bab ii tinjauan pustaka 2.1 penuaan 2.1.1...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau menggganti diri dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Secara praktis penuaan
dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik.
Penuaan tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda,
tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup.
Sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan
dari masing-masing individu (Fowler, 2003).
Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses
penuaan, yang kemudian menimbulkan sakit tertentu, dan berujung pada
kematian. Pada dasarnya faktor di atas dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal meliputi radikal
bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi (yang menyebabkan
peningkatan AGEs), metilasi (penambahan gugus metil pada rantai DNA),
apoptosis (kematian sel yang terprogram), sistem kekebalan yang menurun
dan genetik. Kemudian faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup dan diet
yang tidak sehat, kebiasaan buruk, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan
(Pangkahila, 2011).
10
2.1.2 Teori Terjadinya Proses Penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses
penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldman dan
Klatz, 2003).
2.1.2.1 Teori Wear and Tear
Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah
lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang
terakumulasi. Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann,
seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh
dan sel yang terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering
digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ,
melainkan juga terjadi pada tingkat sel (Pangkahila, 2011).
Hal ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok,
minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan
menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung
pada terjadinya suatu kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat
kerusakan terjadi lebih cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel
juga merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya.
Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat
berpengaruh terhadap perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap
pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011).
Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam
memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua
meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini
meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak
terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan dengan
mekanismenya adalah merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan
perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).
Teori wear and tear meliputi:
A. Teori Kerusakan DNA
Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA
repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan
yang tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang
terus menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat
mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan
yang berat. Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal
dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila,
2011).
B. Teori Penuaan Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami
penuaan dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di
dalam sel dalam jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau
molekul yang mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga
bersifat sangat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan
menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah
reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul
utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,
lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka
akumulasi kerusakan yang terjadi pada sel akibat radikal bebas semakin
mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu metabolisme sel, juga
merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa berakibat kanker dan
kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen dan elastin, suatu
protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis.
Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal bebas,
terutama pada daerah wajah, dimana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan
yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan
Klatz, 2003).
C. Glikosilasi
Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui
bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes
tipe 2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi,
yang kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada
diabetes, glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi
syaraf, yang merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes
(Pangkahila, 2011).
2.1.2.2 Programmed Theory
Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu
jam biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam
suatu model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai
embrio, janin, masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya
meninggal (Pangkahila, 2011).
Programmed theory meliputi:
A. Teori Terbatasnya Replikasi Sel
Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat
struktur khusus yang disebut telomere. Setiap replikasi sel telomere
mengalami pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel.
Dan setelah sejumlah pembelahan sel tertentu, telomere telah dipakai dan
pembelahan sel terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut
menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme
itu sendiri (Pangkahila, 2011).
B. Proses Imun
Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau
perubahan protein protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self
recognition). Jika mutasi somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan
pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan menyebabkan sistem imun
dalam tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel
asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar
terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah
bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang lanjut usia (Pangkahila,
2011).
C. Teori Neuroendokrin
Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan
berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon
bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh,
sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan
bereaksi terhadap panas dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan
fungsi motorik. Seiring dengan menuanya seseorang maka tubuh hanya
mampu memproduksi hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya menurun dan
berakibat pada gangguan berbagai fungsi tubuh. Contoh yang jelas ialah
menopause pada wanita, dan andropause pada pria. Terapi sulih hormon
dikatakan dapat membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh
sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).
2.1.3 Fase Penuaan
Menurut Fowler (2003), penuaan dibagi menjadi tiga fase berdasarkan
usia, antara lain:
1. Fase Subklinik (25-35 tahun)
Kadar hormon mulai menurun, seperti growth hormone, testosteron dan
estrogen. Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan struktur DNA.
Tanda dan keluhan penuaan belum tampak dari luar, individu masih tampak
sehat dan merasa normal. Bahkan pada umumnya rentang usia ini dianggap
masih muda dan nomal.
2. Fase Transisi (35-45 tahun)
Kadar hormon menurun ±25% disertai kehilangan massa otot yang
mengakibatkan penurunan kekuatan dan energi, sebaliknya komposisi lemak
tubuh meningkat. Ditambah pengaruh buruk gaya hidup yang mengawali
terjadinya resistensi insulin dan peningkatan risiko mengalami penyakit
jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Tampak gejala klinis, seperti
penurunan kemampuan indera penglihatan dan pendengaran, rambut putih
mulai tumbuh, penurunan elastisitas dan pigmentasi kulit, dan penurunan
dorongan dan bangkitan seksual.
3. Fase Klinik (>45 tahun)
Penurunan kadar hormon berlanjut termasuk pada growth hormone, DHEA,
testosteron, estrogen, dan progesteron. Hilangnya kemampuan menyerap
nutrisi, vitamin, dan mineral menyebabkan densitas tulang menurun,
kehilangan massa otot ±1 kilogram setiap 3 bulan, dan peningkatan lemak
tubuh dan berat badan. Prevalensi penyakit kronis meningkat drastis dan
muncul banyak ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana.
2.1.4 Anti Aging Medicine (AAM)
Konsep dan definisi ilmu AAM pada awalnya diperkenalkan dan
dikembangkan oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada
tahun 1993. Definisi aslinya adalah “Anti-Aging Medicine is a medical
specialty founded the application of advance scientific and medical
technologies for the early detection, prevention, treatment, and reversal of
age-related dysfunction, disorders, and diseases to prolong the healthy
lifespan”. Terjemahan bebasnya sebagai berikut, “Anti-Aging Medicine
adalah bagian dari ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,
pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai
disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang
bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat” (Pangkahila,
2011).
Jadi penuaan dianggap dan diperlakukan sama dengan penyakit, yang
dapat dicegah, dihindari, dan diobati, sehingga dapat kembali ke keadaan
semula dan pada akhirnya usia harapan hidup menjadi lebih panjang dan
dalam keadaan sehat dengan kualitas hidup yang tetap baik. Dengan demikian
manusia tidak lagi harus membiarkan begitu saja dirinya menjadi tua dengan
segala keluhan (Pangkahila, 2011).
Perubahan paradigma inilah yang membedakan AAM dengan
kedokteran konvensional yang kini masih mendominasi dunia kedokteran.
AAM secara progresif berupaya mengatasi proses penuaan agar keluhan,
disfungsi, atau penyakit tidak muncul, sedangkan kedokteran konvensional
mengatasi keluhan, disfungsi, dan penyakit yang muncul karena proses
penuaan (Pangkahila, 2011).
2.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul reaktif dengan satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluar (Pham-Huy et al., 2008).
