bab ii tinjauan pustaka · 2017. 12. 11. · 15 bab ii tinjauan pustaka . 2.1 stres akulturatif...

26
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres Akulturatif 2.1.1 Pengertian Stres Akulturatif Stres secara umum dimengerti sebagai suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2009). Oliver dkk. (1999, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa stres adalah suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Baum (1990, dalam Taylor dkk. 2009) mengatakan bahwa stres adalah pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis, biokimia, dan behavioral yang dirancang untuk menyesuaikan diri terhadap stresor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah stresor atau dengan mengakomodasi efeknya. Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sutherland dan Cooper (1990, dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa stres didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan dalam memenuhi tuntutan tersebut. Herskovits dkk. (1939, dalam Berry dkk. 1999) mengatakan bahwa akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok-

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Stres Akulturatif

    2.1.1 Pengertian Stres Akulturatif

    Stres secara umum dimengerti sebagai suatu keadaan tertekan,

    baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2009). Oliver dkk.

    (1999, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa stres adalah

    suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai

    ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Baum

    (1990, dalam Taylor dkk. 2009) mengatakan bahwa stres adalah

    pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis,

    biokimia, dan behavioral yang dirancang untuk menyesuaikan diri

    terhadap stresor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah

    stresor atau dengan mengakomodasi efeknya.

    Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa stres

    merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara

    individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara

    tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya

    sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sutherland dan

    Cooper (1990, dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa stres

    didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan yang

    dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan dalam memenuhi

    tuntutan tersebut.

    Herskovits dkk. (1939, dalam Berry dkk. 1999) mengatakan

    bahwa akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok-

  • 16

    kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam

    kontak langsung disertai perubahan terus-menerus, sejalan dengan

    pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua kelompok.

    Santrock (2002) memberi definisi mengenai akulturasi sebagai

    perubahan kebudayaan akibat dari kontak langsung dan terus-menerus

    antara dua kelompok budaya yang berbeda.

    Santrock (2002) mengatakan bahwa stres ialah respon individu

    terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa (disebut “stressor”)

    yang mengancam individu dan mengurangi kemampuan individu dalam

    mengatasi segala bentuk stressor. Stressor tersebut dapat berasal dari

    berbagai sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Lebih

    lanjut Santrock (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor sosial budaya

    di dalam stres di antaranya adalah stres akulturatif dan stres sosial

    ekonomi.

    Santrock (2002) mengatakan bahwa stres akulturatif ialah akibat

    negatif dari akulturasi. Huang & Gibbs (1989, dalam Santrock, 2002)

    mengatakan bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara

    historis telah mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya

    dukungan yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang

    bagi timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi.

    Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa kondisi saat individu

    mengalami tekanan akibat akulturasi dengan budaya asing disebut

    sebagai stres akulturatif. Konsep stres akulturatif mengacu pada satu

    macam stres yang stresornya diketahui bersumber dalam proses-proses

    akulturasi. Ada serangkaian perilaku stres khusus selama akulturasi,

    seperti penurunan status kesehatan mental terutama kecemasan,

  • 17

    depresi, perasaan marjinalitas dan alienasi, aras simtom psikosomatis

    meningkat, dan kebingungan identitas diri.

    Stres akulturatif didefinisikan oleh Wei et.al. (2007) sebagai

    reaksi stres dalam menanggapi peristiwa kehidupan yang berakar pada

    pengalaman akulturasi, kesulitan psikologis dalam beradaptasi dengan

    budaya baru, atau stresor psikososial akibat dari ketidakbiasan dengan

    hal dan norma-norma sosial yang baru. Sumber stres akulturatif sering

    meliputi tekanan akademik, kesulitan bahasa, perasaan rendah diri,

    kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan makanan baru atau nilai-

    nilai budaya, kurangnya dukungan, diskriminasi yang dirasakan, dan

    kerinduan (Sandhu & Asrabadi, 1994, dalam Wei dkk., 2007).

    Williams & Berry (1991, dalam Crockett et.all. 2007)

    mengatakan bahwa stres akulturatif terjadi ketika individu mengalami

    masalah yang timbul dari proses akulturasi. Hal ini dapat berasal dari

    nilai-nilai budaya yang tidak sama atau sejenis, kesulitan bahasa, dan

    diskriminasi. Lebih lanjut, Crockett et.all. (2007) mengatakan bahwa

    ketika ada tekanan untuk berasimilasi, kurangnya kompetensi

    antarbudaya, atau diskriminasi dianggap melebihi kemampuan

    seseorang untuk mengatasi, hal ini akan mengarah pada persepsi

    subjektif dari stres sampai pada emosi negatif. Stres akulturatif telah

    dikaitkan dengan gejala depresi dan terkadang juga dikaitkan dengan

    gejala kecemasan yang lebih dalam.

    Berdasarkan uraian yang dikemukakan para tokoh di atas, dapat

    disimpulkan bahwa stres akulturatif adalah suatu keadaan tertekan, baik

    secara fisik maupun psikologis terhadap peristiwa yang dipersepsikan

  • 18

    sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional,

    yang bersumber dari adanya perbedaan budaya.

