bab ii tinjauan pustaka 2.1 penuaan 2.1.1...

41
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau menggganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Secara praktis penuaan dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup. Sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan dari masing-masing individu (Fowler, 2003). Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menimbulkan sakit tertentu, dan berujung pada kematian. Pada dasarnya faktor di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal meliputi radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi (yang menyebabkan peningkatan AGEs), metilasi (penambahan gugus metil pada rantai DNA), apoptosis (kematian sel yang terprogram), sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Kemudian faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup dan diet yang tidak sehat, kebiasaan buruk, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).

Upload: phamkhuong

Post on 30-Jul-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Definisi Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau menggganti diri dan

mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tidak dapat

bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Secara praktis penuaan

dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik.

Penuaan tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda,

tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup.

Sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan

dari masing-masing individu (Fowler, 2003).

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses

penuaan, yang kemudian menimbulkan sakit tertentu, dan berujung pada

kematian. Pada dasarnya faktor di atas dapat dikelompokkan menjadi dua,

yakni faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal meliputi radikal

bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi (yang menyebabkan

peningkatan AGEs), metilasi (penambahan gugus metil pada rantai DNA),

apoptosis (kematian sel yang terprogram), sistem kekebalan yang menurun

dan genetik. Kemudian faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup dan diet

yang tidak sehat, kebiasaan buruk, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan

(Pangkahila, 2011).

10

2.1.2 Teori Terjadinya Proses Penuaan

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses

penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldman dan

Klatz, 2003).

2.1.2.1 Teori Wear and Tear

Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah

lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang

terakumulasi. Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann,

seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh

dan sel yang terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering

digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ,

melainkan juga terjadi pada tingkat sel (Pangkahila, 2011).

Hal ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok,

minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan

menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung

pada terjadinya suatu kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat

kerusakan terjadi lebih cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel

juga merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya.

Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat

berpengaruh terhadap perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap

pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011).

Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam

memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua

meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini

meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak

terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan dengan

mekanismenya adalah merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan

perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).

Teori wear and tear meliputi:

A. Teori Kerusakan DNA

Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA

repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan

yang tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang

terus menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat

mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan

yang berat. Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal

dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila,

2011).

B. Teori Penuaan Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami

penuaan dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di

dalam sel dalam jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau

molekul yang mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga

bersifat sangat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan

menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah

reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul

utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,

lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka

akumulasi kerusakan yang terjadi pada sel akibat radikal bebas semakin

mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu metabolisme sel, juga

merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa berakibat kanker dan

kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen dan elastin, suatu

protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis.

Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal bebas,

terutama pada daerah wajah, dimana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan

yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan

Klatz, 2003).

C. Glikosilasi

Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui

bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes

tipe 2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi,

yang kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada

diabetes, glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi

syaraf, yang merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes

(Pangkahila, 2011).

2.1.2.2 Programmed Theory

Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu

jam biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam

suatu model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai

embrio, janin, masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya

meninggal (Pangkahila, 2011).

Programmed theory meliputi:

A. Teori Terbatasnya Replikasi Sel

Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat

struktur khusus yang disebut telomere. Setiap replikasi sel telomere

mengalami pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel.

Dan setelah sejumlah pembelahan sel tertentu, telomere telah dipakai dan

pembelahan sel terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut

menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme

itu sendiri (Pangkahila, 2011).

B. Proses Imun

Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau

perubahan protein protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya

kemampuan sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self

recognition). Jika mutasi somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan

pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan menyebabkan sistem imun

dalam tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel

asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar

terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah

bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang lanjut usia (Pangkahila,

2011).

C. Teori Neuroendokrin

Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan

berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon

bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh,

sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan

bereaksi terhadap panas dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan

fungsi motorik. Seiring dengan menuanya seseorang maka tubuh hanya

mampu memproduksi hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya menurun dan

berakibat pada gangguan berbagai fungsi tubuh. Contoh yang jelas ialah

menopause pada wanita, dan andropause pada pria. Terapi sulih hormon

dikatakan dapat membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh

sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.3 Fase Penuaan

Menurut Fowler (2003), penuaan dibagi menjadi tiga fase berdasarkan

usia, antara lain:

1. Fase Subklinik (25-35 tahun)

Kadar hormon mulai menurun, seperti growth hormone, testosteron dan

estrogen. Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan struktur DNA.

Tanda dan keluhan penuaan belum tampak dari luar, individu masih tampak

sehat dan merasa normal. Bahkan pada umumnya rentang usia ini dianggap

masih muda dan nomal.

2. Fase Transisi (35-45 tahun)

Kadar hormon menurun ±25% disertai kehilangan massa otot yang

mengakibatkan penurunan kekuatan dan energi, sebaliknya komposisi lemak

tubuh meningkat. Ditambah pengaruh buruk gaya hidup yang mengawali

terjadinya resistensi insulin dan peningkatan risiko mengalami penyakit

jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Tampak gejala klinis, seperti

penurunan kemampuan indera penglihatan dan pendengaran, rambut putih

mulai tumbuh, penurunan elastisitas dan pigmentasi kulit, dan penurunan

dorongan dan bangkitan seksual.

3. Fase Klinik (>45 tahun)

Penurunan kadar hormon berlanjut termasuk pada growth hormone, DHEA,

testosteron, estrogen, dan progesteron. Hilangnya kemampuan menyerap

nutrisi, vitamin, dan mineral menyebabkan densitas tulang menurun,

kehilangan massa otot ±1 kilogram setiap 3 bulan, dan peningkatan lemak

tubuh dan berat badan. Prevalensi penyakit kronis meningkat drastis dan

muncul banyak ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana.

2.1.4 Anti Aging Medicine (AAM)

Konsep dan definisi ilmu AAM pada awalnya diperkenalkan dan

dikembangkan oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada

tahun 1993. Definisi aslinya adalah “Anti-Aging Medicine is a medical

specialty founded the application of advance scientific and medical

technologies for the early detection, prevention, treatment, and reversal of

age-related dysfunction, disorders, and diseases to prolong the healthy

lifespan”. Terjemahan bebasnya sebagai berikut, “Anti-Aging Medicine

adalah bagian dari ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,

pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai

disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang

bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat” (Pangkahila,

2011).

Jadi penuaan dianggap dan diperlakukan sama dengan penyakit, yang

dapat dicegah, dihindari, dan diobati, sehingga dapat kembali ke keadaan

semula dan pada akhirnya usia harapan hidup menjadi lebih panjang dan

dalam keadaan sehat dengan kualitas hidup yang tetap baik. Dengan demikian

manusia tidak lagi harus membiarkan begitu saja dirinya menjadi tua dengan

segala keluhan (Pangkahila, 2011).

