pendahuluan - erepo.unud.ac.id

26
1

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

1

Page 2: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

2

PENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan menahun yang banyak

terdapat di negara berkembang, dan hingga saat ini masih menimbulkan masalah

yang kompleks.1 Kusta menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya,

kecuali sistem saraf pusat. Menurut data WHO tahun 2014 prevalensi kusta di dunia

adalah 213.899 kasus, dengan diperkirakan negara ASEAN berkontribusi terhadap

10% kasus kusta di dunia.2

Indonesia sendiri menyumbangkan 18.994 (8%) dari

keseluruhan kasus baru ini, dan menempati urutan ke-3 setelah India dan Brazil.2,3

Di

Indonesia, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, tercatat 16.825

kasus kusta baru. Sepertiga dari kasus baru tersebut terjadi pada populasi wanita usia

subur atau reproduksi.4

Pada wanita usia subur, kehamilan adalah kondisi khusus yang membutuhkan

perhatian pada penderita kusta. Kusta pada wanita hamil menjadi masalah kompleks,

karena bukan hanya fisiologi ibu hamil yang unik, namun ibu hamil juga mengalami

perubahan hormonal saat mengandung dan menyusui.5,6

Pada kehamilan terjadi

perubahan metabolisme dan perubahan respon imun yang menyebabkan wanita hamil

berisiko tinggi mengalami infeksi kusta atau mengalami perubahan perjalanan

penyakit kusta yang sebelumnya sudah ada.7 Kehamilan merupakan salah satu faktor

predisposisi terjadinya relaps pada infeksi kusta subklinis maupun yang sudah

diobati.8 Data kejadian relaps saat kehamilan dilaporkan pada sebuah studi kohort

oleh Duncan et al, dan didapatkan laju relaps pada kehamilan sebesar 36% pada tipe

PB dan 55% pada tipe MB, serta terutama terjadi pada saat trimester ketiga.9 Selain

itu, ibu hamil dengan penyakit kusta membutuhkan perhatian khusus, mengingat

infeksi kusta memberikan dampak baik bagi ibu maupun janin. Pengobatan dan efek

kusta terhadap janin menjadi perhatian khusus karena infeksi kusta pada ibu

membawa kekhawatiran tersendiri bagi penderita dan keluarga, serta terhadap janin

yang dikandungnya.

Berikut dilaporkan satu kasus relaps Morbus Hansen (MH) tipe Borderline-

Lepromatosa (BL) pada seorang wanita hamil. Laporan kasus ini dibuat untuk

Page 3: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

3

membahas lebih lanjut mengenai pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis

infeksi kusta, pengaruh infeksi kusta pada kehamilan, serta pengobatan dan

monitoring lanjutan yang diperlukan untuk ibu hamil serta janinnya, sehingga

diharapkan kasus ini dapat menekankan pentingnya deteksi dini dan pengenalan tanda

dan gejala infeksi dan relaps kusta selama kehamilan.

KASUS

Seorang wanita, usia 22 tahun, suku Sumba, Warga Negara Indonesia, dengan nomor

rekam medis 18.00.38.49 datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah

Denpasar pada tanggal 29 Maret 2018 dengan keluhan utama bercak kemerahan pada

beberapa lokasi pada tubuh.

Pasien mengeluh timbul bercak kemerahan yang muncul sejak 2 bulan lalu.

Bercak awalnya muncul pada badan, kemudian makin lama bertambah banyak dan

menyebar ke lengan dan kaki. Bercak ini tidak dikeluhkan gatal, namun pada area

bercak tersebut pasien mengeluh kulit terasa tebal. Selain bercak pada kulit, pasien

juga mengeluh kesemutan pada telapak kaki yang dirasakan sejak 1 bulan lalu.

Keluhan demam, nyeri sendi disangkal. Keluhan penglihatan kabur, nyeri pada mata,

mata merah, kerontokan alis mata juga disangkal.

Keluhan ini pernah dialami pasien sebelumnya (+ 5 tahun lalu). Saat itu,

muncul beberapa bercak putih di wajah dan pasien didiagnosis menderita kusta oleh

dokter kulit di RS Waingapu. Pasien mendapatkan pengobatan paket selama 6 bulan,

dan setelah selesai pengobatan pasien dinyatakan sembuh (hasil pemeriksaan bakteri

negatif) meskipun lesi kulit masih ada. Sejak saat itu, pasien tidak pernah

memeriksakan diri kembali ke puskesmas atau RS, karena pasien merasa bercak putih

berangsur-angsur mulai samar dan pasien sedang sibuk mempersiapkan pernikahan.

Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes, asma, penyakit jantung, ginjal,

dan hati disangkal oleh pasien.

Pasien menikah sejak 2 tahun lalu, kemudian sejak September 2017 pasien

pindah berdomisili ke Bali (Kerobokan). Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.

Page 4: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

4

Saat ini, pasien sedang hamil anak pertama, usia kehamilan 3 bulan (HPHT 7

Desember 2017). Pasien memeriksakan kehamilannya setiap bulan di bidan

Puskesmas, dan dikatakan kehamilannya sampai saat ini masih normal.

Dari riwayat keluarga, pasien mengatakan ayah pasien juga menderita

penyakit kusta, yang baru diketahui 5 tahun lalu (setelah pasien terdiagnosis kusta).

Saat ini sedang dalam pengobatan paket selama 12 bulan, namun pengobatan

dikatakan tidak rutin karena ketersediaan obat di puskesmas Sumba (kecamatan

Matawai Lapau) seringkali kosong. Jari-jari kaki ayah pasien dikatakan mengecil dan

jari tangan sudah kaku. Pasien memiliki 4 saudara perempuan, namun dikatakan

hanya pasien yang menderita kusta. Namun pasien mengatakan bahwa tetangga di

sekitar daerah tersebut juga banyak yang menderita kusta. Saat ini pasien tinggal

hanya bersama suami dan dikatakan bahwa suami sudah memeriksakan diri dan

dikatakan negatif.

Dari riwayat pengobatan didapatkan pasien mendapat pengobatan kusta paket

selama 6 bulan pada tahun 2013. Saat ini pasien hanya mengkonsumsi zat besi dan

kalsium yang diberikan dari bidan. Riwayat mengoleskan krim atau minyak

tradisional pada bercak kemerahan tersebut disangkal oleh pasien.

Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum penderita baik, kesadaran

kompos mentis, berat badan saat ini 55 kg (sebelum hamil 52 kg), tinggi badan 155

cm, dengan indeks massa tubuh 22,89 (cukup). Tekanan darah 110/80 mmHg, denyut

nadi 82x/menit, frekuensi pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 36,50C. Pada

pemeriksaan status generalis pada mata tidak didapatkan hiperemia konjungtiva,

tanda anemia maupun ikterus, tidak ada lagoftalmus, serta reflek kornea didapatkan

normal. Pupil tampak isokor, reflek cahaya positif normal, dan tidak ditemukan

madarosis. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan kesan tenang,

didapatkan adanya infiltrat pada telinga dan tidak ada kelainan deformitas pada

hidung. Pada leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan

rongga mulut tidak ditemukan adanya ulkus. Pada pemeriksaan toraks didapatkan

suara jantung S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak terdapat murmur. Suara nafas paru-

Page 5: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

5

paru vesikuler, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan

abdomen tidak didapatkan pembesaran hepar maupun lien, bising usus dalam batas

normal, dan teraba fundus uteri pada pertengahan umbilikus dan simphisis pubis.

Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat, tidak terdapat edema pada kedua tungkai

bawah.

Pada status dermatologi, lokasi pada regio fasialis, didapatkan efloresensi

berupa makula hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran

bervariasi 0,5x1 cm – 1x2 cm (Gambar 1). Pada lokasi regio torakoabdominal

anterior et posterior didapatkan plak eritema multipel, bentuk geografika, batas tegas,

ukuran 1x2 cm – 2x3 cm, konfigurasi diskret, dan beberapa lesi di abdomen

membentuk gambaran punched out (Gambar 2). Pada ekstremitas superior et inferior

dekstra et sinistra tampak plak eritema multipel, bentuk geografika, batas tegas,

konfigurasi diskret, ukuran 0,5x1 cm – 2x3 cm (Gambar 3-4).

Gambar 1. Makula hipopigmentasi multipel pada wajah

Page 6: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

6

Gambar 2. Plak eritema multipel pada thorakoabdominal

(dengan lesi punched out +)

Gambar 3. Plak eritema multipel pada

ekstremitas atas

Gambar 4. Plak eritema multipel pada

ekstremitas bawah

Pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu menurun pada lesi di

wajah dan beberapa lesi di bagian perut. Pemeriksaan sensoris dengan monofilament

Semmes-Weinstein pada n.ulnaris, n. medianus, dan n. radialis didapatkan 0,2 gm

(warna biru/ normal), n.peroneus komunis 2 gm (warna ungu/ normal), dan n. tibialis

posterior 4 gm (merah/ menurun). Pada pemeriksaan voluntary muscle test pada

lengan dan tungkai menunjukkan grade 5 (dalam batas normal). Pemeriksaan saraf

tepi menunjukkan penebalan padat dan reguler pada nervus auricularis magnus

Page 7: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

7

dekstra dan nervus tibialis posterior dekstra et sinistra, tanpa nyeri tekan. Pada pasien

terdapat penurunan fungsi saraf otonom yang tampak pada kulit tangan dan kaki

tampak kering.

Pasien didiagnosis sebagai Morbus Hansen (MH) suspek tipe Borderline-

Lepromatosa (BL) dengan diagnosis banding tipe Borderline-Borderline (BB)

dengan kehamilan + 16 minggu dan suspek relaps.

Pada pasien dilakukan pemeriksaan BTA dari cuping telinga kanan dan

didapatkan hasil 20-50/1 lapang pandang (+4) fragmented, cuping telinga kiri 5-10/1

lapang pandang (+3) fragmented (Gambar 5-6), dan pada lesi di lengan atas didapati

10-20/1 lapang pandang (+4) fragmented. Indeks bakteriologis didapatkan +4 dan

indeks morfologis 0. Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 29 Maret 2018

didapatkan leukosit 6,80 x 103/μL (4,10-11,0); neutrofil 3,84 x 10

3/μL (2,50-7,50);

limfosit 2,07 x103/μL (1,00-4,00); monosit 0,54 x10

3/μL (0,10-1,20); eosinofil 0,10

103/μL (0,00- 0,50); basofil 0,07 x10

3/ μL (0,0-0,1); eritrosit 3,55 x 10

3/μL (4,0-5,2);

hemoglobin 10,3 g/dL (13,5-17,5); hematokrit 34,07 % (36,00-46,00); MCV 96,05 fL

(80-100); MCH 29,04 pg (26-34); MCHC 30,24 g/dL (31-36); trombosit 330 x103/μL

(150,0-440,0). Pada pemeriksaan kimia klinik diidapatkan SGOT 18,7 (11-33); SGPT

11,7 (11-50); BUN 7,00 mg/dL (8,00-23,00); kreatinin 0,98 mg/dL (0,70- 1,20);

glukosa darah sewaktu 93 mg/dL (70,00-140,00).

Gambar 5. BTA cuping telinga kanan (+4) Gambar 6. BTA cuping telinga kiri (+3)

Pasien didiagnosis kerja dengan relaps MH tipe Borderline-Lepromatosa (BL)

dengan kehamilan + 16 minggu. Pasien direncanakan untuk dilakukan biopsi oleh

Page 8: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

8

bagian kulit dan kelamin, namun keberatan karena alasan biaya. Pasien diberikan

pengobatan paket multi drug therapy (MDT) untuk multibasiler (MB) (Rifampisin

600 mg/ bulan, Klofazimin 300 mg/ bulan, Klofazimin 100 mg/hari, Dapson 50

mg/hari), vitamin B1 B6 B12 1 tablet tiap 24 jam, dan pelembap urea 10% krim

topikal dioles setiap 12 jam pada kulit tangan dan kaki yang kering. Pasien diberi

komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang diagnosis dan hasil pemeriksaan,

aturan konsumsi obat dan pentingnya kepatuhan pengobatan, serta disarankan untuk

memakai alas kaki yang longgar, nyaman, dan tertutup. Pasien direncanakan untuk

pemeriksaan BTA ulang pada bulan Juni 2018.

Pasien dikonsulkan ke bagian Obstetri untuk pemeriksaan antenatal. Dari

Bagian Obstetri, pasien didiagnosis dengan G1-P0-0, usia kehamilan 18 minggu 5

hari, tunggal, hidup. Tidak didapatkan adanya kelainan dari pemeriksaan

ultrasonografi (USG). Pasien direncanakan untuk dilakukan fetal scanning, tetapi

masih berunding. Pasien diberikan suplementasi yang mengandung asam folat 5 mg

tiap 24 jam, sulfas ferrosus 60 mg tiap 24 jam, dan kalsium 500 mg tiap 24 jam.

PENGAMATAN LANJUTAN I (Bulan ke-2, 26 April 2018)

Pasien datang kontrol ke poliklinik kulit dan kelamin, lesi kemerahan pada badan,

lengan, dan tungkai tampak memudar dan tidak didapatkan lesi baru. Lesi di wajah

masih tampak putih. Tidak didapatkan demam, mual maupun nyeri sendi. Kesemutan

pada telapak kaki masih dirasakan.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis.

Tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, frekuensi pernafasan 18

x/menit, temperatur aksila 36,20C

. Pada status generalis, regio abdomen didapatkan

fundus setinggi umbilikus.