    2.1.2 Teori Stres Akulturatif

    Para teoretikus sosiokultural telah memperingatkan kita tentang

    pentingnya memperhitungkan stresor dalam menjelaskan tingkah laku

    abnormal. Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau

    tuntutan untuk beradaptasi dengan kultur baru, hal ini terjadi dalam

    kelompok imigran atau kelompok penduduk asli yang hidup dalam

    kultur mayoritas kelompok pendatang. Istilah akulturasi (acculturation)

    menunjukkan pada suatu proses adaptasi terhadap kultur baru melalui

    perubahan sikap dan tingkah laku, yang harus dilakukan oleh kelompok

    imigran dan penduduk asli (Rogler dkk. 1991, dalam Nevid dkk. 2005).

    Ada dua teori umum tentang hubungan akulturasi dengan

    penyesuaian diri (Griffith, 1983, dalam Nevid dkk., 2005):

    a. Teori pertama disebut teori peleburan (melting pot theory),

    menyatakan bahwa akulturasi membantu orang menyesuaikan diri

    dengan kultur setempat. Dari sudut pandang ini, Hispanik-Amerika

    dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan mengganti bahasa

    Spanyolnya dengan bahasa Inggris dan mengambil atau memakai

    nilai-nilai dan adat istiadat kultur mayoritas orang Amerika.

    b. Teori yang ke dua, teori bikultural (bicultural theory),

    mengemukakan bahwa penyesuaian psikososial dilakukan dengan

    mengidentifikasi diri ke dalam kedua kultur, kultur tradisional

    tempat asal dengan kultur setempat. Dimaksudkan di sini,

    kemampuan adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat

  • 19

    yang baru, dipadukan dengan tradisi kultural yang mendukung dan

    perasaan memiliki identitas etnik, akan menghasilkan penyesuaian

    yang baik. Dari sudut pandang teori bikultural, para imigran

    mempertahankan identitas etnik dan nilai-nilai tradisi mereka

    sambil mempelajari dan beradaptasi dengan bahasa dan adat istiadat

    kultur setempat.

    Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua

    teori tentang stres akulturatif, yaitu teori peleburan (melting pot theory)

    dan teori bikultural (bicultural theory).

    2.1.3 Aspek-aspek Stres Akulturatif

    Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa stres akulturatif

    merupakan suatu fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi

    dalam status kesehatan individu (aspek fisik, psikologis, dan sosial).

    Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al.., 2007) mengatakan bahwa

    aspek-aspek dari stres akulturatif yang menonjol pada mahasiswa dapat

    berhubungan dengan kurang mahirnya bahasa atau ketidakbiasaan

    dengan praktek-praktek budaya yang berlaku dan pengalaman sistem

    nilai yang bertentangan.

    Berbagai pengukuran terhadap stres akulturatif telah dilakukan

    sebelumnya, seperti Cornell Medical Index (Broadman dkk., 1952,

    dalam Berry dkk., 1999). Aspek stres akulturatif yang digunakan dalam

    penelitian ini yaitu keberfungsian somatis dan kehidupan psikologis.

    Penelitian Wei dkk. (2007) mengukur stres akulturatif

    menggunakan Acculturative Stress Scales for International Student

    (ASSIS) dari Sandhu & Asrabadi (1994). ASSIS merupakan alat ukur

    yang menilai stres akulturatif siswa internasional, terdiri dari 36 aitem

  • 20

    yang meliputi tujuh aspek atau faktor yaitu persepsi diskriminasi,

    kerinduan, menerima kebencian, takut , stres karena perubahan/ culture

    shock/ kekagetan budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik.

    Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al., 2007) melakukan

    penelitian tentang stres akulturatif dengan menggunakan empat domain

    yaitu : domain keluarga, sikap, sosial, dan domain lingkungan.

    Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan

    bahwa terdapat beberapa aspek dan domain stres akulturatif. Pada

    penelitian ini, pengukuran mengenai stres akulturatif mendasarkan pada

    skala Acculturative Stress Scales for International Student (ASSIS; dari

    Sandhu & Asrabadi, 1994), karena memiliki aspek atau domain yang

    lebih lengkap yaitu persepsi diskriminasi, kerinduan, menerima

    kebencian, takut, stres karena perubahan/ culture shock/ kekagetan

    budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik.