Konfigurasi yang tidak stabil ini kemudian berinteraksi dengan molekul yang
berdekatan, seperti protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat, kemudian
menjadikan molekul tersebut tidak stabil dan terjadilah reaksi rantai yang
baru akan berhenti setelah diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan.
Radikal bebas yang paling sering menyebabkan kerusakan sistem biologi
adalah oxygen-free radical, yang lebih dikenal sebagai reactive oxygen
species (ROS) (Rahman, 2007).
2.2.1 Klasifikasi Radikal Bebas
Menurut Salama dan El-Bahr (2007), radikal bebas dapat dibagi
menjadi:
1. Oxygen centered radicals terdiri dari anion superoksida (O2●),
radikal hidroksil (●OH), radikal alkoksil (RO
●), dan radikal
peroksil (●OOH atau ROO
●).
2. Oxygen centered non radicals terdiri dari hidrogen peroksida
(H2O2) dan oksigen singlet (1O2).
3. Spesies radikal lain atau reactive nitrogen species (RNS)
antara lain: nitrit oksida (NO●), nitrit dioksida (NO
●2), dan
peroksinitrit (OONO-).
Gambar 2.1
Klasifikasi radikal bebas (Salama dan El-Bahr, 2007)
2.2.2 Sumber Radikal Bebas
Menurut Pham-Huy et al. (2008), sumber radikal bebas dapat dibagi
menjadi:
1. Radikal bebas yang dihasilkan dari dalam tubuh akibat adanya
proses enzimatik oleh mitokondria, membran plasma, lisosom,
retikulum endoplasma, dan inti sel. Proses enzimatik yang
menyebabkan terbentuknya radikal bebas antara lain berupa oksidasi
pada proses respirasi, pencernaan, dan metabolisme
2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh akibat adanya
proses nonenzimatik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksigen dengan
senyawa organik melalui ionisasi dan radiasi. Contohnya, pada reaksi
inflamasi dan iskemia
3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh yang diakibatkan
oleh adanya polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor,
radiasi sinar UV, sinar X, sinar gamma, konsumsi makanan tinggi
lemak, caffeine, alkohol, pestisida atau zat beracun lainnya. Selain itu
radikal bebas juga dapat dipicu oleh adanya stres atau aktivitas fisik
berlebih
2.2.3 Pembentukan Radikal Bebas
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga
tahapan reaksi berikut (Winarsi, 2010):
1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas,
menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal. Misalnya:
Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + •OH
R1 _H + •OH R1• + H2O
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal,
dimana reaksi berantai radikal bebas diperluas sehingga membentuk
beberapa radikal bebas baru.
R2_H + R1• R2 • + R1_H
R3_H + R2• R3 • + R2_H
3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari
radikal bebas, bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain
atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya
rendah.
R1 • + R1 • R1_R1
R2 • + R1 • R2_R1
R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya
2.2.4 Reactive Oxygen Species (ROS)
ROS berasal dari elemen oksigen yang merupakan hal penting bagi
organisme aerob, seperti halnya manusia. Sekitar 90% dari oksigen yang
masuk ke dalam tubuh digunakan untuk menghasilkan energi berupa ATP
melalui proses fosforilasi oksidatif di mitokondria. Sekitar 10% oksigen
digunakan oleh enzimenzim untuk proses hidroksilasi dan reaksi oksigenisasi.
Sekitar 1 – 2 % oksigen menjadi residu yang kemudian dikonversi menjadi
reactive oxygen species yang dikenal juga dengan ROS (Baynes dan
Dominiczak, 2014).
ROS adalah istilah yang digunakan untuk radikal, bukan hanya radikal
yang mengandung oksigen (superoksida (O2●) dan radikal hidroksil (
●OH))
namun juga derivat oksigen yang tidak mengandung elektron tidak
berpasangan seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen singlet (1O2)
(Pham-Huy et al., 2008).
Proses fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria menghasilkan
energi berupa ATP melalui reduksi oksigen menjadi dua molekul air, dengan
reaksi
sebagai berikut (Winarsi, 2010): O2 + 4H+ + 4e- 2H2 O
Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan
memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses
pemindahan elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga
mengakibatkan terbentuknya spesies reaktif seperti O2●,
●OH, dan H2O2
seperti berikut ini (Winarsi, 2010):
Mekanisme terbentuknya ROS secara in vivo terjadi melalui tiga jalur,
yaitu 1) akibat reaksi antara oksigen dengan ion metal (reaksi Fenton), 2)
sebagai reaksi sampingan dari transpor elektron yang terjadi di mitokondria,
3) melalui proses enzimatik normal seperti pembentukan H2O2 oleh oksidasi
asam lemak di peroksisom (Baynes dan Dominiczak, 2014).
Gambar 2.2
Mekanisme terbentuknya ROS oleh reaksi Fenton dan Haber-Weiss
(Baynes dan Dominiczak, 2014)
2.2.4.1 Dampak Negatif Reactive Oxygen Species (ROS)
ROS dapat merusak DNA, protein dan lipid, namun dalam keadaan
normal tubuh memiliki sistem yang mampu memperbaiki kerusakan akibat
ROS, yaitu :
1. DNA
• Kerusakan: seluruh komponen DNA dapat dirusak oleh radikal
hidroksil (•OH). Sedangkan oksigen singlet (1O2) lebih cenderung
mengenai guanin. Superoksida (O2●) dan hidrogen peroksida (H2O2)
tidak mengenai DNA.
• Sistem perbaikan: kerusakan pada DNA dikenali oleh enzim tubuh,
dilanjutkan dengan proses excisi, resintesis, dan penggabungan kembali
rantai DNA.
2. Protein
• Kerusakan: banyak ROS mampu merusak gugus sulfhidril. Radikal
hidroksil (•OH) dapat merusak banyak residu asam amino.
• Sistem perbaikan: residu oksidasi metionin diatasi oleh methionine
sulfoxide reductase. Kerusakan protein lain dapat dikenali dan
dihancurkan oleh protease selular.
3. Lipid
• Kerusakan: beberapa ROS, kecuali superoksida (O2●) dan hidrogen
peroksida (H2O2), dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid.
• Sistem perbaikan: chain-breaking antioxidants khususnya tokoferol
dapat menghilangkan propagasi rantai radikal peroksil. Phospholipid
hydroperoxide glutathione peroxidase menghilangkan peroksida
membran.