Perubahan paradigma inilah yang membedakan AAM dengan

kedokteran konvensional yang kini masih mendominasi dunia kedokteran.

AAM secara progresif berupaya mengatasi proses penuaan agar keluhan,

disfungsi, atau penyakit tidak muncul, sedangkan kedokteran konvensional

mengatasi keluhan, disfungsi, dan penyakit yang muncul karena proses

penuaan (Pangkahila, 2011).

2.2 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu molekul reaktif dengan satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluar (Pham-Huy et al., 2008).

Konfigurasi yang tidak stabil ini kemudian berinteraksi dengan molekul yang

berdekatan, seperti protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat, kemudian

menjadikan molekul tersebut tidak stabil dan terjadilah reaksi rantai yang

baru akan berhenti setelah diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan.

Radikal bebas yang paling sering menyebabkan kerusakan sistem biologi

adalah oxygen-free radical, yang lebih dikenal sebagai reactive oxygen

species (ROS) (Rahman, 2007).

2.2.1 Klasifikasi Radikal Bebas

Menurut Salama dan El-Bahr (2007), radikal bebas dapat dibagi

menjadi:

1. Oxygen centered radicals terdiri dari anion superoksida (O2●),

radikal hidroksil (●OH), radikal alkoksil (RO

●), dan radikal

peroksil (●OOH atau ROO

●).

2. Oxygen centered non radicals terdiri dari hidrogen peroksida

(H2O2) dan oksigen singlet (1O2).

3. Spesies radikal lain atau reactive nitrogen species (RNS)

antara lain: nitrit oksida (NO●), nitrit dioksida (NO

●2), dan

peroksinitrit (OONO-).

Gambar 2.1

Klasifikasi radikal bebas (Salama dan El-Bahr, 2007)

2.2.2 Sumber Radikal Bebas

Menurut Pham-Huy et al. (2008), sumber radikal bebas dapat dibagi

menjadi:

1. Radikal bebas yang dihasilkan dari dalam tubuh akibat adanya

proses enzimatik oleh mitokondria, membran plasma, lisosom,

retikulum endoplasma, dan inti sel. Proses enzimatik yang

menyebabkan terbentuknya radikal bebas antara lain berupa oksidasi

pada proses respirasi, pencernaan, dan metabolisme

2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh akibat adanya

proses nonenzimatik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksigen dengan

senyawa organik melalui ionisasi dan radiasi. Contohnya, pada reaksi

inflamasi dan iskemia

3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh yang diakibatkan

oleh adanya polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor,

radiasi sinar UV, sinar X, sinar gamma, konsumsi makanan tinggi

lemak, caffeine, alkohol, pestisida atau zat beracun lainnya. Selain itu

radikal bebas juga dapat dipicu oleh adanya stres atau aktivitas fisik

berlebih

2.2.3 Pembentukan Radikal Bebas

Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga

tahapan reaksi berikut (Winarsi, 2010):

1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas,

menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal. Misalnya:

Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + •OH

R1 _H + •OH R1• + H2O

2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal,

dimana reaksi berantai radikal bebas diperluas sehingga membentuk

beberapa radikal bebas baru.

R2_H + R1• R2 • + R1_H

R3_H + R2• R3 • + R2_H

3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari

radikal bebas, bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain

atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya

rendah.

R1 • + R1 • R1_R1

R2 • + R1 • R2_R1

R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya

2.2.4 Reactive Oxygen Species (ROS)

ROS berasal dari elemen oksigen yang merupakan hal penting bagi

organisme aerob, seperti halnya manusia. Sekitar 90% dari oksigen yang

masuk ke dalam tubuh digunakan untuk menghasilkan energi berupa ATP

melalui proses fosforilasi oksidatif di mitokondria. Sekitar 10% oksigen

digunakan oleh enzimenzim untuk proses hidroksilasi dan reaksi oksigenisasi.

Sekitar 1 – 2 % oksigen menjadi residu yang kemudian dikonversi menjadi

reactive oxygen species yang dikenal juga dengan ROS (Baynes dan

Dominiczak, 2014).

ROS adalah istilah yang digunakan untuk radikal, bukan hanya radikal

yang mengandung oksigen (superoksida (O2●) dan radikal hidroksil (

●OH))

namun juga derivat oksigen yang tidak mengandung elektron tidak

berpasangan seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen singlet (1O2)

(Pham-Huy et al., 2008).

Proses fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria menghasilkan

energi berupa ATP melalui reduksi oksigen menjadi dua molekul air, dengan

reaksi

sebagai berikut (Winarsi, 2010): O2 + 4H+ + 4e- 2H2 O

Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan

memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses

pemindahan elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga

mengakibatkan terbentuknya spesies reaktif seperti O2●,

●OH, dan H2O2

seperti berikut ini (Winarsi, 2010):

Mekanisme terbentuknya ROS secara in vivo terjadi melalui tiga jalur,

yaitu 1) akibat reaksi antara oksigen dengan ion metal (reaksi Fenton), 2)

sebagai reaksi sampingan dari transpor elektron yang terjadi di mitokondria,

3) melalui proses enzimatik normal seperti pembentukan H2O2 oleh oksidasi

asam lemak di peroksisom (Baynes dan Dominiczak, 2014).

Gambar 2.2

Mekanisme terbentuknya ROS oleh reaksi Fenton dan Haber-Weiss

(Baynes dan Dominiczak, 2014)

2.2.4.1 Dampak Negatif Reactive Oxygen Species (ROS)

ROS dapat merusak DNA, protein dan lipid, namun dalam keadaan

normal tubuh memiliki sistem yang mampu memperbaiki kerusakan akibat

ROS, yaitu :

1. DNA

• Kerusakan: seluruh komponen DNA dapat dirusak oleh radikal

hidroksil (•OH). Sedangkan oksigen singlet (1O2) lebih cenderung

mengenai guanin. Superoksida (O2●) dan hidrogen peroksida (H2O2)

tidak mengenai DNA.

• Sistem perbaikan: kerusakan pada DNA dikenali oleh enzim tubuh,

dilanjutkan dengan proses excisi, resintesis, dan penggabungan kembali

rantai DNA.

2. Protein

• Kerusakan: banyak ROS mampu merusak gugus sulfhidril. Radikal

hidroksil (•OH) dapat merusak banyak residu asam amino.

• Sistem perbaikan: residu oksidasi metionin diatasi oleh methionine

sulfoxide reductase. Kerusakan protein lain dapat dikenali dan

dihancurkan oleh protease selular.

3. Lipid

• Kerusakan: beberapa ROS, kecuali superoksida (O2●) dan hidrogen

peroksida (H2O2), dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid.

