bab ii suppo
DESCRIPTION
materi suppoTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Pustaka
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk,
yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai
pelindungan jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik yang bersifat
lokal atau sistemik.Bahan dasar suppositoria yang umum digunakan adalah
lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran
polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester asam lemak polietilen
glikol (Dirjen POM, 1995).
Sediaan sejenis suppositoria telah dikenal di negeri Mesir kuno dan di
Mesopotamia.Sejak lama mereka dijumpai naik untuk penggunaan perlakuan
lokal, atau ditetapkan kerjanya untuk seluruh organisme (suppositoria
resorpsi).Suppositoria masa kini menggambarkan suppositoria lemak atau
tetesan wol berlemak, kepadanya dimasukkan obat yang sesuai.Mereka
menunjukkan ukuran yang sangat berbeda dan kadang-kadang dapat mengisi
seluruh usus buntu.Suppositoria sabun sebagai obat cuci perut pertama kali
dilaporkan Galen. Sebagai massa dasar berlaku antara lain buah bawang,
madu, damar, karet, buah ara, sebagai dasar perancah dasar Wol, Sutera dan
Lena.
Reseptur untuk suppositoria dari abad ke-6 menunjukkan, bahwa Myrrha,
rempah-rempah dan opium digunakan rektal pada muntah-muntah.Malam
telah digunakan sejak Yunani kuno sebagai dasar suppositoria.Dalam abad
pertengahan dijumpai pelaporan suppositoria dari lemak babi, lemak, malam
dan sabun.Yang sering dilakukan masa kini, penyalahgunaan penggabungan
sediaan rektal dan vaginal, yang mengandung saripati jamu menghebohkan
(Hyoscyamus sp, Beladona) mengarahkan kepada pewarnaan seksual yang
berlebih-lebihan.Minimal tampak di sini suatu alasan untuk proses akhir yang
sangat banyak dan pembakaran. Sekitar 1750 apoteker Prancis Baume
menyarankan, mentega coklat yang telah ditemukan 100 tahun sebelumnya
untuk pembuatan suppositoria.Sejak 1888 orang menyebutnya suppositoria
gliserol (Voigt,1994).
Macam – macam suppositoria berdasarkan tempat penggunaanya, yaitu:
1. Suppositoria rektal, sering disebut sebagai suppositoria saja, berbentuk
peluru, digunakan lewat rektum atau anus. Menurut FI III bobotnya antara
2-3 g, yaitu untuk dewasa 3 g dan anak 2 g, sedangkan menurut FI IV
kurang lebih 2 g. Suppositoria rektal berbentuk torpedo mempunyai
keunggulan, yaitujika bagian yang besar masuk melalui jaringan otot
penutup dubur, suppositoria akan masuk dengan sendirinya.
2. Suppositoria vagina (ovula), berbentuk bola lonjong seperti kerucut,
digunakan lewat vagina, berat antara 3-5 g, menurut FI III 3-6 g, umumnya
5 g. Suppositoria kempa atau suppositoria sisipan adalah suppositoria
vaginal yang dibuat dengan cara mengempa massa serbuk menjadi bentuk
yang sesuai, atau dengan cara pengkapsulan dalam gelatin lunak.Menurut
FI IV, suppositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau
dapat bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi memiliki
bobot 5 g. Suppositoria dengan bahan dasar gelatin tergliserinasi (70
bagian gliserin, 20 bagian gelatin dan 10 bagian air) harus disimpan dalam
wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu di bawah 35˚C.
3. Suppositoria uretra (bacilla, bougies) digunakan lewat uretra, berbentuk
batang dengan panjang antara 7-14 cm (Syamsuni, 2006).
Keuntungan penggunaan obat dalam bentuk suppositoria dibandinng per
oral, yaitu (Syamsuni, 2006):
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan asam
lambung.
3. Obat dapat masuk langsung ke dalam saluran darah sehingga obat dapat
berefek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral.
4. Baik bagi pasien ayng mudah muntah atau tidak sadar.
Tujuan penggunaan obat bentuk suppositoria (Syamsuni, 2006) :
1. Suppositoria dipakai untuk pengobatan lokal, baik di dalam rektum, vagina,
atau uretra, seperti pada penyakit haemorroid / wasir / ambeien, dan infeksi
lainnya.