    2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Akulturatif

    Nevid dkk. (2005) merangkum berbagai pendapat tokoh dan

    mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi stres akulturatif

    sebagai berikut:

    a. Coping stress

    Pada umumnya coping stres terdiri dari coping yang

    berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan coping yang

    berfokus pada masalah (problem-focused coping). Pada coping

    yang berfokus pada emosi, individu berusaha segera mengurangi

    dampak stressor, dengan menolak adanya stressor atau menarik diri

    dari situasi. Coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan

  • 21

    stressor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan

    cara yang lebih baik untuk mengatur stressor, sebaliknya, pada

    coping yang berfokus pada masalah, individu menilai stressor yang

    dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stressor atau

    memodifikasi reaksinya untuk meringankan efek dari stressor

    tersebut.

    b. Harapan akan self-efficacy

    Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan

    individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang

    dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat

    menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap

    kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang

    positif (Bandura, 1982, 1986, dalam Nevid dkk. 2005). Individu

    mungkin dapat mengelola stres dengan lebih baik, termasuk stres

    karena penyakit, jika percaya diri dan yakin bahwa dirinya mampu

    mengatasi stres dan memiliki harapan yang tinggi.

    c. Ketahanan psikologis

    Ketahanan psikologis (psychological hardiness) atau

    sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola

    stres yang dialami.

    d. Optimisme

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang

    mempunyai nilai optimisme lebih tinggi melaporkan dapat lebih

    menekan gejala fisik seperti kelelahan, pusing, pegal-pegal, dan

    penglihatan yang kabur. Gejala pada subjek penelitian di awal

    penelitian diperhitungkan secara statistik sehingga dapat dikatakan

  • 22

    bahwa studi tersebut semata-mata menunjukkan bahwa individu

    yang sehat akan cenderung lebih optimis.

    e. Dukungan sosial

    Para peneliti percaya bahwa memiliki kontak sosial yang

    luas membantu melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stres.

    Berry & Kim (1988, dalam Berry dkk., 1999) menemukan

    faktor budaya dan psikologis yang menentukan hubungan akulturasi

    dan kesehatan mental. Faktor-faktor yang memperantarai hubungan

    antara akulturasi dan stres tersebut yaitu:

    a. Modus akulturasi: integrasi, asimilasi, separasi, dan marjinalisasi

    Modus akulturasi merupakan satu faktor penting: mereka

    yang merasa termarjinalisasi (”terpinggirkan”) cenderung

    mengalami stres lebih tinggi, mereka yang mengutamakan suatu

    tujuan separasi (pemisahan) juga cenderung stres. Sebaliknya, yang

    berupaya melakukan integrasi (mempererat) mengalami stres secara

    minimal, sementara asimilasi membawa ke derajat-derajat

    menengah.

    b. Fase akulturasi: kontak, konflik, krisis, adaptasi

    Dalam banyak kajian, ada upaya untuk mengaitkan gejala-

    gejala stres akulturatif dengan suatu fase tertentu dari akulturasi.

    Mereka yang dalam kontak pertama dan telah mencapai sementara

    adaptasi yang stabil cenderung mengalami stres minimal,

    sebaliknya mereka yang mengalami konflik dan krisis akan

    memperlihatkan stres.

    c. Keberadaan masyarakat yang lebih luas: multikultural lawan

    asimilasionis

  • 23

    Keberadaan masyarakat majemuk secara budaya memiliki

    toleransi yang cukup tinggi terhadap perbedaan budaya, serta

    memungkinkan untuk memberikan dukungan terhadap proses

    akulturasi. Pada dasarnya masyarakat tersebut memiliki toleransi

    yang lebih besar atau penerimaan keberagaman budaya. Berbeda

    dengan masyarakat yang monokultural (tidak majemuk),

    menekankan kepada budaya asing sebagai pendatang untuk dapat

    menyesuaikan diri dengan budaya monokultural tersebut. Pada

    dasarnya masyarakat tersebut memberlakukan suatu paksaan atau

    kurang memiliki toleransi atau penerimaan terhadap keberagaman

    budaya.

    d. Prasangka dan diskriminasi

    Beberapa kelompok lebih diterima berdasarkan latar

    belakang etnisitas, ras atau keagamaan ketimbang yang lain.

    Mereka yang kurang diterima akan menghadapi hambatan

    (prasangka dan diskriminasi) yang akan membawa mereka ke

    marjinalisasi kelompok (kelompok yang ”terpinggirkan”) dan

    mungkin mengakibatkan stres lebih tinggi.

    e. Ciri-ciri kelompok yang berakulturasi: usia, status, dukungan sosial

    Status juga menjadi suatu faktor, bahkan ketika keberasalan

    orang berada dalam suatu masyarakat yang relative terstratifikasi.

    Contoh, “status masuk” seseorang ke suatu masyarakat baru sering

    lebih rendah dibandingkan “status pergi” dari masyarakat sendiri.

    Kehilangan status relatif ini mungkin mengakibatkan stres dan

    kesehatan mental memburuk. Faktor lain, mobilitas status seseorang

    dalam masyarakat yang lebih besar, apakah untuk mendapatkan

  • 24

    kembali status asal seseorang atau tetap bertahan di tengah

    kelompok lain. Sebagai tambahan, beberapa ciri khas status (seperti

    pendidikan dan pekerjaan) menyediakan orang sumber-sumber

    untuk berhadapan dengan masyarakat yang lebih luas dan ciri-ciri

    ini mungkin mengakibatkan kemampuan orang untuk berfungsi

    secara efektif dalam lingkungan baru.