• Sistem perbaikan: chain-breaking antioxidants khususnya tokoferol

dapat menghilangkan propagasi rantai radikal peroksil. Phospholipid

hydroperoxide glutathione peroxidase menghilangkan peroksida

membran.

2.2.4.2 Dampak Positif Reactive Oxygen Species (ROS)

Walaupun ROS memiliki banyak efek negatif, namun ROS juga meiliki

efek positif, yaitu (Bagiada, 2001; Baynes dan Dominiczak, 2014):

1. Melawan atau membunuh organisme patogen yang dihasilkan

oleh granulosit, makrofag dan monosit

2. Sebagai substrat untuk enzim, misalnya H2O2 sebagai substrat

dari enzim hemeperoksidase yang penting dalam iodinisasi hormon

tiroid

3. Sebagai sinyal pada metabolisme zat tertentu, misalnya

insulin. H2O2 memiliki peran dalam mekanisme inaktivasi reversible

dari beberapa protein tirosin fosfatase, yang kemudian dalam waktu

yang sama mengaktivasi protein tirosin kinase melalui reseptor insulin

2.2.5 Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah suatu kondisi dimana proses produksi ROS lebih

tinggi daripada eliminasinya, yang mengakibatkan kerusakan oksidatif

molekulmolekul biologi. Jika hal ini terjadi dalam waktu terus-menerus,

maka akan terjadi akumulasi hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan

jaringan sehingga menyebabkan jaringan tersebut kehilangan fungsinya

(Bagiada, 2001). Stres oksidatif dapat terjadi secara lokal, seperti pada

penyakit artritis dan aterosklerosis, maupun secara sistemik, seperti pada

systemic lupus erythematosus dan diabetes (Baynes dan Dominiczak, 2014).

Macam-macam penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif digambarkan

pada gambar 2.4 (Pham-Huy et al., 2008).

Gambar 2.3

Ketidakseimbangan pro-oksidan dengan antioksidan pada keadaan stres

oksidatif. AGE, advanced glycation end product; CAT, catalase;

GPx, glutathione peroxidase; MPO, myeloperoxidase; SOD, superoxide

dismutase (Baynes dan Dominiczak, 2014)

Gambar 2.4

Penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif pada manusia (Pham-Huy et

al., 2008)

2.3 Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome

Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome adalah

sebuah gangguan medis kompleks yang terjadi pada atlet, namun belum

banyak penelitian mengenai hal ini. Menurut dr. D. C. Parmenter, pelatihan

fisik berlebih atau overtrain merupakan kondisi yang sulit untuk dideteksi

dan dideskripsikan, evaluasi harus fokus pada muatan latihan, nutrisi, tidur

dan istirahat, stres kompetisi dan status psikologi (Lewis et al., 2010).

Overtrain merupakan stimulus dan overtraining syndrome adalah

konsekuensi dari overtrain (Bott, 2003).

Secara terminologi, overtraining syndrome adalah sebuah respon

maladaptif dari sebuah pelatihan fisik dengan beban berlebih dalam periode

yang panjang (biasanya 2 minggu), yang merupakan hasil dari overreaching /

overwork yang berkepanjangan. Sementara overreaching / overwork adalah

fase akut yang terjadi saat beban pelatihan fisik (intensitas dan volume)

meningkat secara signifikan (Lewis et al., 2010).

Telah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan hasil maksimal dan

risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai

dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu

Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga

sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua

hari, dengan intensitas kurang lebih 72% - 87% dari denyut jantung

maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Lama latihan sekitar 30 sampai 60

menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti

35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit (Pangkahila, 2011).

Gambar 2.5

Ilustrasi proses overtraining (Lewis et al., 2010)

Pelatihan berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001):

1) Volume pelatihan yang terlalu banyak

2) Intensitas pelatihan yang terlalu banyak

3) Durasi pelatihan terlalu panjang

4) Frekuensi pelatihan yang terlalu sering

Insidensi dan prevalensi mengenai sindrom pelatihan fisik berlebih atau

overtraining syndrome pada literatur tidak disebutkan secara jelas. Estimasi

angka kejadian overtraining syndrome adalah 7% hingga 20% dari jumlah

atlet yang melakukan pelatihan. Lebih dari dua per tiga atlet lari pernah

mengalami gejala dan tanda-tanda overtraining syndrome¸ dimana angka

resiko tertinggi terdapat pada atlet lari, balap sepeda, dan renang.

Overtraining syndrome sering terjadi pada individu yang memiliki motivasi

tinggi dan goal-oriented, juga pada atlet yang merancang pelatihan fisiknya

sendiri tanpa berkonsultasi dengan ahlinya.

Resiko dari overtraining syndrome antara lain performa buruk

berkepanjangan, trauma, penyakit, dan pensiun dini. Volume dan intensitas

latihan serta kurangnya waktu istirahat merupakan penyebab tersering dari

sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome (Lewis et al.,

2010).

Adapun penyebab dari overtraining syndrome antara lain (Safran et al.,

2012):

1. Intensitas pelatihan fisik yang tinggi

2. Volume pelatihan fisik yang ekstrim

3. Tidur terganggu

4. Travelling

5. Penggunaan obat-obatan

6. Konsumsi alkohol

Faktor resiko dari overtraining syndrome antara lain (Safran et al.,

2012):

1. Kesehatan umum kurang baik

2. Nutrisi tidak adekuat

3. Status mood dan kepribadian

4. Usia lanjut

5. Laki-laki

6. Siklus menstruasi terganggu

Gejala overtraining syndrome (Bott, 2003; Safran et al. ,2012; Lewis et

al., 2010):

1. Psikologi: kelelahan, anhedonia (nafsu makan dan libido

menurun), gangguan emosi (iritabilitas, anxietas, hingga depresi),

gangguan tidur (insomnia atau hipersomnolen), indera persepsi

abnormal (keluhan pada organ tanpa disertai penyakit pada organ

tersebut)

2. Kardiovaskular: reduksi VO2 maksimum, menurunnya stroke

volume, kontraksi otot jantung, dan volume plasma

3. Muskuloskeletal: kekakuan otot, penurunan performa, overuse

injury

4. Imunitas: peningkatan frekuensi infeksi saluran nafas atas dan

infeksi bakteri lain, penurunan sekresi IgA dan IgA serum, penurunan

fungsi sel natural killer

5. Perubahan biokomia darah: negative nitrogen balance,

penurunan glikogen otot, deplesi mineral (zinc, cobalt, alumunium,

selenium, copper), peningkatan kortisol, penurunan testosteron 6. Lain-

lain: gangguan menstruasi

Gambar 2.6

Tanda dan gejala kelelahan kronis (Lewis et al., 2010)

2.3.1 Patofisiologi Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining

Syndrome

Patofisiologi dari sindrom pelatihan fisik berlebih / overtraining

syndrome belum diketahui secara jelas. Terdapat beberapa model atau

hipotesis yang menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit ini, salah satu

diantaranya adalah hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis neuroendokrin,

hipotesis glikogen / glutamin / asam amino bercabang (branch chained amino

acids / BCAA), dan hipotesis sitokin (Lewis et al., 2010).