2. Cara rektal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap
oleh membran mukosa dalam rektum.
3. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada
pasien yang mudah muntah atau tidak sadarkan diri.
4. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui
mukosa rektum dan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah.
5. Agar terhindar dari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
Basis Suppostoria Ideal
Basis suppostoria ideal dapat diuraikan sebagai berikut. (1)Telah mencapai
kesetimbangan krisnalitas, dimana sebagian besar komponen mencapai
temperature rektal 36˚C, tetapi basis dengan kisaran leleh lebih tinggi dapat
digunakan untuk campuran eutektikum,penambahan minyak-minyak, balsam-
balsam,serta suppositoria yang digunakan pada iklim tropis.(2) Secara keseluruhan
basis toksis dan tidak mengiritasi pada jarring tersebut yang peka dan jaringan
yang meradang. (3) Dapat bercampur dengan berbagain jenis obat.(4) Basis
suppostoria tersebut tidak mempunyai bentuk yang stabil. (5) Basis suppostoria
tersebut menyusut secukupnya pada pendinginan, sehingga dapat dilepaskan dapat
dilepaskan darin cetakan tanpa menggunakan pelumas cetakan. (6) Basis
suppossitoria tersebut tidak merangsang. (7) Basis suppositoria tersebut
mempunyai sifat membasahi dan mengemulsi. (8) “Angka air” tinggi, maksudnya
persentase air yang tinggi dapat dimasukkan ke dalamnya. (9) Basis suppositoria
tersebut stabil pada penyimpanan, maksudnya warna, bau, atau pola pengeplasan
obat tidak berubah. (10) Suppositoria dapat dibuat dengan mencetak dengan
tangan, mesin, kompresi, atau ekstruksi (Lachman, 1994).
Jika basis tersebut berlemak, basis suppositoria mempunyai persyaratan
tambahan sebagai berikut : (11) “Angka asam” dibawah 0,2; (12) “ Angka
penyabunan” berkisar dari 200 sampai 245; (13) “angka iod” kurang dari 7;
(14) interval antara titik leleh dan titik memadat kecil atau kurva SFI-nya tajam
(Lachman,1994).
Basis suppositoria yang memiliki semua sifat ini belum dijumpai.
Sesungguhnya beberapa sifat berdiri sendiri dan tidak ideal dalam semua
keadaan. Seringkali penambahan obat mengubah karakterisik basis
tersebut.Formulasi yang tepat memerlukan penggunaan nilai fisik yang telah
diuraikan, karena dapat membantu memilih basis untuk obat tersebut
(Lachman, 1994).
Minyak Coklat ( Minyak Theobroma )
Minyak coklat merupakan basis suppositoria yang paling banyak
digunakan; minyak coklat seringkali digunakan dalam resep-resep
pencampuran bahan-bahan obat bila basisnya tidak dinyatakan apa-
apa.Sebagian besar sifat minyak coklat memenuhi persyaratan basis ideal,
karena minyak ini tidak berbahaya, lunak, dan tidak reaktif, serta meleleh pada
termperatur tubuh.Akan tetapi minyak coklat mempunyai beberapa kelemahan,
yaitu dapat menjadi tengik, meleleh pada udara panas menjadi cair bila
dicampur dengan obat-obat tertentu dan pemanasan yang terlalu lama,
terisomerisasi dengan titik leleh yang rendah dan tidak dikehendaki (Lachman,
1994).
Minyak cokelat terutama merupakan trigliserida dengan rantai-rantai
gliserida utama yaitu oleopalmitostearin dan oleodistearin. Minyak coklat
berwarna putih kekuningan, padat, merupakan lemak yang rapuh, baud an
rasanya seperti coklat. Titik lelehnya terletak antara 30˚C dan 35˚C (86˚F
sampai 95˚F), angka iodnya antara 34 sampai 38, dan angka asamnya tidak
lebih dari 4.Karena minyak cokelat mudah mencair dan menjadi tengik, maka
harus disimpan di tempat dingin, kering, dan terlindung dari cahaya (Lachman,
1994).