2.2.4.2 Dampak Positif Reactive Oxygen Species (ROS)
Walaupun ROS memiliki banyak efek negatif, namun ROS juga meiliki
efek positif, yaitu (Bagiada, 2001; Baynes dan Dominiczak, 2014):
1. Melawan atau membunuh organisme patogen yang dihasilkan
oleh granulosit, makrofag dan monosit
2. Sebagai substrat untuk enzim, misalnya H2O2 sebagai substrat
dari enzim hemeperoksidase yang penting dalam iodinisasi hormon
tiroid
3. Sebagai sinyal pada metabolisme zat tertentu, misalnya
insulin. H2O2 memiliki peran dalam mekanisme inaktivasi reversible
dari beberapa protein tirosin fosfatase, yang kemudian dalam waktu
yang sama mengaktivasi protein tirosin kinase melalui reseptor insulin
2.2.5 Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu kondisi dimana proses produksi ROS lebih
tinggi daripada eliminasinya, yang mengakibatkan kerusakan oksidatif
molekulmolekul biologi. Jika hal ini terjadi dalam waktu terus-menerus,
maka akan terjadi akumulasi hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan
jaringan sehingga menyebabkan jaringan tersebut kehilangan fungsinya
(Bagiada, 2001). Stres oksidatif dapat terjadi secara lokal, seperti pada
penyakit artritis dan aterosklerosis, maupun secara sistemik, seperti pada
systemic lupus erythematosus dan diabetes (Baynes dan Dominiczak, 2014).
Macam-macam penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif digambarkan
pada gambar 2.4 (Pham-Huy et al., 2008).
Gambar 2.3
Ketidakseimbangan pro-oksidan dengan antioksidan pada keadaan stres
oksidatif. AGE, advanced glycation end product; CAT, catalase;
GPx, glutathione peroxidase; MPO, myeloperoxidase; SOD, superoxide
dismutase (Baynes dan Dominiczak, 2014)
Gambar 2.4
Penyakit yang diinduksi oleh stres oksidatif pada manusia (Pham-Huy et
al., 2008)
2.3 Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome
Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome adalah
sebuah gangguan medis kompleks yang terjadi pada atlet, namun belum
banyak penelitian mengenai hal ini. Menurut dr. D. C. Parmenter, pelatihan
fisik berlebih atau overtrain merupakan kondisi yang sulit untuk dideteksi
dan dideskripsikan, evaluasi harus fokus pada muatan latihan, nutrisi, tidur
dan istirahat, stres kompetisi dan status psikologi (Lewis et al., 2010).
Overtrain merupakan stimulus dan overtraining syndrome adalah
konsekuensi dari overtrain (Bott, 2003).
Secara terminologi, overtraining syndrome adalah sebuah respon
maladaptif dari sebuah pelatihan fisik dengan beban berlebih dalam periode
yang panjang (biasanya 2 minggu), yang merupakan hasil dari overreaching /
overwork yang berkepanjangan. Sementara overreaching / overwork adalah
fase akut yang terjadi saat beban pelatihan fisik (intensitas dan volume)
meningkat secara signifikan (Lewis et al., 2010).
Telah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan hasil maksimal dan
risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai
dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu
Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga
sampai empat kali per minggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari dua
hari, dengan intensitas kurang lebih 72% - 87% dari denyut jantung
maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Lama latihan sekitar 30 sampai 60
menit. Latihan didahului pemanasan selama 15 menit, dilanjutkan latihan inti
35 menit, diakhiri pendinginan 10 menit (Pangkahila, 2011).
Gambar 2.5
Ilustrasi proses overtraining (Lewis et al., 2010)
Pelatihan berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001):
1) Volume pelatihan yang terlalu banyak
2) Intensitas pelatihan yang terlalu banyak
3) Durasi pelatihan terlalu panjang
4) Frekuensi pelatihan yang terlalu sering
Insidensi dan prevalensi mengenai sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome pada literatur tidak disebutkan secara jelas. Estimasi
angka kejadian overtraining syndrome adalah 7% hingga 20% dari jumlah
atlet yang melakukan pelatihan. Lebih dari dua per tiga atlet lari pernah
mengalami gejala dan tanda-tanda overtraining syndrome¸ dimana angka
resiko tertinggi terdapat pada atlet lari, balap sepeda, dan renang.
Overtraining syndrome sering terjadi pada individu yang memiliki motivasi
tinggi dan goal-oriented, juga pada atlet yang merancang pelatihan fisiknya
sendiri tanpa berkonsultasi dengan ahlinya.
Resiko dari overtraining syndrome antara lain performa buruk
berkepanjangan, trauma, penyakit, dan pensiun dini. Volume dan intensitas
latihan serta kurangnya waktu istirahat merupakan penyebab tersering dari
sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome (Lewis et al.,
2010).
Adapun penyebab dari overtraining syndrome antara lain (Safran et al.,
2012):
1. Intensitas pelatihan fisik yang tinggi
2. Volume pelatihan fisik yang ekstrim
3. Tidur terganggu
4. Travelling
5. Penggunaan obat-obatan
6. Konsumsi alkohol
Faktor resiko dari overtraining syndrome antara lain (Safran et al.,
2012):
1. Kesehatan umum kurang baik
2. Nutrisi tidak adekuat
3. Status mood dan kepribadian
4. Usia lanjut
5. Laki-laki
6. Siklus menstruasi terganggu
Gejala overtraining syndrome (Bott, 2003; Safran et al. ,2012; Lewis et
al., 2010):
1. Psikologi: kelelahan, anhedonia (nafsu makan dan libido
menurun), gangguan emosi (iritabilitas, anxietas, hingga depresi),
gangguan tidur (insomnia atau hipersomnolen), indera persepsi
abnormal (keluhan pada organ tanpa disertai penyakit pada organ
tersebut)
2. Kardiovaskular: reduksi VO2 maksimum, menurunnya stroke
volume, kontraksi otot jantung, dan volume plasma
3. Muskuloskeletal: kekakuan otot, penurunan performa, overuse
injury
4. Imunitas: peningkatan frekuensi infeksi saluran nafas atas dan
infeksi bakteri lain, penurunan sekresi IgA dan IgA serum, penurunan
fungsi sel natural killer
5. Perubahan biokomia darah: negative nitrogen balance,
penurunan glikogen otot, deplesi mineral (zinc, cobalt, alumunium,
selenium, copper), peningkatan kortisol, penurunan testosteron 6. Lain-
lain: gangguan menstruasi
Gambar 2.6
Tanda dan gejala kelelahan kronis (Lewis et al., 2010)
2.3.1 Patofisiologi Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining
Syndrome
Patofisiologi dari sindrom pelatihan fisik berlebih / overtraining
syndrome belum diketahui secara jelas. Terdapat beberapa model atau
hipotesis yang menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit ini, salah satu
diantaranya adalah hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis neuroendokrin,
hipotesis glikogen / glutamin / asam amino bercabang (branch chained amino
acids / BCAA), dan hipotesis sitokin (Lewis et al., 2010).