A. Hipotesis sistem saraf otonom

Disfungsi otonom yang berhubungan dengan pelatihan fisik berlebih

atau overtraining diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu simpatis (gejala

Basedowian) dan parasimpatis (gejala Addisonoid). Bentuk simpatis (gejala

Basedowian) berhubungan dengan hipertiroid dan ditandai dengan adanya

gejala dari peningkatan stimulus adrenergik dan non-adrenergik, yaitu agitasi,

peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan berat badan, dan

insomnia. Bentuk parasimpatis (gejala Addisonoid) ditandai dengan adanya

insufisiensi adrenal berupa depresi, kelelahan, peningkatan libido,

hipersomnolen, dan mialgia (Lewis et al., 2010).

Penemuan objektif yang mendukung hipotesis ini antara lain adanya

penurunan adrenocorticotropic hormone (ACTH), penurunan kadar kortisol,

peningkatan dini katekolamin sebelum latihan fisik dan setelah latihan fisik,

penurunan eksreksi katekolamin urin basal, dan penurunan denstitas reseptor

beta pada overtraining syndrome. Penurunan sensitivitas tubuh terhadap jalur

simpatis dapat dilihat sebagai mekanisme umpan balik negatif setelah

paparan berulang dari pelatihan fisik yang menginduksi pelepasan

katekolamin. Overtraining parasimpatis kemudian menampakkan hasil dari

umpan balik negatif tersebut sebagai respon dari stimulus berlebih dan

berulang tanpa disertai waktu istirahat yang adekuat. Hipotesis ini juga

menjelaskan mengapa atlet dengan non-exerciserelatefd life stressor

cenderung lebih mudah mengalami sindrom pelatihan fisik berlebih atau

overtraining syndrome (Lewis et al., 2010).

B. Hipotesis neuroendokrin

Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome menekan

aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, ditandai dengan adanya penurunan

hormon hipofisis anterior, atau hormon di bawahnya. Adapun gangguan

hormonal yang ditemukan antara lain supresi aksis hipotalamus-hipofisis-

adrenal (penurunan ACTH dan kortisol), penurunan growth hormone,

penurunan sekresi thyroid stimulating hormone (TSH), penurunan sekresi

luteinizing hormone (LH), penurunan rasio testosteron bebas terhadap

kortisol, penurunan sekresi prolaktin, dan peningkatan kadar norepinefrin dan

epinefrin (Lewis et al., 2010).

Belum ada penjelasan yang lengkap mengenai hubungan antara

overtraining dengan ketidaknormalan sistem endokrin tersebut, dan

kejadiannya bervariasi selama rangkaian sindrom pelatihan fisik berlebih atau

overtraining syndrome. Hipotesis neuroendokrin dan perubahan hormonal

yang terjadi akibat overtraining berhubungan dengan hipotesis otonom dan

sitokin, pada beberapa kasus juga merupakan respon sekunder dari perubahan

otonom dan inflamasi (Lewis et al., 2010).

C. Hipotesis glutamin / asam amino bercabang / glikogen

Glutamin adalah asam amino dengan jumlah terbesar yang terdapat

pada otot dan plasma, disintesis di otot, paru, hepar, otak, dan jaringan lemak.

Glutamin adalah sumber nutrien yang penting untuk monosit, limfosit, dan sel

natural killer. Pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih, dengan

intensitas pelatihan yang tinggi dan istirahat yang tidak adekuat, kadar

glutamin menurun plasma, dan menyebabkan tubuh lebih beresiko

mengalami penyakit infeksi. Telah terbukti sekresi IgA dan konsentrasi IgA

serum menurun pada atlet yang diberikan pelatihan fisik berlebih. Selain itu

sitotoksisitas sel natural killer juga menurun. Lebih spesifik lagi, beberapa

studi telah membuktikan adanya peningkatan angka kejadian infeksi saluran

nafas atas pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih (Lewis et al., 2010).

Hipotesis asam amino bercabang / branched chain amino acid (BCAA)

mengungkapkan bahwa pada overtraining syndrome terjadi peningkatan

5hydroxytryptamine (5-HT), atau serotonin, yang kemudian menimbulkan

central fatigue. Menurut hipotesis ini, pelatihan fisik intensif menyebabkan

deplesi glikogen, sehingga mengharuskan tubuh menggunakan sumber energi

alternatif yang didapat dari susunan otot. BCAA (leucine, isoleucine, valine)

kemudian dioksidasi menjadi glukosa bersamaan dengan peningkatan kadar

asam lemak. Asam lemak berkompetisi dengan triptofan dalam menempati

albumin binding sites. Setelah melewati blood brain barrier triptofan

dikonversi menjadi 5-HT, atau serotonin (Lewis et al., 2010).

Glikogen adalah sumber energi utama pada pelatihan fisik intensif

hingga moderate. Menurut hipotesis glikogen, deplesi glikogen dapat

menyebabkan overtraining syndrome melalui tiga mekanisme, yaitu: secara

langsung (peningkatan kadar glikogen otot menyebabkan kelelahan otot dan

menurunkan performa), melalui peningkatan BCAA yang kemudian

menyebabkan central fatigue, dan melalui reaksi katabolik (Lewis et al.,

2010).

D. Hipotesis sitokin

Hipotesis sitokin menjelaskan bahwa pada cedera jaringan kronik yang

terjadi tanpa penyembuhan regeneratif, terdapat inflamasi sistemik dan

respon imun. Hal ini terjadi akibat aktivasi NADPH oxidase yang terdapat di

dalam neutrofil. NADPH oxidase bertanggungjawab atas peningkatan

regulasi faktorfaktor imunitas dan terbentuknya radikal bebas terutama ROS

(Lewis et al., 2010; Dong et al, 2011).

Faktor imunitas yang mengalami peningkatan antara lain interleukin,

interferon, TNF, sitokin dan faktor pro-inflamasi lainnya. Peningkatan faktor

imunitas ini memiliki andil dalam terjadinya exercise-induced

immunosuppression, yang kemudian menimbulkan gejala seperti central

fatigue, anoreksia, depresi, status katabolik, dan perubahan aksis

hipotalamus-hipofisisadrenal dan hipotalamus-hipofisis-gonad (Lewis et al.,

2010; Dong et al, 2011).