Minyak cokelat menunjukkan polimorfisme yang jelas (sifat dapat berada
dalam bentuk-bentuk Kristal yang berbeda), suatu fenomena yang sangat
memungkinkan untuk dapat berhubungan dengan sebagian besar trigeliserida
tidak jenuh.Masing-masing bentuk minyak cokelat yang berbeda mempunyai
titik dedeh yang berbeda pula,demikiean juga laju pengelepasan obatnya
berbeda.Bila minyak cokelat dipanaskan di atas temperature (kira-kira 36˚C)
dan didinginkan sampai titik memadatnya segera setelah dikembangkan pada
temperature kamar,minyak cokelat ini mempunyai titik leleh 24˚C,kira-kira
12˚C di bawah keadaan aslinya.Pengetahuan keadaan polimorfis ini
diperlukan untuk dapat mengerti bagaimana pola pengelepasan obat yang
sama dapat diperoleh dari basis suppositoria yang sebagian besar terdiri dari
minyak cokelat. Minyak cokelat diperkirakan mampu berada dalam empat
keadaan kristal (Lachman, 1994):
1. Bentuk α, meleleh pada 24˚C, diperoleh dengan pendinginan secara tiba-
tiba minyak cokelat yang sedang meleleh sampai suhu 0˚C.
2. Bentuk β’ , diperoleh dari minyak cokelat yang dicairkan dan diaduk-aduk
pada 18˚C sampai 23˚C.Titik lelehnya terletak antara 28 dan 31˚C.
3. Bentuk β’ secara perlahan-perlahan berubah menjadi bentuk β yang
stabil,yang mencair antara 34˚C dan 35˚C.Perubahan ini disertai oleh
penyusutan volume.
Bentuk γ, meleleh pada 18˚C, diperoleh dengan menuang minyak cokelat
dingin (20˚C), sebelum minyak cokelat memadat, ke dalam suatu wadah yang
telah didinginkan pada temperature sangat dingin (Lachman, 1994).
Pembentukan berbagai bentuk minyak cokelat tergantung pada derajat
pemanasan,pada proses pendinginan, dan pada kondisi-kondisi selama proses ini
terjadi.Pada temperatur di bawah 36˚C, diperoleh bentuk-bentuk yang tidak stabil
dalam jumlah yang tidak berarti,tetapi pemanasan yang lebih lama di atas
temperatur kritis menyebabkan pembentukan kristal yang tidak stabil dengan
titik leleh yang lebih rendah. Pengubahan kembali menjadi bentuk β yang stabil
memerlukan waktu satu sampai empat hari,tergantung pada temperature
penyimpanan pada temperature yang lebih tinggi, perubahan terjadi lebih cepat
(Lachman, 1994).
Pembentukan bentuk tidak stabil dari minyak cokelat dapat dicegah dengan
berbagai cara. (1) Jika massa dicairkan tidak sempurna, maka kristal yang tinggal
akan mencegah pembentukan tidak stabil. (2) Penambahan sejumlah kecil
kristal stabil pada minyak cokelat yang mencair akan mempercepat perubahan
dari bentuk tidak stabil menjadi bentuk stabil; proses ini dikatakan
“pembenihan.” (3). Lelehan yang didapatkan dikeraskan dalam temperatur 28
dan 32˚C selama beberapa jam atau beberapa hari akan menyebabkan
perubahan yang termasuk cepat dari bentuk tidak stabil menjadi bentuk stabil
(Lachman, 1994).
Semua sifat minyak cokelat ini dapat menyebabkan kesulitan besar dalam
proses pembuatan. Sebagai aturan umum, dianjurkann untuk menggunakan
pemanasa yang yang minimal dalam proses pelelehan lemak.Pemanasan yang
lebih lama harus dihindari sebanyak mungkin. Ada beberapa kelemahan
tambahan khas yang sudah menjadi sifat minyak cokelat sebagai basis
suppositoria.Kemampuan penyusutan rendah selama pemadatan menyebabkan
suppositoria melekat pada cetakan, sehingga memerlukan zat penglepas dari
cetakan atau pelumas (Voight, 1994).
II.2 Rancangan Formula
Tiap Suppositoria (3 gram) mengandung:
Chloralhydrate 75 mg
Cera Flava 5%
Alpha- tocopherol 0,05%
Oleum cacao qs
II.3 Alasan Penambahan
II.3.1 Alasan Formulasi
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh
pada suhu tubuh (Dirjen POM, 1979).