Status dermatologis, lokasi pada regio fasialis, didapatkan efloresensi berupa

makula hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi

0,5x1 cm – 1x2 cm disertai dengan madarosis pada alis (Gambar 7). Pada lokasi regio

torakoabdominal anterior et posterior didapatkan plak eritema multipel, bentuk

Page 9: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

9

geografika, batas tegas, distribusi diskret, ukuran 1x2 cm – 2x3 cm (Gambar 8). Pada

ekstremitas superior dekstra et sinistra, tampak makula hipopigmentasi multipel,

bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x2 – 2x3 cm (Gambar 9). Pada regio

femoralis dekstra et sinistra tampak makula eritema multipel, bentuk geografika,

batas tegas, ukuran 1x2 cm – 3x4 cm dan pada regio kruris dekstra et sinistra tampak

makula hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x2 cm –

2x3 cm (Gambar 10).

Gambar 8. Plak eritema pada torakoabdominal dengan ukuran yang masih sama

namun eritema sudah berkurang

Gambar 7. Makula hipopigmentasi multipel pada wajah dengan ukuran yang masih sama, madarosis +

Page 10: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

10

Gambar 9. Tampak makula hipopigmentasi

multipel pada ekstremitas atas

Gambar 10. Makula eritema multipel pada

regio femoralis dan makula hipopigmentasi

multipel pada regio kruris

Pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu menurun pada lesi di

wajah dan beberapa lesi di perut. Pemeriksaan sensoris dengan monofilament

Semmes-Weinstein pada n.ulnaris, n. medianus, dan n. radialis didapatkan 0,2 gm

(warna biru), n.peroneus komunis 2 gm (warna ungu), dan n. tibialis posterior 4 gm

(merah). Pada pemeriksaan voluntary muscle test pada lengan dan tungkai

menunjukkan grade 5 (dalam batas normal). Pemeriksaan saraf tepi menunjukkan

penebalan padat dan reguler pada n.aurikularis magnus dekstra dan n.tibialis posterior

dekstra et sinistra, tanpa nyeri tekan. Pada pasien terdapat penurunan fungsi saraf

otonom yang tampak pada kulit tangan dan kaki tampak kering.

Diagnosis kerja pasien adalah follow up relaps MH tipe Borderline-

Lepromatosa (BL) dengan kehamilan 22 minggu. Penatalaksanaan yang diberikan

adalah MDT-MB paket kedua, vitamin B1 B6 B12 tiap 24 jam, dan pelembap urea

10% krim topikal dioles setiap 12 jam. Pemberian suplementasi zat besi, asam folat

dan kalsium sesuai dengan bagian Obstetri. Pasien diberi edukasi untuk minum obat

teratur, pemakaian alas kaki yang tepat, dan pemeriksaan kehamilan rutin setiap

bulan. Pasien direncanakan untuk pemeriksaan BTA ulang pada bulan Juni 2018.

Page 11: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

11

Gambar 11. Makula hipopigmentasi multipel pada wajah dengan penebalan n.aurikularis

magnus dekstra dan madarosis

PENGAMATAN LANJUTAN II (Bulan ke-3, 19 Mei 2018)

Pasien datang untuk kontrol dan ingin melakukan pemeriksaan fetal scanning sesuai

yang disarankan dokter kandungan. Lesi kemerahan pada badan dan tungkai tampak

berkurang dan tidak ada lesi baru. Rasa tebal pada telapak kaki sudah berkurang.

Tidak didapatkan demam maupun nyeri sendi.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tekanan darah 120/90

mmHg, denyut nadi 78 x/menit, frekuensi pernafasan 22 x/menit, temperatur aksila

37,1oC. Pada status generalis, regio abdomen teraba fundus 2 jari di atas umbilikus.

Pada status dermatologis regio fasialis, didapatkan efloresensi berupa makula

hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 0,5x1 cm

– 1x2 cm, disertai dengan madarosis pada alis (Gambar 11). Pada lokasi regio

torakoabdominal anterior et posterior didapatkan makula eritema multipel, bentuk

geografika, batas tegas, ukuran 0,5x1 cm – 1x3 cm (Gambar 12). Pada ekstremitas

superior dekstra et sinistra, tampak makula hipopigmentasi multipel, bentuk

geografika, batas tegas, distribusi diskret, ukuran 1x2 – 2x3 cm (Gambar 13). Pada

ekstremitas inferior dekstra et sinistra tampak makula hiperpigmentasi multipel,

bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x2 cm – 3x4 cm disertai dengan makula

hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x2 cm – 2x3 cm

(Gambar 14).

Page 12: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

12

Gambar 13. Makula hipopigmentasi multipel pada

ekstremitas superior dengan ukuran yang masih sama

Gambar 14. Makula hiperpigmentasi dan

hipopigmentasi multipel pada ekstremitas inferior

Gambar 12. Makula eritema pada thorakoabdominal dengan ukuran bervariasi

Pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu menurun pada lesi di

wajah. Pemeriksaan sensoris dengan monofilament Semmes-Weinstein pada

n.ulnaris, n.medianus, dan n.radialis didapatkan 0,2 gm (warna biru), n.peroneus

komunis dan n. tibialis posterior 2 gm (ungu). Pada pemeriksaan voluntary muscle

test pada lengan dan tungkai menunjukkan grade 5 (dalam batas normal).

Pemeriksaan saraf tepi menunjukkan penebalan padat dan reguler pada n.aurikularis

magnus dekstra dan n.tibialis posterior dekstra et sinistra, tanpa nyeri tekan. Pada

Page 13: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

13

pasien terdapat penurunan fungsi saraf otonom yang tampak pada kulit tangan dan

kaki tampak kering.

Diagnosis kerja pasien adalah follow up relaps MH tipe Borderline-

Lepromatosa (BL) dengan kehamilan 26 minggu. Penatalaksanaan yang diberikan

adalah MDT-MB paket ketiga, vitamin B1 B6 B12 tiap 24 jam, dan pelembap urea

10% krim topikal setiap 12 jam. Pasien direncanakan untuk pemeriksaan BTA ulang

pada bulan Juni 2018.

Pasien setuju untuk dilakukan fetal scanning di bagian Obstetri dan

didapatkan hasil bahwa saat ini usia kehamilan 26-27 minggu, tidak didapatkan

adanya malformasi kongenital, serta perkiraan berat janin adalah 1080 g (sesuai usia

kehamilan). Pasien dianjurkan tetap melakukan pemeriksaan antenatal sesuai jadwal

serta rutin mengkonsumsi zat besi, asam folat dan kalsium.

PEMBAHASAN

Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis granulomatosa yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae, yang dapat mengenai saraf perifer dan kulit, serta jaringan

lain seperti mata, mukosa traktus penapasan, otot dan tulang.10

Berdasarkan laporan

World Health Organization (WHO) tahun 2014 yang mencakup 121 negara di

seluruh dunia, dilaporkan sebanyak 213.899 kasus baru kusta yang terdeteksi.

