara menghadapi stres
Jere Yates Rice ( 1992, dalam Safaria, 2009) memberikan 8 alternatif
umum untuk menghadapi stres, antara lain : (1) Mempertahankan
kesehatan fisik melalui olah raga teratur. Semakin kuat fisik anda maka
akan semakin tangguh anda dalam menghadapi stres, (2) Menerima diri
14
sendiri apa adanya yang berkaitan dengan kelebihan dan kelemahan diri,
kesuksesan dan kegagalan diri, kesuksesan dan kegagalan diri. Sikap
penerimaan ini tidak saja meredakan rasa frustasi anda sehingga
menghilangkan emosi negative dalam diri anda, tetapi juga akan
menciptakan suasana hati yang lebih tenang dan damai dalam diri anda,
(3) Tetap percaya diri, dan mempunyai teman untuk berbagi dalam
kesusahan. Dengan demikian, anda mempunyai tempat untuk
mengutarakan kesulitan-kesulitan yang anda hadapi karena setiap
masalah yang membebani pikiran dan perasaan akan banyak mereda jika
diutarakan kepada orang lain, (4) Ambil sisi positif dan gunakan
pendekatan konstruktif dalam menghadapi masalah anda. ini sama juga
dengan anda membiasakan diri untuk senantiasa menciptakan pikiran-
pikiran positif dalam diri anda sehingga anda mampu membangun sinergi
yang kokoh secara psikologi, (5) Mempertahankan kehidupan social di
luar perusahaan tempat anda bekerja. Kehidupan sosial di luar rumah
akan sangat berguna sebagai dukungan sosial dan sumber perhatian untuk
anda, (6) Terlibat dalam aktivitas kreatif di luar pekerjaan akan
memberikan kebermaknaan dalam hidup anda, serta memperkaya
pengalaman anda. Kegiatan kreatif ini bias berupa hobi positif yang anda
miliki, (7) Terlibat dan menciptakan kegiatan kerja yang penuh makna.
Banyak cara yang sederhana untuk menciptakan kegiatan kerja yang
penuh makna antara lain dengan manajemen stres, penyelesaian tugas
tepat waktu dan lain sebagainya, (8) Menerapkan metode-metode yang
efektif untuk mengatasi stres. Metode-metode ini banyak dijelaskan
dalam buku ini di antaranya melalui pengendalian pikiran-pikiran
negative, relaksasi atau melalui pendalaman spiritual religious.
15
B. Stres Kerja
1. Pengertian
Berkaitan dengan pekerjaan, setiap orang pasti pernah mengalami
stres. Stres kerja itu sendiri yaitu tekanan yang muncul pada seseorang
berkaitan dengan tuntutan terhadap pekerjaan. Stres kerja muncul karena
adanya rangsangan yang berasal dari lingkungan kerja atau dalam
pekerjaan yang menjadikan stres dan individu tersebut tidak dapat
mengatasinya (Huber, 2000).
Stres dapat terjadi pada hampir semua pekerja, baik tingkat pimpinan
maupun pelaksana. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat
potensial untuk menimbulkan stres bagi pekerjanya. Stres dilingkungan
kerja memang tidak dapat dihindarkan, yang dapat dilakukan adalah
bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres tersebut,
sehingga tidak menggangu pekerjaan (Notoatmodjo, 2002).
Menurut Rice (1992, dalam Anies, 2005) seseorang dapat
dikategorikan mengalami stres kerja, apabila stres yang dialami
melibatkan juga pihak organisasi perusahaan tempat orang yang
bersangkutan bekerja.
2. Sumber stres kerja
Sumber-sumber stres kerja juga dapat dikelompokan menjadi tiga
yaitu berasal dari lingkungan fisik atau psikis, kondisi-kondisi diluar
lingkungan kerja, dan yang berasal dari diri sendiri (Sunaryo, 2004).
1) Menurut Maramis (1999, dalam Sunaryo, 2004). Ada empat sumber
atau penyebab stres psikologis, yaitu:
a. Frustasi
Timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada aral
melintang frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan
kegagalan usaha) dan enstrinsik (kecelakaan, bencana alam,
kematian orang yang dicintai, kegoncangan ekonomi,
penggangguran, perselingkuhan dan lain-lain.
16
b. Konflik
Timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam
keinginan, kebutuhan, atau tujuan. Bentuknya apparoch-
avoidance conflict, atau avoidance conflict.
c. Tekanan
Timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat
berasal dari dalam diri individu dan tekanan yang berasal dari luar
individu.
d. Krisis
Yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stres pada
individu.( Maramis, 1999, dalam Sunaryo, 2004).
2) Sumber-sumber stres kerja yang berasal dari lingkungan fisik kerja
yaitu:
a. Ruangan kerja fisik yang kurang baik
b. Beban kerja
c. Tempo kerja yang terlalu cepat
d. Pekerjaan yang terlalu sederhana
e. Konflik peran
f. Hubungan dengan atasan maupun teman kerja yang kurang baik
serta iklim organisasi yang kurang menyenangkan ( Anies, 2005).
3) Sumber stres yang berasal dari individual/diri sendiri yaitu:
a. Pertentangan antara karier dan tanggung jawab keluarga
b. Ketidakpastian ekonomi
c. Kurangnya penghargaan dan pengakuan kerja
d. Kejenuhan, ketidakpuasan kerja, kebosanan
e. Perawatan anak yang tidak adekuat
f. Konflik dengan rekan kerja (Jones, 2004).
3. Dampak stres kerja
Gibson, Ivancevich & Donelly (dalam Keliat, 2003), menyatakan
bahwa konsekuensi dampak stres yang potensial yaitu : (1) Dampak
17
Subjektif : Kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi, keletihan,
frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup dan merasa kesepian,
(2) Dampak Perilaku: kecenderungan mendapat kecelakaan, alkoholik,
penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan
berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati dan tertawa gugup, (3)
Dampak Kognitif: ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas,
konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka
terhadap kritik, (4) Dampak Fisiologis: Kadar gula meningkat, denyut
jantung dan tekanan darah meningkat, kekeringan di mulut, berkeringat,
membesarnya pupil mata dan tubuh panas dingin, (5) Dampak Organisasi:
Keabsenan, pergantian karyawan, rendahnya produktivitas, keterasingan
dari rekan kerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya kesetiaan terhadap
organisasi.
Menurut Sarafino (1990, dalam Safaria, 2009). Stres kerja bisa
berdampak positif maupun negatif , yaitu : (1) Eustress adalah dampak
yang bersifat positif yang mendorong orang untuk lebih berprestasi, lebih
tertantang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan dapat
meningkatkan produktivitas kerja, (2) Distress adalah dampak negatif
yang menghambat sehingga dapat menimbulkan berbagai macam gejala
yang umumnya merugikan prestasi kerja maupun kinerja. Gejala-gejala ini
melibatkan baik kesehatan fisik maupun psikis.
4. Koping terhadap stres kerja
a. Pengertian koping
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam
menyelesaikan situasi stresfull. Merupakan respon terhadap situasi
yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik (Rasmun,
2004).
Foklman dan Lazarus (1988 dalam Kozier, 2004) mendefinisikan
koping sebagai upaya kognitif dan tingkah laku untuk mengatur
tuntutan yang spesifik baik eksternal maupun internal yang dinilai
18
sebagai beban atau sumber-sumber yang melebihi kemampuan
seseorang. Koping sebagai upaya kognitif dan tingkah laku individu
dalam menyelesaikan situasi stresfull baik internal maupun eksternal
yang dinilai sebagai beban yang melebihi kemampuan.
b. Mekanisme koping
Kozier mengatakan bahwa koping merupakan suatu karakteristik
atau cara menjawab tantangan dari perubahan lingkungan atau situasi
dari suatu masalah yang spesifik. Individu dapat menggunakan satu
atau lebih sumber koping dalam mengatasi masalah (Kozier, 2004).