A. Hipotesis sistem saraf otonom
Disfungsi otonom yang berhubungan dengan pelatihan fisik berlebih
atau overtraining diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu simpatis (gejala
Basedowian) dan parasimpatis (gejala Addisonoid). Bentuk simpatis (gejala
Basedowian) berhubungan dengan hipertiroid dan ditandai dengan adanya
gejala dari peningkatan stimulus adrenergik dan non-adrenergik, yaitu agitasi,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan berat badan, dan
insomnia. Bentuk parasimpatis (gejala Addisonoid) ditandai dengan adanya
insufisiensi adrenal berupa depresi, kelelahan, peningkatan libido,
hipersomnolen, dan mialgia (Lewis et al., 2010).
Penemuan objektif yang mendukung hipotesis ini antara lain adanya
penurunan adrenocorticotropic hormone (ACTH), penurunan kadar kortisol,
peningkatan dini katekolamin sebelum latihan fisik dan setelah latihan fisik,
penurunan eksreksi katekolamin urin basal, dan penurunan denstitas reseptor
beta pada overtraining syndrome. Penurunan sensitivitas tubuh terhadap jalur
simpatis dapat dilihat sebagai mekanisme umpan balik negatif setelah
paparan berulang dari pelatihan fisik yang menginduksi pelepasan
katekolamin. Overtraining parasimpatis kemudian menampakkan hasil dari
umpan balik negatif tersebut sebagai respon dari stimulus berlebih dan
berulang tanpa disertai waktu istirahat yang adekuat. Hipotesis ini juga
menjelaskan mengapa atlet dengan non-exerciserelatefd life stressor
cenderung lebih mudah mengalami sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome (Lewis et al., 2010).
B. Hipotesis neuroendokrin
Sindrom pelatihan fisik berlebih atau overtraining syndrome menekan
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, ditandai dengan adanya penurunan
hormon hipofisis anterior, atau hormon di bawahnya. Adapun gangguan
hormonal yang ditemukan antara lain supresi aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (penurunan ACTH dan kortisol), penurunan growth hormone,
penurunan sekresi thyroid stimulating hormone (TSH), penurunan sekresi
luteinizing hormone (LH), penurunan rasio testosteron bebas terhadap
kortisol, penurunan sekresi prolaktin, dan peningkatan kadar norepinefrin dan
epinefrin (Lewis et al., 2010).
Belum ada penjelasan yang lengkap mengenai hubungan antara
overtraining dengan ketidaknormalan sistem endokrin tersebut, dan
kejadiannya bervariasi selama rangkaian sindrom pelatihan fisik berlebih atau
overtraining syndrome. Hipotesis neuroendokrin dan perubahan hormonal
yang terjadi akibat overtraining berhubungan dengan hipotesis otonom dan
sitokin, pada beberapa kasus juga merupakan respon sekunder dari perubahan
otonom dan inflamasi (Lewis et al., 2010).
C. Hipotesis glutamin / asam amino bercabang / glikogen
Glutamin adalah asam amino dengan jumlah terbesar yang terdapat
pada otot dan plasma, disintesis di otot, paru, hepar, otak, dan jaringan lemak.
Glutamin adalah sumber nutrien yang penting untuk monosit, limfosit, dan sel
natural killer. Pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih, dengan
intensitas pelatihan yang tinggi dan istirahat yang tidak adekuat, kadar
glutamin menurun plasma, dan menyebabkan tubuh lebih beresiko
mengalami penyakit infeksi. Telah terbukti sekresi IgA dan konsentrasi IgA
serum menurun pada atlet yang diberikan pelatihan fisik berlebih. Selain itu
sitotoksisitas sel natural killer juga menurun. Lebih spesifik lagi, beberapa
studi telah membuktikan adanya peningkatan angka kejadian infeksi saluran
nafas atas pada atlet yang diberi pelatihan fisik berlebih (Lewis et al., 2010).
Hipotesis asam amino bercabang / branched chain amino acid (BCAA)
mengungkapkan bahwa pada overtraining syndrome terjadi peningkatan
5hydroxytryptamine (5-HT), atau serotonin, yang kemudian menimbulkan
central fatigue. Menurut hipotesis ini, pelatihan fisik intensif menyebabkan
deplesi glikogen, sehingga mengharuskan tubuh menggunakan sumber energi
alternatif yang didapat dari susunan otot. BCAA (leucine, isoleucine, valine)
kemudian dioksidasi menjadi glukosa bersamaan dengan peningkatan kadar
asam lemak. Asam lemak berkompetisi dengan triptofan dalam menempati
albumin binding sites. Setelah melewati blood brain barrier triptofan
dikonversi menjadi 5-HT, atau serotonin (Lewis et al., 2010).
Glikogen adalah sumber energi utama pada pelatihan fisik intensif
hingga moderate. Menurut hipotesis glikogen, deplesi glikogen dapat
menyebabkan overtraining syndrome melalui tiga mekanisme, yaitu: secara
langsung (peningkatan kadar glikogen otot menyebabkan kelelahan otot dan
menurunkan performa), melalui peningkatan BCAA yang kemudian
menyebabkan central fatigue, dan melalui reaksi katabolik (Lewis et al.,
2010).
D. Hipotesis sitokin
Hipotesis sitokin menjelaskan bahwa pada cedera jaringan kronik yang
terjadi tanpa penyembuhan regeneratif, terdapat inflamasi sistemik dan
respon imun. Hal ini terjadi akibat aktivasi NADPH oxidase yang terdapat di
dalam neutrofil. NADPH oxidase bertanggungjawab atas peningkatan
regulasi faktorfaktor imunitas dan terbentuknya radikal bebas terutama ROS
(Lewis et al., 2010; Dong et al, 2011).
Faktor imunitas yang mengalami peningkatan antara lain interleukin,
interferon, TNF, sitokin dan faktor pro-inflamasi lainnya. Peningkatan faktor
imunitas ini memiliki andil dalam terjadinya exercise-induced
immunosuppression, yang kemudian menimbulkan gejala seperti central
fatigue, anoreksia, depresi, status katabolik, dan perubahan aksis
hipotalamus-hipofisisadrenal dan hipotalamus-hipofisis-gonad (Lewis et al.,
2010; Dong et al, 2011).
Peningkatan produksi ROS di dalam tubuh dapat menyebabkan
peroksidasi lipid membran sel dan mencetuskan terjadinya kerusakan
oksidatif pada molekul biologi tubuh, contohnya DNA (Dong et al, 2011).