Sebanyak 94% kasus kusta baru terjadi di 13 negara yaitu Bangladesh, Brazil, Kongo,

Ethiopia, India, Indonesia, Madagaskar, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Srilanka

dan Tanzania.2,3

Indonesia merupakan negara peringkat ketiga dengan jumlah

penderita kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brazil. Berdasarkan data

Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, tercatat 16.825 kasus kusta baru di Indonesia,

dan sepertiga dari kasus tersebut terjadi pada populasi wanita usia subur atau

reproduksi.4

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh

Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae merupakan

bakteri berbentuk batang, tahan asam, bersifat obligat intraseluler dan tidak dapat

Page 14: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

14

dibiakkan dalam media artifisial.11

M. leprae membutuhkan waktu 11-13 hari untuk

membelah diri dan tumbuh optimal pada suhu 27˚C hingga 30˚C.

Bakteri ini

bereplikasi di dalam sel makrofag yang terdapat pada kulit dan sel Schwann saraf

tepi.10,12

Waktu replikasi yang lama dari M.leprae menyebabkan masa inkubasi yang

panjang dari penyakit kusta. Seperti pada manusia, masa inkubasi dilaporkan minimal

2-3 tahun dengan rata-rata antara 5-7 tahun, meskipun dapat berlangsung hingga

puluhan tahun. Cara penularan M.leprae sampai saat ini masih belum diketahui secara

pasti, namun beberapa peneliti melaporkan bahwa penularan dapat terjadi melalui

kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, dan dapat pula melalui droplet

saluran pernapasan.3

Kusta dapat menyerang berbagai kelompok usia. Kasus ini paling sering

ditemukan pada kelompok usia 20-30 tahun. Secara gender, prevalensi kusta lebih

banyak ditemukan pada laki-laki dibanding wanita dengan rasio 2:1.3

Faktor yang

berperan penting dalam terjadinya penyakit kusta adalah faktor penjamu (manusia),

faktor agen (M. leprae), dan faktor lingkungan. Faktor penjamu dipengaruhi oleh

sistem imunitas individu. Penelitian menunjukkan bahwa pertahanan terhadap infeksi

M. leprae diperankan oleh imunitas seluler.7 Faktor genetik juga dikatakan berperan

dalam timbulnya penyakit kusta. Penelitian yang dilakukan pada para penderita kusta

menunjukkan adanya berbagai genetic marker, seperti HLA-DR2, HLA-DRB1,

MHC-I, NRAMP1 yang mengakibatkan seseorang berpotensi untuk terinfeksi bakteri

M. leprae.10

Faktor penting dari agen adalah masa inkubasi M. leprae yang panjang

dan bervariasi, sehingga manifestasi klinis infeksi tersebut dapat muncul beberapa

tahun setelah infeksi. Faktor lingkungan seperti kelembapan juga berpengaruh

terhadap terjadinya penyakit ini. Bakteri M. leprae dapat bertahan lama pada

lingkungan dengan tingkat kelembaban yang tinggi. Basil dapat bertahan selama 9

hari dalam sekresi nasal dan selama 46 hari pada tanah yang lembap.11

Faktor

lingkungan lain yang juga berperanan dalam timbutnya infeksi mencakup domisili

pada daerah endemik dan adanya anggota keluarga yang menderita kusta.

Page 15: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

15

Pada kasus pasien adalah seorang wanita, usia 22 tahun, berasal dari Sumba,

dan sejak September 2017 pindah ke Bali (Kerobokan). Dari faktor host pasien

sedang hamil, yang mengakibatkan pasien secara fisiologis mengalami kondisi

imunosupresi. Selain itu dari faktor lingkungan, ayah pasien juga menderita penyakit

Kusta sejak 5 tahun lalu (yang baru mendapat pengobatan setelah pasien terdiagnosis

kusta), dan terdiagnosis terlambat karena sudah menderita kecacatan (jari mengecil

dan kaku). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi fisiologis kehamilan, adanya

kontak lama dan erat antara ayah pasien sebagai sumber penularan dan pasien, serta

lingkungan tempat tinggal pasien merupakan daerah endemis kusta, berperanan

dalam manifestasi klinis infeksi kusta yang muncul saat ini.

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama/

tanda kardinal. Tanda kardinal ini meliputi adanya bercak pada kulit yang mati rasa,

penebalan saraf tepi yang dapat disertai dengan gangguan fungsi saraf (sensorik/

motorik/ otonom), dan ditemukannya bakteri tahan asam (BTA) pada pemeriksaan

hapusan sayatan kulit. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila

ditemukan satu dari tanda-tanda kardinal di atas.1 Pada pasien didapatkan ketiga

gejala kardinal yaitu adanya lesi kulit disertai dengan penurunan sensibilitas,

penebalan saraf tepi multipel (n.aurikularis magnus dan n.tibialis posterior), dan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit dengan IB 4+.

Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah

lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, dan pemeriksaan

histopatologi. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi WHO dan

klasifikasi Ridley dan Jopling. Klasifikasi menurut WHO membagi penyakit kusta

menjadi 2 kelompok untuk memudahkan pengobatan, yaitu tipe pausibasiler (PB) dan

multibasiler (MB). Pada tipe pausibasiler (PB), lesi berjumlah 1-5, penebalan saraf

tepi disertai gangguan fungsi hanya pada 1 cabang saraf, BTA negatif, dan MH tipe

TT dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Pada lesi berjumlah lebih dari 5,

keterlibatan saraf tepi > 1 cabang saraf, BTA positif, dan MH tipe BB, BL, dan LL

menurut klasifikasi Ridley-Jopling, diklasifikasikan menjadi tipe multibasiler

Page 16: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

16

(MB).1,8,10

Klasifikasi Ridley dan Jopling yang membagi MH menjadi 5 tipe

berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunopatologis.

Klasifikasi Ridley dan Jopling tersebut adalah tipe tuberkuloid polar (TT), tipe

borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa

(BL), dan tipe lepromatosa polar (LL).14

Menurut gambaran klinis, pasien termasuk dalam klasifikasi WHO tipe MB

karena jumlah lesi kulit eritema lebih dari 5 buah, disertai dengan penebalan pada

beberapa cabang saraf tepi, dan hasil BTA yang positif. Berdasarkan klasifikasi

Ridley dan Jopling pasien didiagnosis banding dengan MH tipe BL dan BB.

