bab ii revisied

Upload: kiki-banani

Post on 19-Jul-2015

132 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Informasi Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terintegrasi dan bekerjasama untuk mencapai sasaran tertentu. Semua sistem harus bisa mengarahkan semua bagian-bagiannya agar tercapai sasaran yang telah ditetapkan dan melakukan proses pengaturan yang digunakan untuk mengoreksi setiap penyimpangan dari suatu jalur dan mengarahkan kembali ke jalur yang tepat (Mulyono, 2007). Informasi adalah data yang diolah, dibentuk atau dimanipulasi sesuai dengan keperluan tertentu. Informasi juga berarti data yang telah diproses menjadi bentuk yang memiliki arti bagi penerima dan dapat berupa fakta, suatu nilai yang bermanfaat. Informasi dapat juga dibuat untuk keperluan manajemen sesuai dengan unit kerjanya pada tingkatnya masing-masing. Informasi mempunyai tingkat kualitas, yang ditentukan beberapa hal antara lain (Mulyono, 2007): a. Akurat, informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan. b. Tepat pada waktunya, informasi yang datang tidak boleh terlambat pada penerima. c. Relevan, informasi harus mempunyai manfaat bagi pemakainya. d. Lengkap, informasi berisi informasi yang dibutuhkan. e. Jelas, isi informasi sesuai dengan keperluan pemakai.

Sistem informasi merupakan sekumpulan elemen yang saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk satu kesatuan yang menggabungkan data, memproses, menyimpan, dan mendistribusikannya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan dalam pengambil keputusan dan mengendalikannya. Sistem informasi juga memiliki arti sebuah sistem terintegrasi atau sistem manusia mesin, untuk menyediakan informasi,

7

8

mendukung operasi, dan manajemen dalam suatu organisasi (Agungsr, 2005). Pengertian sistem informasi adalah Suatu kombinasi dari orangorang, fasilitas teknologi, media, prosedur-prosedur dan pengendalian ditujukan untuk mendapatkan jalur komunikasi penting, memproses tipe transaksi rutin tertentu, memberi sinyal kepada manajemen dan yang lainnya terhadap kejadian-kejadian internal dan eksternal yang penting dan menyediakan suatu dasar untuk pengambilan keputusannya yang cerdik (Nash & Robert, 1984).

2.2 Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support Systems) Sistem Pendukung Keputusan atau Decision Support System (DSS) secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mampu memberikan kemampuan pemecahan masalah maupun kemampuan pengkomunikasian untuk masalah dengan kondisi semi terstruktur dan tak terstruktur. DSS bertujuan untuk menyediakan informasi, membimbing, memberikan prediksi serta mengarahkan kepada pengguna informasi agar dapat melakukan pengambilan keputusan dengan lebih baik. DSS sebenarnya merupakan implementasi teori-teori pengambilan keputusan yang telah diperkenalkan oleh ilmu-ilmu seperti operation research dan management science, hanya bedanya adalah bahwa jika dahulu untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi harus dilakukan perhitungan iterasi secara manual (biasanya untuk mencari nilai minimum, maksimum, atau optimum), saat ini komputer PC telah menawarkan kemampuannya untuk menyelesaikan persoalan yang sama dalam waktu yang relatif singkat. Sprague dan Watson mendefinisikan DSS dengan cukup baik, sebagai sistem yang memiliki lima karakteristik utama (Sprague & Watson, 1993) yaitu:

9

1. 2. 3.

Sistem yang berbasis komputer. Dipergunakan untuk membantu para pengambil keputusan. Untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang mustahil dilakukan dengan kalkulasi manual.

4. 5.

Melalui cara simulasi yang interaktif. Dimana data dan model analisis sebagai komponen utama.

Secara umum DSS dibangun oleh tiga komponen besar yaitu: 1. 2. 3. Database Management. Model Base. Software System/User Interface.

Komponen DSS tersebut dapat digambarkan seperti bawah ini:

Pengelolaan Data (Database Management)

Pengelolaan Model (Modelbase)

Pengelolaan Diaolg (User Interface)

User

Gambar 2.1 Komponen DSS

Komponen pada Gambar 2.1 diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Database Management, Merupakan subsistem data yang

terorganisasi dalam suatu basis data. Data yang merupakan suatu sistem pendukung keputusan dapat berasal dari luar maupun dalam lingkungan. Untuk keperluan DSS, diperlukan data yang

10

relevan dengan permasalahan yang hendak dipecahkan melalui simulasi. b. Model Base, Merupakan suatu model yang merepresentasikan permasalahan kedalam format kuantitatif (model matematika sebagai contohnya) sebagai dasar simulasi atau pengambilan keputusan, termasuk didalamnya tujuan dari permasalahan (objektif), komponen-komponen terkait, batasan-batasan yang ada (constraints), dan hal-hal terkait lainnya. Model Base

memungkinkan pengambil keputusan menganalisa secara utuh dengan mengembangkan dan membandingkan solusi alternatif. c. User Interface, atau pengelolaan dialog. Terkadang disebut sebagai Subsistem Dialog, merupakan gabungan antara dua komponen sebelumnya yaitu Database Management dan Model Base yang disatukan dalam komponen ketiga (User Interface), setelah sebelumnya direpresentasikan dalam bentuk model yang dimengerti komputer. User Interface menampilkan keluaran sistem bagi pemakai dan menerima masukan dari pemakai kedalam Sistem Pendukung Keputusan.