Gambar 2.7
Skema kerusakan DNA pada pelatihan fisik berlebih (Dong et al, 2011)
2.3.2 Preventif Sindrom Pelatihan Fisik Berlebih / Overtraining Syndrome
Langkah preventif overtraining syndrome dapat dilakukan dengan cara
memberikan periode latihan sesuai dengan beban latihan yang baik. Dengan
memberikan periode pelatihan fisik, disertai waktu yang cukup untuk
pemulihan, maka pelatihan fisik akan optimal. Rencana jangka panjang
berupa pelatihan fisik selama 52 minggu per tahun yang terbagi dalam
beberapa fase dan intensitas sangatlah penting (Safran et al., 2012).
Langkah preventif sangatlah penting, namun apabila overtraining
syndrome sudah terjadi maka terapi paling tepat adalah beristirahat selama
kurang lebih 2 minggu. Setelah periode istirahat ini, pelatihan fisik ringan
harus dilakukan dengan metode, aktivitas, dan intensitas yang berbeda dari
pelatihan sebelumnya yang telah mencetuskan overtraining syndrome.
Peningkatan intensitas harus dilakukan secara bertahap dan memperhatikan
ada tidaknya tanda-tanda overtraining syndrome. Kemungkinan adanya
gangguang kesehatan seperti malnutrisi, depresi, penyakit tiroid, dan anemia
harus disingkirkan sebelum memulai terapi (Safran et al., 2012).
2.4 F2-Isoprostan
Stres oksidatif dipercaya sebagai kunci dari beberapa penyakit akut
maupun kronis, namun untuk melakukan evaluasi terhadap kadar radikal
bebas adalah hal yang sulit karena radikal bebas sangat reaktif, cepat hilang,
dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal yang lebih mudah
dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap hasil reaksi radikal
bebas di dalam tubuh, salah satunya dengan melihat kadar F2-isoprostan.
Isoprostan merupakan senyawa menyerupai prostaglandin yang disintesis
terutama oleh esterifikasi asam arakhidonat akibat reaksi katalisasi radikal
bebas nonenzimatik in vivo. Kadar F2isoprostan menggambarkan peroksidasi
lipid yang terjadi pada keadaan stres oksidatif. Peroksidasi lipid in vivo dan in
vitro dengan menggunakan analisa kuantitatif F2-isoprostan diketahui lebih
unggul dibandingkan dengan metode lain seperti TBARS (thiobarbituric
acid–reactive substances), MDA, lipid hidroperoksida, dan exhaled alkanes
(ethane maupun pentane) (Basu, 2008).
Pada keadaan normal kadar F2-isoprostan adalah kurang dari 2 ng/ml
kreatinin, namun dapat meningkat pada keadaan stres oksidatif. Hal ini yang
menyebabkan kadar F2-isoprostan tidak boleh melebihi normal, karena
peningkatan kadar F2-isoprostan menggambarkan peroksidasi lipid yang
terjadi pada keadaan stres oksidatif. Apabila stres oksidatif tidak
diminimalisir maka dapat menyebabkan kerusakan oksidatif. Akumulasi
kerusakan oksidatif ini selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan molekul
tubuh, jaringan, penurunan fungsi organ, penuaan, dan berbagai penyakit
lainnya.
2.4.1 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan
Pembentukan nonenzimatik derivat prostaglandin tidak banyak
diketahui sebelum tahun 1990. Beberapa studi mengungkapkan bahwa
pembentukan F2isoprostan melalui jalur cyclooxygenase (COX) dari sel
trombosit dan monosit manusia, namun pembentukan melalui jalur ini
sangatlah minimal. Tidak seperti prostaglandin primer, isoprostan tidak
memerlukan cyclooxgenase untuk pembentukannya, oleh karena itu F2-
isoprostan tidak dapat disebut sebagai prostaglandin (Basu, 2008).
Mekanisme pembentukan isoprostan dengan prekusor asam arakhidonat
melalui berbagai tahap, yaitu (Basu, 2008):
1. Pemisahan atom hidrogen yang labil
2. Penambahan molekul oksigen pada asam arakhidonat yang
menghasilkan empat bentuk radikal peroksil
3. Endocyclization
4. Penambahan molekul oksigen yang membentuk empat PGG2-
like bicyclic endoperoxide intermediates yang tidak stabil
5. Reduksi PGG2-like bicyclic endoperoxide intermediates oleh
glutation yang kemudian menghasilkan bentuk awal isoprostan yang
akan berubah menjadi bentuk yang bermacam-macam. Bentuk
isoprostan ditentukan oleh letak ikatan regioisomer atom karbon
dengan gugus hidroksil, apakah terletak pada seri ke 5-, 8-, 12-, atau
15- regioisomer. Dan karena komponen ini isomer dengan PGF2
primer, maka komponen disebut juga F2-isoprostan 2.4.2 Absorbsi,
Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi F2-Isoprostan
Farmakokinetik dari F2-isoprostan belum diketahui secara detail. Hasil
studi menunjukkan bahwa isoprostan diproduksi secara in situ pada sel yang
rusak, terutama dalam bentuk ester, kemudian dimetabolisme menjadi bentuk
asam bebas. Setelah melewati tahap biosintesis dalam jaringan, komponen ini
siap diabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh dalam bentuk asam bebas
maupun ester. Setelah diubah menjadi bentuk bebas, isoprostan dilepaskan ke
dalam sirkulasi perifer kemudian mengalami hidrolisis dan metabolisme
lanjutan. Isoprostan primer dan produk oksidasinya dapat ditemukan dalam
darah maupun urin (Basu, 2008).
Gambar 2.8
Skema sederhana biosintesis F2-isoprostan (Basu, 2003)
2.4.3 F2-Isoprostan Sebagai Biomarker Peroksidasi Lipid dan Stres
Oksidatif
Kadar F2-isoprostan telah diketahui meningkat pada beberapa keadaan
yang berkaitan dengan cedera oksidatif, sehingga kadar F2-isoprostan pada
jaringan dan cairan tubuh dapat menjadi penanda peroksidasi lipid akibat
radikal bebas secara in vivo. Pada cedera oksidatif, kadar F2-isoprostan
sepuluh kali lebih tinggi daripada PGF2 enzimatik pada plasma. Bentuk
bebas dari F2-isoprostan dapat dengan mudah ditemukan dalam jaringan dan
cairan tubuh. Perhitungan bentuk ester dan bentuk bebas dari isoprostan dapat
dilakukan pada jaringan, yang menggambarkan adanya stres oksidatif pada
jaringan tersebut (Basu, 2008).