Morbus Hansen tipe BL memiliki manifestasi klinis hampir serupa dengan

tipe lepromatosa, yaitu berupa lesi kulit multipel, dengan gambaran awal berupa

makula eritema, permukaan mengkilat atau halus, terdistribusi hampir simetris pada

seluruh tubuh, namun masih terdapat kulit normal diantara lesi dan sensibilitas sedikit

berkurang. Selain itu, seiring dengan perjalanan penyakit, dapat timbul infiltrat

membentuk gambaran plak, terutama di daerah wajah dan telinga, dan alis dapat tidak

terlibat atau nampak hilang sebagian. Penebalan saraf ditemukan lebih awal

dibandingkan tipe LL, dengan gangguan fungsi saraf yang biasanya tidak simetris.15

Kerusakan saraf yang terjadi tidak secepat MH tipe BB dan BT. Hapusan sayatan

kulit ditemukan positif dengan jumlah basil yang cukup banyak yaitu 4+/ lebih,

namun tes lepromin biasanya negatif.16

Morbus hansen tipe BB mempunyai

gambaran klinis dengan karakteristik campuran dari kedua spektrum polar kusta

sehingga seringkali membingungkan. Bentuk tipe BB merupakan tipe yang paling

tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dimorfik, dan jarang dijumpai. Lesi dapat

berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat berkilap/ kering, dengan batas lesi

biasanya kurang jelas, dan jumlah lesi melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi

sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, maupun distribusinya, dan sering

ditemukan lesi satelit.16

Bisa ditemukan lesi punched out yang merupakan ciri khas

tipe ini, berupa lesi eritema dengan tepi meninggi, lunak, mengkilap seperti lesi

lepromatosa, namun di bagian sentral membentuk dimple berupa lesi punched out/

Page 17: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

17

frank healing seperti pada lesi tuberkuloid. Lesi umumnya hipoestesia, dengan

beberapa cabang saraf tepi mengalami penebalan.16

Pemeriksaan hapusan sayatan

kulit dapat ditemukan agak banyak, dan pemeriksaan lepromin dapat positif maupun

negatif.13,15,16

Lesi kulit pada pasien berupa plak eritema, multipel, bentuk geografika, batas

tidak tegas, dengan distribusi bilateral dan hampir simetris. Pada pemeriksaan

sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu didapatkan penurunan tidak pada semua lesi

(hanya di wajah dan beberapa lesi di perut), dan pada pemeriksaan saraf tepi

ditemukan penebalan pada beberapa cabang saraf (n.aurikularis magnus dekstra dan

n.tibialis posterior D/S). Beberapa tanda ini mengarahkan diagnosis ke arah tipe BL,

didukung dengan adanya madarosis dan indeks bakteri yang cukup tinggi (IB=4+).

Namun diagnosis banding tipe BB dipertimbangkan karena adanya lesi gambaran

punched out pada daerah perut, serta permukaan lesi kulit di wajah yang tampak

sedikit kering. Kadang diagnosa klinis spektrum kusta sulit ditentukan, sehingga

pemeriksaan histopatologi diperlukan untuk membedakan tipe secara pasti.

Pada MH tipe BB granuloma terbentuk tidak sempurna dan sel-sel epiteloid

dipisahkan oleh edema. Limfosit dapat ditemukan pada granuloma, namun tidak

didapati giant cells. Saraf diinfiltrasi oleh sel-sel mononuklear, namun masih dapat

dikenali dan bakteri hanya ditemukan pada jumlah sedikit.17

Gambaran histopatologi

MH tipe BL didapatkan granuloma yang umumnya terdiri atas makrofag, dan dapat

pula dikelilingi sel epiteloid. Limfosit lebih jarang terlihat dan nampak tersebar pada

granuloma. Pada epidermis nampak terlihat jelas subepidermal clear zone atau grenz

zone. Respon klasik dermal pada MH tipe BL adalah terdapatnya infiltrat limfositik

yang padat dan terbatas pada daerah yang terisi oleh makrofag. Makrofag foamy

sering didapatkan pada tipe ini, namun sering pula ditemukan makrofag yang belum

berdiferensiasi. Saraf menunjukkan infiltrasi limfosit, foamy macrophages, dan

banyak ditemukan M.leprae pada sel Schwann. Sel-sel perineural mengalami

proliferasi konsentris membentuk gambaran“cut onion”.18

Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi oleh karena pasien

Page 18: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

18

tidak setuju dengan alasan biaya. Namun oleh karena secara klinis pasien lebih

dominan mengarah pada tipe lepromatosa, maka diagnosis kerja pada pasien ini

adalah MH tipe BL.

Pada kondisi hamil, beberapa kasus infeksi, seperti kusta, mengalami

perubahan perjalanan klinis akibat gangguan imunologis, nutrisi, dan gangguan

sekresi steroid yang menyebabkan penurunan sistem imunitas selular. Kehamilan

berhubungan dengan gangguan bifasik pada sistem imunitas selular. Hal ini ditandai

dengan adanya penurunan respon proinflamasi Th1 (berhubungan dengan kegagalan

kehamilan) dan peningkatan respon antiinflamasi Th2 (bersifat protektif terhadap

kehamilan). Hal ini mengakibatkan menurunnya respon protektif terhadap infeksi,

terutama bakteri intraselular (karena dimediasi oleh respon Th1), sehingga

meningkatkan kerentanan ibu hamil terhadap infeksi kusta. Meskipun mekanisme

pastinya belum diketahui, namun perubahan respon Th1 menjadi Th2 dipengaruhi

oleh peningkatan kadar estrogen dan progesteron selama hamil.19

Nutrisi yang optimum dengan konsumsi vitamin dan mineral yang cukup

diperlukan untuk menjaga respon imunitas protektif Th1 terhadap infeksi. Kehamilan

merupakan kondisi malnutrisi relatif (protein, vitamin, besi dan mineral lain) akibat

peningkatan kebutuhan sehari-hari selama hamil. Malnutrisi menyebabkan

peningkatan respon imun dimediasi Th2 sehingga berhubungan dengan peningkatan

risiko/ perburukan infeksi. Selain itu, malnutrisi juga dapat menghambat

pembentukan rosette forming T-lymphocytes, yang berperanan dalam depresi

imunitas selular saat hamil. Suplementasi mikronutrien mengubah respon imun Th2

menjadi Th1 sehingga meningkatkan imunitas alamiah.20

Selain gangguan respon imun dan nutrisi, gangguan sekresi steroid saat hamil

juga berperanan dalam depresi sistem imunitas selular. Hal ini disebabkan karena

terdapat peningkatan kadar kortisol bebas dan 17-hidroksikortikosteroid selama

hamil, yang mengakibatkan eksaserbasi kusta saat kehamilan.19

Meskipun mekanisme

pasti pengaruh steroid terhadap M.leprae belum diketahui, Shepherd et al melaporkan