Suppositoria adalah sediaan berbentuk tetap, bertakaran dalam
aturannya berbentuk silindris atau berbentuk kerucut, yang
ditetapkan untuk dimasukkan kedalam rektum, melebur pada suhu
tubuh atau larut kedalam lingkungan berair (Voight, 1994)
Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya
dengan cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh
dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek
lokal atau sistemik (Ansel, 1989).
Keuntungan Suppositoria
Dapat digunakan untuk obat yang tidak bisa diberikan secara oral
pada pasien tidak sadr, mual, gangguan pencernaan saat pembedahan
dan gangguan jiwa (Winarti, 2013).
Sediaan dalam bentuk suppositoria dapat menghindari terjadinya
iritasi pada lambung dan menghindari kerusakkan obat oleh enzim-
enzim pencernaan (Ansel, 1989).
Obat-obat untuk suppositoria dapat diberikan dalam bentuk
suppositoria baik untuk efek lokal dan efek sistemik (Lachman,
1994).
II.3.2 Alasan Penambahan zat
1. Chloralhydrate
Chloralhydrate jika digunakan dalam bentuk cair (sirup), dalam
penggunaannya dapat dikhawatirkan pasien tidak dapat menakar
dosis dengan tepat sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan
over dosis serta penggunaan dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan kecanduan (Perkin, 2005)
Penggunaan Chloralhydrate melalui rektal atau dalam bentuk
suppositoria proses absorbsinya lebih baik karena 80%
chloralhydrate diserap pada rektal dan 70% lebih banyak diserap
melalui oral (Pagliaro, 1999)
Chloralhydrate dibuat dalam bentuk suppositoria karena
tujuannya untuk didistribusikan secara sistemik karena dapat
diserap oleh membran mukosa dalam rektum. Dengan demikian
aksi kerja awal akan lebih cepat, karena obat dapat diabsorpsi
melalui mukosa rektum dan langsung ke dalam sirkulasi darah
(Syamsuni, 2006).
2. Oleum Cacao
Oleum cacao merupakan basis suppositoria yang ideal karena
dapat meleleh pada suhu tubuh akan tetapi akan bertahan sebagai
bentuk padat pada suhu kamar (Putri, 2014).
Minyak cokelat merupakan basis suppositoria yang banyak
digunakkan sebagian besar sifat lemak cokelat mengandung
persyaratan basis ideal, karena minyak ini tidak berbahaya, lunak
dan tidak reaktif meleleh pada temperatur tubuh (Lachman,
1994).
Oleum cacao meleleh antara 30-360 C, merupakan basis
suppositoria yang ideal, yang dapat melumer pada suhu tubuh tapi
tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar
(Ansel, 1989).
3. Cera Flava
Beberapa bahan dapat menurunkan titik lebur oleum cacao seperti
kloralhidrat untuk itu digunakan tambahan cera flava yang dapat
meningkatkan titik lebur dari oleum cacao penambahan cera flava
tidak boleh lebih dari 6%, sebab akan memperoleh campuran
yang memiliki titik lebur diatas 370C dan tidak boleh kurang dari
4%karena akan memperoleh titik lebur dibawah titik leburnya
(<330C) (Putri, 2014)
Obat-obat seperti minyak menguap, kresol, fenol, dan kloralhidrat
dapat menurunkan titik leleh minyak cokelat. Untuk
memperbaiku kondisi ini biasanya digunakan malam kuning
(Lachman, 1994)
Bahan seperti fenol dan kloralhidrat dapat menurunkan titik lebur
oleum cacao sewaktu bercampur dengan bahan tersebut. Jika titik
lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi
dijadikan suppositoria yang padat dengan menggunakan dengan
menggunakan oleum cacao sebagai basis tunggal, maka bahan
pengeras seperti cera flava dapat dilebur dengan oleum cacao
untuk mengimbangi pengaruh pelunakkan dari bahan yang
ditambahakan (Ansel, 583).
4. Alpha-tocopherol
Alpha-tocopherol sebagai antioksidan berdasarkan basis yang
digunakan yaitu oleum cacao memiliki ketengikkan yang
disebabkan oleh auto-oksidasi dan penguraian berturut-turut dari
lemak tidak semua menjadi aldehid jenuh agar tidak terjadi
autooksidasi maka digunakan antioksida (Lachman, 1994).