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua
menurut Stuart dan Sunden (dalam Mustikasari, 2006) yaitu :
1) mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang
mendukung fungsi integratif, pertumbuhan, belajar dan mencapai
tujuan. Kategorinya adalah berbicara pada orang lain,
memecahkan masalah secara afektif, teknik relaksasi, latihan
seimbang dan aktifitas kontruktif.
2) mekanisme koping maladaptif.
Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi intregrasi, memecahkan pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan
kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja
berlebihan, menghindar (Mustikasari, 2006).
Tipe mekanisme koping dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Mekanisme koping berfokus pada masalah, meliputi tindakan dan
usaha segera untuk mengatasinya ancaman pada dirinya. Contoh:
negoisasi, konfrontasi dan meminta nasehat.
2. Mekanisme koping berfokus pada emosi, meliputi ide dan
gagasan untuk mengurangi distress emosional. Contohnya :
penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti denial, supresi
atau proyeksi mekanisme koping yang berfokus pada emosi tidak
19
memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik
(Kozier, 2004).
C. Karakteristik Perawat
1. Usia
Menurut Verner dan Davison yang dikutip oleh Lunardi (dalam
Notoatmodjo, 2003) dengan bertambahnya usia akan mempengaruhi
tingkat penglihatan, persepsi maupun kemampuan seseorang didalam
menerima informasi. sehingga akan mempengaruhi pengambilan
keputusan.
Ahmadi menyebutkan bahwa usia berhubungan dengan sifat
kedewasaan dan akan berdampak pada tanggung jawab. Usia lebih
dewasa umumnya lebih bertanggung jawab, lebih tertib, lebih teliti, lebih
bermoral dan lebih berbakti dari pada usia muda (Ahmadi, 2002).
Pada karakteristik usia peneliti membagi tiga tahapan yaitu dewasa
awal, dewasa tengah, dan dewasa tua ( Potter & Perry, 2005 ) :
1) Dewasa Muda
Menurut Levinson et al 1978 mengatakan bahwa dewasa awall
dimulai dari usia 18 – 40 tahun dimana :
a) Awal transisi dewasa ( usia 18 sampai 20 tahun ) ketika seseorang
merasakan kebebasan dari keluarganya
b) Memasuki dunia kedewasaan ( usia 21 sampai 27 ) ketika
seseorang mencoba menyiakan gaya hidup.
c) Masa transisi ( usia 28 sampai 32 ) ketika seseorang memodifikasi
aktivitas kehidupannya.
d) Masa tenang ( usia 33 sampai 40 ) ketika seseorang menglami
stabilitas.
2) Dewasa Tengah
Menurut Hurlock 1980 mengatakan bahwa dewasa tengah
dimulai dari usia 40 sampai 60 tahun, dimana saat baik menurunnya
kemampuan fisik dan psikologis yang nampak pada setiap orang.
20
Masalah fisiologis pada dewasa tengah salah satunya adalah stres yang
terjadi pada setiap manusia dengan tingkat kesehatan dan pembentukan
kesehatan yang positif.
3) Dewasa Tua / Usia Lanjut
Menurut Stanhope dan Lancaster 1992 mengatakan bahwa usia
lanjut dimulai dari usia 60 – 75 atau sapai dengan kematian, dimana
menurunnya fungsi fisiologis, biologis maupun psikologis secara cepat
terjadinya.
2. Jenis kelamin
Menurut BPPSDM Depkes (2007) menyebutkan bahwa pengaruh
jenis kelamin dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang
akan dikerjakan. Ada pekerjaan yang secara umum lebih baik dikerjakan
oleh laki-laki akan tetapi pemberian keterampilan yang cukup memadai
pada wanitapun mendapatkan hasil pekerjaan yang cukup memuaskan.
Ada sisi lain yang positif dalam karakter wanita yaitu ketaatan dan
kepatuhan dalam bekerja. Hal ini akan mempengaruhi kerja personal.