Perhitungan kadar MDA (malondialdehyde) untuk melihat adanya stres
oksidatif dilaporkan kurang sensitif bila dibandingkan dengan kadar
isoprostan. Namun tidak ada hubungan antara peningkatan isoprostan dengan
kadar MDA. Walaupun isoprostan dapat menggambarkan adanya oksidasi
asam arakhidonat dengan baik, namun ada kemungkinan merupakan hasil
dari lipid lain yang juga teroksidasi. Selain itu, pengambilan sampel yang
kurang baik, persiapan yang buruk (selama proses ekstraksi, purifikasi, dan
hidrolisasi), dan pengawetan sampel sebelum dilakukan analisa juga dapat
menyebabkan kesalahan dalam analisa isoprostan (Basu, 2008).
2.4.4 F2-Isoprostan dan Pelatihan Fisik Berlebih
Peningkatan isoprostan terjadi pada keadaan pelatihan fisik berlebih
seperti lari ultramaraton yang dapat mencetuskan terjadinya lipid peroksidase.
Pada studi terdahulu juga ditemukan bahwa kadar F2-isoprostan meningkat
pada subyek sehat setelah melakukan pelatihan fisik berupa knee extensor
selama tiga jam (Fischer et al., 2004; Fischer et al., 2006). Menururt Sacheck
et al. (2003), peningkatan kadar F2-isoprostan hingga 5 ng/ml dapat
ditemukan 72 jam setelah pelatihan fisik ekstrem akibat kerusakan pada otot.
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 12 subyek sehat yang diberi
perlakuan berupa overtraining selama 12 minggu, terbagi dalam empat fase
yang setiap fasenya terdiri dari beban latihan fisik bervariasi, dengan durasi
tiga minggu per fase, dan jarak istirahat 96 jam antar fase, didapatkan hasil
bahwa terdapat peningkatan F2-isoprostan yang berbanding lurus dengan
peningkatan beban latihan. Pada saat istirahat selama 96 jam setelah diberi
pelatihan fisik yang berat, terdapat penurunan F2-isoprostan secara signifikan
(Margonis et al., 2007).
2.5 Antioksidan
Antioksidan merupakan molekul yang dapat mencegah teroksidasinya
molekul lain oleh radikal bebas, dengan cara mendonorkan elektronnya
sehingga radikal bebas menjadi stabil. Antioksidan yang ideal harus mudah
diabsorbsi, mampu melawan radikal bebas, terlibat dalam kelasi redoks metal
dan ekspresi gen dengan cara yang positif (Rahman, 2007).
2.5.1 Klasifikasi Antioksidan
Manusia memiliki sistem antioksidan yang kompleks (enzimatik dan
nonenzimatik), yang bekerja secara sinergis, dan bersama-sama melindungi
sel dan organ tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh adanya radikal
bebas. Antioksidan enzimatik yang paling efisien antara lain gluthatione
peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase. Sedangkan antioksidan
nonenzimatik dibagi menjadi antioksidan metabolik dan nutrien. Antioksidan
metabolik terdiri dari lipoid acid, glutathione, L-ariginine, coenzyme Q10,
melatonin, uric acid, bilirubin, metal-chelating proteins, transferrin, dan
sebagainya. Antioksidan nutrien berasal dari luar tubuh (eksogen) terdiri dari
vitamin E dan C, thiol antioxidants (gluthatione, thioredoxin, dan lipoic
acid), melatonin, karotenoid, flavonoid natural, trace metals (selenium,
mangan, zinc), asam lemak omega-3 dan omega-6, dan lain-lain (Droge,
2002; Willcox et al., 2004). Beberapa antioksidan dapat berinteraksi dengan
antioksidan lain yang disebut juga jaringan antioksidan (Sies et al., 2005).
Berdasarkan asalnya, antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh
(endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen), misalnya dari diet dan
suplementasi makanan. Antioksidan endogen memiliki peran penting dalam
menjaga fungsi sel secara optimal yang selanjutnya mempengaruhi kesehatan
tubuh. Namun pada keadaan stres oksidatif, jumlah antioksidan endogen tidak
mencukupi sehingga diet tinggi antioksidan eksogen mungkin dibutuhkan.
Beberapa komposisi yang terdapat dalam makanan tidak berfungsi untuk
menetralisir radikal bebas secara langsung, melainkan mengaktivitasi
antioksidan endogen, sehingga dapat juga diklasifikasikan sebagai
antioksidan (Rahman, 2007).
2.5.2 Klasifikasi Mekanisme Kerja Antioksidan
Berbagai efek antioksidan dalam sistem biologi dapat diklasifikasikan
menjadi dua kelompok utama, seperti yang dijabarkan pada halaman berikut
ini (Pham-Huy et al., 2008; Kostyuk dan Potapovich, 2009).
Klasifikasi mekanisme kerja antioksidan (Pham-Huy et al., 2008;
Kostyuk dan Potapovich, 2009):
1. Chain breaking effects atau efek memutuskan rantai reaksi
radikal bebas.
Ketika radikal bebas mengambil satu elektron dari molekul lain, ia
membuat molekul tersebut menjadi kehilangan elektronnya sehingga berubah
menjadi radikal bebas. Contoh paling umum dari reaksi rantai radikal bebas
adalah lipid peroxidation. Antioksidan juga bersifat sebagai kompetitor dari
beberapa radikal bebas, contohnya NO sehingga mencegah dampak negatif
NO terhadap sel.
2. Preventive effects atau efek mencegah terjadinya pembentukan
radikal bebas.
Antioksidan yang bersifat mencegah terjadinya inisiasi rekasi rantai
radikal bebas dengan menstabilkan transisi radikal metal (copper dan iron)
antara lain gluthatione peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase.
2.6 Pasak Bumi
2.6.1 Deskripsi dan Ekologi Pasak Bumi
Pasak bumi memiliki nama latin Eurycoma longifolia. Bagian dari
tanaman pasak bumi yang sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional
adalah akarnya. Akar pasak bumi disebut juga sebagai Tongkat Ali / Bedara
Merah / Bedara Putih di Malaysia, dan Cay Ba Bihn di Vietnam, Tung Saw /
Phiak / Hae Pan Chan di Thailand (Goreja, 2004; Susilowati, 2010). Pasak
bumi juga memiliki nama lokal antara lain: bidara laut / mempoleh di
Bangka, widara putih di Jawa, penawar pahit di Melayu, besan di Sumatera
Utara (Susilowati, 2010).
Gambar 2.9
Pohon pasak bumi (kiri), akar pasak bumi (kanan) (Riceplex.com)
Pasak bumi memiliki kedudukan taksonomi adalah sebagai berikut
(Suhartinah, 2006):
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas :
Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Simaroubaceae
Genus : Eurycoma
Spesies : Eurycoma longifolia
Utami, (2008) menyatakan bahwa tanaman pasak bumi merupakan
pohon dengan tinggi mencapai 6 meter. Batang tanaman pasak bumi
umumnya tidak bercabang, atau sedikit bercabang, warna coklat keabu-abuan
licin dengan diameter sekitar 15 cm. Daunnya melingkar (rosette) dengan
panjang 0,3-1 meter dan warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25 cm x
1,25-3 cm. Bunga tanaman pasak bumi merah jingga dengan lebar bunga 0,6
cm (Susilowati, 2008). Buah tanaman pasak bumi kira-kira panjang 1,25 cm,
berbentuk oblong, berwarna merah ketika masak. Akar pasak bumi berupa
akar tunggang yang tumbuh tegak lurus menghujam tanah hingga kedalaman
2 meter dan sedikit memunculkan cabang akar. Akar dan batang pasak bumi
tidak memiliki perbedaan mencolok, kecuali pada morfologi akar yang
meruncing ke arah ujung sementara batangnya berbentuk silindris (Mandang
dan Andianto, 2007). 2.6.2 Manfaat Akar Pasak Bumi
Beberapa manfaat akar pasak bumi antara lain:
- Menurut penelitian Varghese et al. (2013) terhadap manusia akar
pasak bumi bermanfaat sebagai penangkal radikal bebas karena
kandungan antioksidannya
- Menurut penelitian Novianti (2015) yang dilakukan pada tikus dan
penelitian George dan Henkel (2013) terhadap manusia akar pasak
bumi terbukti meningkatkan kadar testosteron total
- Menurut penelitian Wahab et al. (2010) terhadap tikus jantan terbukti
mampu memperbaiki spermatogenesis tikus yang dipapar estrogen
- Menurut penelitian Solomon et al. (2013) dengan subyek penelitian
laki-laki terbukti dapat meningkatkan konsentrasi, motilitas, morfologi,
dan mitochondrial membrane potential dari sperma
- Menurut penelitian Ang et al. (2003; 2004) terhadap tikus jantan
terbukti mampu meningkatkan sexual arousal dan kualitas seksual
- Menurut penelitian Tee et al. (2007) terhadap MCF-7 human breast
cell ekstrak akar pasak bumi terbukti mampu menginduksi apoptosis sel
kanker sehingga diduga memiliki efek anti-kanker, dan sebagainya
Akibat dari banyaknya manfaat akar pasak bumi, maka secara tidak
langsung akar pasak bumi dapat memperbaiki kualitas hidup dan sebagai
antiaging (Lunenfeld dan Nieschlag, 2007; Talbott et al., 2013).
Manfaat akar pasak bumi dalam meningkatkan testosteron diduga
melalui beberapa mekanisme. Mekanisme aksi yang mungkin terjadi adalah
peningkatan biosintesis androgen oleh peptida yang terdapat di dalam ekstrak
air pasak bumi. Eurypeptide, peptida yang terkandung dalam pasak bumi,
mengaktifkan enzim CYP17 (17 a-hidroksilase/17, 20 lyase) meningkatkan
metabolisme pre-hormon pregnenolone dan 17-OH-pregnenolone, kemudian
menghasilkan dehydroepiandrosterone (DHEA). Progesteron dan 17-OH-
progesteron lalu dimetabolisme menjadi 4-androstenedione dan testosteron.
Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah adanya peningkatan produksi
testosteron oleh sel Leydig tikus melalui inhibisi fosfodiesterase dan
aromatase oleh eurycomanone (Low et al., 2013a), meningkatkan kadar
cAMP pada tikus (Pihie, 2004), menginduksi sintesis testosteron, LH, dan
FSH namun dengan menurunkan kadar estrogen plasma / efek down-regulate
dari oestrogen-mediated-feedback pada tikus (Prakash, 2007; Low et al.,
2013b) maupun pada manusia (Talbott et al., 2013), melepaskan ikatan
testosteron oleh SHBG pada manusia (Henkel et al., 2013), menambah
ukuran sel sperma dan meningkatkan aktivitas sel Leydig sehingga dapat
menaikkan kadar hormon testosteron pada tikus (Novianti, 2015). Atas dasar
penelitian-penelitian di atas, ekstrak akar pasak bumi dapat dianggap sebagai
testosterone maintainer atau restorer yang dapat me’normalisasi’ kadar
testosteron pada subyek yang mengalami penurunan testosteron, namun tidak
meningkatkan testosteron pada subyek yang kadar testosteronnya normal
(Low et al., 2013b).
Pada tikus betina yang mengalami irregular oestrous cycle dan
polycystic ovarian syndrome (PCOS), juga terbukti dapat menurunkan
penyakit sistem reproduksi (Abdulghani et al., 2012). Akar pasak bumi dapat
mengaktifasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast (Vanderschueren et al.,
2004), meningkatkan produksi nitric oxide (NO) pada tikus betina dan jantan
(Zakaria et al., 2004), menginhibisi formasi osteoklas dan resorpsi tulang
pada subyek manusia (Michael et al., 2005; Wimalawansa, 2010), prevensi
terhadap hilangnya kalsium tulang pada tikus yang dikastrasi (Shuid et al.,
2011b), memperbaiki kekuatan tulang pada tikus jantan (Saadiah et al., 2012)
melalui elevasi kadar testosteron yang menekan kadar c-terminal telopeptide
dari kolagen tipe I (CTX), sebuah marker resorpsi tulang, yang meningkat
pada tikus yang dikastrasi (Shuid et al., 2012).
Akar pasak bumi dapat meningkatkan kadar testosteron kemudian
menurunkan kadar high-density lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein
(LDL) dan kolesterol total pada laki-laki hipogonad (Monroe dan Dobs,
2013).
Selain itu juga memiliki efek antihiperglikemik, namun pada subjek
normoglikemik efek ini tidak terlihat, sehingga lebih tepat disimpulkan
bahwa tanaman ini menormalisasi kadar gula darah daripada menurunkannya,
seperti yang terjadi pada efek restorasi kadar testosteron (Talbott et al., 2013).
Namun mekanisme molekular untuk efek ini belum diketahui secara pasti.