    Usia dan kelompok jenis kelamin seesorang, boleh jadi

    memainkan peran. Misalnya orang yang relatif lebih tua dan kadang

    wanita, sering dicatat mengalami stres yang lebih tinggi

    sebagaimana mereka yang hidup tanpa pasangan perkawinan

    (karena pengalaman kehilangan atau karena memang tidak

    dimungkinkan).

    Ubahan paling komprehensif dalam literatur adalah ubahan

    dukungan sosial. Ubahan ini menunjuk pada kehadiran lembaga

    sosial dan budaya yang mampu memberi dukungan kepada individu

    yang berakulturasi. Tercakup disini ialah faktor seperti asosiasi

    etnik (nasional maupun lokal), ikatan-ikatan etnik daerah, keluarga

    somah, ketersediaan kelompok asal individu (melalui kunjungan,

    penghidupan kelompok, atau alienasi dari budaya) dan lembaga

    lebih formal sebagai agen dan klinik-klinik yang siap memberi

    dukungan.

    f. Ciri-ciri individu yang berakulturasi: penilaian, pengatasan, sikap,

    kontak

    Secara khusus, penilaian orang mengenai pengalaman

    akulturasi dan keterampilan pengatasannya dalam berhadapan

    dengan stresor dapat mempengaruhi tingkat stres akulturatif.

  • 25

    Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan

    bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres akulturatif meliputi

    coping stres, harapan akan self-efficacy, ketahanan psikologis

    (hardiness), optimisme, dukungan sosial, modus akulturasi (integrasi,

    asimilasi, separasi, dan marjinalisasi), fase akulturasi (kontak, konflik,

    krisis, adaptasi), keberadaan masyarakat yang lebih luas (multikultural

    lawan asimilasionis), prasangka dan diskriminasi, ciri-ciri kelompok

    yang berakulturasi (usia, status, dukungan sosial), ciri-ciri individu

    yang berakulturasi (penilaian, pengatasan, sikap, kontak).

    2.2 Hardiness

    2.2.1 Pengertian Hardiness

    Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa,

    1984, yaitu sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam

    perlawanan terhadap masalah. Kobasa memulai dengan adanya

    perbedaan-perbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan

    mengkombinasikan peubah ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan

    tipe kepribadian yang lebih komprehensif (Smet, 1994).

    Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,

    2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja

    yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk

    terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang

    lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif

    (komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek

    buruk dari situasi kehidupan yang penuh tekanan.

  • 26

    Hardiness adalah suatu ciri kepribadian yang dapat

    mempertahankan respons individu terhadap stres. Individu yang

    memiliki hardiness mengasumsikan bahwa dirinya berada dalam

    kendali, sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam hidup, dan

    memperlakukan perubahan sebagai suatu tantangan (Ivancevich dkk.

    2006). Nevid dkk. (2005) memberi definisi hardiness sebagai suatu

    kelompok trait penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen,

    tantangan, dan pengendalian.

    Hardjana (1994) memberi definisi hardiness atau ketangguhan

    pribadi merupakan keadaan diri orang yang membuat orang itu

    memiliki ketabahan dan daya tahan. Orang yang tangguh mampu

    menghadapi dan menerima kesukaran, kesulitan, masalah dengan

    tabah. Dia tidak mudah goyah, bimbang, takut dan kehilangan nyali.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hardiness

    adalah ciri kepribadian yang menunjukkan bahwa individu memiliki

    daya tahan yang ditandai dengan adanya komiten, tantangan, dan

    pengendalian.

    2.2.2 Aspek-aspek Hardiness

    Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,

    2012) mengemukakan komponen hardiness yang terdiri dari:

    a. Komitmen, yaitu memahami aktivitas kehidupan seseorang sebagai

    sesuatu yang berharga untuk diri dan orang lain.

    b. Tantangan, yaitu memahami perubahan dari pada stabilitas sebagai

    bagian yang diharapkan dan normal dari kehidupan, serta melihat

    perubahan sebagai bermanfaat bagi pengembangan pribadi.

  • 27

    c. Kontrol, yaitu memahami diri sendiri sebagai memiliki kontrol

    pribadi atas peristiwa kehidupan yang penting.

    Ivancevich dkk. (2006) mengatakan bahwa orang yang memiliki

    hardiness ditunjukkan dengan adanya aspek sebagai berikut:

    a. Yakin bahwa dapat mengendalikan peristiwa yang daitemui.

    b. Sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya.

    c. Memperlakukan perubahan dalam kehidupan sebagai sebuah

    tantangan.

