referat efusi pleura ii

18
BAB I PENDAHULUAN Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara histologis kedua lapisan ini terdir dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening (Halim et al., 2006). Rongga potensial diantara pleura parietalis dan pleura viseralis berperan sebagai sistem yang berpasangan antara paru dan dinding dada, dan dalam keadaan normal mengandung sedikit cairan (Ward et al., 2007), yang dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstitial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itu dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura (Halim et al., 2006). Aliran cairan melalui rongga pleura ditentukan oleh rumus starling yang melibatkan tekanan mikrovaskular, tekanan onkotik, permeabilitas, dan area 1

Upload: nadzdoctor1

Post on 28-Dec-2015

191 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

KOAS

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura

parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan

cabang utama bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara

histologis kedua lapisan ini terdir dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler

dan pembuluh getah bening (Halim et al., 2006).

Rongga potensial diantara pleura parietalis dan pleura viseralis berperan sebagai sistem

yang berpasangan antara paru dan dinding dada, dan dalam keadaan normal mengandung

sedikit cairan (Ward et al., 2007), yang dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui

pembuluh darah kapiler. Filtrasi terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan

jaringan interstitial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga

pleura.

Selain itu dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura (Halim et al., 2006). Aliran cairan

melalui rongga pleura ditentukan oleh rumus starling yang melibatkan tekanan mikrovaskular,

tekanan onkotik, permeabilitas, dan area permukaan. Pada keadaan normal, terjadi filtrasi

netto cairan transudatif (kurang protein) kedalam rongga pleura yang diimbangi dengan

resorpsi melalui limfatik parietal (Ward et al., 2007).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.DEFINISI

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam

kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat

atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan

sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada

cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

B. PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura berfungsi

untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling bergerak karena

pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga

pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura

viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses

pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di

dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura

2

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila

proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks.

Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.

Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara

akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau

alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru

(Halim et al., 2007).

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru

seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.

Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis

paru dan pneumothoraks (Halim et al., 2006).

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler

pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau

kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis

eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai

pleuritis eksudativa tuberkulosa (Halim et al., 2006). Penting untuk menggolongkan efusi

pleura sebagai transudatif atau eksudatif.

C. ETIOLOGI

Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya untuk

menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan

pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis

transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang

mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.

3

Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan

penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan

dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di

dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria

berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :

1.   Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2.   LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3.   LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di dalam

serum.

Efusi pleura berupa:

a) Eksudat, disebabkan oleh :

1.   Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan

efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat

dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala

perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus

dalam cairan efusi.

2.   Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang

berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab

dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie,

Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,

Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika

ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari

rongga pleura.

4

3.   Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi

timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.

4.   Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus

subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan

menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya

focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada

didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang

yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat

badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5.   Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,

kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang

tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran

kapiler.

Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,

bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik

sirkulasi.

Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural,

sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan

kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam

cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan

pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).

6.   Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru

atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan

pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa

kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang

diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4

indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH

bakteri

5

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir

bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7.   Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma

8.   Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

 

b) Transudat, disebabkan oleh :

1.   Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah

perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat

terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga

terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan

kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan

aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura

dan paru-paru meningkat.

Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan

efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi

pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.

Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan

istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang

torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak. 

2.   Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan

dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat

transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam.

Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3.   Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang

ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya

cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak

dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan

yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous

shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi

pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4.   Meig’s Syndrom

6

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor

ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor

ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah

tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya

dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di

diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5.   Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun

bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi

melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura

dengan cairan dialisat.

c) Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada

hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru

diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah

terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera

membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

D. DIAGNOSA

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang teliti,

diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.

Dari anamnesa didapatkan :

1.   Sesak nafas

2.   Rasa berat pada dada

3.   Berat badan menurun pada neoplasma

4.   Batuk berdarah pada karsinoma bronchus atau metastasis

5.   Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empilema

6.   Ascites pada sirosis hepatis

Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)

1.   Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal

2.   Vokal fremitus menurun

3.   Perkusi dull sampal flat

4.   Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang

5.   Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada treakhea

7

Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub, apabila terjadi atelektasis kompresif

(kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.

Nyeri dada pada pleuritis :

Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh

bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura

parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya

dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :

1.   Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis

intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.

2.   Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan

nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Dari Pemeriksaan Penunjang didapatkan :

Foto thoraks. Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam

rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral

lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul (Davey., 2003).

Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi

gravitasi (Halim et al., 2006).

Torakosentesis. Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun

terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian

bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.

Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk

diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).

b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat

pada tabel :

c. Sitologi. Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel

patologis atau dominasi sel-sel tertentu.

8

Sel neutrofil: pada infeksi akut

Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).

Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru

Sel mesotel maligna: pada mesotelioma

Sel giant: pada arthritis rheumatoid

Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik

Sel maligna: pada paru/metastase.

d. Bakteriologi. Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung

mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering pneumokokus,

E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter (Halim et al, 2006).

Biopsi Pleura. Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan

tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau

tumor pada dinding dada (Halim et al., 2006).

E. PENATALAKSANAAN

Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).

Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).

Torakosentesis. Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,

aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan

sebagai berikut:

1. penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas

bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam

posisi tidur terlentang.

2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit

medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor

dan redup.

3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum

berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena

penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diahfrahma atau terlalu dalam

sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh

karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

9

Gambar 2. Metode torakosentesis

4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.

Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara mendadak.

Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan

reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.

Pemasangan WSD. Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman.

Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:

1. tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris

media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.

2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang lebih

2 cm sampai subkutis.

3. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.

4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura

parietalis.

5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.

Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.

6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa dan

plester.

7. selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang

dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan

dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk

ke dalam rongga pleura.

10

Gambar 3. Pemasangan jarum WSD

8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,

kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan

dilakukan foto toraks.

9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah

mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

Pleurodesis. Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan

penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika

seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin.

Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45

mg) diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah

13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura,

sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.

Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam

keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garram faal,

kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan

larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2%

untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5

jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks

diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di

seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang

toreaks dapat dicabut.

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta : 2008.

2. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua. EMS. Jakarta :

2008.

3. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2007.

Balai Penerbit FK UI Jakarta.

4. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

5. Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 05 Februari 2011

6. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal 05 Februari

2011

12