Peningkatan produksi ROS di dalam tubuh dapat menyebabkan

peroksidasi lipid membran sel dan mencetuskan terjadinya kerusakan

oksidatif pada molekul biologi tubuh, contohnya DNA (Dong et al, 2011).

Gambar 2.7

Skema kerusakan DNA pada pelatihan fisik berlebih (Dong et al, 2011)

2.3.2 Preventif Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome

Langkah preventif overtraining syndrome dapat dilakukan dengan cara

memberikan periode latihan sesuai dengan beban latihan yang baik. Dengan

memberikan periode pelatihan fisik, disertai waktu yang cukup untuk

pemulihan, maka pelatihan fisik akan optimal. Rencana jangka panjang

berupa pelatihan fisik selama 52 minggu per tahun yang terbagi dalam

beberapa fase dan intensitas sangatlah penting (Safran et al., 2012).

Langkah preventif sangatlah penting, namun apabila overtraining

syndrome sudah terjadi maka terapi paling tepat adalah beristirahat selama

kurang lebih 2 minggu. Setelah periode istirahat ini, pelatihan fisik ringan

harus dilakukan dengan metode, aktivitas, dan intensitas yang berbeda dari

pelatihan sebelumnya yang telah mencetuskan overtraining syndrome.

Peningkatan intensitas harus dilakukan secara bertahap dan memperhatikan

ada tidaknya tanda-tanda overtraining syndrome. Kemungkinan adanya

gangguang kesehatan seperti malnutrisi, depresi, penyakit tiroid, dan anemia

harus disingkirkan sebelum memulai terapi (Safran et al., 2012).

2.4 F2-Isoprostan

Stres oksidatif dipercaya sebagai kunci dari beberapa penyakit akut

maupun kronis, namun untuk melakukan evaluasi terhadap kadar radikal

bebas adalah hal yang sulit karena radikal bebas sangat reaktif, cepat hilang,

dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal yang lebih mudah

dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap hasil reaksi radikal

bebas di dalam tubuh, salah satunya dengan melihat kadar F2-isoprostan.

Isoprostan merupakan senyawa menyerupai prostaglandin yang disintesis

terutama oleh esterifikasi asam arakhidonat akibat reaksi katalisasi radikal

bebas nonenzimatik in vivo. Kadar F2isoprostan menggambarkan peroksidasi

lipid yang terjadi pada keadaan stres oksidatif. Peroksidasi lipid in vivo dan in

vitro dengan menggunakan analisa kuantitatif F2-isoprostan diketahui lebih

unggul dibandingkan dengan metode lain seperti TBARS (thiobarbituric

acid–reactive substances), MDA, lipid hidroperoksida, dan exhaled alkanes

(ethane maupun pentane) (Basu, 2008).

Pada keadaan normal kadar F2-isoprostan adalah kurang dari 2 ng/ml

kreatinin, namun dapat meningkat pada keadaan stres oksidatif. Hal ini yang

menyebabkan kadar F2-isoprostan tidak boleh melebihi normal, karena

peningkatan kadar F2-isoprostan menggambarkan peroksidasi lipid yang

terjadi pada keadaan stres oksidatif. Apabila stres oksidatif tidak

diminimalisir maka dapat menyebabkan kerusakan oksidatif. Akumulasi

kerusakan oksidatif ini selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan molekul

tubuh, jaringan, penurunan fungsi organ, penuaan, dan berbagai penyakit

lainnya.

2.4.1 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan

Pembentukan nonenzimatik derivat prostaglandin tidak banyak

diketahui sebelum tahun 1990. Beberapa studi mengungkapkan bahwa

pembentukan F2isoprostan melalui jalur cyclooxygenase (COX) dari sel

trombosit dan monosit manusia, namun pembentukan melalui jalur ini

sangatlah minimal. Tidak seperti prostaglandin primer, isoprostan tidak

memerlukan cyclooxgenase untuk pembentukannya, oleh karena itu F2-

isoprostan tidak dapat disebut sebagai prostaglandin (Basu, 2008).

Mekanisme pembentukan isoprostan dengan prekusor asam arakhidonat

melalui berbagai tahap, yaitu (Basu, 2008):

1. Pemisahan atom hidrogen yang labil

2. Penambahan molekul oksigen pada asam arakhidonat yang

menghasilkan empat bentuk radikal peroksil

3. Endocyclization

4. Penambahan molekul oksigen yang membentuk empat PGG2-

like bicyclic endoperoxide intermediates yang tidak stabil

5. Reduksi PGG2-like bicyclic endoperoxide intermediates oleh

glutation yang kemudian menghasilkan bentuk awal isoprostan yang

akan berubah menjadi bentuk yang bermacam-macam. Bentuk

isoprostan ditentukan oleh letak ikatan regioisomer atom karbon

dengan gugus hidroksil, apakah terletak pada seri ke 5-, 8-, 12-, atau

15- regioisomer. Dan karena komponen ini isomer dengan PGF2

primer, maka komponen disebut juga F2-isoprostan 2.4.2 Absorbsi,

Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi F2-Isoprostan

Farmakokinetik dari F2-isoprostan belum diketahui secara detail. Hasil

studi menunjukkan bahwa isoprostan diproduksi secara in situ pada sel yang

rusak, terutama dalam bentuk ester, kemudian dimetabolisme menjadi bentuk

asam bebas. Setelah melewati tahap biosintesis dalam jaringan, komponen ini

siap diabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh dalam bentuk asam bebas

maupun ester. Setelah diubah menjadi bentuk bebas, isoprostan dilepaskan ke

dalam sirkulasi perifer kemudian mengalami hidrolisis dan metabolisme

lanjutan. Isoprostan primer dan produk oksidasinya dapat ditemukan dalam

darah maupun urin (Basu, 2008).

Gambar 2.8

Skema sederhana biosintesis F2-isoprostan (Basu, 2003)

2.4.3 F2-Isoprostan Sebagai Biomarker Peroksidasi Lipid dan Stres

Oksidatif

Kadar F2-isoprostan telah diketahui meningkat pada beberapa keadaan

yang berkaitan dengan cedera oksidatif, sehingga kadar F2-isoprostan pada

jaringan dan cairan tubuh dapat menjadi penanda peroksidasi lipid akibat

radikal bebas secara in vivo. Pada cedera oksidatif, kadar F2-isoprostan

sepuluh kali lebih tinggi daripada PGF2 enzimatik pada plasma. Bentuk

bebas dari F2-isoprostan dapat dengan mudah ditemukan dalam jaringan dan

cairan tubuh. Perhitungan bentuk ester dan bentuk bebas dari isoprostan dapat

dilakukan pada jaringan, yang menggambarkan adanya stres oksidatif pada

jaringan tersebut (Basu, 2008).