    Kobasa dkk. (1982, dalam Nevid dkk., 2005) mengatakan

    bahwa tiga aspek dari hardiness adalah:

    a. Komitmen yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness ini yakin

    sekali pada apa yang dilakukannya dan melibatkan diri sepenuhnya

    terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Individu tersebut tidak

    pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaan

    mereka.

    b. Tantangan yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness percaya

    perubahan merupakan suatu hal yang normal, dirinya tidak terpaku

    pada kondisi stabil saja, tetapi tertantang untuk mengatasi atau

    melakukan perubahan.

    c. Pengendalian yang kuat terhadap hidup. Individu yang memiliki

    hardiness percaya dan bertindak dengan keyakinan bahwa dirinya

    yang menentukan reward dan hukuman (ganjaran positif dan

    negatif) yang diterima dalam hidup ini.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

    tiga aspek hardiness, yaitu aspek pengendalian, keterlibatan, dan

    tantangan. Aspek ini dikemukakan oleh Kobasa, dkk., dan akan

  • 28

    menjadi dasar teori dalam penyusunan alat ukur hardiness pada

    penelitian ini karena Kobasa dkk., merupakan pencetus utama dari teori

    hardiness.

    2.3 Dukungan Sosial Teman

    2.3.1 Pengertian Dukungan Sosial Teman

    Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang dapat dipercaya,

    dari interaksi itu individu akan menjadi tahu bahwa orang lain

    memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya (Smet, 1994). Cobb

    (1983, dalam Smet, 1994) menekankan masalah dukungan sosial ini

    melalui orientasi subjektifnya yang memerlihatkan bahwa dukungan

    sosial tersebut terdiri atas informasi yang menuntun seseorang untuk

    meyakini bahwa ternyata dirinya masih diurus dan disayangi. Sarafino

    (1990, dalam Smet, 1994) mendeskripsikan dukungan sosial sebagai

    suatu kesenangan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan

    dari orang lain atau kelompok.

    Sarason dkk. (1994, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan

    bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis

    yang diberikan oleh orang lain (teman atau anggota keluarga). Buunk

    dkk. (1993, dalam Taylor dkk., 2009) mengatakan bahwa dukungan

    sosial dapat berasal dari pasangan atau partner, anggota keluarga,

    kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jemaah

    gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan di tempat kerja.

    Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) membedakan sumber-

    sumber stres yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan

    masyarakat. Baron & Byrne (2005) mengatakan bahwa teman-teman

    dan keluarga mungkin dapat membantu memecahkan masalah.

  • 29

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan

    sosial teman adalah hubungan atau transaksi interpersonal yang dapat

    dipercaya (berupa pemberian bantuan dalam bentuk informasi,

    instrumental, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan) yang

    berarti bagi individu sehingga individu merasa diperhatikan oleh

    temannya.

    2.3.2 Jenis-jenis Dukungan Sosial

    House (1990, dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis atau

    dimensi dukungan sosial yaitu:

    a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

    perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misal; umpan balik,

    penegasan).

    b. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat

    (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau

    persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan

    perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, seperti

    misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk

    keadaannya (menambah penghargaan diri).

    c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti kalau

    orang-orang memberikan pinjaman uang kepada orang itu atau

    menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres.

    d. Dukungan informatif, mencakup memberi nasihat, petunjuk-

    petunjuk, saran-saran atau umpan balik. Dukungan informatif akan

    lebih bermanfaat kalau terdapat kekurangan pengetahuan, dan

    ketrampilan, dan dalam hal yang amat tidak pasti tentang

    kekurangan pengetahuan dan keterampilan.

  • 30

    Menurut Buunk dkk. (1993 dalam Taylor dkk., 2009), dukungan

    sosial bisa diberikan melalui beberapa cara yang dapat dikelompokkan

    menjadi empat jenis yaitu:

    a. Dukungan emosional. Perhatian emosional yang diekspresikan

    melalui rasa suka, cinta atau empati.

    b. Dukungan instrumental, seperti penyediaan jasa atau barang selama

    masa stres.

    c. Dukungan informatif, seperti pemberian informasi tentang situasi

    yang menekan.

    d. Dukungan penghargaan, dukungan yang berupa persetujuan dari

    orang lain akan gagasan atau perilaku.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

    empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan

    penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif.

    2.4 Hubungan antara Hardiness dan Dukungan Sosial Teman

    dengan Stres Akulturatif

    Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah perlu melakukan

    adaptasi terhadap kondisi setempat di mana mahasiswa tersebut

    menimba ilmu, karena adanya perbedaan karakteristik sosial budaya.

    Proses adaptasi dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat tidak

    selamanya berlangsung mulus (Hidajat dan Sodjakusumah, 2000).

    Kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri atau adaptasi

    dengan situasi dan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanan-

    tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, dan bila dibiarkan tanpa

    penyelesaian akan mempengaruhi kesehatan mental (Siswanto, 2007).

  • 31

    Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya

    bisa saja terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Santrock

    (2002b) bahwa stresor atau sumber stres dapat berasal dari berbagai

    sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Menurut Kim (1995,

    dalam Samovar dkk., 2010), ketika individu memasuki budaya baru,

    individu mengalami stres sebagai akibat dari hilangnya kemampuan

    untuk berfungsi secara normal. Individu tersebut menjadi stres ketika

    berhadapan dengan cara baru dan berbeda dalam kehidupan sehari-hari.