2.6.3 Kandungan Senyawa Akar Pasak Bumi
Sejauh ini setidaknya terdapat 65 komponen yang berhasil diisolasi dari
akar pasak bumi (Kuo et al., 2003). Akar tumbuhan ini sangat kaya akan
komponen bioaktif seperti eurycomaoside, eurycolactone, eurycomalactone,
eurycomanone dan pasakbumin-B dimana alkaloid dan kuasinoid memegang
porsi terbesar (Bhat dan Karim, 2010). Komponen kuasinoid eurycomanone
digunakan sebagai marker pada standardised water extract menurut standart
SIRIM (Malaysian Standards, 2011) dan terbukti dapat meningkatkan kadar
testosteron serta produksi sperma pada binatang coba (Zanoli et al., 2009;
Low et al., 2013b). Ekstrak akar pasak bumi dikenal sebagain adaptogen
(Tambi dan Kadir, 2006) dan pengobatan anti-aging terutama pada pria untuk
meningkatkan level energi, mood, fungsi seksual dan libido yang menurun
seiring dengan bertambahnya usia (Adimoelya, 2000; Cyranoski, 2005).
Hasil analisis laboratorium analisis pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Udayana pada November 2014 memberikan hasil
analisa dari akar pasak bumi hutan di Kalimantan Barat memberikan hasil
kapasitas antioksidannya 5514,58 ppm GAEAC (Gallic Acid
EquivalentAntioxidant Capacity), IC 50 % (Inhibition Concentration
terhadap radikal bebas DPPH 0,1 mM) sebesar 3,56 mg/ml, kadar total
fenol 3,01 % b/b GAE (Gallic Acid Equivalent), kadar tanin 0,63 % b/b
TAE (Tannic Acid Equivalent), vitamin C 1496,60 mg/100g, Rendemen 0,35
% b/b (Novianti, 2015). Hasil analisis yang dilakukan pada Maret 2015 di
UPT Laboratorium Analitik Universitas Udayana dengan hasil analisis kimia
ekstrak etanol akar pasak bumi terdapat 5 formula kimia utama yaitu
senyawa ester 3,06%, senyawa phenanthroline 3,85%, senyawa naphthyridin
1,06%, senyawa beta sitosterol 5,77% dan senyawa estragole 1,17%
(Novianti, 2015). Hasil analisis terhadap ekstrak akar pasak bumi Kalimantan
Timur pada tanggal 20 Oktober 2015 adalah adanya kapasitas antioksidan
495,79 ppm GAEAC dan kandungan flavonoid 163,24 mg/100gQE.
2.6.4 Akar Pasak Bumi Sebagai Antioksidan
Penelitian yang dilakukan oleh Varghese et al. (2013) pada relawan
yang diberikan ekstrak akar pasak bumi melakukan analisa terhadap diphenyl
picryl hyrazine (DPPH) dan stabilitas membran sel darah merah. Hasil dari
peneltian ini adalah adanya penurunan persentase absorbsi DPPH yang
menggambarkan tingginya akitivitas antioksidan, dan adanya peningkatan
stabilitas membran sel darah merah. Sel darah merah merupakan target utama
dari ROS karena struktur membrannya yang tinggi akan PUFA dan ikatan
oksigen sehingga mudah terjadi peroksidasi lipid. Selain itu membran sel
darah merah dapat dianalogikan dengan membran sel lisososom karena
kemiripannya, dimana lisosom penting dalam mencegah respon inflamasi.
Dikarenakan membran sel darah merah analog dengan membran sel lisosom
maka peningkatan stabilitas sel darah merah dapat digunakan untuk melihat
aktivitas anti-inflamasi. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, inflamasi
dan iskemia merupakan sumber radikal bebas yang terjadi secara
nonenzimatik. Dengan demikian mekanisme ekstrak akar pasak bumi sebagai
antioksidan diduga dengan cara menstabilkan membran sel sehingga
mencegah terjadinya peroksidasi lipid dan stres oksidatif.
Quassinoid yang jumlahnya besar dalam ekstrak akar pasak bumi
berfungsi sebagai anti-inflamasi yang dapat mencegah pembentukan radikal
bebas. Fungsi ini juga diperoleh dari saponin yang terkandung di dalam
ekstrak akar pasak bumi (tahap inisiasi). Flavonoid yang terkandung di
dalamnya dapat menstabilkan membran sel dengan cara menjaga stabilitas
membran sel dan mencegah peroksidasi lipid. Mekanisme ini juga diperoleh
dari kandungan tanin yang merupakan polifenol dan kaya akan gugus OH
sehingga dapat bertindak sebagai donor elektron untuk radikal bebas reaktif
(tahap propagasi) (Schroeter et al., 2002). Kandungan vitamin C
mengeliminasi radikal alfa tokoferol yang terdapat pada membran sel dan
lipoprotein, dan juga meningkatkan kadar glutation intrasel (tahap terminasi)
(Kojo, 2004; Naziroglu dan Butterworth, 2005).
2.6.5 Uji Toksisitas Akar Pasak Bumi
Studi keamanan pasak bumi menunjukkan bahwa penggunaan
konsentrat pasak bumi sebagai terapi (2.5 µg/ml) tidak memiliki efek buruk
terhadap spermatozoa in vitro (Erasmus et al., 2011). Pada data in vivo oleh
Tambi (2006) didapatkan bahwa ekstrak pasak bumi tidak toksik. Pada studi
hewan, tidak ada efek negatif pada keturunannya, seperti malformasi maupun
perubahan berat badan dan jumlah keturunan (Solomon et al., 2013). Pada uji
toksisitas akut yang dilakukan terhadap tikus diungkapkan bahwa LD50
untuk ekstrak etanol dan aqua dari pasak bumi sebesar 2000 dan 3000
mg/kgBB (Satyavidad et al., 1998; Kuo et al., 2003). Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa hanya pada dosis di atas 1200 mg/kgBB ekstrak pasak
bumi dapat bersifat hepatotoksik pada tikus (Shuid et al., 2011a). Choudhary
et al. (2012) melakukan investigasi terhadap toksisitas akut, sub-akut, dan
sub-kronik terhadap sebuah ekstrak standardised aqueous pasak bumi
bermerk Physta® yang dilakukan pada tikus Wistar jantan dan betina selama
90 hari dosis 250 mg/kgBB hingga 2000 mg/kgBB. Hasil dari penelitian ini
adalah tidak ada perubahan bermakna pada parameter kimia darah,
hematologi, histopatologi, mortalitas dan tingkah laku hewan coba.
Endocrine Society menyatakan PCa sebagai kontraindikasi dari terapi
testosteron dalam bentuk apapun (Bhasin et al., 2010). Akan tetapi sejauh ini
belum ada pembuktian ilmiah yang mengklaim terapi testosteron dapat
memicu PCa. Dengan mempertimbangkan bahwa ekstrak pasak bumi dapat
meningkatkan konsentrasi testosteron serum, maka terapi pasak bumi pada