DSS dapat memberikan berbagai manfaat dan keuntungan. Manfaat yang dapat diambil dari DSS adalah: a. DSS memperluas kemampuan pengambil keputusan dalam memproses data/informasi bagi pemakainnya. b. DSS membantu pengambil keputusan untuk memecahkan masalah terutama berbagai masalah yang sangat kompleks dan tidak terstruktur. c. DSS dapat menghasilkan solusi dengan lebih cepat serta hasilnya dapat diandalkan. Walaupun suatu DSS, mungkin saja tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh pengambil keputusan, namun dia dapat menjadi

11

stimulan bagi pengambil keputusan dalam memahami persoalannya, karena mampu menyajikan berbagai alternatif pemecahan. 2.3 Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk Proses analisis kebijakan membutuhkan adanya kriteria sebelum memutuskan pilihan dan berbagai alternatif yang ada. Kriteria menunjukkan definisi masalah dalam bentuk yang konkret dan kadang-kadang dianggap sebagai sasaran yang akan dicapai (Sawicki, 1992). Analisis atas kriteria penilaian dilakukan untuk memperoleh seperangkat standar pengukuran, untuk kemudian dijadikan sebagai alat dalam membandingkan berbagai alternatif. Pada saat pembuatan kriteria, pengambil keputusan harus mencoba untuk menggambarkan dalam bentuk kuantitatif, jika hal ini memungkinkan. Hal itu karena akan selalu ada beberapa faktor yang tidak dapat dikuantifikasikan yang juga tidak dapat diabaikan sehingga mengakibatkan semakin sulitnya membuat perbandingan. Kenyataan bahwa kriteria yang tidak bisa dikuantifikasikan itu sukar untuk diperkirakan dan diperbandingkan hendaknya tidak menyebabkan pengambil keputusan untuk tidak menggunakan kriteria tersebut, karena kriteria ini dapat saja relevan dengan masalah utama di dalam setiap analisis. Sifat-sifat yang harus diperhatikan dalam memilih kriteria pada setiap persoalan pengambilan keputusan (Suryadi dan Ramdhani, 1998) adalah sebagai berikut: 1. Lengkap, sehingga dapat mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan tersebut. Suatu set kriteria disebut lengkap apabila set

12

ini dapat menunjukkan seberapa jauh seluruh tujuan dapat dicapai. 2. Operasional, sehingga dapat digunakan dalam analisis. Sifat operasional ini mencakup beberapa pengertian, antara lain adalah bahwa kumpulan kriteria ini harus mempunyai arti bagi pengambil keputusan, sehingga ia dapat benar-benar menghayati implikasinya terhadap alternatif yang ada. Selain itu, jika tujuan pengambilan keputusan ini harus dapat digunakan sebagai sarana untuk meyakinkan pihak lain, maka kumpulan kriteria ini harus dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan penjelasan atau untuk berkomunikasi. Operasional ini juga mencakup sifat dapat diukur. Pada dasarnya sifat dapat diukur ini adalah untuk: a. Memperoleh distribusi kemungkinan dari tingkat pencapaian kriteria yang mungkin diperoleh (untuk keputusan dalam ketikdakpastian). b. Mengungkapkan preferensi pengambil keputusan atas pencapaian kriteria. c. Tidak berlebihan, sehingga menghindarkan perhitungan berulang. Dalam menentukan set kriteria, jangan sampai terdapat kriteria yang pada dasarnya mengandung pengertian yang sama. d. Minimum, agar lebih mengkomprehensifkan persoalan. Dalam menentukan sejumlah kriteria perlu sedapat mungkin

mengusahakan agar jumlah kriterianya sesedikit mungkin. Karena

13

semakin banyak kriteria maka semakin sukar pula untuk dapat menghayati persoalan dengan baik, dan jumlah perhitungan yang diperlukan dalam analisis akan meningkat dengan cepat. Beberapa model pengambilan keputusan pada dasarnya mengambil konsep pengukuran kualitatif dan kuantitatif. Salah satunya adalah metode pengambilan keputusan SMART. 2.3.1. Metode SMART ( Simple Multi Attribute Rating Technique ) SMART (Simple Multi Attribute Rating Technique ) merupakan metode pengambilan keputusan multi kriteria yang dikembangkan oleh Edward pada tahun 1977. Teknik pengambilan keputusan multi kriteria ini didasarkan pada teori bahwa setiap alternatif terdiri dari sejumlah kriteria yang memiliki nilai nilai dan setiap kriteria memiliki bobot yang menggambarkan seberapa penting ia dibandingkan dengan kriteria lain. Pembobotan ini digunakan untuk menilai setiap alternatif agar diperoleh alternatif terbaik. SMART menggunakan linear additive model untuk meramal nilai setiap alternatif. SMART merupakan metode pengambilan

keputusan yang fleksibel. SMART lebih banyak digunakan karena kesederhanaanya dalam merespon kebutuhan pembuat keputusan dan caranya menganalisa respon. Analisa yang terlibat adalah transparan sehingga metode ini memberikan pemahaman masalah yang tinggi dan dapat diterima oleh pembuat keputusan.