3. Pendidikan
Pendidikan tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga
keperawatan profesional yang mampu mengadakan pembaharuan dan
perbaikan mutu pelayanan atau asuhan keperawatan serta penataan
perkembangan kehidupan profesi keperawatan (Gartinah, 2006).
Secara umum pendidikan diartikan sebagai segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi usia baik individu, kelompok atau
masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh
pelaku pendidik (Notoatmodjo, 2005).
4. Lama kerja
Lama kerja seseorang mempengaruhi kualitas pekerjaan seseorang
karena adanya kejenuhan. Keberadaan orang baru lebih mudah untuk
mengadakan pembaruan dalam keterampilan dokumentasi keperawatan,
semangat yang dimiliki dapat meningkatkan keterampilan dan
21
pengetahuan. Motivasi yang kuat akan berdampak pada perubahan yang
lebih baik (Hidayat, 2000).
D. Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja Perawat
Keperawatan adalah suatu profesi yang memerlukan tanggung jawab dan
tanggung gugat dari kerja perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Apalagi dengan adanya kemajuan jaman yang menuntut untuk memberikan
pelayanan yang professional sehingga diperlukan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap perawat yang baik dan memadai. Dalam menghadapi stressor yang
muncul, setiap perawat menghadapinya dengan cara yang berbeda-beda.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prihatini (2007), menyatakan
bahwa beberapa faktor yang dapat menjadi stressor pada perawat antara lain:
1. Beban kerja
Beban kerja meliputi beban fisik maupun mental. Beban kerja fisik
meliputi kelebihan kerja secara kuantitatif yaitu suatu kejadian dimana
seseorang diberikan terlalu banyak atau tanggung jawab pekerjaan dalam
waktu terbatas. Sedangkan beban kerja mental meliputi kelebihan kerja
secara kualitatif yaitu melakukan pekerjaan yang sukar dan rumit
dilaksanakan dalam waktu yang terbatas. Akibat beban kerja yang terlalu
berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan
seseorang stres atau sakit. Dalam bidang keperawatan menurut Dewe
(1990, dalam Abraham, 2001), Beban kerja yang berlebihan dapat menjadi
stressor bagi perawat. Beban kerja berlebihan, misalnya merawat terlalu
banyak pasien, mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar yang
tinggi, merasa tidak mampu memberikan dukungan yang dibutuhkan
teman sekerja dan menghadapi masalah keterbatasan tenaga.
2. Konflik antar staf
Monica (2003), mendefinisikan konflik sebagai suatu perselisihan
atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran,
hasrat dan perilaku seseorang terancam. Gangguan ini mengakibatkan
ketidakcocokan perilaku yang menganggu pencapaian tujuan. Konflik juga
22
diartikan sebagai proses sosial orang-orang yang berusaha mencapai
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai kekerasan.
Edmund (1997, dalam Monica, 2003). Menyebutkan sembilan faktor
umum yang berkaitan dengan penyebab konflik antar staf, yaitu : (1)
Spesialisasi, Kelompok yang bertanggung jawab untuk tugas tertentu
memisahkan diri dari kelompok lain. Hal ini sering mengakibatkan konflik
antar kelompok, (2) Peran bertugas yang banyak, Setiap sub peran dengan
tugas-tugasnya memerlukan orientasi yang berbeda yang dapat
menyebabkan konflik, (3) Interdependensi peran, peran perawat
pelaksanan dalam praktek pribadi tidak akan serumit seperti peran perawat
dalam tim kesehatan yang multidisiplin dimana tugas didiskusikan dengan
orang lain yang mungkin bersaing untuk area-area tertentu, (4) Kekaburan
tugas, diakibatkan oleh peran mendua dan kegagalan untuk memberikan
tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas pada individu atau
kelompok, (5) Pembedaan sekelompok orang dapat mengisi peran yang
sama tetapi perilaku sikap, emosi, dan kognitif orang terhadap peran
mereka berbeda-beda sehingga dapat menimbulkan konflik, (6)
Kekurangan sumber daya, persaingan untuk uang, pasien dan jabatan
adalah sumber absolut dari konflik antar pribadi dan kelompok, (7)
Perubahan, kapanpun bisa terjadi perubahan sehingga dapat menimbulkan
konflik, (8) Konflik tentang imbalan, bila orang mendapat imbalan secara
berbeda-beda maka akan sering timbul konflik, (9) Masalah komunikasi,
sikap mendua, penyimpangan persepsi, kegagalan bahasa dan penggunaan
saluran komunikasi secara tidak benar dapat menyebabkan konflik.
3. Masalah keadministrasian
Administrasi berasal dari bahasa latin yang berarti “melayani
secara intensif”. Dalam arti luas dapat diartikan sebagai segala kegiatan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pekerjaan administrasi
adalah sistem komunikasi (surat-menyurat), sistem informasi (pelaporan)
dan sistem ingatan (pencatatan, pendaftaran) dari pelayanan kesehatan.
Pekerjaan administrasi merupakan bagian penting dari manajemen
23
pelayanan kesehatan dan hampir semua kegiatan kesehatan
mengikutsertakan pekerjaan tulis menulis. Mutu dan efisiennya
memainkan peranan penting dalam efektivitas kegiatan serta program
perawatan kesehatan. Tanpa sistem pencatatan yang teratur rapi, tidak satu
pun perawatan klinik dapat dipantau atau dikontrol (Dawkins, 2001).
4. Karakter pasien
Dawkins (2001), melakukan penelitian terhadap perawat jiwa dan
menemukan bahwa Karakter pasien yang negatif merupakan salah satu
stressor bagi perawat jiwa. Stuart & Sundeen (2002), mengklasifikasikan
klien psikiatri kedalam empat kelompok yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam pemberian tingkat pelayanan kesehatan pada klien.
5. Masalah perawatan pasien
Menurut Dewe (1990, dalam Abraham, 2001) masalah perawatan
pasien merupakan salah satu stressor utama yang menyebabkan stres kerja
bagi kalangan perawat. Masalah-masalah tersebut misalnya bekerja dengan
dokter yang memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien, terlibat
dalam ketidaksepakatan pada program tindakan, merasa tidak pasti sejauh
mana harus memberi informasi pada pasien atau keluarga dan merawat
pasien sulit atau tidak dapat bekerjasama.
Sumber-sumber stressor berdasarkan penelitian oleh Dewe
didapatkan lima sumber utama stres kerja yaitu, Beban kerja berlebihan,
kesulitan menjalin hubungan dengan staf lain, kesulitan terlibat dalam
merawat pasien kritis, berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien,
merawat pasien yang gagal untuk membaik.
Berdasarkan Survey PPNI (2006) menyatakan bahwa sekitar 50,9%
perawat di 4 propinsi mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak dapat
beristirahat karena beban kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu serta
gaji yang rendah tanpa insentif memadai. Pada penelitian terhadap rumah
sakit terpencil di 10 propinsi oleh Depkes dan Universitas Indonesia (2005)
menunjukkan bahwa 69% responden menyatakan rumah sakit tidak
mempunyai sistem penghargaan bagi perawat. Hal ini terlihat dari data bahwa
24
78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan dan 63,3% melakukan tugas
administrasi, lebih dari 90% perawat di rumah sakit terpencil melakukan
tugas non-keperawatan seperti menetapkan diagnosa penyakit dan membuat
resep obat. Hanya 50% perawat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai
fungsinya.
Penelitian lain dilakukan pada perawat jiwa oleh Dawkins (2001), yang
menemukan enam kategori stressor pada perawat jiwa yaitu karakteristik
pasien yang negatif, masalah pengorganisasian administrasi, keterbatasan
sumber daya, penampilan staf, konflik staf dan masalah penjadwalan. Mereka
menemukan bahwa masalah pengorganisasian administrasi merupakan
stressor paling penting. Hal ini meliputi tidak diketahuinya adanya perubahan
sebelum perubahan tersebut terjadi, menghadapi orang yang tidak dapat
membuat keputusan, kurang dukungan dari administrasi dan memiliki tugas
tulis-menulis terlalu banyak. Sumber stres berikutnya meliputi konflik antar
staf seperti yang muncul pada pemberian tanggung jawab pada unit lain yang
bertentangan dengan mereka atau keterbatasan staf yang berpendidikan dan
ketrampilan memadai dalam lingkungan yang potensial terjadi bahaya
(Abraham, 2001).