    Upaya yang dilakukan untuk mengurangi stres dengan

    mengembangkan dan menggabungkan norma baru yang dibutuhkan

    untuk dapat berfungsi secara normal, sehingga mulai beradaptasi

    dengan budaya baru. Melalui pengalaman yang berkelanjutan dari

    adaptasi stres, perspektif seseorang semakin luas, sehingga

    menghasilkan pertumbuhan pribadi.

    Huang & Gibbs (1993,dalam Santrock, 2002b) mengatakan

    bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara historis telah

    mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya dukungan

    yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang bagi

    timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi.

    Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya

    disebut juga sebagai stres akulturatif (Berry dkk., 1999). Stres

    akulturatif dapat ditekan jika individu memiliki hardiness dan

    mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sebagaimana

    yang dikemukakan oleh Cohen & Wills (1985, dalam Eschleman dkk.,

    2010), bahwa dukungan sosial sering dianggap sebagai sumber daya

    yang dapat melindungi salah satu dari efek stres. Hasil penelitian

  • 32

    Viswesvaran dkk. (1999, dalam Eschleman, dkk., 2010) menunjukkan

    bahwa dukungan sosial umumnya memiliki efek utama pada stres dan

    ketegangan. Ada beberapa alasan bahwa sifat hardiness akan

    berhubungan positif dengan dukungan sosial. Pertama, hardiness

    melibatkan komitmen dan keterlibatan yang mendalam dalam beberapa

    domain kehidupan, seperti keluarga, teman, pekerjaan, dan kegiatan

    sosial. Sangat mungkin bahwa keterlibatan dalam domain ini

    memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jaringan hubungan

    sosial yang kaya yang dapat ditarik pada saat seseorang membutuhkan

    dukungan. Kemungkinan lain adalah bahwa individu yang tangguh

    umumnya lebih menarik secara sosial dan bahwa ini membuat mereka

    lebih mudah untuk memperoleh dukungan.

    Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa

    individu yang memiliki hardiness memungkinkan mendapat dukungan

    sosial dari temannya yang lebih besar. Adanya hardiness dan dukungan

    sosial tersebut dapat digunakan individu dalam menahan atau

    meminimalisir efek stres. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh

    Eschleman dkk. (2010), bahwa hardiness dan komponen hardiness

    berhubungan positif dengan dukungan sosial. Selain mencari dukungan

    sumber daya, hubungan positif dapat terjadi karena dukungan diberikan

    kepada orang-orang yang berkomitmen dalam banyak domain

    kehidupan dan dengan demikian memiliki lingkaran sosial yang besar

    atau mungkin merupakan hasil dari individu yang tangguh (hardy) di

    mana secara sosial lebih menarik. Individu yang tangguh (hardy) juga

    cenderung memiliki strategi coping yang lebih proaktif daripada

    regresif. Artinya, rasa yang lebih besar dari kontrol dan komitmen

  • 33

    untuk lingkungan, cenderung mempengaruhi individu untuk mengatasi

    stres daripada terlibat dalam perilaku penarikan.

    2.5 Hubungan antara Hardiness dengan Stres Akulturatif

    Masalah stres yang dialami mahasiswa sebenarnya dapat

    diminimalisir jika mahasiswa memiliki hardiness. Sebagaimana hasil

    penelitian yang dilakukan Kobasa dkk. (1979 dalam Nevid dkk., 2005)

    bahwa hardiness yang dimiliki ini yang kemudian menyebabkan

    individu tidak mudah merasakan stres. Nevid dkk. (2005) memberi

    definisi hardiness sebagai suatu kelompok trait penahan stres yang

    ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan pengendalian.

    Berbeda dengan hasil penelitian Florian dkk. (1995, dalam

    Eschleman dkk. 2010), meskipun hardiness diyakini menjadi prediktor

    berharga beberapa kriteria penting, konseptualisasi hardiness masih

    diperdebatkan. Secara khusus, para peneliti telah menyarankan bahwa

    komponen tantangan dari hardiness dapat dijatuhkan dari

    konseptualisasi hardiness karena tidak berkontribusi pada prediksi hasil

    kesehatan. Pendapat Florian dkk. ini mengandung arti pula bahwa tidak

    selamanya hardiness dapat menahan efek stres.

    Maddi (1999, dalam Cole dkk., 2004) mengatakan bahwa

    hardiness memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, dan

    diperkirakan akan mempengaruhi dua mekanisme dasar yang

    meningkatkan kesehatan dan kinerja seseorang ketika mengalami

    kondisi stres. Secara khusus, sikap tangguh diyakini mempengaruhi

    bagaimana individu mengalami dan mengatasi situasi kehidupan yang

    penuh stres.

  • 34

    Dalam persepsi dan evaluasi peristiwa kehidupan yang penuh

    stres, Bartone dkk. (1989, Rhonewalt & Zone, 1989 dalam Cole dkk.,

    2004) mengibaratkan individu yang memiliki karakter hardiness

    sebagai seorang yang optimis yang cenderung untuk melihat tantangan

    dalam sudut pandang yang positif. Orang yang memiliki karakter

    hardiness merasakan pengalaman kegiatan sebagai hal menarik dan

    menyenangkan (yaitu, komitmen), sebagai masalah pilihan pribadi

    (yaitu, kontrol), dan sebagai stimulus penting untuk belajar (misalnya,

    tantangan). Individu yang memiliki karakter hardiness yang rendah

    telah daitemukan menampilkan peningkatan tanda-tanda depresi serta

    kecemasan tinggi dan tekanan psikologis.

    Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,

    2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja

    yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk

    terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang

    lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif

    (komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek

    buruk dari situasi kehidupan yang penuh stres.

    Berdasarkan uraian para tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa

    mahasiswa yang memiliki hardiness ditandai dengan adanya

    komitmen, yaitu memiliki kesediaan untuk melibatkan diri dalam

    kegiatan yang dilaluinya. Komitmen tersebut membuat mahasiswa

    memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang ada.

    Mahasiswa Papua yang memiliki komitmen membuat dirinya tidak

    mudah menyerah dan memiliki daya tahan dalam menghadapi tuntutan

    termasuk tuntutan dalam hal penyesuaian dengan lingkungan atau

  • 35

    budaya baru, dengan kata lain mahasiswa Papua dapat menekan stres

    akulturatif yang dialami. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang

    kurang memiliki komitmen, dirinya cenderung mudah menyerah karena

    kurang memiliki antusias dalam menghadapi kesulitan. Pada saat

    mengalami kesulitan penyesuaian dengan lingkungan yang baru,

    mahasiswa Papua dengan komitmen yang rendah enggan untuk terlibat

    lebih jauh dalam usaha adaptasinya. Mahasiswa yang kurang memiliki

    komitmen tersebut mudah rentan mengalami stres akulturatif saat

    menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

    Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai

    dengan adanya aspek tantangan, yaitu melihat kendala yang ada dalam

    hal penyesuaian diri sebagai sesuatu yang harus dipecahkan (merasa

    tertantang dan tidak mudah menyerah). Mahasiswa yang memiliki

    aspek tantangan bersedia mengerahkan energinya guna mengatasi

    kesulitan sehingga tidak mudah mengalami stres saat menyesuaikan

    diri. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang tertantang dengan

    kesulitan akan mudah mengalami stres karena dirinya mudah merasa

    kewalahan dengan kendala yang dihadapi.

    Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai

    dengan adanya aspek kontrol, yaitu merasa mampu mengendalikan dan

    mengatur diri, hidup, dan lingkungannya. Mahasiswa tersebut meyakini

    bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah termasuk

    dalam hal kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya, ditentukan

    oleh kemampuan diri. Kontrol tersebut mengakibatkan mahasiswa

    menjadi lebih bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami,

    sehingga mahasiswa Papua dapat mengelelola stres akulturatif atau

  • 36

    stres yang berkaitan dengan proses adaptasi dengan lingkungan

    barunya di Salatiga. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang

    memiliki aspek kontrol, dirinya menganggap keberhasilannya dalam

    menyesuaikan diri lebih ditentukan oleh faktor di luar dirinya atau

    ditentukan oleh keburuntungan semata, sehingga merasa tidak memiliki

    kendali dalam mengatasi kesulitan tersebut. Perasaan tidak memiliki

    kendali inilah yang mengakibatkan mahasiswa Papua cenderung mudah

    menyerah dan pasrah terhadap keadaan, dan pada akhirnya lebih rentan

    mengalami stres dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya di

    Salatiga.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu

    termasuk mahasiswa dengan hardiness yang tinggi memiliki

    ketangguhan dalam menghadapi permasalahan hidup. Adanya

    hardiness ini mengakibatkan mahasiswa dapat menekan stres

    akulturatif ketika harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal

    ini berarti bahwa adanya hardiness maka stres akulturatif dapat ditekan.

    2.6 Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Stres

    Akulturatif

    Dukungan sosial merupakan peubah lingkungan yang

    mempunyai hubungan yang positif dengan kesehatan. Dalam

    menghadapi peristiwa-peristiwa yang menekan, individu yang memiliki

    dukungan sosial yang tinggi tidak hanya mengalami stres yang rendah,

    tetapi juga dapat mengatasi stres secara lebih berhasil bila

    dibandingkan dengan mereka yang kurang memperoleh dukungan

    sosial (Taylor 1999, dalam Pramudiani dkk. 2001).

  • 37

    Berbeda dengan pendapat Baron & Byrne (2005), meskipun

    seseorang yang menghadapi masalah seperti stres, sangat

    membutuhkan dukungan, upaya yang canggung untuk memberikan rasa

    nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Pendapat

    Baron dan Byrne di atas menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial

    belum tentu dapat meminimalisir stres, atau bahkan dukungan sosial

    yang diberikan secara canggung justru dapat menimbulkan stres. Hal

    ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solber

    dkk. (1994, Alva dkk. 1996; Rodriguez dkk. 2003, dalam Crocke dkk.

    2007). Ketiga penelitian tersebut menemukan hasil yaitu tidak

    daitemukan bukti bahwa dukungan sosial berhubungan dengan stres

    psikologis ataupun penyesuaian diri pada mahasiswa Latin.

    Dukungan sosial seperti perasaan memperoleh bantuan,

    perasaan dicintai, dihargai atau dinilai tinggi, dapat merupakan penahan

    (buffer) dari akibat-akibat stres yang merusak. Dukungan sosial yang

    tinggi mempercepat kesembuhan seseorang dari penyakit yang diderita,

    sehingga diasumsikan pula akan dapat mempercepat meningkatnya

    kualitas hidup yang sebelumnya menurun (Pramudiani dkk., 2001).

    Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ross dkk. (1999 dalam

    Taylor dkk. 2009) yang mengatakan bahwa poin yang jelas dan penting

    di sini adalah hubungan sosial dapat membantu penyesuaian psikologis,

    memperkuat praktik hidup sehat, dan membantu pemulihan dari sakit

    hanya ketika hubungan itu bersifat suportif. Hasan (2008) mengatakan

    bahwa hubungan suportif tersebut adalah individu merasa memiliki

    seseorang yang memberi keyakinan dan tempat berbagi pikiran dan

  • 38

    perasaan, akan memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik dari pada

    yang tidak memiliki.

    Dukungan sosial dapat menjadi penahan untuk melawan stres

    dengan memberikan pencegahan dari situasi yang menyebabkan stres

    ataupun memberikan solusi mengatasi stres. Selanjutnya menurut

    Mallinckrodt dan Leong (1992, dalam Koyama, 2005), banyaknya

    dukungan sosial akan mempengaruhi seseorang dalam mengatasi stres

    sehubungan dengan penyesuaian diri dalam lingkungan dengan

    kebudayaan yang berbeda. Penelitian ini menegaskan bahwa dukungan

    sosial dapat meningkatkan penyesuaian psikologis dengan memberikan

    ketahanan terhadap dampak dari hidup yang penuh stres.

    Hasil penelitian Rodriguez (2003, dalam Crockett dkk., 2007)

    menyebutkan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi proses

    penyesuaian individu tersebut dengan budaya asing. Seperti orang tua,

    teman dapat memberikan dukungan emosi, instrumen dan informasi.

    Mereka (teman) selalu ada di dalam lingkungan kampus dan

    mempunyai informasi yang lebih relevan mengenai lingkungan

    sekitarnya daripada orang tua. Selanjutnya, pada penelitian ini juga

    ditemukan bahwa dukungan emosi dari teman berhubungan dengan

    penyesuaian sosial yang baik dan dukungan dari teman dapat

    mengurangi stres mahasiswa akibat interaksi mereka dengan budaya

    asing.

    2.7 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Stres Akulturatif

    Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau tuntutan

    untuk beradaptasi dengan kultur baru. Slavin dan Rainer (1990, dalam

  • 39

    Crockett et.al., 2007) menemukan hubungan signifikan yang berbeda

    antara penyesuaian diri dan stres akulturatif pada wanita dan laki-laki

    Latin Meksiko di Amerika.

    Dalam suatu penelitian pada imigran Hispanik, terdapat

    hubungan yang kuat antara stres yang terjadi dalam upaya untuk

    adaptasi terhadap kultur dan lingkungan baru dengan kondisi distres

    psikologis. Imigran wanita menunjukkan tingkat depresi yang lebih

    tinggi dibandingkan dengan imigran pria (Salgado dkk,, 1990, dalam

    Nevid dkk., 2005). Uppaluri et.at (2001, dalam Il Livingston et.al,

    2007) mengatakan bahwa wanita imigran Karibia yang datang ke

    Amerika lebih banyak menderita gejala depresi dan keluhan somatik

    ketika melakukan adaptasi dengan kultur yang baru dibandingkan

    dengan imigran laki-laki.

    Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Caetano (1987, dalam

    Nevid dkk., 2005) ditemukan bahwa wanita Hispanik-Amerika yang

    tingkat akulturasinya tinggi menjadi peminum berat lebih besar

    dibandingkan wanita Hispanik-Amerika yang tingkat akulturasinya

    rendah. Dalam kultur Amerika latin, laki-laki cenderung minum

    alkohol lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya

    larangan kultural berkaitan dengan jenis kelamin tentang pembatasan

    penggunaan alkohol sebagai minuman pada wanita. Ketidak-leluasaan

    ini melemah pada wanita Hispanik-Amerika yang mengadopsi nilai-

    nilai dan sikap orang Amerika.

  • 40

    2.8 Model Penelitian

    Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka

    penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai

    berikut:

    2.9 Hipotesis

    Berdasarkan analisis teori yang telah dikemukakan di atas, maka

    dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:

    1. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman

    terhadap stres akulturatif pada mahasiswa Papua laki-laki di

    Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

    2. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman

    dengan stres akulturatif pada mahasiswa Papua perempuan di

    Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

    3. Ada perbedaan stres akulturatif ditinjau dari jenis kelamin.

    Hardiness

    Dukungan

    Sosial

    Teman

    Stres

    Akulturatif

    Laki-laki Perempuan