Page 19: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

19

bahwa pada tikus yang diberikan hidrokortison, viabilitas M.leprae meningkat,

meskipun kecepatan replikasinya masih sama.19

Manifestasi klinis kusta biasanya memburuk/ downgrade pada saat hamil, dan

membaik pada saat laktasi. Hal ini disebabkan karena periode imunosupresi pada ibu

hamil berlangsung selama hamil dan membaik setelah 3 bulan postpartum.21

Pada

beberapa studi dilaporkan bahwa progresi penyakit ke arah spektrum lepromatosa

(munculnya lesi kulit baru disertai kerusakan fungsi saraf progresif) terjadi pada

hampir 50% wanita saat hamil, dan perburukan ini terutama terjadi saat trimester

ketiga.19

Neuritis disertai dengan penurunan fungsi saraf secara progresif terjadi pada

50% pasien pada saat hamil, tanpa melihat status pengobatannya.22 Hal ini

disebabkan karena kondisi imunosupresi pada saat hamil meningkatkan bacterial

load sehingga menyebabkan penyebaran granuloma pada saraf dan mengakibatkan

percepatan kerusakan pada saraf.19,22

Pada kasus, pasien saat ini dalam kondisi hamil anak pertama, trimester

kedua, yang menurut anamnesis, gejala kusta mulai timbul kembali setelah hamil dan

diikuti makin lama lesi bertambah banyak disertai dengan rasa kesemutan di bagian

kaki. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi penurunan sistem imun selama hamil

diduga mempengaruhi perburukan klinis dan kerusakan saraf pada pasien. Gangguan

sensoris pada telapak kaki terjadi secara cepat, dalam waktu 1 bulan setelah muncul

lesi kulit, mengindikasikan bahwa neuritis berjalan secara progresif.

Perubahan fisiologis pada saat hamil ini mengakibatkan supresi sistem

imunitas selular sehingga mengakibatkan multiplikasi persister dan menimbulkan

relaps. Selain kehamilan, faktor predisposisi lain yang dapat menimbulkan relaps

adalah adanya kuman persisters (biasanya pada pasien MB dengan indeks bakteri

tinggi), terapi inadekuat (karena miskategorisasi klinis), resistensi obat, terapi ireguler

(akibat suplai obat ireguler/komplians kurang), monoterapi, jumlah lesi kulit >5 dan

mencakup 3/lebih area tubuh, pengobatan antireaksi jangka lama, dan infeksi HIV.23

Menurut Guide to Leprosy Control (WHO 1988), relaps didefinisikan sebagai

timbulnya gejala dan tanda kusta baru pada pasien yang telah mendapat/

Page 20: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

20

menyelesaikan terapi MDT, dan terjadi selama masa pengawasan (2 tahun untuk PB

dan 5 tahun untuk MB) atau setelahnya.23

Menurut Kar et al,24

relaps diklasifikasikan

menjadi dua, yaitu (1) relaps dini (0-3 tahun): terjadi akibat kesalahan klasifikasi

kusta sejak awal, sehingga menyebabkan terapi inadekuat dan durasi terapi yang

kurang efisien; serta (2) relaps lanjut (3-10 tahun): terjadi karena resistensi obat,

persister M.leprae, atau reinfeksi.

Pada kasus, pasien diduga mengalami relaps karena pasien memiliki riwayat

pernah mendapatkan pengobatan paket PB (5 tahun lalu) yang kemudian dinyatakan

sembuh, namun 5 tahun kemudian timbul gejala dan tanda klinis baru yang mengarah

pada kusta tipe MB. Faktor predisposisi pada pasien adalah kondisi fisiologis

kehamilan. Pasien dicurigai mengalami relaps lanjut (3-10 tahun) akibat adanya

persister M.leprae yang kembali aktif akibat supresi sistem imunitas seluler selama

hamil.

Diagnosis relaps ditegakkan berdasarkan berbagai kriteria, yaitu klinis,

bakteriologi, terapeutik, histopatologi, maupun serologi.13,24

Tiga kriteria pertama

sudah cukup untuk mendiagnosis relaps, kriteria histopatologi dan serologi hanya

sebagai penunjang apabila fasilitas tersebut tersedia. Secara klinis, relaps

dipertimbangkan apabila didapatkan lesi kulit yang baru, terdapat infiltrasi dan

eritema pada lesi yang telah hilang sebelumnya, peningkatan ukuran lesi/ perluasan

dari lesi yang ada sebelumnya, dan ditemukan adanya keterlibatan saraf baru (yang

dapat disertai hilangnya fungsi saraf).13,24

Pada kasus, ditemukan lesi kulit baru pada

badan dan ekstremitas, yang menurut anamnesis berbeda dengan lesi awal

sebelumnya yang hanya muncul pada wajah. Pada lesi baru ini ditemukan adanya

infiltrasi dan eritema, serta keterlibatan pada beberapa cabang saraf.

Kriteria bakteriologi untuk diagnosis relaps pada MH adalah ditemukan BTA

positif pada pemeriksaan slit-skin smear yang sebelumnya negatif atau bila IB

meningkat >2 dari nilai IB sebelumnya pada 2 tempat pemeriksaan dan 2 kali

pemeriksaan.24

Pada kasus, didapatkan pemeriksaan IB saat ini adalah 4+ dari

Page 21: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

21

sebelumnya 0 sehingga kriteria bakteriologi memenuhi untuk menegakkan diagnosis

relaps.

Kriteria terapeutik digunakan apabila relaps didiagnosis banding dengan

reaksi reversal (RR). Pada kondisi tersebut, pasien dapat diberikan dahulu terapi

dengan prednisolon 1mg/kg/hari, dan apabila benar merupakan RR, maka gejala akan

hilang dalam 2 bulan. Bila gejala masih menetap/ hanya hilang sebagian atau bahkan

menetap/ bertambah, maka sebaiknya dicurigai relaps. Pada kasus, pasien tidak di

diagnosis banding dengan RR, maka kriteria ini tidak digunakan.

Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis

relaps. Pada relaps PB akan didapatkan gambaran histopatologi berupa munculnya

kembali granuloma yang sudah mengalami regresi, sedangkan pada relaps MB akan

tampak peningkatan jumlah makrofag yang mengandung BTA bentuk solid,

peningkatan IB, dan fokus ini ditemukan diantara serabut saraf mengalami penebalan

dan fibrosis.24,25

Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi.

Pemeriksaan penunjang lain untuk mendukung diagnosis relaps adalah

pemeriksaan serologi. Pemeriksaan dipstick untuk deteksi anti-PGL-1 dapat

digunakan untuk klasifikasi maupun identifikasi pasien yang mengalami relaps. Pada

kusta tipe lepromatosa akan menunjukkan peningkatan titer antibodi IgM PGL-1 pada

saat relaps.24,26,27

Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada kasus.

Untuk diagnosis relaps tipe MB, terdapat sistem skor yang lebih sensitif

dibandingkan kriteria WHO. Sistem skor ini adalah skor Linder, dan diagnosis

ditegakkan bila total skor > 3.28

Skor ini terdiri dari 3 bagian yang dinilai, yaitu: (1)

Faktor waktu setelah RFT dalam bulan: < 12 = 0; 13-24 = 1; 25-60 = 2; > 60 = 3; (2)

Faktor risiko: bila IB inisial > 3+ maka skor 1; (3) Klinis pada saat relaps: bila IB

pada 1 lesi = 2 skor lebih tinggi dibandingkan IB expected maka skor 1; bila rata-rata

IB = 2 skor lebih tinggi dibandingkan IB expected maka skor 1; bila tidak didapatkan

tanda-tanda reaksi kusta maka skor 1. Pada pasien didapatkan faktor waktu > 60

bulan dengan skor 3; faktor risiko dengan skor 0 karena tipe MH awal adalah PB

(IB=0); dan klinis saat relaps sekarang tidak didapatkan tanda-tanda reaksi kusta

Page 22: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

22

dengan skor 1. Total jumlah skor pasien adalah 4, maka diagnosis relaps tipe MB

dapat ditegakkan pada pasien.