Perhitungan kadar MDA (malondialdehyde) untuk melihat adanya stres

oksidatif dilaporkan kurang sensitif bila dibandingkan dengan kadar

isoprostan. Namun tidak ada hubungan antara peningkatan isoprostan dengan

kadar MDA. Walaupun isoprostan dapat menggambarkan adanya oksidasi

asam arakhidonat dengan baik, namun ada kemungkinan merupakan hasil

dari lipid lain yang juga teroksidasi. Selain itu, pengambilan sampel yang

kurang baik, persiapan yang buruk (selama proses ekstraksi, purifikasi, dan

hidrolisasi), dan pengawetan sampel sebelum dilakukan analisa juga dapat

menyebabkan kesalahan dalam analisa isoprostan (Basu, 2008).

2.4.4 F2-Isoprostan dan Pelatihan Fisik Berlebih

Peningkatan isoprostan terjadi pada keadaan pelatihan fisik berlebih

seperti lari ultramaraton yang dapat mencetuskan terjadinya lipid peroksidase.

Pada studi terdahulu juga ditemukan bahwa kadar F2-isoprostan meningkat

pada subyek sehat setelah melakukan pelatihan fisik berupa knee extensor

selama tiga jam (Fischer et al., 2004; Fischer et al., 2006). Menururt Sacheck

et al. (2003), peningkatan kadar F2-isoprostan hingga 5 ng/ml dapat

ditemukan 72 jam setelah pelatihan fisik ekstrem akibat kerusakan pada otot.

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 12 subyek sehat yang diberi

perlakuan berupa overtraining selama 12 minggu, terbagi dalam empat fase

yang setiap fasenya terdiri dari beban latihan fisik bervariasi, dengan durasi

tiga minggu per fase, dan jarak istirahat 96 jam antar fase, didapatkan hasil

bahwa terdapat peningkatan F2-isoprostan yang berbanding lurus dengan

peningkatan beban latihan. Pada saat istirahat selama 96 jam setelah diberi

pelatihan fisik yang berat, terdapat penurunan F2-isoprostan secara signifikan

(Margonis et al., 2007).

2.5 Antioksidan

Antioksidan merupakan molekul yang dapat mencegah teroksidasinya

molekul lain oleh radikal bebas, dengan cara mendonorkan elektronnya

sehingga radikal bebas menjadi stabil. Antioksidan yang ideal harus mudah

diabsorbsi, mampu melawan radikal bebas, terlibat dalam kelasi redoks metal

dan ekspresi gen dengan cara yang positif (Rahman, 2007).

2.5.1 Klasifikasi Antioksidan

Manusia memiliki sistem antioksidan yang kompleks (enzimatik dan

nonenzimatik), yang bekerja secara sinergis, dan bersama-sama melindungi

sel dan organ tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh adanya radikal

bebas. Antioksidan enzimatik yang paling efisien antara lain gluthatione

peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase. Sedangkan antioksidan

nonenzimatik dibagi menjadi antioksidan metabolik dan nutrien. Antioksidan

metabolik terdiri dari lipoid acid, glutathione, L-ariginine, coenzyme Q10,

melatonin, uric acid, bilirubin, metal-chelating proteins, transferrin, dan

sebagainya. Antioksidan nutrien berasal dari luar tubuh (eksogen) terdiri dari

vitamin E dan C, thiol antioxidants (gluthatione, thioredoxin, dan lipoic

acid), melatonin, karotenoid, flavonoid natural, trace metals (selenium,

mangan, zinc), asam lemak omega-3 dan omega-6, dan lain-lain (Droge,

2002; Willcox et al., 2004). Beberapa antioksidan dapat berinteraksi dengan

antioksidan lain yang disebut juga jaringan antioksidan (Sies et al., 2005).

Berdasarkan asalnya, antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh

(endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen), misalnya dari diet dan

suplementasi makanan. Antioksidan endogen memiliki peran penting dalam

menjaga fungsi sel secara optimal yang selanjutnya mempengaruhi kesehatan

tubuh. Namun pada keadaan stres oksidatif, jumlah antioksidan endogen tidak

mencukupi sehingga diet tinggi antioksidan eksogen mungkin dibutuhkan.

Beberapa komposisi yang terdapat dalam makanan tidak berfungsi untuk

menetralisir radikal bebas secara langsung, melainkan mengaktivitasi

antioksidan endogen, sehingga dapat juga diklasifikasikan sebagai

antioksidan (Rahman, 2007).

2.5.2 Klasifikasi Mekanisme Kerja Antioksidan

Berbagai efek antioksidan dalam sistem biologi dapat diklasifikasikan

menjadi dua kelompok utama, seperti yang dijabarkan pada halaman berikut

ini (Pham-Huy et al., 2008; Kostyuk dan Potapovich, 2009).

Klasifikasi mekanisme kerja antioksidan (Pham-Huy et al., 2008;

Kostyuk dan Potapovich, 2009):

1. Chain breaking effects atau efek memutuskan rantai reaksi

radikal bebas.

Ketika radikal bebas mengambil satu elektron dari molekul lain, ia

membuat molekul tersebut menjadi kehilangan elektronnya sehingga berubah

menjadi radikal bebas. Contoh paling umum dari reaksi rantai radikal bebas

adalah lipid peroxidation. Antioksidan juga bersifat sebagai kompetitor dari

beberapa radikal bebas, contohnya NO sehingga mencegah dampak negatif

NO terhadap sel.

2. Preventive effects atau efek mencegah terjadinya pembentukan

radikal bebas.

Antioksidan yang bersifat mencegah terjadinya inisiasi rekasi rantai

radikal bebas dengan menstabilkan transisi radikal metal (copper dan iron)

antara lain gluthatione peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase.

2.6 Pasak Bumi

2.6.1 Deskripsi dan Ekologi Pasak Bumi

Pasak bumi memiliki nama latin Eurycoma longifolia. Bagian dari

tanaman pasak bumi yang sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional

adalah akarnya. Akar pasak bumi disebut juga sebagai Tongkat Ali / Bedara

Merah / Bedara Putih di Malaysia, dan Cay Ba Bihn di Vietnam, Tung Saw /

Phiak / Hae Pan Chan di Thailand (Goreja, 2004; Susilowati, 2010). Pasak

bumi juga memiliki nama lokal antara lain: bidara laut / mempoleh di

Bangka, widara putih di Jawa, penawar pahit di Melayu, besan di Sumatera

Utara (Susilowati, 2010).