14

Model fungsi utiliti linear yang digunakan oleh SMART adalah seperti berikut (Shepetukha, 2001).

Maximize

Di mana : adalah nilai pembobotan kriteria ke-j dari k kriteria, adalah nilai utility alternatif i pada kriteria j.

- Pemilihan keputusan adalah mengidentifikasi mana dari n alternatif yang mempunyai nilai fungsi terbesar. - Nilai fungsi ini juga dapat digunakan untuk meranking n alternatif

2.3.2. Proses Pemodelan SMART Edwards mendefenisikan ada sepuluh langkah dalam penyelesaian metode SMART yaitu : 1. Mengidentifikasi masalah keputusan Pendefenisian masalah harus dilakukan untuk mencari akar masalah dan batasan-batasan yang ada. Keputusan seperti apa yang akan diambil harus didefenisikan terlebih dahulu, sehingga proses pengambilan keputusan dapat terarah dan tidak

menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Pendefenisian pembuat keputusan (decision maker) dilakukan agar pemberian

15

nilai terhadap kriteria dapat sesuai dengan kepentingan kriteria tersebut terhadap alternatif. 2. Mengidentifikasi kriteria-kriteria yang digunakan dalam membuat membuat keputusan 3. Mengidentifikasi alternatif-alternatif yang akan di evaluasi. Pada tahap ini akan dilakukan proses pengumpulan data. 4. Mengidentifikasi batasan kriteria yang relevan untuk penilaian alternatif. Perlu untuk membatasi nilai. Ini dapat dicapai dengan menghilangkan tujuan yang kurang penting. Edwards berpendapat bahwa tidak perlu memiliki daftar lengkap suatu tujuan. Lima belas dianggap terlalu banyak dan delapan dianggap cukup besar. 5. Melakukan peringkat terhadap kedudukan kepentingan kriteria. Dalam hal ini dinilai cukup mudah dibandingkan dengan pengembangan bobot. Hal ini perlu dilakukan untuk dapat memberikan bobot pada setiap kriteria. Karena bobot yang diberikan pada kriteria akan bergantung pada perangkingan kriteria. 6. Memberi bobot pada setiap kriteria. Pemberian bobot diberikan dengan nilai yang dapat ditentukan oleh user sendiri. Dalam hal ini akan dilakukan dua kali pembobotan yaitu berdasarkan kriteria yang dianggap paling penting dan berdasarkan kriteria yang dianggap paling tidak

16

penting. Kriteria yang dianggap paling penting diberikan nilai 100. Kriteria yang penting berikutnya diberikan sebuah nilai yang menggambarkan perbandingan kepentingan relatif ke dimensi paling tidak penting. Proses ini akan diteruskan sampai pemberian bobot ke kriteria yang dianggap paling tidak penting diperoleh. Langkah yang sama juga akan dilakukan dengan membandingkan kriteria yang paling tidak penting yang diberikan nilai 10. Kriteria yang paling penting berikutnya diberikan sebuah nilai yang menggambarkan perbandingan kepentingan relatif ke dimensi paling penting. Proses ini akan diteruskan sampai pemberian bobot ke kriteria yang dianggap paling penting diperoleh. 7. Menghitung normalisasi bobot kriteria. Bobot yang diperoleh akan dinormalkan dimana bobot setiap kriteria yang diperoleh akan dibagikan dengan hasil jumlah setiap bobot kriteria. Normalisasi juga akan dilakukan berdasarkan kriteria yang paling penting dan kriteria yang paling tidak penting. Nilai dari dua normalisasi yang diperoleh akan dicari nilai rata-ratanya. 8. Mengembangkan single-attribute utilities yang mencerminkan seberapa baik setiap alternatif dilihat dari setiap kriteria. Tahap ini adalah memberikan suatu nilai pada semua kriteria untuk setiap alternatif . Dalam bidang ini seorang ahli memperkirakan nilai

17

alternatif dalam skala 0 100. Dimana 0 sebagai nilai minimum dan 100 sebagai nilai maksimum. 9. Menghitung penilaian/utilitas terhadap setiap alternatif. Perhitungan dilakukan menggunakan fungsi yang telah ada yaitu : Maximize . Di mana adalah nilai pembobotan adalah nilai utility alternatif i

kriteria ke-j dari k kriteria dan pada kriteria j. Nilai diperoleh dari langkah 8. 10. Memutuskan.

diperoleh dari langkah dan nilai

Nilai utilitas dari setiap alternatif akan diperoleh dari langkah 9. Jika suatu alternatif tunggal yang akan dipilih, maka pilih alternatif dengan nilai utilitas terbesar.