Banyak hasil penilitian membuktikan bahwa stressor kerja pada perawat
sangat bervariasi, antara lain seperti tersebut dibawah ini : menurut Ilmi,
(2005), stressor stres kerja pada perawat sesuai urutanya adalah beban kerja
berlebih besar 82%, pemberian upah yang tidak adil 58%, kondisi kerja 52%,
tidak diikutkan dalam pengambilan keputusan 45%.
Sumber-sumber stres diatas sering ditemukan dalam keperawatan
sehingga dapat memudahkan perawat untuk mengidentifikasi frekuensi
pengalaman dan metode dalam menghadapi dari masing-masing stres yang
terjadi pada perawat itu sendiri. Untuk lebih mengenali stres didalam diri kita
sendiri atau orang lain, maka perlu juga mengenali tanda dan gejala dari stres
(Abraham, 2001).
Menurut Hurrel (1997, dalam Munandar, 2001) sumber stres yang
menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan
25
seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit tetapi
dari beberapa pembangkit stres. Sebagian dari waktu manusia adalah untuk
bekerja, karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kesehatan seorang pekerja. Pembangkit stres di pekerjaan
merupakan pembangkit stres yang besar terhadap kurang berfungsinya atau
jatuh sakitnya seorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor yang dapat
menimbulkan stres dalam bekerja menurut (Munandar, 2001) dapat
dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu :
a. Faktor intrinsik dalam pekerjaan
Faktor intrinsik dalam pekerjaan katagorinya adalah tuntutan fisik dan
tuntutan tugas, tuntutan fisik: kondisi fisik misalnya faktor kebisingan,
panas, penerangan dan lain sebagainya, sedangkan faktor tugas mencakup;
kerja malam. beban kerja dan resiko bahaya. Tuntutan fisik yaitu kondisi
fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis seorang
tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres, tuntutan
tugas menurut penelitian menunjukkan bahwa shift kerja /kerja malam
merupakan sumber stres bagi perawat. Beban kerja berlebih dan beban
kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres.
b. Peran dalam organisasi
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi
artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus
dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang
diharapkan oleh atasannya, namun demikian tenaga kerja tidak selalu
berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang
baiknya fungsi peran merupakan pembangkit stres yang meliputi konflik
peran dan ketidak jelasan kerja.
c. Pengembangan karir atau penghargaan
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres yang potensial yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, tidak adanya pengahargaan, promosi
yang berlebih atau promosi yang kurang.
26
d. Hubungan dalam pekerjaan
Hubungan dalam pekerjaan yang tidak baik terungkap dalam gejala-
gejalanya dalam kepercayaan yang rendah, minat yang rendah dalam
pemecahan masalah dalam organisasi, komunikasi antar pribadi yang tidak
sesuai antara pekerja, ketegangan psikologis dalam bentuk kepuasan kerja
yang menurun dan penurunan kondisi kesehatan.
e. Imbalan Jasa/Gaji
Faktor stres yang dikenali dalam katagori ini adalah terpusat pada sejauh
mana perawat mendapatkan imbalan jasa terhadap pelayanan keperawatan.
Tidak sesuainya imbalan jasa dengan beban kerja yang dilakukan atau
adanya perbedaan dalam pemberian imbalan jasa dapat menjadi stressor
bagi perawat.
Teori lain mengatakan terdapat dua faktor penyebab atau sumber stres
yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja
dapat berupa kondisi fisik, manajemen atau hubungan sosial di lingkungan
pekerjaan. Sedangkan faktor personal berupa karakteristik individu,
kepribadian, peristiwa atau pengalaman pribadi maupun kondisi sosial
ekonomi keluarga, dimana pribadi berada dan mengembangkan diri
(Dwiyanti, 2001).