Gambar 2.9

Pohon pasak bumi (kiri), akar pasak bumi (kanan) (Riceplex.com)

Pasak bumi memiliki kedudukan taksonomi adalah sebagai berikut

(Suhartinah, 2006):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas :

Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Simaroubaceae

Genus : Eurycoma

Spesies : Eurycoma longifolia

Utami, (2008) menyatakan bahwa tanaman pasak bumi merupakan

pohon dengan tinggi mencapai 6 meter. Batang tanaman pasak bumi

umumnya tidak bercabang, atau sedikit bercabang, warna coklat keabu-abuan

licin dengan diameter sekitar 15 cm. Daunnya melingkar (rosette) dengan

panjang 0,3-1 meter dan warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25 cm x

1,25-3 cm. Bunga tanaman pasak bumi merah jingga dengan lebar bunga 0,6

cm (Susilowati, 2008). Buah tanaman pasak bumi kira-kira panjang 1,25 cm,

berbentuk oblong, berwarna merah ketika masak. Akar pasak bumi berupa

akar tunggang yang tumbuh tegak lurus menghujam tanah hingga kedalaman

2 meter dan sedikit memunculkan cabang akar. Akar dan batang pasak bumi

tidak memiliki perbedaan mencolok, kecuali pada morfologi akar yang

meruncing ke arah ujung sementara batangnya berbentuk silindris (Mandang

dan Andianto, 2007). 2.6.2 Manfaat Akar Pasak Bumi

Beberapa manfaat akar pasak bumi antara lain:

- Menurut penelitian Varghese et al. (2013) terhadap manusia akar

pasak bumi bermanfaat sebagai penangkal radikal bebas karena

kandungan antioksidannya

- Menurut penelitian Novianti (2015) yang dilakukan pada tikus dan

penelitian George dan Henkel (2013) terhadap manusia akar pasak

bumi terbukti meningkatkan kadar testosteron total

- Menurut penelitian Wahab et al. (2010) terhadap tikus jantan terbukti

mampu memperbaiki spermatogenesis tikus yang dipapar estrogen

- Menurut penelitian Solomon et al. (2013) dengan subyek penelitian

laki-laki terbukti dapat meningkatkan konsentrasi, motilitas, morfologi,

dan mitochondrial membrane potential dari sperma

- Menurut penelitian Ang et al. (2003; 2004) terhadap tikus jantan

terbukti mampu meningkatkan sexual arousal dan kualitas seksual

- Menurut penelitian Tee et al. (2007) terhadap MCF-7 human breast

cell ekstrak akar pasak bumi terbukti mampu menginduksi apoptosis sel

kanker sehingga diduga memiliki efek anti-kanker, dan sebagainya

Akibat dari banyaknya manfaat akar pasak bumi, maka secara tidak

langsung akar pasak bumi dapat memperbaiki kualitas hidup dan sebagai

antiaging (Lunenfeld dan Nieschlag, 2007; Talbott et al., 2013).

Manfaat akar pasak bumi dalam meningkatkan testosteron diduga

melalui beberapa mekanisme. Mekanisme aksi yang mungkin terjadi adalah

peningkatan biosintesis androgen oleh peptida yang terdapat di dalam ekstrak

air pasak bumi. Eurypeptide, peptida yang terkandung dalam pasak bumi,

mengaktifkan enzim CYP17 (17 a-hidroksilase/17, 20 lyase) meningkatkan

metabolisme pre-hormon pregnenolone dan 17-OH-pregnenolone, kemudian

menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA). Progesteron dan 17-OH-

progesteron lalu dimetabolisme menjadi 4-androstenedione dan testosteron.

Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah adanya peningkatan produksi

testosteron oleh sel Leydig tikus melalui inhibisi fosfodiesterase dan

aromatase oleh eurycomanone (Low et al., 2013a), meningkatkan kadar

cAMP pada tikus (Pihie, 2004), menginduksi sintesis testosteron, LH, dan

FSH namun dengan menurunkan kadar estrogen plasma / efek down-regulate

dari oestrogen-mediated-feedback pada tikus (Prakash, 2007; Low et al.,

2013b) maupun pada manusia (Talbott et al., 2013), melepaskan ikatan

testosteron oleh SHBG pada manusia (Henkel et al., 2013), menambah

ukuran sel sperma dan meningkatkan aktivitas sel Leydig sehingga dapat

menaikkan kadar hormon testosteron pada tikus (Novianti, 2015). Atas dasar

penelitian-penelitian di atas, ekstrak akar pasak bumi dapat dianggap sebagai

testosterone maintainer atau restorer yang dapat me’normalisasi’ kadar

testosteron pada subyek yang mengalami penurunan testosteron, namun tidak

meningkatkan testosteron pada subyek yang kadar testosteronnya normal

(Low et al., 2013b).

Pada tikus betina yang mengalami irregular oestrous cycle dan

polycystic ovarian syndrome (PCOS), juga terbukti dapat menurunkan

penyakit sistem reproduksi (Abdulghani et al., 2012). Akar pasak bumi dapat

mengaktifasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast (Vanderschueren et al.,

2004), meningkatkan produksi nitric oxide (NO) pada tikus betina dan jantan

(Zakaria et al., 2004), menginhibisi formasi osteoklas dan resorpsi tulang

pada subyek manusia (Michael et al., 2005; Wimalawansa, 2010), prevensi

terhadap hilangnya kalsium tulang pada tikus yang dikastrasi (Shuid et al.,

2011b), memperbaiki kekuatan tulang pada tikus jantan (Saadiah et al., 2012)

melalui elevasi kadar testosteron yang menekan kadar c-terminal telopeptide

dari kolagen tipe I (CTX), sebuah marker resorpsi tulang, yang meningkat

pada tikus yang dikastrasi (Shuid et al., 2012).

Akar pasak bumi dapat meningkatkan kadar testosteron kemudian

menurunkan kadar high-density lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein

(LDL) dan kolesterol total pada laki-laki hipogonad (Monroe dan Dobs,

2013).

Selain itu juga memiliki efek antihiperglikemik, namun pada subjek

normoglikemik efek ini tidak terlihat, sehingga lebih tepat disimpulkan

bahwa tanaman ini menormalisasi kadar gula darah daripada menurunkannya,

seperti yang terjadi pada efek restorasi kadar testosteron (Talbott et al., 2013).

Namun mekanisme molekular untuk efek ini belum diketahui secara pasti.

2.6.3 Kandungan Senyawa Akar Pasak Bumi

Sejauh ini setidaknya terdapat 65 komponen yang berhasil diisolasi dari

akar pasak bumi (Kuo et al., 2003). Akar tumbuhan ini sangat kaya akan

komponen bioaktif seperti eurycomaoside, eurycolactone, eurycomalactone,

eurycomanone dan pasakbumin-B dimana alkaloid dan kuasinoid memegang

porsi terbesar (Bhat dan Karim, 2010). Komponen kuasinoid eurycomanone

digunakan sebagai marker pada standardised water extract menurut standart

SIRIM (Malaysian Standards, 2011) dan terbukti dapat meningkatkan kadar

testosteron serta produksi sperma pada binatang coba (Zanoli et al., 2009;

Low et al., 2013b). Ekstrak akar pasak bumi dikenal sebagain adaptogen

(Tambi dan Kadir, 2006) dan pengobatan anti-aging terutama pada pria untuk

meningkatkan level energi, mood, fungsi seksual dan libido yang menurun

seiring dengan bertambahnya usia (Adimoelya, 2000; Cyranoski, 2005).

Hasil analisis laboratorium analisis pangan Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Udayana pada November 2014 memberikan hasil

analisa dari akar pasak bumi hutan di Kalimantan Barat memberikan hasil

kapasitas antioksidannya 5514,58 ppm GAEAC (Gallic Acid

EquivalentAntioxidant Capacity), IC 50 % (Inhibition Concentration

terhadap radikal bebas DPPH 0,1 mM) sebesar 3,56 mg/ml, kadar total

fenol 3,01 % b/b GAE (Gallic Acid Equivalent), kadar tanin 0,63 % b/b

TAE (Tannic Acid Equivalent), vitamin C 1496,60 mg/100g, Rendemen 0,35

% b/b (Novianti, 2015). Hasil analisis yang dilakukan pada Maret 2015 di

UPT Laboratorium Analitik Universitas Udayana dengan hasil analisis kimia

ekstrak etanol akar pasak bumi terdapat 5 formula kimia utama yaitu

senyawa ester 3,06%, senyawa phenanthroline 3,85%, senyawa naphthyridin

1,06%, senyawa beta sitosterol 5,77% dan senyawa estragole 1,17%

(Novianti, 2015). Hasil analisis terhadap ekstrak akar pasak bumi Kalimantan

Timur pada tanggal 20 Oktober 2015 adalah adanya kapasitas antioksidan

495,79 ppm GAEAC dan kandungan flavonoid 163,24 mg/100gQE.

2.6.4 Akar Pasak Bumi Sebagai Antioksidan

Penelitian yang dilakukan oleh Varghese et al. (2013) pada relawan

yang diberikan ekstrak akar pasak bumi melakukan analisa terhadap diphenyl

picryl hyrazine (DPPH) dan stabilitas membran sel darah merah. Hasil dari

peneltian ini adalah adanya penurunan persentase absorbsi DPPH yang

menggambarkan tingginya akitivitas antioksidan, dan adanya peningkatan

stabilitas membran sel darah merah. Sel darah merah merupakan target utama

dari ROS karena struktur membrannya yang tinggi akan PUFA dan ikatan

oksigen sehingga mudah terjadi peroksidasi lipid. Selain itu membran sel

darah merah dapat dianalogikan dengan membran sel lisososom karena

kemiripannya, dimana lisosom penting dalam mencegah respon inflamasi.

Dikarenakan membran sel darah merah analog dengan membran sel lisosom

maka peningkatan stabilitas sel darah merah dapat digunakan untuk melihat

aktivitas anti-inflamasi. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, inflamasi

dan iskemia merupakan sumber radikal bebas yang terjadi secara

nonenzimatik. Dengan demikian mekanisme ekstrak akar pasak bumi sebagai

antioksidan diduga dengan cara menstabilkan membran sel sehingga

mencegah terjadinya peroksidasi lipid dan stres oksidatif.

Quassinoid yang jumlahnya besar dalam ekstrak akar pasak bumi

berfungsi sebagai anti-inflamasi yang dapat mencegah pembentukan radikal

bebas. Fungsi ini juga diperoleh dari saponin yang terkandung di dalam

ekstrak akar pasak bumi (tahap inisiasi). Flavonoid yang terkandung di

dalamnya dapat menstabilkan membran sel dengan cara menjaga stabilitas

membran sel dan mencegah peroksidasi lipid. Mekanisme ini juga diperoleh

dari kandungan tanin yang merupakan polifenol dan kaya akan gugus OH

sehingga dapat bertindak sebagai donor elektron untuk radikal bebas reaktif

(tahap propagasi) (Schroeter et al., 2002). Kandungan vitamin C

mengeliminasi radikal alfa tokoferol yang terdapat pada membran sel dan

lipoprotein, dan juga meningkatkan kadar glutation intrasel (tahap terminasi)

(Kojo, 2004; Naziroglu dan Butterworth, 2005).

2.6.5 Uji Toksisitas Akar Pasak Bumi

Studi keamanan pasak bumi menunjukkan bahwa penggunaan

konsentrat pasak bumi sebagai terapi (2.5 µg/ml) tidak memiliki efek buruk

terhadap spermatozoa in vitro (Erasmus et al., 2011). Pada data in vivo oleh

Tambi (2006) didapatkan bahwa ekstrak pasak bumi tidak toksik. Pada studi

hewan, tidak ada efek negatif pada keturunannya, seperti malformasi maupun

perubahan berat badan dan jumlah keturunan (Solomon et al., 2013). Pada uji

toksisitas akut yang dilakukan terhadap tikus diungkapkan bahwa LD50

untuk ekstrak etanol dan aqua dari pasak bumi sebesar 2000 dan 3000

mg/kgBB (Satyavidad et al., 1998; Kuo et al., 2003). Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa hanya pada dosis di atas 1200 mg/kgBB ekstrak pasak

bumi dapat bersifat hepatotoksik pada tikus (Shuid et al., 2011a). Choudhary

et al. (2012) melakukan investigasi terhadap toksisitas akut, sub-akut, dan

sub-kronik terhadap sebuah ekstrak standardised aqueous pasak bumi

bermerk Physta® yang dilakukan pada tikus Wistar jantan dan betina selama

90 hari dosis 250 mg/kgBB hingga 2000 mg/kgBB. Hasil dari penelitian ini

adalah tidak ada perubahan bermakna pada parameter kimia darah,

hematologi, histopatologi, mortalitas dan tingkah laku hewan coba.

Endocrine Society menyatakan PCa sebagai kontraindikasi dari terapi

testosteron dalam bentuk apapun (Bhasin et al., 2010). Akan tetapi sejauh ini

belum ada pembuktian ilmiah yang mengklaim terapi testosteron dapat

memicu PCa. Dengan mempertimbangkan bahwa ekstrak pasak bumi dapat

meningkatkan konsentrasi testosteron serum, maka terapi pasak bumi pada

pria usia tua mungkin dapat berpotensi gangguan prostat (George dan Henkel,

2013).