Penggunaan antioksidan ini untuk mengrangi atau meminimalisir
adanya bau tengik dari basis oleum cacao, oleum cacao memiliki
kelemahan yakni dapat berbau tengik karena oksidasi (Lachman,
1994).
Penggunaan alpha-tocopherol ini karena menurut literatur karena
alpha-tocopherol bersifat lipofilik hal ini sesuai dengan sifat
kelarutan oleum cacao yang larut lemak dengan konsentrasi yang
digunakan yaitu 0,005% (Lachman, 1994; Rowe, 2009)
II.4 Uraian Bahan
1. Chloralhidrate (Dirjen POM, 1979; Martindale, 2009)
Nama resmi : CHLORALHYDRAS
Nama Lain : Kloralhidrat, Chloralhydrate
RM/BM : C2H3Cl3O2/ 165,40
Pemerian : Hablur, transparan, tidak meleleh basah, tidak berwarna,
bau tajam khas, rasa kaostik, dan agak pahit melebur
pada suhu lebih kurang 550C dan perlahan-lahan
menguap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam minyak zaitun ,
mudah larut dalam etanol (95%) P, dalam klorom P dan
dalam eter
Stabilitas : Stabil pada tekanan dan suhu normal
Inkompabilitas : Inkompatibel dengan alkali, alkali tanah, alkali karbonat,
barbiturat cair, boraks, tanin, iodida, agen pengoksidasi,
permangat dan alkohol. Membentuk cairan dengan bahan
organik seperti kampher, mentol, phenazone, fenol, dan
timol dan garam quinine.
Penyimpanan : Dalam wadah kaca tertutup rapat, terlindung dari cahaya
dan ditempat sejuk
Kegunaan : Zat aktif
DM : 75 mg
2. Oleum Cacao (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama resmi : OLEUM CACAO
Nama Lain : Minyak cokelat, lemak cokelat
Pemerian : lemak padat, putih kekuningan, bau khas, aromatik rasa
khas lemak agak rapuh
Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam
kloroform, dalam eter, dan dalam eter minyak tanah
Stabilitas : Pemanasan oleum cacao diatas suhu 360 C selama
persiapan suppositoria dapat mengakibatkan penurunan
titik beku karena terbentuknya metastabil, hl ini dapat
mempersulit dalam pembuatan suppositoria
Inkompabilitas : -
Penyimpanan : Wadah dan penyimpanan dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai basis suppositoria
3. Cera Flava (Dirjen POM, 1979; Putri, 2014)
Nama resmi : CERA FLAVA
Nama lain : Malam kuning
Pemerian : Zat padat, cokelat kekuningan, bau enak, menjadi elastik
jika hangat dan bekas patahan buram dan berbutir
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol
(95%), larut dalam minyak atsiri
Stabilitas : -
Inkompabilitas : -
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : untuk meningkatkan titik lebur oleum cacao
Konsentrasi : 4-6% yang digunakan 5%
4. Alpha-tocopherol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama resmi : TOCOPHEROLUM
Nama Lain : alfa-tokoferol, vitamin E
RM/BM : C22H50O2/430
Pemerian : Praktis tidak berbau dan tidak berasa bentuk alpha-
tokoferol dan alfa tokoferol asetat berupa minyak kental
jernih, warna kuning, atau kuning kehijauan
Kelarutan : Tidak larut dalam air, sukar larut dalam larutan alkali
tanah, larut dalam etanol aseton dan dalam minyak nabati
mudah larut dalam klorofom
Inkompabilitas : Tidak kompatibel dengan peroksida dan ion logam,
terutama zat besi, tembaga dan perak
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai antioksidan
Konsentrasi : 0,05%
Dapus
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi
IV.Jakarta: UI Press
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi ketiga. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1994. Teori dan
Praktek Farmasi Industri Edisi ketiga, Jakarta:
Universitas Indonesia
Deglin. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat edisi IV. Jakarta: EGC
Pagliaro.1999. Psycologist Psycotropic Drug Reference. USA: Walters Kluwer
Health
Winarti, L.2013. Diklat Kuliah Formulasi Sediaan Semi Solid. Jember:
Universitas Jember
Putri, S. 2014. Oleum Cacao.Jakarta: Universitas Indonesia
Rowe,R.C. 2009. Handbook of Pharmaceutical excipients 6th edition. London:
Pharmaceutical Press
Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC