bab ii referat
DESCRIPTION
rterytuhTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Kardiomiopati (penyakit atau kelainan pada otot jantung) adalah
istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan abnormalitas dari
fungsi otot jantung yang dapat menimbulkan gejala gagal jantung. Pasien
dengan kardiomiopati juga memiliki risiko untuk mengalami gangguan
irama jantung (aritmia) dan bahkan menyebabkan kematian mendadak.
Kardiomiopati peripartum adalah bentuk dari kardiomiopati dilatasi dimana
ruang jantung membesar atau dilatasi dan ototnya melemah,
menyebabkan penurunan aliran darah dan meningkatan tekanan di
jantung.1
Penyakit jantung kehamilan (peripartum cardiopmyopathy / PPCM)
adalah kelainan otot jantung (cardiomyopathy) spesifik yang timbul pada
akhir kehamilan atau awal puerpurium. Kriteria diagnostic pertama kali
dibuat oleh demaskis et al (1971), yaitu :2
1. Gagal jantung yang timbul pada bulan-bulan akhir kehamilan atau
dalam kurun waktu 5 bulan setelah melahirkan.
2. Tidak adanya penyakit jantung yang diketahui sebelumnya.
3. Tidak adanya penyebab penyakit jantung yang dapat diidentifikasi.
4. Disfungsi sistolik ventrikel kiri, yang memenuhi kriteria secara
ekocardiografi:
- fraksi ejeksi < 45 %
- fractional shortening< 30%
Berdasarkan definisi tersebut, maka untuk dapat menegakkan
diagnosis penyakit ini harus melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan
ekokardiografi. Pada Workshop tahun 1997 dibuat tambahan kriteria
bahwa disfungsi ventrikel kiri harus ditunjukkan berdasarkan
ekokardiografi.2
3
2.2 PERUBAHAN FUNGSI KARDIOVASKULAR PADA
KEHAMILAN
Tiga perubahan hemodinamik utama yang terjadi dalam masa
kehamilan adalah : peningkatan curah jantung, peningkatan denyut
jantung dan penurunan resistensi perifer.Curah jantung merupakan hasil
perkalian stroke volume dan denyut jantung. Denyut jantung dan stroke
volume meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Setelah
32 minggu, stroke volume menurun dan curah jantung sangat tergantung
pada denyut jantung.Resistensi vaskuler menurun pada trimester pertama
dan awal trimester kedua. Denyut jantung, tekanan darah dan curah
jantung akan meningkat pada saat ada kontraksi uterus3,4
Pada periode kehamilan akan terjadi ekspansi volume plasma
darah mencapai 40% lebih tinggi dibanding kondisi sebelum hamil yang
dimulai pada usia kehamilan 5-6 minggu dan mencapai puncaknya pada
usia kehamilan 24 minggu, menyebabkan peningkatan curah jantung
sebesar 30-50% selama periode kehamilan normal. Hal ini disebabkan
oleh stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, oleh estrogen,
menyebabkan retensi cairan dan garam melalui ginjal. Selama trimester
ke-3 kehamilan, curah jantung dapat mencapai angka 7 liter/menit dan
mengalami peningkatan lebih lanjut hingga mencapai 10-11 liter/menit
selama proses melahirkan.5
Pada trimester awal kehamilan, peningkatan curah jantung
terutama disebabkan oleh peningkatan volume sekuncup akibat besarnya
volume darah maternal (preload), namun pada kehamilan tahap akhir,
peningkatan ini terjadi akibat meningkatnya laju denyut nadi dan
berkurangnya resistensi vaskuler sistemik (afterload). Peningkatan laju
denyut nadi terjadi mulai 20 minggu hingga mencapai puncaknya pada
usia kehamilan 32 minggu dan bertahan tinggi sampai 2-5 hari setelah
melahirkan. Selain itu sejak awal trimester kehamilan terjadi penurunan
tekanan darah sistolik akibat penurunan resistensi pembuluh darah perifer
dan tekanan darah diastolik akan mencapai 10 mmHg lebih rendah dari
kondisi sebelum kehamilan pada trimester ke-2. Hal ini terjadi karena
4
vasorelaksasi yang dicetuskan oleh sekresi mediator vasomotor lokal
prostasiklin dan nitric oxide.
Sedangkan pada trimester akhir kehamilan, tekanan darah diastolik
akan meningkat hingga mencapai nilai yang sama dengan kondisi
sebelum hamil untuk mempersiapkan proses melahirkan secara fisiologis.
Hal yang perlu diketahui selama periode trimester ke-3 kehamilan adalah
bahwa curah jantung dan volume sekuncup sangat dipengaruhi oleh
posisi tubuh, yang akan meningkat saat berbaring posisi lateral dan
berkurang saat berbaring terlentang akibat kompresi vena cava inferior
oleh uterus yang telah membesar (sindrom uterocaval). Pada periode ini
organ jantung dapat mengalami peningkatan ukuran sebesar kurang lebih
30% dibandingkan dengan ukuran asal sebelum kehamilan, sebagian
akibat dilatasi ruang jantung.
Proses melahirkan akan meningkatkan curah jantung dan tekanan
darah lebih lanjut akibat kontraksi uterus serta peningkatan kebutuhan
oksigen, perubahan hemodinamik ini sangat dipengaruhi oleh pilihan
metode melahirkan. Curah jantung juga akan tetap meningkat sesaat
setelah melahirkan pada periode nifas akibat bertambahnya volume darah
sirkulasi maternal yang berasal dari pergeseran aliran darah uterus dan
plasenta sehingga menyebabkan peningkatan preload. Hal ini
menyebabkan pasien rentan mengalami edema pulmoner pada periode
pasca melahirkan. Pada kebanyakan kasus, perubahan hemodinamik ini
akan berangsur-angsur kembali normal seperti keadaan sebelum hamil
dalam 1-3 hari, namun pada beberapa wanita dapat bertahan hingga
beberapa minggu.6
2.3 EPIDEMIOLOGI
Kardiomiopati peripartum menyebabkan kegagalan jantung pada
bulan terakhir kehamilan atau pada 6 bulan pertama postpartum tanpa
penyebab yang jelas. Di Amerika Serikat insidennya bervariasi dari 1 per
4000 kelahiran sampai 1 per 1500 kelahiran. Puncaknya terjadi pada
5
bulan kedua postpartum, meningkat pada ibu yang berusia tua, multipara
dan kulit hitam. Angka kematian ibu bervariasi dari 25% – 50%.3,7
Walaupun penyebabnya belum diketahui namun diduga karena
hipertensi, infeksi virus, reaksi imunologik dan defisiensi vitamin. Di
Nigeria dilaporkan insiden yang lebih tinggi karena ibu postpartum
mengkonsumsi garam dalam jumlah yang besar. Selain itu, juga
dilaporkan insidensi kardiomiopati peripartum lebih tinggi di wilayah
geografis Afrika yang sebagian besar disebabkan karena faktor malnutrisi
dan kebudayaan lokal pada masa nifas; masih diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan potensi faktor genetik dan lingkungan.6,7
Di Amerika Serikat, insidens penyakit kardiomiopati peripartum
antara 1:300 hingga 1:4000 kehamilan, variasi ini diyakini akibat faktor
genetik dan budaya setempat. Walaupun secara definisi kardiomiopati
peripartum dapat terjadi sejak bulan terakhir kehamilan hingga 5 bulan
pasca melahirkan, sekitar 60% kasus terjadi dalam 2 bulan pertama masa
nifas, hanya sekitar 7% kasus terjadi pada trimester akhir periode
kehamilan.
2.4 ETIOLOGI
Penyebab pasti kardiomiopati peripartum masih belum diketahui,
beberapa faktor etiologi yang potensial adalah infeksi virus
(coxsackievirus, parvovirus B19, adenovirus dan herpesvirus), proses
inflamasi, miokarditis, peristiwa autoimun akibat kehamilan, peningkatan
apoptosis miokardium, efek hormonal, toksemia, abnormalitas respons
hemodinamik terhadap kehamilan, predisposisi genetik dan pemotongan
enzimatik protein prolaktin selama peristiwa stres oksidatif. Biopsi jantung
pada tahap awal rumatan penyakit dapat menemukan tanda miokarditis,
mungkin disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap antigen asing janin
yang sedang dikandung. Kardiomiopati peripartum dicurigai terjadi
sebagai konsekuensi ketidakseimbangan proses stres oksidatif,
menyebabkan pemotongan enzimatik hormon laktasi prolaktin sehingga
berubah menjadi faktor angiostatik yang bersifat poten dan fragmen pro-
6
apoptotik.Selain itu, peristiwa microchimerism fetal, terdapatnya sel fetal
yang lolos masuk ke dalam sirkulasi maternal dan menginduksi terjadinya
miokarditis autoimun serta abnormalitas kejadian stres oksidatif juga
berperan cukup signifikan.
Kardiomiopati peripartum umumnya dianggap sebagai bentuk
penyakit miokard primer idiopatik terkait dengan keadaan hamil. Meskipun
beberapa mekanisme etiologi masuk akal telah diusulkan, tidak satupun
dari teori-teori tersebut yang pasti. Beberapa penyebabnya dibahas di
bawah ini.6
Stress Oksidatif
Data baru menunjukkan keterlibatan stresoksidatif, prolactin-cleaving
protease cathepsin D, dan prolaktin pada patofisiologi PPCM. Stres
oksidatif adalah suatu stimulus poten untuk mengaktivasi Cathepsin D dan
Matrix Metalloproteinase-2 (MMP-2), suatu enzim yang dapat megenerasi
prolaktin 16 kDa. Belakangan ini ditemukan korelasi erat antara N-terminal
brain natriuretic peptide (NT-proBNP), suatu marker tingkat stres dinding
ventrikel dan gagal jantung, prolaktin, dan marker untuk stres oksidatif
(LDL teroksidasi) dan inflamasi (interferon-gama).8
Stres oksidatif sebagai trigger aktivasi cathepsin D dalam
kardiomiosit akan memotong prolactin menjadi angiostatic and pro-
apoptotic subfragment. Pasien PPCM akut mempunyai kadar low density
lipoprotein (LDL) serum tinggi (suatu indikasi stres oksidatif tinggi) dan
juga peningkatan kadar serum katepsin D yang teraktivasi, prolaktin total
dan fragmen prolaktin 16kDa yang bersifat angiostatik. Pada penelitian
mencit fragmen prolaktin 16 kDa mempunyai efek merusak kardiovaskular
yang dapat menjelaskan patofisiologi PPCM. Fragmen tersebut
menginhibisi proliferasi dan migrasi sel endotel, menginduksi apoptosis
dan merusak struktur kapiler yang telah terbentuk. Bentuk prolaktin ini
meningkatkan vasokonstriksi dan merusak fungsi kardiomiosit. Kadar
prolaktin 16kDa yang tinggi tanpa keadaan PPCM telah terbukti merusak
mikrovaskuler jantung, menurunkan fungsi jantung dan meningkatkan
7
dilatasi ventrikel. Efek prolaktin 16kDa berlawanan dengan efek
kardioprotektif prolaktin bentuk lengkap. Prolaktin 16kDa tidak berfungsi
melalui reseptor prolaktin bentuk lengkap. Pro-apoptotic serum markers
(soluble death receptor sFas/Apo-1) telah ditemukan kadarnya meningkat
pada pasien PPCM. Marker ini juga dapat memprediksi status fungsional,
dan mortalitas penderita PPCM.8
Miokarditis
Telah ditemukan pada biopsi endomiokardial dari ventrikel kanan
pada pasien dengan kardiomiopati peripartum yang ditandai dengan
infiltrasi limfositik padat dan sejumlah miosit yang edema, nekrosis, dan
fibrosis. Prevalensi miokarditis pada pasien dengan kardiomiopati
peripartum berkisar antara 8,8% sampai dengan 78% pada studi. Pada
sisi lain yang berbeda, ada atau tidak adanya miokarditis saja tidak dapat
memprediksi outcome dari kardiomiopati peripartum.
Selain stres oksidatif, inflamasi jantung disebut juga miokarditis,
telah diketahui berhubungan dengan PPCM. Salah satu penelitian
hubungan miokarditis dengan PPCM mengemukakan bahwa dari 26
pasien,8 pasien menunjukkan adanya viral genome pada biopsi
miokardium. Virus tersebut antara lain, parvovirus B19, human herpes
virus 6, Epstein-Barr virus, dan human cytomegalovirus.Penelitian itu
berdasarkan hipotesis bahwa perubahan sistem imun saat hamil dapat
mengeksaserbasi infeksi de novo atau mereaktivasi virus laten pada
wanita hamil,menyebabkan miokarditis yang berujung pada kardiomiopati.
Infeksi virus pada jantung merupakan salah satu etiologi yang
mungkin menyebabkan infl amasi peripartum. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa sejenis cardiotropic enterovirus bertanggung jawab
atas terjadinya PPCM. 1,8
Autoimun
Serum pasien PPCM ditemukan mempengaruhi maturisasi sel
dendrit in vitro, berbeda dibandingkan dengan serum wanita postpartum
8
sehat. Serum wanita PPCM mengandung titer autoantibodi tinggi terhadap
protein jaringan kardium yang tidak terdapat pada pasien kardiomiopati
idiopatik. Warraich dkk. menyatakan bahwa tidak seperti yang ditemukan
pada DCM, yaitu up-regulation selektif G3 subclass immunoglobulin
(IgG3s), pada PPCM terdapat kenaikan kelas G dan semua subclass
immunoglobulin terhadap myosin heavy chain. Autoantibodi berasal dari
sel fetal (microchimerism) (yang dapat masuk ke dalam sirkulasi
maternal), dan beberapa protein (seperti aktin dan miosin) yang
dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan telah terdeteksi pada
pasien PPCM. Autoantibodi ini bereaksi dengan protein miokardium
maternal yang kemudian menyebabkan PPCM. Multiparitas adalah faktor
risiko PPCM, menyimpulkan adanya pajanan terhadap antigen fetal atau
paternal dapat menyebabkan respon inflamasi miokardium abnormal.6
Genetik
The European Society of Cardiology mengklasifikasikan PPCM
sebagai suatu bentuk DCM nonfamilial dan nongenetik berhubungan
dengan kehamilan. Tetapi beberapa kasus PPCM telah terbukti
berhubungan dengan faktor genetik. Beberapa literatur melaporkan wanita
PPCM mempunyai ibu atau saudara perempuan didiagnosis PPCM, ada
pula yang melaporkan hubungan antara first-degree relative berjenis
kelamin perempuan. Ada juga yang melaporkan bahwa perempuan yang
mempunyai gen DCM (dilated cardiomyopahty), dapat berujung pada
PPCM setelah kehamilan karena adanya stres hemodinamik. Selain itu,
terdapat hubungan antara wanita dengan keluarga laki-laki yang
mempunyai DCM. Penelitian 90 keluarga familial DCM dan PPCM
mengungkapkan adanya causative mutation yang dapat dideteksi lebih
awal dengan penapisan. Penelitian tersebut menemukan adanya mutasi
(c.149A>G, p.Gln50Arg) di dalam gen yang mengkode cardiac troponin C
(TNNC1). Adanya variasi genetik dalam JAK/STAT signaling cascade juga
dapat menjadi salah satu penyebab PPCM.3
9
2.5 FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor predisposisi sudah teridentifikasi berperan sebagai
faktor risiko penyakit ini; antara lain usia maternal yang ekstrem (terlalu
tua atau muda) saat kehamilan pertama, multiparitas, kehamilan multipel,
riwayat keluarga, etnis, merokok, diabetes mellitus, malnutrisi, anemia,
riwayat pre-eklampsia, eklampsia, hipertensi gestasional, penggunaan
kronik obat golongan agonis beta, kokain dan defisiensi selenium.
Pada kebanyakan kasus kardiomiopati peripartum tidak ditemukan
riwayat keluarga dan sebagian besar memiliki angka kematian di rumah
sakit serta kebutuhan pengobatan lanjut gejala gagal jantung yang
rendah.
Wanita keturunan Afrika-Amerika memiliki risiko yang lebih tinggi,
terutama disebabkan oleh tingginya prevalensi hipertensi pada populasi
ini. Wanita keturunan Afrika-Amerika memiliki angka kejadian
kardiomiopati peripartum 15,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita bukan keturunan Afrika-Amerika.
Selain itu, juga dilaporkan insidensi kardiomiopati peripartum lebih
tinggi di wilayah geografis Afrika yang sebagian besar disebabkan karena
faktor malnutrisi dan kebudayaan lokal pada masa nifas; masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan potensi faktor genetik dan
lingkungan.6
Penting untuk diingat walaupun kardiomiopati peripartum lebih sering
terjadi pada wanita diatas 30 tahun dengan kehamilan ganda,
kardiomiopati peripartum juga dapat terjadi pada wanita usia muda
dengan kehamilan pertama.8
2.6 PATOFISIOLOGI
Peripartum kardiomiopati adalah salah satu bentuk kardiomiopati
dilatasi.Masalah yang mendasar adalah menghilangnya kontraktilitas
miokardium, yang ditandaidengan menghilangnya kemampuan sistolik
jantung. Kardiomiopati dilatasi menyebabkanpenurunan fraksi ejeksi,
10
peningkatan volume end-diastolik, dan volume residual, penurunanvolume
sekuncup ventrikel, serta gagal biventrikel.
Stres oksidatif selama periode peripartum memiliki peran cukup
penting dalam menyebabkan kerusakan ventrikel kiri. Senyawa
proinflamatorik dan peristiwa stres oksidatif akan makin meningkat selama
proses kehamilan normal dan mencapai puncaknya pada trimester
terakhir kehamilan. Ketidakseimbangan proses stres oksidatif selama
periode kehamilan dan pasca melahirkan dapat menyebabkan terjadinya
pemotongan enzimatik hormon prolaktin oleh cathepsin-D menjadi
fragmen prolaktin dengan berat molekul 16-KDa.
Fragmen prolaktin dengan berat molekul 16-KDa ini dapat
menginduksi apoptosis sel endotelial pembuluh darah, penghambatan
proliferasi sel endotel yang diinduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth
Factor) dan mengganggu mekanisme vasodilatasi vaskuler yang
diperantarai nitric oxide. Fragmen ini dapat merusak struktur
mikrovaskuler jantung yang pada akhirnya akan menyebabkan dilatasi
ruang jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Gangguan fungsi pompa akan menyebabkan turunnya stroke
volume dan cardiac output sehingga menyebabkan hipoperfusi jaringan
perifer. Hal ini akan mengaktifkan sistem adaptasi atau kompensasi
berupa peningkatan fungsi kontraktil melalui mekanisme Frank-Starling
(akibat peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri yang meregangkan
serabut otot ventrikel kiri) dan aktivasi sistem neurohumoral (saraf
simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron). Pada awal terjadinya
disfungsi, pasien jarang mengeluh karena adanya mekanisme adaptasi,
namun seiring perjalanan waktu ketika terjadi progresi degenerasi sel otot
jantung dan remodelling yang menyebabkan overload volume, pasien
akan mulai mengeluhkan gejala gagal jantung. Dimensi ruang ventrikel
yang melebar akan menyebabkan pelebaran annulus katup
atrioventrikular menyebabkan regurgitasi katup fungsional. Regurgitasi
bersamaan dengan disfungsi sistolik memiliki beberapa konsekuensi,
yakni terjadi overload volume dan tekanan pada atrium serta ventrikel
11
sehingga menyebabkan pembesaran atrium serta fibrilasi atrium, dan
penurunan stroke volume menuju sirkulasi sistemik.
Gagal jantung akibat kardiomiopati peripartum disebabkan oleh
gagalnya adaptasi tubuh untuk mempertahankan tekanan perfusi ke
jaringan perifer. Hal ini disebabkan oleh aktivasi sistem neurohormonal
yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Aktivasi kronik berlebihan
sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatik
(adrenergik atau katekolaminergik) menyebabkan remodeling ventrikel kiri
yang progresif hingga tingkat seluler menyebabkan bertambah buruknya
gejala klinis. Selain itu kontribusi aktivasi sitokin proinflamasi pada gagal
jantung kronikdapat menyebabkan fibrosis, hipertrofi dan gangguan fungsi
pompa ventrikel kiri.
2.7 GEJALA KLINIS
Peripartum kardiomiopati bermanifestasi dengan gejala-gejala
dispnea, orthopnea, dispnea paroksismal nokturnal, batuk, nyeri dada,
anorexia, fatigue dan. edema tungkai. Dokter haruslah berhati-hati
mendiagnosis kardiomiopati peripartum dan menolak diagnosis-diagnosis
yang lain. Selama kehamilan terdapat banyak perubahan fisiologis yang
dapat menyerupai gagal jantung. Pada trimester pertama terjadi
peningkatan volume darah, yang dapat menyebabkan distensi vena
jugularis. Pada bulan-bulan terakhir kehamilan normal sering ditemukan
edema pedis. Dyspneu dan fatigue juga gejala sering pada kehamilan
normal.
1. Kelelahan adalah sensasi dari rasa lelah atau lemah dan menjadi tidak
dapat menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa seperti mandi atau
berpakaian tanpa berhenti untuk istirahat. Kelelahan dapat semakin
memburuk pada sore hari atau setelah melakukan aktivitas yang cukup
berat.
2. Nafas yang pendek dapat didefinisikan sebagai sesak nafas dengan
aktivitas seperti berjalan satu blok pada bidang yang datar atau
menaiki tangga. Dengan semakin berkembangnya gagal jantung,
12
pasien dapat merasa sesak saat makan, berbicara atau pada saat
istirahat. Beberapa pasien juga dapat berkembang menjadi kesulitan
bernafas saat malam hari, yang kemudian menyebabkan pasien
terbatuk atau kongesti atau menyebabkan pasien perlu tidur dengan
bantal yang tinggi.
3. Retensi cairan dapat bermanifestasi sebagai edema tungkai,
pembengkakan pada abdomen disertai dengan rasa kembung, nyeri,
hilangnya nafsu makan atau merasa penuh, kongesti pada paru
menyebabkan batuk dan sesak nafas; peningkatan frekuensi miksi
pada malam hari, dan penambahan berat badan.
4. Pasien dengan gagal jantung yang disebabkan oleh kardiomiopati
peripartum juga mengeluhkan palpitasi, denyut yang tidak beraturan,
nyeri kepala, or almost fainting. Sangat jarang, pasien dengan
kardiomiopati peripartum dapat disertai dengan gejala gumpalan darah
yang pecah dan menuju ke organ vital seperti otak menyebabkan
stroke atau pada arteri koroner menyebabkan serangan jantung.
Gumpalan darah yang menuju ke paru-paru dapat menyebabkan
sesak nafas, nyeri kepala, palpitasi atau hemoptoe.5
Tanda fisik pasien gagal jantung akibat kardiomiopati dilatasi pada
masa peripartum bervariasi tergantung derajat kompensasi, tingkat
kronisitas (gagal jantung akut dibandingkan dengan gagal jantung
kronik),dan keterlibatan ruang jantung (jantung sebelah kiri atau kanan).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konfigurasi jantung dan hepar
yang membesar dengan tingginya tekanan vena sistemik. Tanda fisik
overload cairan atau kongesti yang dapat ditemukan pada pasien dengan
gagal jantung kronik antara lain ronkhi basah pada auskultasi paru,tanda
efusi pleura, distensi/peningkatan tekanan vena jugularis, asites,
hepatomegali, edema perifer, bising sistolik sebagai tanda adanya
regurgitasi mitral akibat dilatasi masif lumen ventrikel dan atrium kiri, serta
gallop S3 pada auskultasi akibat peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri pada penurunan fungsi ventrikel kiri akibat dilatasi. Gangguan
perfusi perifer terutama pada pasien gagal jantung tingkat lanjut dengan
13
penyakit penyerta anemia, dapat dilihat melalui pemeriksaan ekstremitas
yang teraba dingin, pucat, sianosis, dan pemanjangan waktu pengisian
kapiler. Khusus pada pasien kardiomiopati peripartum, dapat ditemukan
tanda bergesernya perabaan ictus cordis ke arah lateral dan bising ejeksi
sistolik di tepi kiri sternum akibat regurgitasi mitral. Selain itu tanda
embolisasi organ perifer tubuh misalnya ekstremitas bawah, usus dan
otak dapat terjadi akibat trombus yang terbentuk di ventrikel kiri yang
berdilatasi. Pada kasus jarang dapat pula terjadi emboli paru akibat
terlepasnya trombus yang terbentuk di ventrikel kanan yang berdilatasi.8
2.8 DIAGNOSIS
Kardiomiopati peripartum adalah diagnosis eksklusi, pasien harus
telah diperiksa dan disingkirkan penyebab lain gagal jantung selain
kehamilan. Hal ini untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis idiopathic
dilated cardiomyopathy (IDCM). Pertimbangan diagnosis PPCM biasanya
pada masa postpartum, sedangkan IDCM pada trimester ke-2 kehamilan.
Kejadian miokarditis banyak ditemukan pada PPCM, sehingga antigen
dan antibodi terhadap agen penyebab miokarditis dapat ditemukan, hal ini
biasanya tidak ditemukan pada IDCM.
Ukuran jantung dapat kembali normal pada PPCM, namun dapat
juga menjadi progresif dan mempunyai prognosis buruk jika tidak segera
ditangani Setelah berbagai etiologi telah disingkirkan, harus
dipertimbangkan kriteria berikut: keadaan kardiomiopati idiopatik,
berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung
karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan
terakhir kehamilan sampai 5 bulan masa postpartum, adalah diagnosis
eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit kardiovaskular lain, tidak
harus disertai dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya selalu
<45%.6
Pemeriksaan laboratorik pada PPCM biasa nya tidak menunjukkan
abnormalitas kecuali telah terjadi komplikasi hipoksia lanjut. Pemeriksaan
dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti
14
preeklampsia dan noncardiogenic pulmonary edema. Noncardiogenic
pulmonary edema selama kehamilan adalah suatu keadaan tekanan
onkotik rendah, digambarkan dengan penurunan kadar albumin serum
(kadar yang diharapkan ~3,2 mg/dL); sehingga ketika ada stressor lain,
dapat terjadi edema pulmonar dengan tekanan pengisian jantung normal;
trigger paling sering antara lain pielonefritis dan infeksi lain,
kortikosteroids, dan tokolitik seperti beta agonis dan magnesium sulfat.6
Pemeriksaan Penunjang Lain
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan antara
lain elektrokardiografi , ekokardiografi , dan pemeriksaan darah.6
Elektrokardiografi (EKG) – Pada dua penelitan melibatkan 97
pasien Afrika Selatan, didapatkan 66% mempunyai hipertrofi ventrikel kiri
dan 96% mempunyai gelombang ST-T abnormal. Kadang terdapat aritmia
kordis kronis. Studi lain menemukan QRS kompleks memanjang lebih dari
120 ms pada EKG pasien PPCM sebagai prediktor mortalitas.1,5
Rontgen Toraks – Diagnosis harus cepat ditegakkan. Dispnea
akut, takikardia atau hipoksia, harus disertai Ro thorax untuk mendeteksi
edema pulmoner, mencari etiologi dan menyingkirkan pneumonia;
dilaksanakan dengan meng gunakan pelindung abdomen. Fetal radiation
exposure dengan maternal chest radiographs menggunakan abdominal
shielding adalah sekitar 0.00007 rads. Sedangkan batasan yang diterima
untuk fetal radiation exposure selama kehamilan adalah 5 rads.5. Patchy
infi ltrates di daerah paru bawah, dengan vascular redistribution /
cephalization, kardiomegali, dan efusi pleura, mengindikasikan adanya
gagal jantung kongestif. Harus dipertimbangkan bahwa noncardiogenic
pulmonary edema dapat ditemukan jika wanita hamil terkena infeksi
berulang, juga pada keadaan tekanan jantung normal dan tidak ditemukan
adanya sefalisasi pembuluh darah.1,5
Ekokardiografi – Ekokardiografi merupakan standar baku
diagnosis PPCM. Tidak semua pasien datang dengan dilatasi LV, tetapi
LV end-diastolic diameter >60 mm memprediksi kesembuhan minimal
15
fungsi LV (sama halnya dengan LVEF <30%). Kriteria diagnosis juga
termasuk EF <45% dan fractional shortening <30%. Pencitraan diperlukan
untuk mencari trombus yang terbentuk akibat gangguan LVEF.
Ekokardiografi dianjurkan diulang sebelum pasien pulang, pada 6 minggu,
6 bulan dan kemudian setiap tahun untuk menilai efikasi terapi medis.
Morfologi katup jantung biasanya dalam batas normal, tetapi dilatasi
ventrikel kiri bisa menyebabkan regurgitasi mitral sekunder terhadap
dilatasi anulus. Efusi perikardium minimal dapat juga ditemukan pada awal
dan pertengahan periode postpartum.1,5
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Lebih akurat untuk menilai
volume ruang jantung dan fungsi ventrikel dibandingkan ekokardiografi ,
juga lebih sensitif untuk melihat trombus. Magnetic resonance imaging
dapat mengukur kontraksi miokard secara segmental dan dapat
mengidentifikasi perubahan miokard secara detail. Magnetic resonance
imaging menggunakan gadolinium jauh lebih sensitif untuk menyingkirkan
diagnosis PPCM dari miokarditis lainnya, tetapi gadolinium harus dihindari
pada wanita hamil.1,5
Pemeriksaan Hematologi. Pemeriksaan darah rutin, kimia darah
dan kadar elektrolit (natrium, kalium) sangat penting dilakukan terutama
untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya aritmia. Pemeriksaan
laboratorium lain dapat ditambahkan sesuai kondisi klinis masing-masing
pasien. Pemeriksaan biomarker jantung, seperti BNP (brain natriuretic
peptide) dan NT Pro-BNP (N-terminal pro-brain natriuretic peptide), selain
untuk kepentingan diagnosis, dapat juga digunakan untuk pemantauan
hasil terapi dan menilai prognosis.6
2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi Medis
Persalinan segera, tanpa memperhatikan usia kehamilan harus
dipertimbangkan pada wanita dengan gagal jantung stadium lanjut dan
ketidakstabilan hemodinamik. Segera setelah bayi dilahirkan, dan pasien
16
stabil secara hemodinamik, terapi standar untuk gagal jantung dapat
diterapkan.
Selama kehamilan, ACE-Inhibitor, ARB, dan penghambat renin
dikontraindikasikan karena toksis terhadap janin. Hidralazine dan nitrat
dapat digunakan sebagai pengganti dari penghambat ACE / ARB untuk
mengurangi afterload. Dopamin dapat digunakan jika obat inotropik
diperlukan. Pengobatan β-Blocker diindikasikan untuk semua pasien
dengan gagal jantung, jika ditoleransi. Obat β1-Selektif (yaitu metoprolol)
harus diutamakan. Atenolol tidak boleh digunakan.
Diuretik hanya boleh digunakan jika terdapat kongesti pulmonal
karena diuretik dapat menurunkan aliran darah plasenta. Furosemid dan
hidroklorotiazida adalah yang paling sering digunakan. Antagonis
aldosteron harus dihindari.
Aktivitasi koagulasi meningkat selama kehamilan. Dalam konteks
penurunan fraksi ejeksi pada PPCM, pengobatan dengan LMWH atau
antikoagulan oral harus dipertimbangkan. Antikoagulan dianjurkan pada
pasien dengan trombus intrakardiak yang terdeteksi oleh pencitraan atau
didapatkan adanya tanda emboli sistemik, serta pada pasien dengan
gagal jantung dan atrial fibrilasi. LMWH atau antagonis vitamin K
direkomendasikan untuk mencegah stroke.2
Vasodilator
Obat ini berfungsi merelaksasi pembuluh darah, sehingga lebih
mudah bagi jantung untuk memompakan darah, dan menurunankan
tekanan di jantung dan paru-paru. Selama kehamilan, vasodilator pilihan
adalah hydralazine, yang dapat diberikan secara tunggal atau dengan
nitrat. Setelah kehamilan, angiotensin converting enzyme-inhibitor
(ACE_inhibitor) atau angiotensin receptor blockers dapat digunakan
secara aman seperti halnya hydralazine / nitrat dan dapat membantu
menyembuhkan jantung. ACE inhibitor atau angiotensin receptor blockers
tidak dianjurkan untuk digunakan selama kehamilan karena dapat
menyebabkan cacat lahir. Vasodilator dapat menurunkan tekanan darah
dan mungkin dapat menimbulkan rasa pusing atau kelelahan.2,3
17
Diuretik
Obat-obat ini menyebabkan ginjal untuk mengekskresikan garam
dan air dan membantu untuk meredakan gejala yang berhubungan
dengan retensi cairan seperti sesak napas, perut kembung, dan edema.
Diuretik dapat juga menurunkan tekanan darah dan menyebabkan
hilangnya kalium, yang menyebabkan kram otot dan dehidrasi. Tekanan
darah, fungsi ginjal dan kadar elektrolit harus dipantau saat dilakukan
terapi dengan diuretik. 2,3
β-Blockers
Pasien dengan PPCM dan gagal jantung telah meningkatkan
tingkat katekolamin (adrenalin dan hormon yang terkait), yang dapat
meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan jantung secara
keseluruhan dan stres pembuluh darah. β-Blockers digunakan untuk
memblokir efek ini dan dapat mengakibatkan penurunan denyut jantung
dan tekanan darah. Seiring waktu, β-blocker membantu jantung untuk
menyembuhkan dan memulihkan fraksi ejeksi kembali ke kondisi normal.
Mereka juga melindungi jantung terhadap ritme jantung abnormal.
Beberapa β-bloker lebih aman daripada yang lain selama kehamilan. 2,3
Digitalis
Digitalis berasal dari tanaman foxglove dan telah digunakan selama
lebih dari 200 tahun untuk mengobati gagal jantung. Digitalis memperkuat
kemampuan memompa jantung dan dapat menurunkan stimulasi
katekolamin. Digitalis juga dapat digunakan untuk memperlambat denyut
jantung pada pasien dengan aritmia yang disebut fibrilasi atrium. Digitalis
dapat digunakan secara aman selama dan setelah kehamilan dengan
pemantauan tingkat darah. 2,3
Spironolactone
Seperti ACE inhibitor, spironolakton dapat digunakan secara aman
setelah kehamilan untuk mengobati gagal jantung dan membantu jantung
untuk kembali berfungsi dengan baik. Spironolakton adalah diuretik ringan
yang membantu ginjal untuk mempertahankan kalium, sehingga fungsi
ginjal dan kadar kalium perlu dipantau selama terapi. 2,3
18
Antikoagulan
Pasien dengan PPCM mengalami peningkatan risiko untuk
terjadinya pembekuan darah, terutama jika fraksi ejeksi sangat rendah.
Dalam kasus ini, obat-obatan digunakan untuk mengencerkan darah.
Selama kehamilan, heparin dapat diberikan sebagai suntikan di bawah
kulit atau sebagai infus intravena kontinu. Setelah kehamilan, warfarin
dapat digunakan dengan aman secara oral sekali sehari. Seperti inhibitor
ACE, warfarin tidak seharusnya dikunsumsi selama kehamilan karena
risiko cacat lahir. Keduanya, heparin dan warfarin membutuhkan
pemantauan ketat parameter pembekuan darah untuk menghindari
perdarahan. 2,3
Antiaritmia
Pada pasien yang mengalami aritmia, obat-obatan mungkin
diperlukan untuk menstabilkan detak jantung dan ritmenya. Selama
kehamilan, β-blocker, sotalol, dan procainamide intravena dapat
digunakan. Amiodarone adalah lini ketiga yang dapat diberikan secara
intravena atau oral selama atau setelah kehamilan, tapi mungkin dapat
menjadi toksik bagi janin dan memerlukan pengawasan terhadap fungsi
hati, tiroid, dan paru-paru. 2,3
Terapi Non-Medikamentosa
Persalinan
Persalinan pervaginam selalu lebih baik dibandingkan dengan
persalinan seksio sesarea jika hemodinamik pasien stabil dan tidak ada
indikasi obstetrik. Diperlukan monitor hemodinamik secara ketat dan lebih
dipilih analgesia epidural.Persalinan lebih awal tanpa memperhatikan usia
kehamilan harusdipertimbangkan pada wanita dengan gagal jantung
stadium lanjut dan ketidakstabilan hemodinamik meskipun dalam
pengobatan. Operasi seksio sesarea direkomendasikan dengan
kombinasi anestesi spinal dan epidural.2
19
Laktasi
Beberapa ACE inhibitor (benazepril, captopril, enalapril) telah teruji
pada wanita menyusui dan dapat digunakan oleh ibu karena aman untuk
bayi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penambahan bromokriptin
untuk terapi standar gagal jantung memiliki efek menguntungkan pada
fraksi ejeksi ventrikel dan memberikan hasil klinis yang baik pada wanita
dengan PPCM berat akut. Selain itu, karena tuntutan metabolisme yang
tinggi dari laktasi dan menyusui, pencegahan pemberian laktasi dapat
dipertimbangkan.2
Kehamilan berikutnya membawa risiko kekambuhan untuk PPCM
sekitar 30-50%. Ketika fraksi ejeksi belum dinormalisasi, kehamilan
berikutnya harus dicegah. Bahkan jika fraksi ejeksi sudah kembali normal,
masih dibutuhkan konseling dan pemeriksaan dikarenakan adanya risiko
kekambuhan saat kehamilan baru.2
Manajemen Rhythm
Sebuah implantable cardioverter-defibrillator (ICD) diindikasikan
setelah melahirkan jika pasien terus memiliki aritmia serius atau fungsi
jantung tetap berkurang secara signifikan (biasanya EF kurang dari 35%)
meskipun terapi medis yang diberikan telah optimal. The implantable
cardioverter-defibrillator (ICD) ditempatkan di bawah kulit dengan kabel
yang mengarah ke sisi kanan jantung untuk memberikan bantuan
denyutan jika denyut jantung berjalan terlalu lambat atau internal shock
jika denyut jantung berjalan terlalu cepat dalam irama yang mengancam
jiwa yang disebut ventricular tachycardia atau fibrilasi. 2
Diet dan Kegiatan
Pengobatan standar untuk gagal jantung termasuk
mempertahankan diet rendah garam dan membatasi asupan cairan
kurang dari 2 L / hari. Alkohol dan merokok juga harus dihindari. Pasien
mungkin diminta untuk mengukur berat badan dirinya setiap hari dan
melaporkan perubahan yang signifikan (misalnya, meningkat lebih dari 3-4
pons selama 1-2 hari) karena ini mungkin memerlukan penyesuaian
20
diuretik. Tingkat aktivitas tergantung pada tingkat keparahan gejala dan
harus didiskusikan dengan dokter.2
2.10 PROGNOSIS
Prognosis pasien setelah mengalami kardiomiopati peripartum
adalah bervariasi tergantung dari derajat disfungsi sistolik ventrikel kiri
saat diagnosis awal ditegakkan. Secara umum prognosis lebih baik
dibandingkan dengan kardiomiopati noniskemik akibat penyebab lain.
Sekitar 50-60% wanita akan mengalami perbaikan fungsi kontraktil
ventrikel kiri serta ukuran dimensi ruang jantung dalam 6 bulan setelah
melahirkan dan berlanjut 2 hingga 3 tahun berikutnya. Sisanya akan
mengalami disfungsi ventrikel kiri menetap atau mengalami perburukan
kondisi klinis walaupun sudah diterapi optimal dengan perkiraan tingkat
kematian maternal berkisar antara 10-50% terutama dalam periode 3
bulan pasca melahirkan jika tidak dilakukan transplantasi jantung. Pasien
dengan kondisi kardiomegali persisten setelah 6 bulan diagnosis memiliki
angka kematian sekitar 85% dalam 5 tahun. Pasien dengan dimensi
sistolik akhir ventrikel kiri kurang dari 5,5 cm, fraksi ejeksi ventrikel kiri
lebih dari 30% dan kadar troponin jantung rendah pada saat pemeriksaan
awal, memiliki prognosis lebih baik.6
Wanita yang telah terdiagnosis kardiomiopati peripartum dan
mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri menetap setelah melahirkan
akan menghadapi risiko tinggi komplikasi kardiovaskular jika kembali
hamil, sehingga sebaiknya menghindari kehamilan berikutnya. Selain itu,
wanita yang pernah terdiagnosis dengan kardiomiopati peripartum tetap
memiliki risiko rekurensi dengan insidensi 30-50%, walaupun fungsi ejeksi
sistolik ventrikel kiri sudah kembali normal.6