Pengobatan kusta pada saat hamil harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat

Multi Drug Therapy (MDT) standar aman dikonsumsi selama kehamilan dan

menyusui, sehingga tidak diperlukan perubahan dosis.29

Obat dapat melalui air susu

ibu dalam jumlah kecil, tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali

diskolorasi kulit sementara akibat klofazimin (karena hanya klofazimin yang dapat

melalui sawar plasenta).30

Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa rifampisin dan

klofazimin tidak bersifat teratogenik, walaupun obat ini termasuk kategori C pada

kehamilan.30,31

Namun, didapatkan laporan kejadian penyakit hemoragik pada awal

kelahiran akibat pemberian rifampisin pada ibu hamil, sehingga profilaksis injeksi

vitamin K pada bayi yang lahir sebaiknya diberikan pada bayi dari ibu yang

mengkonsumsi rifampisin selama kehamilan.31

Dapson termasuk obat kategori C

pada kehamilan. Dapson dapat menyebabkan anemia hemolitik ringan,

methemoglobinemia, agranulositosis, jaundice, reaksi psikotik dan sindrom

dapson.31,32

Oleh karena itu, pemberian dapson pada ibu hamil dengan kusta

sebaiknya disertai dengan suplementasi asam folat 5 mg per hari.33

Pada kasus, pasien mendapatkan regimen MDT MB yang berisi rifampisin

600 mg/ bulan, klofazimin 300 mg/ bulan, dapson 100 mg/hari dan klofazimin 50

mg/hari. Belum didapatkan adanya bukti efek samping terkait pengobatan, dan hanya

didapatkan bukti laboratorium adanya anemia fisiologis kehamilan. Pasien telah

mendapatkan suplementasi zat besi dan asam folat sesuai bagian Obstetri.

Prognosis kusta pada kehamilan terkait dengan komplikasi yang dapat terjadi

pada ibu maupun pada janin. Selama perjalanan klinisnya, ibu hamil dengan kusta

dapat mengalami reaksi. Reaksi tipe 1 jarang terjadi pada kehamilan, tetapi lebih

sering saat laktasi karena peningkatan sistem imunitas seluler terjadi setelah 3 bulan

paska melahirkan. Sedangkan reaksi tipe 2 tidak memiliki asosiasi temporal dengan

kehamilan. Namun bila terjadi saat hamil, ENL biasanya berat dan rekuren, disertai

dengan neuritis dan kerusakan saraf.19

Reaksi tipe 2 ini biasanya terjadi pada pasien

Page 23: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

23

dengan antigenic load tinggi (IB >4+) dan pada pasien yang belum mendapatkan

diterapi. Namun dilaporkan bahwa reaksi kusta yang terjadi selama kehamilan

mempunyai efek yang kecil terhadap outcome dari kehamilan.22

Selain reaksi,

komplikasi kerusakan saraf pada ibu hamil dengan kusta dapat terjadi akibat

percepatan progresi dari penyakit ke arah lepromatosa maupun akibat neuritis pada

saat reaksi kusta.19

Oleh karena itu, diperlukan terapi dini untuk mencegah progresi

penyakit dan pemeriksaan klinis teliti secara berkala untuk menemukan adanya tanda-

tanda reaksi kusta.

Pada kasus tidak ditemukan komplikasi reaksi kusta, namun didapatkan

komplikasi kerusakan saraf berupa neuropati perifer (penurunan sensibilitas pada

plantar pedis kanan/kiri) akibat percepatan progresi ke arah spektrum lepromatosa

pada saat hamil. Namun pada pengamatan lanjutan bulan ketiga, didapatkan

perbaikan sensibilitas pada plantar pedis, sehingga prognosis pada ibu dapat

dikatakan dubius ad bonam.

Komplikasi pada janin meliputi infeksi intrauterin, berat badan lahir rendah,

plasenta kecil, pertumbuhan lambat, prematuritas, serta kematian janin.34

Namun dari

beberapa studi, hanya sedikit dilaporkan komplikasi obstetri ibu hamil dengan kusta,

terlepas dari spektrum penyakitnya. Laporan terdahulu menyatakan bahwa transmisi

intrauterin dapat terjadi. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan IgA dan IgM

anti-M.leprae pada tali pusat bayi segera setelah lahir.19

Tetapi beberapa laporan

lainnya, sampai saat ini masih belum dapat membuktikan bahwa kusta dapat

menyebabkan infeksi intrauterin.35

Masa inkubasi yang panjang dari penyakit kusta,

sampai timbulnya gejala dan tanda klinis yang jelas membuat susah untuk

menentukan apakah bayi terinfeksi kusta sebelum atau sesudah lahir.36

Studi lain

mendapatkan bahwa kusta dapat memberikan dampak pada pertumbuhan janin. Bayi

yang lahir dari ibu dengan kusta tipe LL secara signifikan memiliki berat bayi yang

lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu dengan kusta tuberkuloid

ataupun dari kelompok kontrol yang sehat. Retardasi pertumbuhan intrauterin

dikaitkan dengan rendahnya fungsi fetoplasenta pada wanita dengan kusta LL.

Page 24: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

24

Meskipun penyebab pasti dari disfungsi fetoplasenta ini tidak diketahui, hal ini

kemungkinan terjadi akibat penurunan perfusi uteroplasenta.19,36

Selain itu, bayi yang

lahir dari ibu dengan MH tipe LL memiliki risiko mengalami masalah pernafasan

yang lebih besar, risiko infeksi serius pada masa anak lebih besar, serta mortalitas

masa bayi yang lebih besar dibanding bayi yang lahir dari ibu yang sehat.19,21

Pada kasus belum didapatkan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan janin,

malformasi kongenital, serta pada hasil pemeriksaan obstetri perkiraan berat janin

adalah sesuai dengan masa kehamilan. Prognosis pada janin adalah dubius karena

masih diperlukan follow up lanjutan untuk menilai perkembangan janin setelah

persalinan dan masa neonatal.

SIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus relaps morbus hansen (MH) tipe borderline-lepromatosa

(BL) pada seorang wanita hamil. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan penunjang. Dari anamnesis didapatkan bercak kemerahan mati rasa, yang

awalnya sedikit dan makin lama makin banyak, disertai dengan rasa kesemutan pada

kedua kaki. Pasien memiliki riwayat pengobatan kusta paket PB 5 tahun lalu, dan

dinyatakan sembuh setelah pengobatan selesai. Kondisi kehamilan ini menjadi salah

satu faktor predisposisi terjadinya relaps. Pada pemeriksaan fisik didapatkan plak

eritema multipel dan beberapa makula hipopigmentasi yang disertai dengan

penurunan sensibilitas raba, nyeri, suhu pada wajah dan ekstremitas. Pemeriksaan

saraf tepi ditemukan penebalan pada beberapa cabang saraf dan pemeriksaan BTA

menunjukkan IB 4+. Pasien mendapatkan terapi MDT-MB, dan selama pengamatan

didapatkan perbaikan lesi kulit dan sensibilitas pada telapak kaki, serta tidak

didapatkan komplikasi reaksi kusta. Pemeriksaan obstetri sampai saat ini tidak

menemukan kelainan pada janin. Prognosis pada pasien adalah dubius ad bonam, dan

prognosis pada janin adalah dubius.

Page 25: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman

Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2012.

2. World Health Organization. Universal Elimination of Leprosy Plan Periode: 2016-2020.

2015:1-10.

3. World Health Organization. Global Leprosy: update on the 2012 situation. Weekly

Epidemiological Record. 2013;35(88):365-80.

4. Infodatin Kusta. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2015:1-8.

5. Shieh C, Wang H, Lin CF. From contagious to chronic: a life course experience with

leprosy in Taiwanese women. Lepr Rev 2006;77:99-113

6. Ulrich M, Zulueta AM, Caceres-Dittmar G, Sampson C, Pinardi ME, Rada EM, et al.

Leprosy in women: characteristics and repercussion. Sos Sci Med 1993;37(4);445-56

7. Khanna N. Leprosy and Pregnancy. In: Kumar H, Kumar B. IAL Textbook of Leprosy.

New Delhi : Jaype; 2010; 313-23

8. Tajiri I. Leprosy and childbirth. Int J Lepr 1993; 4:189-94

9. Duncan ME. An Historical and Clinical Review of the Interaction of Leprosy and

Pregnancy: A Cycle to be broken. PubMed. 1993; 37 (4): 457-72.

10. Lee. D.J., Rea. T.H., Modlin. R.L. Leprosy. In: Wolff. K., Goldsmith. L.A., Katz. S.I.,

Gilchrest. B.A., Paller. A.S., Leffell. D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General

Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill companies, 2012:2253-63.

11. Sekar, Balaraman. Bacteriological Aspect. In: Kar HK, Kumar B. IAL Textbook of

Leprosy.1st ed. New Delhi: Jaypee. 2010; p.74-86.

12. Bratschi MW, Steinmann P, Wickenden A, et al. Current Knowledge on Mycobacterium

Leprae Transmission: A Systematic Literature Review. Lepr Rev. 2015. 86: 142-155.

13. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis Penyakit Kusta. Dalam: Sjamsoe-Daili

ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK

UI, 2003. Hal: 12-31.

14. Misra RS, Kataria JK. Classification. In: Kumar B, Kumar Kar H. IAL Textbook of

Leprosy.2nd

ed. New Delhi: Jaypee. 2017; p. 254-262

15. Kumar B, Dogra S. Case definition and Clinical types. In: Kar HK, Kumar B, editors.

IAL textbook of leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 152-166.

16. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Diagnosis. In: Medicine in the Tropics: Leprosy. 3rd

ed.

United States of America: Churcill Livingstone, 1990; p.57-76.

17. Patterson JW. The granulomatous reaction pattern. In: Patterson JW. Weedon’s Skin

Pathology. 4th ed. America: Churchill Livingstone Elsevier; 2016. p.195

18. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Clinical pathology. In: Medicine in the Tropics: Leprosy. 3rd

ed. United States of America: Churcill Livingstone, 1990; p.11-23.

19. Khanna N. Leprosy and Pregnancy. In: Kumar B, Kumar Kar H. IAL Textbook of

Leprosy.2nd

ed. New Delhi: Jaypee. 2017; p. 352-359

20. Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. Contribution of selected vitamins and trace

elements to immune function. Ann Nutr Metab. 2007;51:301-23

21. Nogueira PSF, Moura ERF, Dias AA, Americo CF, Aguiar LR, Valente MM.

Characteristics of pregnant and lactating women with leprosy. Revista da Sociedade

Brasileira de Medicina Tropical. 2015; 48(1): 96-98

Page 26: PENDAHULUAN - erepo.unud.ac.id

26

22. Heliner KA, Fleischfrasser I, Kucharski-Esmanhota LD, et al. e Lucio’s phenomenon

(necrotizing erythema) in pregnancy. Ann Bras Dermatol. 2004;79:205-10.

23. Thappa DM, Kaimal S, Gupta D. Relapse in Leprosy. In: Kumar B, Kumar Kar H. IAL

Textbook of Leprosy.2nd

ed. New Delhi: Jaypee. 2017; p. 562-572

24. Kar HK, Sharma P. New lesions after MDT in PB and MB leprosy: a report of 28 cases.

Indian J Lepr. 2008;80:247-55.

25. Job CK. Histopathological features of relapsed leprosy. Indian J Lepr. 1995;67:69-80.

26. Sengupta U. Immunological aspects of relapse in leprosy. Indian J Lepr. 1995;67:81-3.

27. Bührer-Sékula S, Cunha MG, Foss NT, et al. Dipstick assay to identify leprosy patients

who have an increased risk of relapse. Trop Med Int Health. 2001;6:317-23.

28. Linder K, Zia M, Kern WV, et al. Relapses vs. reactions in multibacillary leprosy:

proposal of new relapse criteria. Trop Med Int Health. 2008;13:295-309.

29. Soebono H, Suhariyanto B. Pengobatan Penyakit Kusta. Dalam: Sjamsoe-Daili ES,

Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI,

2003. Hal: 66-74

30. Cholo MC, Steel HC, Fourie HC, Germishuizen WA, Anderson R. Clofazimine: current

status and future prospects. J Antimicrob Chemother. 2012; 67: 290-298

31. Leachman SA, Reed BR. The use of dermatologic drugs in pregnancy and lactation.

Dermatol clin 2010;24:167-97.

32. Duncan E. Leprosy in pregnancy. In: Nunzi E, Massone C, editors. Leprosy: a practical

guide. Milan, Italy: Springer; 2012; p.331-40.

33. Ishii N. Recent advances in the treatment of leprosy. Dermatology online Journal

2011:9(2):5

34. Duncan ME. The A9 study: the longest cohort study in the history of leprosy-an

overview. Ethiop Med J 2007; 45 (suppl I):1-7.

35. Jamieson DJ, Theiler RN, Rasmussen SA. Emerging infections and pregnancy. Emerging

infectious disease 2006;12(11);1638-43.

36. Lockwood DNJ, Sinha HH. Pregnancy and leprosy: a comprehensive literature review.

Int J Lepr 1999; 67(1);6-12