Hasil penelitian Singarimbun (2004) menyatakan bahwa faktor–faktor
yang menpengaruhi stres terutama pada wanita pekerja adalah status kawin,
umur, pendidikan, masa kerja dan jarak tempat tinggal. Menurut penelitian
Badra (2004) ada hubungan antara motivasi (instrinsik dan ekstrinsik) dengan
kinerja serta ada hubungan stres kerja dengan kinerja. Kepribadian
memberikan kontribusi terhadap hubungan stres kerja dengan kinerja.
Tingkat stres yang paling tinggi akan mempengaruhi kondisi fisik dan
psikologis seseorang dan pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja yang
semakin menurun.
Orang dengan tipe kepribadian A lebih mudah stres dibandingkan dengan
tipe kepribadian B, orang dengan tipe kepribadian introvert lebih mudah stres
dari pada yang extrovert. Pengalaman hidup orang yang pernah mengalami
27
kegagalan di masa lampau akan mudah membuatnya menilai kegagalan
sebagai hal yang sudah biasa. Tetapi bagi orang yang selalu berhasil,
kegagalan sebagai sumber stres yang luar biasa. Orang yang belum dewasa
dalam menghadapi masalah, mudah goyah dalam sikap, pendirian, dan arah
hidupnya dibandingkan orang yang berkepribadian matang (Nasution, 2000).
28
E. Kerangka teori
Skema 2.1 Kerangka teori
Faktor Individu 1. Biologis (Karakteristik individu: Usia,
Jenis kelamin, Pendidikan dan Lama kerja)
2. Psikologis 3. Kebutuhan
(Dwiyanti, 2001, Singarimbun, 2004)
Faktor Sosial 1. Peran dalam organisasi 2. Hubungan dengan pekerjaan 3. Konflik antar staf 4. Pengembangan karir atau penghargaan 5. Imbalan jasa (gaji) 6. Administrasi
(Abraham, 2001, Dawkins, 2001, Hurrel
1997, dalam Munandar, 2001)
Faktor Instrinsik dalam Pekerjaan 1. Tuntutan Fisik: (kebisingan, panas,
penerangan, peralatan dan perlengkapan, dll)
2. Tuntutan Tugas: (kerja malam, beban kerja dan resiko bahaya)
(Hurrel, 1997, dalam Munandar, 2001)
Stres Kerja
Gejala stres kerja 1. Gejala fisiologis : berupa
keluhan seperti sakit kepala. 2. Gejala emosional: berupa
keluhan seperti gelisah, dan mudah marah.
3. Gejala kognitif : berupa keluhan seperti susah berkonsentrasi.
4. Gejala interpersonal : berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis, dan minder.
5. Gejala organisasional : berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja, dan menurunnya produktivitas kerja.
(Rice, 1992, dalam Safaria, 2009)
29
F. Kerangka Konsep
variabel independen variabel dependen
Skema 2.2 Kerangka konsep
G. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas atau independent merupakan suatu variabel yang menjadi
sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependent (terikat) dan
bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2008). Variabel
independent (bebas) dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
pendidikan, lama kerja, konflik antar staf, imbalan jasa atau gaji, dan
beban kerja.
2. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat atau dependent merupakan variabel yang dapat
dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat
tergantung dari variabel bebas terhadap perubahan (Hidayat, 2008).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah stres kerja perawat.
Stres kerja Perawat
Faktor individu
Faktor sosial
Faktor intrinsik
30
H. Hipotesis
Berdasarkan dari kerangka konsep penelitian di atas, maka hipotesa
yang dapat dirumuskan adalah :
1. Ada hubungan antara faktor individu dengan stres kerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Tahun
2012.
2. Ada hubungan antara faktor sosial dengan stres kerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Tahun
2012.
3. Ada hubungan antara faktor intrinsik dengan stres kerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Tahun
2012.